• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum, besar artinya bagi pengembangan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang diharapkan mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan setinggi-tingginya. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat tersebut. Rumah sakit sebagai salah satu upaya peningkatan kesehatan tidak hanya terdiri dari balai pengobatan dan tempat praktik dokter saja, tetapi juga ditunjang oleh unit-unit lainnya, seperti ruang operasi, laboratorium, farmasi, administrasi, dapur, laundry, pengolahan sampah dan limbah, serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (Djaja, 2006).

Rumah sakit sebagai sebuah institusi yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan kesehatan telah mengalami beberapa perubahan yang mendasar. Pada awal perkembangan rumah sakit adalah sebuah lembaga yang bersifat social. Tetapi dengan masuknya rumah sakit swasta serta pemodal baik yang berasal dari dalam negeri maupun asing, menjadikan rumah sakit lebih mengacu sebagai industri yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan kini berkembang di rumah sakit bukan saja menyangkut masalah bangunannya (seperti ruang, kompleksitas, jumlah unit), jumlah kualifikasi staf medis atau non medis, system keuangan serta sistem informasi, tetapi menyangkut pula pada kualitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan (Prihatini, 2008).

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam sehari. Rumah sakit membuat pemisahan terhadap pelayanan perawatan pasien yaitu pelayanan pasien yang memerlukan penanganan emergensi, tidak emergensi dan yang harus rawat inap. Di rumah sakit, sumber daya manusia terbanyak yang

(2)

berinteraksi secara langsung dengan pasien adalah perawat yang berjumlah 60%, sehingga kualitas pelayanan yang dilaksanakan oleh perawat dapat dinilai sebagai salah satu indikator baik atau buruknya kualitas pelayanan di rumah sakit (Prihatini, 2008). Perawat merupakan salah satu ujung tombak pelayanan kesehatan yang selalu ada di setiap rumah sakit. Dari beberapa komponen pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit, perawat adalah salah satu tenaga pelayanan kesehatan yang berinteraksi dengan pasien yang intensitasnya paling tinggi dibandingkan dengan komponen lainnya.

Perawat sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga dan masyarakat dituntut untuk memberi pelayanan dengan mutu yang baik. Untuk itu dibutuhkan kecekatan dan keterampilan serta kesiagaan setiap saat dari seorang perawat dalam menangani pasien, kondisi ini akan membuat seorang perawat akan lebih mudah mengalami stress, seperti yang disebutkan Hamid (dalam Djaja, 2006). Perawat dalam menjalankan profesinya sangat rawan terhadap stres, kondisi ini dipicu karena adanya tuntutan dari pihak organisasi dan interaksinya dengan pekerjaan yang sering mendatangkan konflik atas apa yang dilakukan. Nursalam (2002) mengatakan, beban kerja yang sering dilakukan oleh perawat bersifat fisik seperti mengangkat pasien, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur pasien, mendorong brankart, dan yang bersifat mental yaitu kompleksitas pekerjaan misalnya keterampilan, tanggung jawab terhadap kesembuhan, mengurus keluarga serta harus menjalin komunikasi dengan pasien.

Seorang perawat diharapkan bersikap penuh perhatian dan kasih sayang terhadap pasien maupun keluarga pasien dalam melaksanakan tugasnya, namun pada kenyataannya di masa sekarang ini masih banyak dijumpai keluhan masyarakat tentang buruknya kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang ditulis di berbagai media masa. Menurut Kariyoso (1994) di masa sekarang ini masih saja ada stigma yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa perawat merupakan sosok yang tidak ramah dan tidak bersikap hangat terhadap pasiennya. Tugas dan tanggung jawab perawat bukan hal yang ringan untuk dipikul. Hal inilah yang bisa menimbulkan stres kerja pada perawat. Stres yang dihadapi oleh perawat di dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang

(3)

diberikan kepada pasien. Stres kerja akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis dan sikap perawat (Robbins, 2004).

