BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Fenomena anak hidup dijalan sudah mulai menjadi perbincangan sejak
awal dekade 1980-an. Mereka adalah anak-anak yang hidup terpisah dari
keluarga, dan menempati tempat-tempat umum dibagian-bagian tertentu dari
kota-kota besar.
Berkonflik dengan hukum, seperti dituduh, disangka, didakwa dan divonis
bersalah atas tindak kejahatan, merupakan salah satu resiko yang sering dihadapi
anak jalanan. Tindak kejahatan yang sering kali dituduhkan atau memang
dilakukan oleh anak jalanan adalah tindakan kejahatan kecil-kecilan, seperti
mencuri, mencopet, dan menjambret. Alasan yang umum dikemukakan anak
jalanan atas tindakan tersebut adalah tuntutan perut atau kebutuhan mendesak
lainnya. Hal ini terjadi ketika pekerjaan yang biasa dilakukan tidak bisa lagi
menghasilkan uang seperti yang diharapkan.
Sejauh ini anak hidup dijalan memiliki cara-cara tertentu untuk bertahan
hidup, seperti membangun solidaritas kelompok, menyembunyikan identitas
seperti menggunakan nama samaran agar tidak mudah ditemukan pihak lawan,
mengarang cerita untuk bertahan dan mengkonsumsi makanan sisa atau hoyen
supaya bisa survive. Akan tetapi, strategi yang mereka terapkan hanya mampu
menyentuh wilayah hubungan sosial, sementara untuk menghadapi faktor resiko
dan kekerasan negara dalam operasi tertib sosial, anak hidup di jalan tidak
memiliki strategi yang ampuh untuk menghadapinya.
Tidak jarang anak jalanan juga sangat rentan untuk mendapat kekerasan
seksual. Kekerasan tersebut juga adakalanya dilandasi motif ekonomi dengan
memanfaatkan seksualitas anak-anak. Seperti di Binjai dijumpai indikasi kuat
mengenai adanya sindikat perdagangan anak untuk tujuan seksual dimana salah
satu sasarannya adalah anak jalanan perempuan. Kurangnya informasi tentang
seluk beluk tindak penculikan dan bayangan tentang kondisi hidup yang lebih
baik, membuat seorang anak perempuan yang hidup sendirian di jalanan akan
mudah percaya kepada pihak yang menjanjikan pekerjaan yang layak.(Gempita,
2005:5)
Di wilayah Jakarta, menurut data Kepolisian Daerah, telah terjadi sekitar
533 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus-kasus itu terutama meliputi
mereka yang hidup sebagai pengamen, pedagang asongan dan mereka yang
berasal dari keluarga tak mampu. Hal itu menandakan, bahwa kekerasan diluar
lingkungan keluargapun tak kalah tajam mengintai anak-anak kita.Kekerasan
seksual menjadi kasus paling menonjol sepanjang tahun 2000-2007. Hanya dalam
waktu 7 tahun, Pusat Krisis Terpadu (PKT) Rumah Sakit Umum Pusat Cipto
Mangunkusumo (RSUCPM), mencatat 533 kekerasan seksual terhadap anak,
termasuk anak jalanan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Menurut
catatan PKT RSUCPM, 284 anak perempuan dibawah umur 18 tahun diperkosa
dan 233 mengalami kekerasan seksual lainnya. Sedangkan sisanya sejumlah 16
orang adalah anak laki-laki yang juga mengalami kekerasan
Pada awal kajian tentang anak jalanan, persoalan kemiskinan ekonomi
keluarga sering disebut sebagai penyebab utama munculnya anak jalanan
(Putranto, 1992). Hubungan kemiskinan dengan faktor-faktor lain yang membuat
anak-anak beresiko turun ke jalan dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
membuat anak beresiko menjadi anak jalanan antara lain; faktor keluarga dan
faktor lingkungan.
Hasil pengumpulan survei dilapangan menunjukkan bahwa kekerasan
yang terjadi dalam keluarga menjadi faktor penting yang mendorong anak untuk
turun ke jalan disamping faktor lingkungan. Motif kekerasan terhadap anak dapat
terkait dengan masalah ekonomi. Hal ini bisa terjadi ketika sebuah keluarga
mengalami berbagai masalah akibat beban ekonomi yang tidak
tertahankan.Sebagian atau seluruh masalah keluarga kemudian terpaksa
dibebankan pada anak-anak mereka. Bentuk pelimpahan beban itu bukan saja
memaksa anak bekerja,tetapi bisa juga menjadikan anak sebagai sasaran
pelampiasan kekesalan terhadap keadaan. Ketika si anak sudah menjadi sasaran
pelampiasan kekesalan, maka tindak kekerasan sangat mungkin akan dilakukan
orangtua terhadap anak-anak mereka.
