• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengukuran Kadar Malondialdehida (MDA) pada Hati dan Ginjal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengukuran Kadar Malondialdehida (MDA) pada Hati dan Ginjal"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pengukuran Kadar Malondialdehida (MDA) pada Hati dan Ginjal

Analisis kadar radikal bebas dalam penelitian ini dilakukan dengan mengukur kadar MDA hati dan ginjal tikus, karena MDA merupakan indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh. MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tak jenuh yang dapat dihasilkan melalui oksidasi oleh senyawa radikal dan juga sebagai perantara dari biosintesis prostaglandin. MDA dalam materi biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator kerusakan oksidatif, terutama dari asam lemak tak jenuh (Nabet 1996 ; Prasetyawati 2003).

Hasil analisis MDA pada hati dan ginjal tikus dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 8 dan lampiran 1 serta 2, menunjukkan rata-rata kadar MDA hati dan ginjal tertinggi adalah kelompok yang dipapar asap rokok (P2) dan terendah terlihat pada kelompok kontrol (P0) baik pada hati maupun ginjal. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dipapar asap rokok (P2) berpengaruh nyata terhadap kadar MDA pada hati dan ginjal tikus (p<0,05) (Lampiran 3). 0 5000 10 0 15 0 20 00 25 00 30000 35 00 Kad ar M D A ( U /g 0 00 00 0 0 ) P0 P1 P2 P3 P4 Perlakuan

Kadar MDA pada Hati Kadar MDA pada Ginjal

ab c b c a a bc c ab a

Gambar 9 Kadar malondialdehida (MDA) hati dan ginjal tikus pada semua perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok hewan yang hanya mendapat perlakuan pemaparan asap rokok (P2) memiliki nilai MDA yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Peningkatan nilai MDA pada

(2)

kelompok (P2) ini menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok dapat meningkatkan radikal bebas dan ini mengindikasikan terjadinya stres lingkungan.

Pemberian vitamin C dengan dosis 8.57 mg/kg bb/hari pada hewan percobaan (P1) tidak menunjukkan kondisi stres. Hal ini terlihat dari kadar MDA kelompok tersebut baik pada hati maupun ginjal tidak memberikan nilai yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P0). Lebih lanjut terlihat bahwa pemberian vitamin C dapat mempengaruhi jumlah radikal bebas yang ada dalam tubuh, hal ini terlihat pada kelompok P3 dan P4. Namun demikian efektivitas pemberian vitamin C lebih baik diberikan bersamaan dengan waktu pemaparan yaitu pada kelompok P3, dimana konsentrasi MDA pada kelompok ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok P2. Sedangkan pemberian vitamin C setelah selesai dilakukan pemaparan (P4) menunjukkan konsentrasi MDA yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok P2 tetapi lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P3. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian vitamin C saat terjadi stres asap rokok dan setelah terjadi stres asap rokok selama tiga puluh hari belum mampu menurunkan kadar MDA mendekati kelompok kontrol maupun kelompok yang diberi vitamin C (P0 dan P1).

Penurunan kadar MDA pada hati dan ginjal tikus dari kelompok pemberian vitamin C terjadi karena pada vitamin C memiliki gugus pendonor elektron berupa gugus enadiol yang terletak pada atom C2 dan C3. Gugus enadiol ini dapat

menghambat proses terjadinya peroksidasi lemak pada tahap inisiasi, sehingga radikal bebas tidak dapat berkembang membentuk radikal bebas yang baru. Vitamin C juga dapat bersifat scavenger yang bereaksi dengan radikal bebas, dengan cara mereduksi radikal bebas yang reaktif menjadi tidak reaktif. Radikal bebas yang tidak segera dinetralkan maka akan terbentuk rantai radikal bebas yang panjang sehingga sulit dinetralkan.

Kadar MDA pada hati menunjukkan nilai yang rendah, bila dibandingkan dengan yang ada pada ginjal karena hati mempunyai kandungan antioksidan seluler lebih banyak dibandingkan ginjal dan merupakan tempat metabolisme berbagai zat makanan dan bukan sebagai tempat pembuangan zat sisa metabolisme. Vitamin C, selain mempunyai kemampuan untuk mendonorkan elektron pada radikal bebas, juga dapat menstimulir pengambilan Cu (tembaga)