Dalam menjalankan profesinya perawat rawan terhadap stress. Berdasarkan survey di Perancis (dalam Frasser, seperti yang diungkap Prihatini, 2008) ditemukan bahwa persentase kejadian stress sekitar 74% dialami perawat. Sedangkan di Indonesia menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (seperti yang diungkap Prihatini, 2008), terdapat 50,9% perawat mengalami stress kerja. Hal ini terlihat dari banyaknya keluhan nyeri otot dan sendi, jantung berdebar, mudah marah, sulit berkonsentrasi, apatis, perasaan lelah, serta nafsu makan menurun.

Terdapat berbagai factor penyebab stress. Menurut Hurrel (dalam Munandar, 2006) factor-faktor pekerjaan yang dapat menimbulkan stress dikelompokkan dalam lima kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan serta struktur dan organisasi. Pertama, kategori faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan adalah fisik dan tugas, untuk fisik misalnya kebisingan, panas, sedangkan tugas mencakup beban kerja, kerja malam dan penghayatan dari resiko dan bahaya. Kedua, peran individu dalam organisasi artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan dengan peraturan yang ada. Ketiga, pengembangan karier merupakan pembangkit stress potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih atau promosi yang kurang. Keempat, hubungan dalam pekerjaan yang tidak baik terlihat dari kepercayaan yang rendah, minat yang rendah dalam pemecahan masalah organisasi. Sedangkan untuk yang ke lima yaitu struktur dan organisasi, kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan dalam organisasi.

Seperti halnya stress pada umumnya, stress pada perawat dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya beban kerja. Menurut Manuaba (dalam Djaja, 2006) beban kerja dapat berupa tuntutan tugas atau pekerjaan, organisasi dan lingkungan kerja. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Ilmi (dalam Djaja, 2006) bahwa terdapat lima besar urutan stressor perawat. Pertama dikarenakan beban kerja yang berlebihan 82,2%, pemberian upah yang tidak adil 57,9%, kondisi kerja

(4)

52,3%, beban kerja yang kurang 48,6%, dan tidak diikutkan dalam pengambilan keputusan 44,9%.

Tidak dipungkiri bahwa beban kerja yang menjadi tanggung jawab perawat mempunyai stressor tersendiri. Beban kerja tersebut semakin sering dikerjakan akan semakin ringan, sebaliknya jika tidak segera dikerjakan akan menumpuk dan hal tersebut yang akan menimbulkan stress bagi perawat. Perawat yang memiliki keterbatasan dalam melakukan suatu pekerjaan yang berat akan merasa kesulitan ketika harus menyelesaikan pekerjaan dalam satu waktu. Kesulitan yang perawat alami pada akhirnya nanti akan menjadi suatu beban kerja yang ia terima untuk segera diselesaikan. Namun, ketika ia sadar kalau beban kerjanya merupakan suatu tanggung jawab yang harus segera ia selesaikan maka ia tidak akan mengalami stress, sebaliknya ketika ia tidak mampu untuk menyelesaikan beban kerja yang menjadi tanggung jawabnya, hal demikian yang akan menimbulkan stress tersendiri karena perasaan terbebani terhadap suatu pekerjaan, tidak peduli pekerjaan tersebut jangka waktunya lama ataupun pendek (Munandar, 2006).

Selain beban kerja yang dihadapi oleh perawat, stressor lain yang juga berpengaruh terhadap kinerja perawat adalah ketika perawat itu harus menyesuiakan diri dengan kemauan dokter dalam menangani pasien. Terkadang dokter-dokter bekerja sesuai dengan jadwal yang tidak pasti yang dibuat atau disepakati di awal karena banyaknya pasien yang tidak hanya dari satu rumah sakit saja. Kesulitan yang dihadapi itu adalah mengikuti alur pemikiran yang dihadapinya dengan dokter, menyesuaikan resep obat, dan tata cara memberikan perlakuan terhadap pasien. Apa yang dipelajari oleh perawat biasanya tidak berbeda jauh dengan dokter, namun tata cara dalam melakukannya yang berbeda (Winarsih, 2008).

