KONDISI PETERNAKAN KERBAU DI DESA TAMBAKBOYO
KECAMATAN AMBARAWA, KABUPATEN SEMARANG
(Buffalo Livestock Conditions in the Village of Tambakboyo Ambarawa
Sub district, Semarang District)
ISNANI HERIANTI,M.D.M.PAWARTI danS.KARYANINGSIHBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, PO Box 101, Ungaran 50501
ABSTRACT
Research on buffalo have been conducted in the District of Ambarawa, at the Village Tambakboyo with the purpose of reviewing the status of buffalo farms which have traditionally raised. The information submitted under the buffalo population survey results, production performance measurements such as body length, shoulder height and chest circumference were used to identify the quality of buffalo. Calculation of buffalo’s body score was also made. The results show that the buffalo population increased by nearly 6 times in the period 2005 to 2009. Adult buffalo production performance in Tambakboyo meet the standard of the criteria as breeding stocks with average 126.0 ± 5,1640 cm of shoulders height with body condition score of 6.21 ± 0,5882 wasconsidered in the good-criteria. Directorate General of Livestock services using 120 cm shoulders height as a standard of breeding stocks. Buffalo population structure in the ratio of male and female individuals was 0.14, and average annual calving rate (41.6%).
Key Words: Buffalo, Body Characteristic
ABSTRAK
Penelitian mengenai kondisi peternakan kerbau telah dilakukan di Kecamatan Ambarawa, tepatnya di Desa Tambakboyo. dengan tujuan menelaah status peternakan kerbau yang dipelihara secara tradisional. Data dikumpulkan melalui survei populasi kerbau, dan karekteristik tubuh yakni panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada untuk mengetahui kualitas bibit kerbau. Selain itu juga dilakukan penghitungan nilai kondisi tubuh kerbau. Hasilnya menunjukkan bahwa populasi kerbau meningkat hampir 6 kali lipat dalam kurun waktu 2005 – 2009. Performan produksi kerbau dewasa di Tambakboyo memenuhi kriteria sedang-baik sebagai bibit dengan rata – rata tinggi pundak 126,0 ± 5,1640 cm dengan skor kondisi tubuh 6,21± 0,5882. Direktorat Jenderal Peternakan menggunakan parameter tinggi pundak 120 cm sebagai standar bibit. Dari identifikasi jenis kelamin diketahui rasio jantan terhadap betina sebesar 0,14, dan rata-rata angka kelahiran 41,6%.
Kata Kunci: Kerbau, Karakteristik Tubuh
PENDAHULUAN
Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan ternak ruminansia besar penting selain sapi yang menghasilkan daging dan susu. Akan tetapi potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Kerbau mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan sapi karena mampu hidup di kawasan yang relatif sulit, lebih-lebih bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah. Kemampuan mencerna pakan hijauan relatif
dengan sifat-sifat biologisnya mengakibatkan produktivitas kerbau lebih rendah ketimbang sapi. Selain itu, pada umumnya kerbau dipelihara secara lebih tradisional. Kurangnya pejantan karena banyaknya pemotongan kerbau jantan juga menjadi penyebab rendahnya produktivitas kerbau. Terjadinya inbreeding menurunkan kualitas yang berakibat penurunan produktivitas kerbau sementara teknologi Inseminasi Buatan (IB) belum banyak digunakan oleh peternak kerbau.
183 selama kurun waktu 2003 – 2007 dengan
rata-rata penurunan per tahun sebesar 6,95%, dari 144.384 ekor menjadi 109.004 ekor (PEM. PROVINSI JAWA TENGAH, 2008). Meningkatnya alih fungsi lahan pertanian yang semula membutuhkan kerbau sebagai tenaga kerja untuk olah tanah dan lahan penggembalaan (sebagai sumber pakan) ke fungsi yang lain (seperti perumahan), modernisasi alat pertanian (penggunaan traktor/jentera) serta rendahnya preferensi masyarakat terhadap daging kerbau merupakan kendala bagi pengembangan populasi kerbau. Sedikitnya pemerhati ternak kerbau mengakibatkan kurangnya penelitian terhadap kerbau. Bahkan pencanangan program swasembada daging sapi (PSDS) dalam upaya pencapaian kebutuhan daging nasional mengakibatkan komoditas kerbau semakin terpinggirkan.