(3)

yang terikat pada seruloplasmin sehingga Cu-ZnSOD juga meningkat. Dengan demikian maka enzim antioksidan pada hati lebih banyak yang ditunjukkan dengan rendahnya kadar MDA. Sebaliknya pada ginjal menunjukkan nilai MDA tampak lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang ada pada hati. Hal ini disebabkan karena ginjal mempunyai kadar enzim antioksidan seluler lebih sedikit dibandingkan dengan kadar antioksidan seluler pada hati. Ginjal merupakan organ tubuh yang paling rentan terhadap pengaruh zat toksik, yang menerima 25-30 % sirkulasi darah untuk dibersihkan sehingga sebagai organ ekskresi zat-zat sisa metabolisme maka pemakaian antioksidan seluler pun semakin banyak yang menyebabkan tidak adanya keseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan, ditunjukkan dengan tingginya kadar MDA.

Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa terpapar asap rokok merupakan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan stres oksidatif yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar MDA yang berarti pula meningkatnya radikal bebas. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Wresdiyati & Makita (1995) yang menyatakan bahwa stres oksidatif dapat meningkatkan jumlah peroksisom, sebagai akibatnya produksi radikal bebas juga meningkat sebagai hasil samping oksidasi tersebut.

Pengukuran Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase (SOD) pada Hati dan Ginjal

Superoksida dismutase merupakan enzim yang berada pada cairan intraseluler yang berpartisipasi pada proses degradasi senyawa radikal bebas intraseluler, seperti anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Enzim ini menghambat kehadiran simultan dari anion superoksida dan hirdogen peroksida yang berasal dari pembentukan radikal hidroksil.

Analisis aktivitas enzim SOD hati dan ginjal tikus yang mengalami perlakuan stres dengan dipapar asap rokok ditentukan berdasarkan pengukuran enzim secara tidak langsung dengan menggunakan metode spektrofotometri. Untuk menganalisis enzim ini digunakan xanti/xantin oksidase (XO) yang menghasilkan anion superoksida (O2˙). Superoksida akan mereduksi ferrisitokrom

(4)

Hasil analisis aktivitas enzim SOD pada hati dan ginjal tikus dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 9 dan lampiran 4 serta 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas enzim SOD tertinggi terlihat pada kelompok kontrol (P0) dan terendah terlihat pada kelompok yang dipapar asap rokok (P2) baik pada hati maupun ginjal. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang dipapar asap rokok (P2) berpengaruh nyata terhadap aktivitas SOD pada hati dan ginjal tikus (p<0,05) (Lampiran 6).

Penurunan aktivitas enzim SOD pada kelompok P2 ini menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok mengakibatkan peningkatan pemakaian enzim tersebut untuk menetralisir radikal bebas yang terbentuk akibat pemaparan rokok, sehingga enzim SOD yang tersedia menjadi rendah. Inilah yang dibaca sebagai aktivitas enzim SOD. Pada kelompok kontrol (P0) mempunyai aktivitas enzim SOD yang paling tinggi dari semua kelompok. Hal ini disebabkan karena pada kelompok tersebut tidak mengalami perlakuan stres yang dapat memicu produksi radikal bebas, sehingga pamakaian enzim tersebut juga rendah.

0 100 200 300 400 500 600 Ak ti v ita s e n z im S O D (U /g ) P0 P1 P2 P3 P4 Perlakuan

Aktivitas SOD pada Hati Aktivitas SOD pada Ginjal a b bc c a ab bc c a bc

Gambar 10 Aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) hati dan ginjal tikus pada semua perlakuan.

Pemberian vitamin C dengan dosis 8.57 mg/kg bb/hari pada hewan percobaan P1 tidak menunjukkan pemakaian enzim SOD yang tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya aktivitas enzim tersebut baik pada hati maupun ginjal dan tidak memberikan nilai yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol (P0). Lebih lanjut terlihat bahwa pemberian vitamin C ternyata dapat membantu kinerja enzim

(5)

SOD untuk menetralisir radikal bebas sehingga pemakian enzim tersebut tidak terlalu tinggi seperti yang terlihat pada kelompok P3 dan P4. Namun demikian, efektivitas pemberian vitamin C lebih baik diberikan secara bersamaan dengan waktu pemaparan yaitu pada kelompok P3, dimana aktivitas enzim SOD lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P2 dan P4. Sedangkan pemberian vitamin C setelah selesai pemaparan (P4) menunjukkan aktivitas enzim tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan P2. Hal ini disebabkan karena vitamin C yang memiliki gugus enadiol pada atom C2 dan C3 berfungsi sebagai pendonor

elektron sehingga radikal bebas tidak dapat terbentuk dan mengurangi pemakian enzim antioksidan seluler seperti SOD.