Pertemuan yang sering berganti-ganti dengan pasien dan keluarga pasien juga menjadi sebab sendiri pemicu adanya stress. Perawat harus beradaptasi dengan orang baru setiap harinya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Tidak mudah untuk dapat langsung berinteraksi dengan mereka, namun perawat harus melakukan itu untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada pasien. Menemui karakter pasien yang berbeda setiap harinya akan menjadi sulit ketika perawat tidak mampu untuk berkembang dan menempatkan diri dengan kondisi yang seperti itu. Adaptasi dengan orang-orang baru setiap harinya menjadi hal yang

(5)

penting untuk bisa dilakukan oleh perawat sebagai bagian dari pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh rumah sakit. Perawatlah yang nantinya akan focus dan maksimal dalam memberikan perawatan kepada pasien, dokter hanyalah sebagai perantara diagnosa yang nantinya akan ditreuskan oleh perawat mengenai bagaimana proses perawatan dan pemberian pengobatan yang sudah ditetapkan oleh dokter (Faizin, 2008).

Penelitian lain menunjukkan bahwa perawat yang bekerja dengan system shift merupakan sumber utama dari stress bagi para perawat (Monk & Tepas, dalam Munandar, 2006). Para perawat shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut dari pada perawat pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Pengaruhnya adalah emosional dan biologikal, karena gangguan ritme circadian dari tidur /daur keadaan bangun, pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin. Menurut Selye (seperti yang disebut Munandar, 2006) para pekerja yang biasa bekerja shift lama kelamaan akan merasa berkurang stresnya secara fisik.

Tingkatan stress yang dihadapi oleh perawat akan mempengaruhi kinerja dari perawat itu sendiri dalam melakukan pelayanan terhadap pasien, yang nantinya akan digunakan sebagai penentu keberhasilan akhir dari pelayanan yang diterima oleh pasien (Yuliastutik, 2007). Apabila perawat tidak mampu untuk melakukan coping terhadap stresnya, kinerja yang dihasilkan akan sangat mengecewakan pasien, pasien akan merasa sangat dirugikan karena perawat hanya melakukan tugasnya dengan seadanya tanpa ada rasa pelayanan yang tulus dengan pasien. Sebaliknya, apabila perawat mampu melakukan coping terhadap stresnya, kinerja yang dihasilkan akan sangat luar biasa maksimal, pasien tidak akan pernah merasa dikecewakan atau dirugikan oleh perawat, dan tidak menutup kemungkinan pasien akan nyaman karena pelayanan yang diberikan memuaskan dan menyembuhkan secara maksimal.

Berdasarkan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI, 2006) sebanyak 50,9 % perawat Indonesia yang bekerja mengalami stres kerja, sering merasa pusing, lelah, kurang ramah, kurang istirahat akibat beban kerja terlalu tinggi serta penghasilan yang tidak memadai. Sementara itu, Frasser (1997) menjelaskan bahwa 74 % perawat mengalami kejadian stres, yang mana sumber utamanya adalah lingkungan kerja yang menuntut kekuatan fisik dan

(6)

keterampilan, terutama perawat yang ditempatkan di Instalasi Gawat darurat yang merupakan unit penting dalam operasional suatu rumah sakit, yaitu sebagai pintu masuk bagi setiap pelayanan yang beroperasi selama 24 jam selain poliklinik umum dan spesialis yang hanya melayani pasien pada saat jam kerja. Sebagai ujung tombak dalam pelayanan keperawatan rumah sakit, IGD harus melayani semua kasus yang masuk ke rumah sakit. Dengan kompleksitas kerja yang sedemikian rupa, maka perawat yang bertugas di ruangan ini dituntut untuk memiliki kemampuan lebih di banding dengan perawat yang melayani pasien di ruang yang lain. Setiap perawat yang bertugas di ruang IGD wajib membekali diri dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, bahkan dianggap perlu mengikuti pelatihan-pelatihan yang menunjang kemampuan perawat dalam menangani pasien secara cepat dan tepat sesuai dengan kasus yang masuk ke IGD. Perawat juga dituntut untuk mampu bekerjasama dengan tim kesehatan lain serta dapat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga pasien yang berkaitan dengan kondisi kegawatan kasus di ruang tersebut, kebutuhan akan sarana dan peralatan yang menunjang pelayanan merupakan hal penting lain yang harus diperhatikan oleh penyelenggara rumah sakit (RSUD Kota Langsa, dalam Suhadi, 2009).