Kabupaten Semarang mempunyai populasi kerbau ke-5 terbesar di Jawa Tengah setelah Brebes, Magelang, Pekalongan dan Pemalang. Desa Tambakboyo merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang, lokasi penelitian ini dilakukan. Hasil identifikasi dan seleksi oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Semarang terhadap performan kerbau ditetapkan bahwa kerbau – kerbau di lokasi tersebut memiliki kualitas yang cukup bagus antara lain terdapat beberapa induk produktif dengan keturunan yang baik serta memiliki lahan untuk penggembalaan yang cukup memadai. Berdasarkan hasil tersebut maka beberapa kerbau asal Desa Tambakboyo diikutkan dalam kontes performan kerbau di Brebes bulan Nopember 2009 lalu dan berhasil menang sebagai juara pertama. Penelitian ini bertujuan menelaah kondisi peternakan kerbau di Desa Tambakboyo Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang.
MATERI DAN METODE
Studi dilakukan dengan metode survei
terhadap peternak kerbau di Desa
Tambakboyo. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap 11 orang petani/peternak kerbau (dari 16 orang peternak kerbau yang ada di Tambakboyo) serta pengukuran beberapa parameter performan dari
24 ekor kerbau, yakni panjang badan (PB) dan tinggi pundak (TPu) serta lingkar dada (LD). Kondisi tubuh dianalisis dengan penerapan skala 1 – 9 yang menggambarkan kurus
gemuknya ternak berdasarkan metoda HERD
dan SPROTT (1986) yang disitasi oleh
PRAHARANI dan TRIWULANINGSIH (2008),
sebagai berikut: 1 (amat kurus sekali), 2 (kurus sekali), 3 (kurus), 4 (kurus terlihat perdagingan), 5 (sedang), 6 (sedang baik), 7 (baik), 8 (gemuk), 9 (terlalu gemuk). Angka kelahiran (AK) dihitung mengikuti cara PETHERAM et al. (1982) berdasarkan jumlah kerbau betina yang berumur ≥ 4 tahun (B) dan jumlah anak yang dilahirkan berdasarkan data beranak selama 2 tahun terakhir (C).
AK%= C B 2 X 100
Sementara itu, data sekunder berupa data statistik peternakan digunakan sebagai informasi pendukung.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran populasi, fungsi dan peran kerbau
Kecamatan Ambarawa terdiri dari 16 desa. Ternak kerbau di Ambarawa tersebar di 9 desa yakni Ngampin, Pojoksari, Bejalen, Tambakboyo, Kupang, Lodoyong, Baran, Pasekan dan Milir. Berdasarkan data sekunder diperoleh gambaran sebaran populasi kerbau di tiap desa (Tabel 1).
Mencermati Tabel 1, terlihat bahwa populasi kerbau di Kecamatan Ambarawa dalam kurun waktu 2005 – 2007 mengalami penurunan dan terjadi di hampir semua desa kecuali Tambakboyo dan Bejalen. Keadaan ini mengindikasikan bahwa preferensi masyarakat desa tersebut terhadap kerbau cukup baik. Fungsi dan peran kerbau di Desa Tambakboyo utamanya sebagai ternak kerja untuk mengolah tanah selain sebagai sumber pendapatan (disewakan), sumber pupuk dan sebagai tabungan keluarga. Pola kepemilikannya berskala kecil berkaitan dengan usahatani tanaman pangan yang menjadi mata pencaharian pokok petani/peternak, rata-rata 4,8 ekor per KK.