Radikal bebas yang terbentuk dari reaksi fenton yaitu reaksi yang melibatkan logam fe2+ (ferro) dan fe3+ (ferri) dapat ditangkap oleh vitamin C sebelum sempat bereaksi (Purwantaka et al. 2005). Dengan memberikan elektronnya maka vitamin C akan tereduksi menjadi dehydroascorbic acid yang relatif stabil.

Pembentuk radikal bebas dari asap rokok terdapat dalam dua fase yaitu fase gas yang berupa nitrit oksida (NO) dan nitrit peroksida (NO2 ) dan fase tar berupa

quinone, semiquinone dan hydroquinone (Trabel et al. 2000). Kedua fase pembentuk radikal bebas ini apabila bereaksi dengan logam transisi seperti Fe dan Cu maka akan menghasilkan radikal bebas superoksida, hydrogen peroksida yang selanjutnya membentuk radikal hydroksil. Pemakaian enzim SOD yang terlalu besar untuk menetralisir radikal bebas yang terbentuk secara terus-menerus, akan menurunkan aktivitas enzim tersebut.

Pemakaian enzim SOD pada hati lebih rendah bila dibandingkan dengan pemakaian pada ginjal yang ditunjukkan dengan tingginya aktivitas enzim tersebut. Hal ini disebabkan karena hati merupakan organ terbesar yang sangat penting untuk pertahanan hidup dan berperan hampir dalam setiap fungsi metabolik tubuh. Fungsi hati antara lain untuk pembentukan dan ekskresi empedu, disamping menghasilkan energi dan tenaga, hati memiliki peranan penting pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, selain itu juga berperan dalam pertahanan tubuh, baik berupa detoksifikasi maupun fungsi perlindungan. Detoksifikasi dilakukan dengan berbagai proses yang dilakukan oleh enzim-enzim

(6)

di hati terhadap zat-zat beracun. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupffer yang berada dalam dinding sinusoid (Price & Wilson 2006). Dengan adanya enzim-enzim antioksidan dan sel kupffer serta antioksidan dari luar tubuh, membuat hati mampu menurunkan kadar malondialdehida dan mempertahankan enzim antioksidan dalam hati.

Aktivitas SOD (U/g) bervariasi pada beberapa organ tikus, terdapat dalam jumlah tertinggi dalam hati, kemudian berturut-turut dalam kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, lambung usus, ovarium, timus dan lemak (Chow 1988; Kartikawati 1999). Sebaliknya pada ginjal menunjukkan pemakaian enzim SOD yang tinggi bila dibandingkan dengan pemakaian pada hati yang ditunjukkan dengan rendahnya aktivitas enzim tersebut. Hal ini disebabkan karena ginjal merupakan suatu sistem filtrasi alami tubuh yang mempunyai beberapa fungsi utama yaitu menyaring produk hasil metabolisme yang tidak berguna bagi tubuh, menjaga keseimbangan cairan tubuh dan mempertahankan pH cairan tubuh. Dalam menjalankan fungsinya banyak kondisi yang dapat mempengaruhi fungsi kerja ginjal baik secara akut maupun secara kronis (Wahyuningsih & Bijanti 2006).

Ginjal merupakan organ yang kompak, terikat pada dinding dorsal dan terletak retroperitoneal. Ginjal menghasilkan urine yang merupakan jalur utama ekskresi toksikan, mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan pada filtrat, dan membawa toksikan melalui sel tubulus, serta mengaktifkan toksikan tertentu. Akibatnya ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik (Lu 1995; Santoso 2006). Karena fungsinya yang begitu berat, sehingga penggunaan enzim antioksidan intraseluler pun semakin banyak, yang mengakibatkan aktivitas enzim tersebut makin berkurang.

Pengukuran Hematologi

Darah vertebrata merupakan suatu jaringan ikat yang terdiri atas beberapa jenis sel yang tersuspensi dalam suatu matriks cairan yang disebut plasma. Dalam plasma terdapat sel darah merah yang mengangkut oksigen dan sel darah putih yang berfungsi dalam pertahanan tubuh. Sistem sirkulasi merupakan sistem transpor yang mengantarkan O2 dan berbagai zat yang diabsorbsi dari traktus

(7)

gastrointestinal menuju ke jaringan, serta mengembalikan CO2 ke paru-paru dan

hasilmetabolisme lain menuju ke ginjal.