Suhadi (2009) juga mengungkapkan bahwa, di IGD RSUD Kota Langsa diketahui jika beban kerja sangat banyak karena perawat harus melaksnakan asuhan keperawatan kepada klien, harus melakukan pencatatan dan dokumentasi asuhan keperawatan klien, mengurus administrasi klien, membawa pasien untuk pemeriksaan laboratorium dan sebagainya. Perawat juga mengatakan bahwa shift malam juga menjadi masalah bagi perawat karena harus meninggalkan rumah dan keluarganya pada malam hari. Tingginya tuntutan akan penyelenggaraan pelayanan di ruang IGD sering memicu stres kerja pada karyawan/staf yang bertugas di ruang tersebut, kondisi ini juga dipicu oleh karena kurangnya perhatian dari pimpinan atau penyelenggara rumah sakit, sarana dan peralatan yang kurang mencukupi, keterbatasan bahan habis pakai, ketatnya peraturan dan jadwal shiff yang melelahkan, serta beban kerja yang berlebihan, ditambah dengan kurangnya tenaga perawat dalam mengantisipasi jumlah kunjungan pasien di ruang IGD, hal ini tergambar dari jumlah perawat yang bertugas di ruang IGD RSUD Kota Langsa 21 orang, dengan jumlah kunjungan 60 s/d 75 orang/hari. Hasil wawancara penulis

(7)

dengan beberapa pasien yang dirawat diketahui, dalam memberikan pelayanan kepada pasien perawat sering marah-marah, tidak sabar dalam melakukan tindakan keperawatan sehingga terkesan kasar, perawat terkesan tidak peduli, waktu perawat untuk bersenda gurau dengan sesama perawat lebih banyak daripada melakukan perawatan terhadap pasien. Kondisi ini mengharuskan perawat memahami strategi koping yang seimbang sesuai masalah yang dihadapi di tempat kerja.

Wongso (dalam Sari & Arrum, 2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat kelelahan emosional tipe kepribadian A dan tipe B tidak berbeda secara signifikan. Dalam penelitian beberapa perawat, bahwa tingkat stress kerja perawat dengan kategori tinggi sebesar 4,7%. Stressor pada perawat cukup bervariasi, stressor lima besarnya adalah beban kerja berlebih sebesar 82,2%, pemberian upah yang tidak adil 57,3%, beban kerja kurang 48,6%, tidak diikutkan dalam pengambilan keputusan 44,9%. Cara yang dipakai perawat dalam menghadapi stressornya adalah menggunakan refresing sebesar 95,3%, karena teknik tersebut mungkin lebih murah dan bisa dilakukan bersama keluarga. Kepribadian tipe A cenderung mengalami stress dibandingkan dengan tipe B, karena kepribadian tipe A sering merasa terburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran konsentrasi pada lebih satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas pada hidupnya. Oleh sebab itu orang-orang dengan tipe kepribadian A sering sekali mengalami stress pada setiap hal yang dilakukan.