popu las i k erbau d i D esa T am bakboyo, Kecam atan Am barawa da lam kuru n w aktu 2005 – 2008 T ahun 2005 T ahun 2006 T ahun 2007 T ahun 2008 Luas lahan sawah (ha) Populasi k erb au (ekor) Luas lahan sawah (ha) Populasi k erb au (ekor) Luas lahan sawah (ha) Populasi k erb au (ekor) Luas lahan sawah (ha) Populasi k erb (ekor) 153,77 15 153,77 13 153,77 8 143,20 -146,98 9 146,98 9 146,98 4 146,98 -81,68 22 81,68 24 81,68 26 81,68 -1 19,49 13 1 19,49 15 1 19,49 28 87,9 -96,00 28 96,00 26 96,00 22 96,00 -57,00 4 57,00 4 57,00 2 56,90 -169,35 13 169,35 1 1 169,35 12 169,30 -130,1 1 2 130,1 1 0 130,1 1 0 130,10 -210,84 13 210,84 10 210,84 0 210,84 -1.941,56 1 1 9 1 .941,56 1 1 2 1.941,56 102 1.898,69 -data (B PS Kabupaten Semarang, 2005 – 2008) .
185
Manajemen pemeliharaan dan penampilan produksi
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penampilan ternak di lokasi penelitian dapat dikatagorikan cukup bagus dan terpelihara. Pakan yang diberikan untuk kerbau berupa limbah pertanian utamanya jerami padi 30 – 40 kg per hari atau bahkan diberikan secara
adlibitum karena tersedia jerami yang
melimpah, dan hijauan pada saat kerbau digembalakan. Penggembalaan dilakukan setiap hari sekali, pada pagi atau sore hari (selama 1 – 2 jam) sekitar jam 10.00 WIB atau 15.00 WIB, bahkan ada yang menggembalakan dua kali sehari. Umumnya kerbau digembalakan secara berpindah – pindah di lahan sawah yang telah dipanen sebelum tanam kembali atau di lahan kosong seluas lebih dari 5 ha, merupakan bekas petenakan ayam yang digusur karena mengganggu lingkungan. Kerbau dikandangkan di dekat rumah pemiliknya, tetapi ada beberapa yang tidak dikandangkan, hanya diikat di bawah rumpun bambu atau pepohonan. Gambar 1 dan 2 menyajikan kondisi perkandangan dan tandon pakan bagi kerbau peliharaan di Desa Tambakboyo
Hasil skoring terhadap kondisi tubuh sesuai skala yang ditetapkan memberikan nilai 6,21 ± 0,59 yang menunjukkan bahwa rata-rata kerbau di Desa Tambakboyo termasuk dalam kriteria sedang – baik, meski proporsi pakan yang diberikan lebih banyak jerami. Menurut REKSOHADIPRODJO (1995), kerbau lebih menerima semua jenis pakan kasar karena cairan rumennya memungkinkan mikrobia berkembang dan mengadakan aktivitas lebih cepat untuk kemudian mengubahnya menjadi produk ternak. Pengukuran yang dilakukan terhadap kerbau dewasa di lokasi penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi pundak (TPu) 126,0 ± 5,16 cm, panjang badan (PB) 118,9 ± 5,02 cm dan lingkar dada (LD) 196,8 ± 9,15 cm. Tabel 2 menampilkan data pengukuran parameter produksi kerbau di Desa Tambakboyo.
Menurut PRAHARANI dan TRIWULANNINGSIH (2008) bahwa rata-rata ukuran tubuh ternak di suatu daerah
mengindikasikan kualitas bibit yang tersedia yang dapat digunakan sebagai dasar ukuran standar bibit di wilayah tersebut. Kerbau yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar mencerminkan pertumbuhan yang lebih baik pada umur yang sama. Sementara ukuran statistik vital kerbau sebagai acuan standar utama yang diterbitkan oleh Ditjen Peternakan tahun 2006 menggunakan parameter TPu 120
cm (PRAHARANI dan TRIWULANNINGSIH,
2008).