1. Pengukuran Butir Darah Merah (BDM)

Hasil pengukuran butir darah merah dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah BDM tertinggi adalah kelompok yang dipapar asap rokok (P2) dan terendah terlihat pada kelompok kontrol (P0). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dipapar asap rokok (P2) berpengaruh nyata terhadap jumlah BDM tikus (p<0,05) (Lampiran 8). Lebih lanjut terlihat bahwa pemaparan asap rokok mempengaruhi jumlah BDM pada semua kelompok yang terpapar asap rokok (P2, P3 dan P4) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P0 dan P1). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin C belum mampu menurunkan jumlah BDM seperti keadaan normal.

6,32 6,78 8,68 7,38 7,73 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ju m lah (Ju ta /m m 3 ) P0 P1 P2 P3 P4 Perlakuan a b c bc ab

Gambar 11 Jumlah butir darah merah pada semua kelompok perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok hewan yang mendapat perlakuan pemaparan asap rokok (P2) memiliki jumlah BDM yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Peningkatan BDM pada kelompok P2 ini

(8)

menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok dapat meningkatkan BDM dan ini mengindikasikan bahwa terjadinya stres lingkungan.

Pemaparan asap rokok dengan dosis empat batang rokok per enam puluh menit per hari pada hewan percobaan kelompok (P2) menunjukkan kondisi stres, hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah BDM kelompok tersebut memberikan nilai yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan kelompok (P0). Lebih lanjut terlihat bahwa pemaparan asap rokok dapat mempengaruhi jumlah BDM yang ada dalam tubuh, hal ini terlihat pada kelompok (P4). Namun demikian pemberian vitamin C ini belum mampu menurunkan jumlah BDM mendekati kelompok (P0 dan P1).

Sel darah merah (eritrosit) mempunyai fungsi utama adalah untuk mentranspor hemoglobin, selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan. Pada keadaan yang menyebabkan jumlah oksigen yang ditranspor ke jaringan berkurang misalnya dengan pemberian asap rokok maka pembentukan sel darah merah juga semakin meningkat sehingga proses pengambilan oksigen juga semakin banyak. Produksi sel darah merah dikontrol oleh mekanisme umpan balik negatif yang sensitif terhadap jumlah oksigen yang mencapai jaringan melalui darah. Retikulosit merupakan indikator dari sel darah merah yang mengalami lisis, terbentuknya retikulosit mengindikasikan bahwa tubuh harus membentuk butir darah merah yang baru.

2. Jumlah Butir Darah Putih (BDP)

Hasil pengukuran BDP dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 11 dan menunjukkan rata-rata jumlah BDP tertinggi adalah kelompok yang dipapar asap rokok (P2) dan terendah terlihat pada kelompok kontrol (P0). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok (P2) berpengaruh nyata terhadap jumlah BDP dibandingkan dengan kelompok lain (p<0,05) (Lampiran 8). Meningkatnya BDP pada kelompok P2 dapat dimengerti karena kelompok ini mengalami pemaparan asap rokok selama tiga puluh hari. Asap rokok yang terhirup oleh hewan coba akan masuk saluran pencernaan bersama mengalirnya asap rokok, tar yang merupakan hasil dari pembakaran rokok akan terbawa masuk dan akan melapisi dinding alveoli di dalam paru-paru. Peningkatan tar di dalam

(9)

saluran pernapasan ini diduga memicu pembentukan BDP yang akan berfungsi untuk menghilangkan tar tersebut.

11,11 14,70 18,49 12,51 14,03 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Ju m lah ( R ib u /m m 3 ) P0 P1 P2 P3 P4 Perlakuan c a b ab b

Gambar 12 Jumlah butir darah putih pada semua kelompok perlakuan.

Pada kelompok hewan yang dipapar asap rokok dan diberi vitamin C, terlihat bahwa jumlah BDP lebih rendah bila dibandingkan kelompok P2. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin C dapat berfungsi juga dalam meniadakan pemicu peningkatan BDP sebagai akibat pemaparan rokok.

3. Jumlah Hemoglobin (Hb)

Hasil pengukuran Hb dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 12 dan menunjukkan rata-rata jumlah Hb tertinggi terlihat pada kelompok kontrol (P0) dan terendah terlihat pada kelompok yang dipapar asap rokok (P2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok hewan yang mendapat perlakuan pemaparan asap rokok (P2, P3 dan P4) memiliki jumlah Hb yang rendah bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P0 dan P1). Namun demikian pada kelompok terpapar asap rokok dan diberi vitamin C terlihat memiliki nilai Hb yang lebih besar dari kelompok terpapar tanpa pemberian vitamin C. Walaupun tidak memberikan beda nyata secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin C memiliki kecendrungan dapat mempertahankan homeostatis tubuh dalam mengatasi ketidaknyamanan akibat pemaparan asap rokok. Namun demikian upaya tersebut belum maksimal seperti pada kelompok kontrol.