Beberapa aspek kehidupan manusia dapat mengurangi potensi untuk berkembangnya stressor dan membantu individu mengatasi stress. Salah satunya adalah dengan berhumor. Prevensi tersebut merupakan penjagaan yang pertama terhadap stress. Usaha-usaha untuk menghindari kemunculan dan mengurangi dampak stress, antara lain dengan meningkatkan dukungan sosial, meningkatkan kontrol pribadi, mengatur kehidupan seseorang agar lebih baik. Pengolahan stress dengan fokus untuk pengurangan reaksi stress, diantaranya bisa dilakukan dengan menggunakan teknik relaksasi dan desentisisasi sistematis, biofeedback, modeling, restrukturisasi kognitif (Ellis), stress-inoculation training (Meichenbaum), terapi multi-modal, meditasi, hypnosis, yoga (dalam Smet, 1994), terapi tawa dan humor.

Humor dapat mengurangi stress dengan mengambil perubahan dalam bagian kognitif dan perubahan emosi yang mengikuti perubahan kognitif tersebut (Rathus,

(8)

2004 seperti yang disebut Rumondor, 2007). Menurut Allport, 1937 (seperti yang disebut Rumondor, 2007) humor memiliki hubungan dengan insight. Seseorang bisa melihat kembali masalah sederhana dan ketidakberuntungan melalui humor dan memperoleh perspektif baru hingga ia mampu untuk bisa mengendalikan dirinya lebih baik lagi dari pada sebelumnya. Ada aspek tertentu yang terkandung dalam humor. Humor berfungsi untuk mengurangi ketegangan antara individu dengan individu yang lain sehingga dalam melakukan interaksi tidak akan ditemukan suasana kaku. Selain itu, rasa humor yang kita miliki akan mengungkapkan perasaan kita terhadap orang lain. Dengan humor akan memunculkan suasana hangat sehingga dapat membuat orang lain nyaman (Rumondor, 2004).

Sekalipun selera humor memiliki dampak positif untuk menurunkan stress, namun kadang-kadang justru menimbulkan efek negatif, seperti konflik antar teman bila humor tidak tepat waktu, situasi, dan sasaran. Sejalan dengan literatur yang telah ada, selera humor dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kepekaan individu dalam menanggapi humor. Pada konteks akademik ataupun di dunia kerja selera humor dapat ditingkatkan dengan melihat film humor, membaca notes humor, saling melontarkan jokes pada teman, atau menonton TV yang menayangkan acara humor di waktu istirahat (Hartanti, 2008).

Humor merupakan salah satu cara yang digunakan perawat untuk meminimalisir kondisi kerja atau situasi kerja yang penuh dengan tekanan. Perawat yang humoris biasanya lebih bisa berinteraksi dengan pasien, karena pola komunikasi yang mereka lakukan adalah dengan santai dan bahasa yang digunakan adalah yang mudah dipahami sehingga pasien lebih mudah untuk bisa akrab dengan perawat. Humor yang dimunculkan tidak perlu yang aneh-aneh, dengan melihat keadaan di lingkungan sekitar saja sudah bisa digunakan sebagai cara untuk berhumor. Pasien datang dengan berbagai macam penyakit tentunya ia akan mempunyai ketakutan dan ketegangan dalam menghadapi penyakitnya. Humor berfungsi untuk meregangkan otot-otot yang kaku dan tegang. Dengan humor yang dilakukan oleh perawat misalnya, dengan mengobrol santai dan disertai dengan kata-kata humor pasien akan merasa aman dan sedikit terlupa dengan penyakitnya. Perawat bisa melakukan humor dengan pasien agar suasana menyenangkan dan

(9)

pasien merasa kalau penyakit yang dideritanaya akan sembuh, dengan kata lain humor dapat berfungsi sebagai penyembuhan kepada pasien (Rahmawati, 2004).

