Dare/Monyet Hitam Sulawesi (Macaca maura). Kamajaya Shagir.
Masih sangat banyak potensi fauna yang belum berhasil diidentifikasi dengan baik di kawasan Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung. Kegiatan eksplorasi, identifikasi dan
inventarisasi masih perlu lebih sering dilakukan, baik oleh pengelola, peneliti maupun pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Sampai dengan tahun 2015, pada kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung telah terdaftar sedikitnya 730 jenis satwa liar terdiri dari 33 jenis mamalia, 154 jenis burung, 30 jenis reptilia, 17 jenis amphibia, 23 jenis ikan, 41 jenis
gastropoda, 6 jenis oligochaeta, 26 jenis malacostraca, 14 jenis arachnida, 53 jenis entognatha, 2 jenis parainsecta dan 331 jenis insecta (240 jenis kupu-kupu/Papilionoidea yang telah
teidentifikasi sampai tingkat species). Diantaranya terdapat 52 jenis penting yang dilindungi undang-undang dan 364 jenis endemik Sulawesi.
Kelelawar adalah jenis penting yang karena kedudukannya dalam ekosistem, satwa ini digolongkan sebagai “Key stone species” (Primarck, 1993). Ia menjelaskan bahwa keluarga kelelawar terdiri dari hampir 200 jenis, dimana 25% diantaranya adalah genus Pteropus. Jenis-jenis dari genus ini mempunyai peranan yang penting, dan mungkin hanya mereka yang melakukan penyerbukan dan penyebaran biji dari kurang lebih 100 jenis tumbuhan di daerah tropis. Di samping itu, kelelawar membawa sisa-sisa makanan ke dalam gua yang sangat dibutuhkan oleh organisme penghuni gua lainnya.
Kuskus merupakan satu-satunya komponen mamalia Irian-Australia yang sebarannya sampai ke kawasan Sulawesi (batas bagian Barat). Wirawan (1993) menginformasikan bahwa Kuskus yang berada di Karaenta adalah jenis endemik Sulawesi, yakni Kuskus Sulawesi (Strigocuscus
celebencis )
dan Kuskus Beruang (
Ailurops ursinus
).
Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii) adalah satwa yang terdiri dari satu genera dengan satu species, dan merupakan satwa endemik Sulawesi. Wirawan (1993) melaporkan bahwa Mastura (1993) telah menemukan satwa ini di wilayah Karaenta. Panjang kepala dan badannya kira-kira 1 meter, dengan panjang ekor 0,6 meter. Bagian tubuh atas (punggung) berwarna coklat muda sampai coklat tua, bagian bawah putih dengan dada kemerah-merahan
dan bercak-bercak coklat di sisi kiri dan kanan badannya. Strip coklat dan coklat muda melingkari ekor. Musang ini memakan mamalia kecil dan buah-buahan.
Balao Cangke (Tarsius fuscus). Kamajaya Shagir
Di Sulawesi terdapat 11 jenis tarsius, yaitu T. tarsier, T. fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T.
dentatus, T. pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T. wallacei
dan 2 jenis yang diketahui dari jenis berbeda tetapi belum diberi nama (Groves dan Shekelle 2010).
Namun dalam perkembangannya, Groves dan Shekelle (2010) merevisi taksonomi genus tarsius dan mengklasifikasinya menjadi 3 genus, yaitu Tarsius, Chephalopacus dan Carlito sehingga hanya spesies yang berada di Pulau Sulawesi dan sekitarnya yang menjadi bagian dari genus Tarsius. Sementara, spesies yang berada di Kalimantan dan Sumatera, yaitu Tarsiu
s bancanus
menjadi bagian dari genus Chephalopacus dan namanya berganti menjadi
Chephalopacus bancanus
. Begitu juga dengan
Tarsius syrichta
yang berada di Filipina menjadi bagian dari genus Carlito dan berganti nama menjadi
Carlito syrichta
. Selain itu, Groves dan Shekelle (2010) juga membatasi penyebaran
Tarsius tarsier
. Pada awalnya T. tarsier menyebar dari kepulauan Selayar hingga Semenanjung Barat Daya Pulau Sulawesi, namun setelah revisi tersebut jenis ini hanya tersebar di Kepulauan Selayar. Sedangkan tarsius yang berada di Semenanjung Barat Daya Sulawesi kini disebut sebagai Tarsius fuscus
. Perubahan ini didasarkan pada perbedaan morfologi dan jumlah kromosom tiap jenis. Dalam beberapa eksplorasi antara tahun 2007 hingga 2011, jenis Tarsius fuscus banyak didokumentasikan dengan menggunakan kamera. Tim eksplorasi kawasan karst IPB untuk kelompok Mamalia yang dipimpin oleh A. Haris Mustari pada bulan Agustus 2007 untuk
pertama kali berhasil mendokumentasikan keberadaan
Tarsius fuscus
di dalam TN. Bantimurung Bulusaraung. Cahyo Alkantana dalam sebuah seminar kegiatan speleologi yang di selenggarakan oleh HIKESPI bekerja sama dengan Balai TN. Bantimurung Bulusaraung pada tanggal 16 Agustus 2007, menginformasikan bahwa menemukan
Tarsius fuscus
di kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung sangat mudah dan tidak sesulit di wilayah Sulawesi Utara dan Tengah.