(10)

18,56 16,57 13,39 14,85 13,80 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 c bc g % ) ab a a Jum lah ( P0 P1 P2 P3 P4 Perlakuan

Gambar 13 Jumlah hemoglobin pada semua kelompok perlakuan.

Hemoglobin bertugas mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, yang kemudian beredar dalam tubuh untuk mencukupi keperluan oksigen tubuh. Pengikatan hemoglobin terhadap oksigen dapat dipengaruhi oleh PH, suhu, konsentrasi fosfogliserat dalam sel darah merah dan H+. Dalam hal ini H+ akan berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin tanpa Oksigen (hemoglobin terdeoksi), sehingga menurunkan afinitas hemoglobin terhadap O2 dengan menggeser posisi empat rantai peptida. Apabila darah terpajan

pada aneka macam obat dan agen-agen pengoksidasi lain, baik in vitro atau in vivo maka besi ferro (Fe2+) dalam molekul tersebut dikonversi menjadi besi ferri (Fe3+) membentuk methemoglobin. Methemoglobin berwarna tua dan kalau jumlahnya besar dalam sirkulasi, methemoglobin menyebabkan perubahan warna kehitaman pada kulit. Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk karbon monoksihemoglobin. Afinitas hemoglobin untuk O2 jauh lebih

rendah dari pada afinitasnya dengan CO2 sehingga dapat menurunkan kapasitas

darah sebagai pengangkut O2. Dengan pemberian vitamin C dapat membantu

pelepasan Fe2+ dari ferritin (Fe3+) (Ganong 2001).

4. Jumlah Hematokrit (PCV)

Hasil pengukuran PCV dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 13 dan menunjukkan rata-rata jumlah PCV tertinggi terlihat pada kelompok yang dipapar asap rokok (P2) dan terendah terlihat pada kelompok

(11)

kontrol (P0). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dipapar asap rokok (P2) berpengaruh nyata terhadap kelompok kontrol (P0 dan P1) serta kelompok terpapar asap rokok yang diberi vitamin C (p<0,05) (Lampiran 8).

39,1 39,65 51,13 43,3 44,52 0 10 30 40 50 60 20 Ju m lah ( % ) P0 P1 P2 P3 P4 Perlakuan a a c b b

Gambar 14 Jumlah hematokrit pada semua kelompok perlakuan.

Hematokrit darah merupakan persentase darah yang berupa sel. Makin besar persentase sel dalam darah, maka makin besar hamatokritnya sehingga makin banyak pergeseran diantara lapisan-lapisan darah dan pergeseran inilah yang menentukan viskositas. Viskositas dalam darah akan meningkat ketika hemotokrit meningkat yang mengakibatkan aliran darah melalui pembuluh sangat lambat (Guyton 1996).

Pola dan nilai yang didapat dari penelitian ini terlihat sejalan dengan peningkatan BDM. Pemaparan asap rokok akan meningkatkan jumlah BDM sehingga nilai PCV juga meningkat. Hadirnya vitamin C ternyata tidak menimbulkan perangsangan pembentukan BDM sebesar kelompok P2 sehingga vitamin C diduga dapat membantu menjaga komponen darah tetap dalam keadaan normal akibat pemaparan asap rokok.

Referensi

Dokumen terkait

Pihak pertama adalah pemegang kontrak Pekerjaan Sodetan penghela bendung karet saluran primer grogol kecamatan Kapetakan,, Kabupaten Cirebon dengan alat kerja

Ayat 3 Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan

Analisis Multivariat Ukuran Tubuh Sebagai penduga Hubungan Kekerabatan subpopulasi sapi pesisir Di sumatera

Permasalah tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang sama yaitu Arbian (2017) hasil dari penelitian tersebut adalah sistem ini dapat menyelesaikan

Pegadaian (Persero) Cabang Syariah kota Palembang, sedangkan jumlah nasabah dan tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah Pembiayaan pada PT..

REKAPITULASI RENCANA ANGGARAN BIAYA PEMASANGANG KAPASITOR BANK.. Pekerjaan : Pemasangan 1 unit