Humor memang menimbulkan refleks tertawa dan ternyata tertawa merupakan obat terbaik untuk melawan stress (Hodgkinson dalam Utomo, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Hasanat (seperti yang disebut Utomo 2007), senyum (bentuk tertawa yang ringan) yang digunakan sebagai materi utama dalam pelatihan ekspresi wajah, menunjukkan hasil yang positif mampu mengurangi tingkat depresi yang dialami subjek. Penelitian Yee dan Othman (dalam Utomo, 2007) juga menunjukkan bahwa humor akan mengurangi tekanan hidup karena depresi. Humor berkembang menjadi salah satu coping strategy yang unik bagi manusia untuk mengatasi stres. Maslow (dalam Utomo, 2007) menyatakan bahwa salah satu karakteristik self actualizing person adalah memiliki sense of humor. Humor merupakan mekanisme adaptif tingkat tinggi dan lambang maturitas, karena humor sering digunakan sebagai salah satu strategi menghadapi masalah (humor as a coping

strategy) (Martin dan Lefcourt, dalam Utomo, 2007).

Kecenderungan yang diakibatkan oleh adanya stress karena kurangnya pengolahan dan pengaturan stress yang di lakukan dalam menghadapi pekerjaan yang telah menjadi tanggung jawabnya adalah individu itu akan menarik diri dari lingkungan kerja saat ia merasa tidak aman berada dalam lingkungan kerja tersebut. Apabila tidak ada usaha untuk melakukan pendekatan dan mengasah sense of humor maka tidak menutup kemungkinan ia akan mengalami kelainan fisik yang ditimbulkan oleh stress itu sendiri, misalnya stroke, yang disebabkan oleh selalu merasa tertekan oleh suatu keadaan yang membuatnya berfikir dan merasa diasingkan oleh lingkungannya sendiri. Dengan kata lain tingginya tingkat sense of

humor berhubungan dengan rendahnya tingkat stress.

Oleh karena itu, sense of humor merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan karena bisa digunakan sebagai alat untuk menghilangkan perasaan tertekan yang tepat dan tentunya positif. Selain, sebagai terapi juga dapat digunakan untuk perantara menjalin komunikasi dengan lingkungan sekitar karena akan melakukan sebuah perbincangan santai yang terdapat humor tetapi tetap dalam taraf yang tidak menimbulkan stress dari dalam diri sehingga ia lebih siap untuk

(10)

melakukan pekerjaan yang telah menjadi tanggung jawabnya meskipun ia berada dalam kondisi yang tertekan.

Berdasarkan latar belakang, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan antara sense of humor dengan job stress pada Perawat”. Penelitian ini sangat relevan sebagaimana diketahui bahwa rumah sakit adalah suatu ruang yang memberikan pelayanan tidak hanya untuk kesembuhan dan menjaga pasien tetapi juga menjalin hubungan baik dengan keluarga pasien yang menunggu pasien selama dalam perawatan di Rumah Sakit. Selain itu juga membutuhkan perawatan yang intensif dan kontinu kepada pasien. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan tinggi dalam menangani situasi tersebut.

B. Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti adalah apakah ada hubungan antara sense of humor dengan job stress pada perawat?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sense of

humor dengan job stress pada perawat.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu psikologi khususnya dalam psikologi industri organisasi dan psikologi sosial. Memberikan kajian empiris mengenai sense of humor dalam kaitannya dengan stress kerja.

2. Manfaat Praktis

Sumber informasi bagi pengelola HRD Rumah Sakit untuk mengelola SDM Perawat agar bisa melakukan pekerjaannya tanpa beban dan tekanan. Membuka wacana baru bagi Rumah Sakit mengenai penangan stress yang dialami perawat selama ini.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini diajukan guna memenuhi syarat meraih gelar sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, dengan judul “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Anak

Rincian Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah.. Rincian Penerimaan Pembiayaan Daerah Rincian Pengeluaran

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

Setelah itu teller akan memanggil dan nasabah akan memberikan sejumlah uang dan buku tabungan untuk meminta pencetakan transaksi setor tunai ke bank..

terapi musik instrumental 82% depresi ringan, 18% depresi berat, 2) setelah melakukan terapi musik instrumental 88% tidak depresi dan 12% depresi ringan, 3) hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka akan dilakukan penelitian yang berjudul “Upaya meningkatkan minat dan hasil belajar matematika dengan model

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “ Aplikasi Nilai Akademik