Meskipun belum ada laporan tentang jenis tikus yang ada di wilayah TN. Bantimurung
Bulusaraung, namun Whitten et al (1987) menginformasikan adanya sebaran tikus yang cukup luas di Sulawesi. Ada 18 jenis tikus endemik di Sulawesi, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa ada diantara jenis-jenis tersebut yang juga hidup dalam wilayah TN. Bantimurung Bulusaraung.
Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix). Kamajaya Shagir.
Berbagai jenis burung dapat ditemukan di dalam kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung. Achmad (2000) pernah melaporkan jenis-jenis burung yang ada dalam kawasan TN.
Bantimurung Bulusaraung. Jenis-jenis yang ditemukan di kawasan ini antara lain Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix), Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus), Elang, Kutilang (P
ycnonotus aurigaster ), Kurcica ( Saxicola caprata ), Raja Udang ( Halcyon chloris ), Punai ( Treron sp.), Pelatuk ( Dendrocarpus teiminkii ), Srigunting ( Dicrurus hottentotus ), Walet ( Collocalia spp.), Burung hantu ( Otus manadensis
), Burung pipit 3 jenis (
dan Loncura vallida ), Burung tekukur ( Micropaga amboinensis ), Capili ( Turacaena manadensis
), Kakaktua Putih Jambul Kuning (
Cacatua sulphurea
), Kakaktua Hijau “Danga” (
Tanignatus sumatranus
), serta Ayam Hutan (
Ghallus gallus
).
Ular Kepala Dua (Cylindrophis melanotus). Kamajaya Shagir.
Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) “Phyton” HIMAKOVA Institut Pertanian Bogor melakukan survey keanekaragaman herpetofauna sebagai bagian dari program Konservasi Herpetofauna di TN. Bantimurung Bulusaraung. Survei ini dilakukan selama 2 bulan, yakni pada bulan Juli sampai Agustus 2007. Berdasarkan hasil survei ditemukan 37 jenis herpetofauna, yang terdiri dari 24 jenis reptil dan 13 jenis katak, termasuk 3 jenis yang belum teridentifikasi. Di antara jenis yang dijumpai, termasuk jenis-jenis endemik Sulawesi seperti Bufo celebensis dan
Rana celebensis
, serta reptil endemik seperti Ular Kepala Dua (
Cylindrophis melanotus
),
Calamaria muelleri
dan Cicak Hutan (
Cyrtodactylus jellesmae
). Kadal akuatik yang disebut Soa-soa (
Hydrosaurus amboinensis
) dapat dijumpai berjemur di batu-batu besar sepanjang sungai di Pattunuang. Di Bontosiri (Pegunungan Bulusaraung), katak jenis
Limnonectes modestus
meletakkan telurnya di daun-daun pada tumbuhan bawah sepanjang sungai, dan terkadang terdapat jantan yang sedang menjaga telurnya. Jenis lain yang dapat dijumpai adalah kadal terbang (
sp.).
Graphium androcles. Saiful Bachri.
Mattimu (1977) melaporkan bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia temukan di hutan wisata Bantimurung, dengan jenis endemik antara lain adalah : Papilio blumei, P. polites, P.sataspes,
Troides haliphron, T. helena, T. hypolitus,
dan
Graphium androcles
. Achmad (1998) telah meneliti secara khusus habitat dan pola sebaran kupu-kupu jenis komersil di hutan wisata Bantimurung selama satu tahun. Ia juga menginformasikan bahwa kupu-kupu
Troides haliphron
dan
Papilio blumei
adalah dua jenis endemik yang mempunyai sebaran yang sangat sempit, yakni hanya pada habitat berhutan di pinggiran sungai. Sementara itu, pada Tahun 2010 - 2015 Balai TN.
Bantimurung Bulusaraung telah berhasil mengidentifikasi 240 jenis kupu-kupu (Papilionoidea) yang tersebar di beberapa lokasi di TN. Bantimurung Bulusaraung.
TN. Bantimurung Bulusaraung dikenal ke segala penjuru dunia dengan potensi Kupu-kupunya. Jenis-jenis tersebut malah dapat dikatakan sebagai Flag Species taman nasional ini yang sudah dikenal sejak Alfred Russel Wallace mempublikasikan jurnal perjalanannya yang berjudul
“ The Malay Archipelago” pada
tahun 1890. Namun sayang, karena termashurnya potensi tersebut, eksploitasi Kupu-kupu dilakukan secara berlebihan dengan memanfaatkan ‘stock alam’. Sampai dengan tahun 2004, belum ada upaya untuk membudidayakan jenis-jenis Kupu-kupu, sedangkan pemanfaatannya semakin berkembang dan merajalela. Untuk itu, telah dilakukan upaya penangkaran sebagai demplot percontohan bagi masyarakat sejak tahun 2005 dan terus beroperasi hingga saat ini. Sampai Tahun 2014, sedikitnya ada 20 jenis yang telah ditangkarkan pada demplot
percontohan tersebut. Selain untuk keperluan budidaya, demplot penangkaran tersebut juga berfungsi sebagai tempat pengamatan atraksi Kupu-kupu TN. Bantimurung Bulusaraung untuk masyarakat umum.