Gambar 1. Kondisi perkandangan kerbau di Desa
Tambakboyo
Gambar 2. Tandon pakan kerbau dan lahan
l2 . R ata-rata ukur an tubuh kerbau d i D esa T ambakbo y o ternak Jumlah (ekor) T inggi pundak (c m) Panjang b adan (cm) Lingkar d ad a (c m ) 6 R ata-r ata 85,8 ± 1 8 ,0157 75,8 ± 1 6 ,2039 1 17,2 ± 31,2309 Maks 106 99 144 Min 57 50 94 5 R ata-r ata 1 18,6 ± 4 ,8271 108,6 ± 6 ,4653 182,0 ± 18,0553 Maks 123 1 1 5 198 Min 1 1 1 98 156 10 Rata-rata 126,0 ± 5 ,1640 1 18,9 ± 5,021 1 196,8 ± 9,1506 Maks 135 126 214 Min 1 1 9 1 10 186 a 3 Rata-r ata 127,7 ± 0 ,5774 124,0 ± 1 ,7321 200,0 ± 7 ,2 1 1 1 Maks 128 126 206 Min 127 123 192 ta l 2 4
187
Struktur populasi dan reproduksi
Dalam upaya pengembangan populasi di Desa Tambakboyo, pada tahun 2008 Pem. Prop. Jawa Tengah memberikan bantuan (gaduhan) kerbau sebanyak 25 ekor yang terdiri dari 20 betina dan 5 pejantan. Dengan bantuan tersebut peternak yang semula berjumlah 12 orang menjadi 16 orang. Berdasarkan survei yang dilakukan, diketahui bahwa populasi kerbau di Desa Tambakboyo tahun 2009 berjumlah 76 ekor yang terdiri dari 18 ekor kerbau jantan dan 58 ekor betina dengan struktur populasi seperti ditampilkan dalam Tabel 3.
Sex ratio kerbau dewasa yang ada di Desa
Tambakboyo adalah 0,14 yang artinya ketersediaan kerbau pejantan cukup untuk kerbau betina dalam populasi tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah menghindari terjadinya kawin sedarah. Masyarakat di Desa Tambakboyo memang membatasi jumlah kerbau jantan karena dianggapnya nakal. Ketika sedang birahi kerbau jantan sangat
agresif cenderung liar dan sulit dikendalikan, seringkali merusak tanaman disekitarnya serta tidak mau pulang ke rumah pemiliknya sehingga cukup merepotkan peternak. Oleh karena itu kebanyakan peternak menjual kerbau jantan miliknya ketika kerbau masih memiliki potensi untuk berkembang biak. Kerbau pejantan di lokasi tersebut berumur antara 4 – 5 tahun.
Keberhasilan pemeliharaan ternak berkaitan dengan reproduksinya terukur dari kemampuannya untuk menghasilkan anak dalam periode tertentu, artinya semakin pendek jarak beranak performan reproduksinya semakin baik. Peternak di Desa Tambakboyo cukup paham mengenai reproduksi kerbau. Tabel 3 menampilkan parameter reproduksi kerbau di lokasi penelitian. Perkawinan kerbau berlangsung secara alami, dan peternak tidak membatasi perkawinan ternak kerbau miliknya sehingga dapat terjadi inbreeding. Pengafkiran kerbau betina yang dipelihara tidak pernah dilakukan. Betina induk ada yang berusia 11 tahun dan telah beranak 7 kali.
Tabel 3. Struktur populasi kerbau di Desa Tambakboyo tahun 2009
Jenis kelamin Anak Muda Dewasa Tua Jumlah (ekor) Total (ekor) ≤ 1 tahun > 1 – 3 tahun > 3 – 9 tahun > 9 tahun
Betina 3 26 21 8 58
Jantan 13 2 3 0 18
Sex ratio 4,33 0,08 0,14 0 0,31
Jumlah 16 28 24 8 76
Tabel 3. Parameter reproduksi kerbau di Desa Tambakboyo, Kecamatan Ambarawa
Parameter Keterangan Birahi pertama betina 2 tahun
Birahi pertama jantan 2 – 2,5 tahun Umur betina pertama kali
dikawinkan 2 tahun Umur jantan pertama kali
dikawinkan 2 – 2,5 tahun Umur pertama beranak 3 – 3,5 tahun Lama bunting 11 bulan Jarak beranak 12 – 15 bulan Bobot badan lahir 20 – 30 kg
Di Desa Tambakboyo tidak pernah dilakukan teknologi IB dalam reproduksi
kerbau sedangkan menurut TRIWULANINGSIH
(2008) bahwa IB dan INKA (intensifikasi kawin alam) merupakan teknologi yang paling tepat untuk saat ini bagi pengembangan ternak kerbau pada peternakan rakyat secara tradisional. Selain untuk meningkatkan mutu genetik juga merupakan upaya untuk menghindari terjadinya inbreeding.
Peternak tidak melakukan penyapihan terhadap anak-anak kerbau, bahkan kadang masih menyusui ketika si induk dalam kondisi telah bunting. Dari hasil wawancara umumnya kerbau beranak 1 tahun sekali, biasanya pada
bulan Agustus. Hasil analisis menunjukkan angka kelahiran yang relatif tinggi yakni 41,6%. Kondisi ini diduga karena manajemen pemeliharaan yang baik, pemberian pakan yang cukup serta pemberian kesempatan berkubang sehingga megoptimalkan metabolisme dalam tubuh kerbau peliharaan (ZULBARDI dan KUSUMANINGRUM, 2005). DANIA dan POERWOTO (2006) menyatakan bahwa kerbau memerlukan berendam atau berkubang untuk membantu termoregulasi agar fisiologi tubuhnya dapat berjalan secara normal.
Penerapan teknologi pakan dengan memanfaatkan bahan pakan lokal perlu dilakukan untuk lebih meningkatkan produktivitas kerbau di wilayah ini selain
penerapan IB. Menurut SURYANA (2007) untuk
meningkatkan populasi, reproduksi dan produktivitas kerbau perlu dilakukan perbaikan mutu genetik dengan penerapan IB, perbaikan mutu pakan, membatasi pemotongan kerbau produktif serta pengendalian penyakit.
KESIMPULAN
Hasil penelitian mengenai kondisi peternakan kerbau di Desa Tambakboyo Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa populasi kerbau di lokasi tersebut meningkat meski telah terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi non pertanian. Kerbau dewasa memenuhi kriteria cukup baik sebagai bibit dengan penampilan kondisi tubuh sedang–baik menuju baik, dan angka kelahiran yang relatif tinggi. Dalam upaya meningkatkan produktivitas kerbau di tingkat peternak disarankan menerapkan teknologi pakan dan IB untuk menghindari inbreeding sehingga populasi kerbau di Desa Tambakboyo lebih berkembang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Anjarningsih, S.Pt. (PPL Kecamatan Ambarawa) yang banyak
membantu dalam pengumpulan data dan informasi serta sensus ternak di lokasi penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
BPS KABUPATEN SEMARANG. 2008. Ambarawa Dalam Angka. Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang
DANIA, I.B. dan H. POERWOTO. 2006. Pertumbuhan
berat badan, laju pertumbuhan dan konversi pakan kerbau jantan akibat pemberian kesempatan berkubang dan jerami padi amoniasi. Pros. Lokakarya Nasional. Usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor, hlm. 99 – 102 PEM.PROP.JATENG. 2008. Statistik Peternakan Jawa
Tengah. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah PETHERAM, R.J., C. LIEM, Y. PRIYATMAN dan
MATHURIDI. 1982. Studi kesuburan kerbau di
pedesaan Kabupaten Serang, Jawa Barat. Laporan No. 1. Balitnak, Ciawi, Bogor
PRAHARANI, L. dan E. TRIWULANINGSIH. 2008. Karakterisasi bibit kerbau pada agroekosistem dataran tinggi. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional. Usaha ternak kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor, hlm.113 – 123
REKSOHADIPRODJO, S. 1995. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE, Yogyakarta.
SURYANA. 2007. Usaha pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. J. Litbang Pertanian. 26(4):
TRIWULANNINGSIH,E. 2008. Inovasi teknologi untuk
mendukung pengembangan ternak kerbau. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional. Usaha Ternak Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbangnak, Bogor, hlm.16 – 24
ZULBARDI, M. dan D.A. KUSUMANINGRUM. 2005. Penampilan produksi ternak kerbau lumpur (Bubalus bubalus) di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor, hlm.