Ada kalanya kekerasan dalam keluarga berkaitan dengan kasus perceraian
orangtua, atau orangtua yang kawin lagi menyebabkan si anak tidak merasa
nyaman hidup bersama orangtua tiri. Ketidaknyamanan itu selain memang nyata
dirasakan si anak, juga akibat mitos-mitos tentang kekejaman ibu/ayah tiri.
Lingkungan sosial tertentu dapat mendorong anak menjadi anak jalanan.
Banyak ditemukan kasus dimana seorang anak yang pernah berkonflik dengan
tinggal di kampung tersebut. Anak seperti ini merasa dikucilkan dan tidak mampu
lagi bersosialisasi dengan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini anak akan lebih
mudah untuk terseret dalam kehidupan jalanan, apalagi bila si anak tersbut
memang memiliki relasi yang relatif tetap dengan komunitas jalanan. Dalam kasus
yang lain ditemukan juga bahwa seorang anak “baik-baik” saja terpengaruh teman
atau orang dewasa di kampung tersebut memang bekerja di jalanan.
Anak yang mengalami masalah dirumah atau disekolah akan semakin
rentan apabila ia memiliki relasi yang relatif tetap dengan orang-orang yang
beraktifitas di jalanan. Misalnya si anak tersbut memiliki tetangga yang bekerja di
jalan atau memiliki teman-teman yang selama ini telah akrab dengan dunia
jalanan.
Persoalan anak jalanan dan anak terlantar di Sumatra utara tidak jauh
berbeda dengan beberapa kota-kota besar di Indonesia. Gambaran situasi anak
jalanan di Sumatra Utara dapat digambarkan dengan situasi anak jalanan di kota
Medan. Setiap hari kita dapat menyaksikan lebih kurang 6-7 orang anak jalanan
berada di beberapa persimpangan jalan protokol di kota Medan baik sebagai
pengemis, pengamen, tukang semir sepatu, jualan asongan dan lain-lain yang
menghabiskan waktu di jalan lebih dari 4 jam satu hari. Mereka seakan tidak
pernah mengerti resiko dan bahaya yang dapat menghambat perkembangan
mereka baik secara fisik, mental maupun sosial mereka yang mengharuskan
mereka mampu bersaing dalam dunia jalanan yang penuh kebebasan.
Berdasarkan catatan Pusaka Indonesia, jumlah anak jalanan di Sumatra
Utara pada tahun 2007 belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan
Utara. Jika dibandingkan dengan data 2003, jumlah anak jalanan di Sumatra Utara
berjumlah 5.025 orang. Secara kuantitas terlihat bahwa jumlah anak jalanan
meningkat sekitar 12% dalam kurun waktu 4 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
penanganan anak jalanan di Sumatera Utara belum menunjukkan keberhasilan
yang cukup signifikan. Faktor fisik, mental dan spritual seorang anak yang belum
sempurna menjadikan anak belum matang dalam mengendalikan emosionalnya,
kemudian kelemahan seoramg anak yang sering dimanfaatkan oleh orang yang
lebih kuat untuk mengeksploitasi mereka.
Selama ini telah terbangun labelisasi status mereka yang menjadi anak
jalanan dengan stigma negative seperti anak nakal, preman, penodong dan
lain-lain. Tetapi ketika berfikir positif dalam membina mereka sesungguhnya mereka
adalah generasi yang potensial, cerdas dan mandiri jika mereka dibina dan
diarahkan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Munculnya stigma negative
masyarakat yang memojokkan keberadaan dan menyalahkan kemiskinan mereka
merupakan beban mental bagi seorang anak. Mereka adalah anak-anak yang
rentan berkonflik dengan hukum dan pada posisi membutuhkan perlindungan
khusus. Faktor kebebasan, budaya persaingan hidup dijalanan, memacu
kedewasaan (dewasa premature) dan pendidikan rendah membuat mereka tidak
berfikir akibat/resiko mereka berada di jalanan.
Sisi penyebab lainnya adalah kemajuan dan perkembangan Ibu kota
profinsi seperti halnya kota Medan. Persoalan yang sama tidak hanya terjadi di
Medan, tetapi juga terjadi beberapa kota besar lainnya di Indonesia.
Perkembangan kota metropolitan yang dapat mengundang berbagai komponen
kehidupan yang keras. Kenyataan hidup dalam persoalan miskin kota, kekacauan
politik dan krisis ekonomi yang berkepanjangan akan memperjelas pemetaan
dalam lingkungan sosial, dimana kekuatan ekonomi masyarakat dari golongan
menengah ke bawah yang tidak mampu bertahan akan ambruk dengan kerasnya
kehidupan di kota. Begitu juga sebaliknya, yang mampu bertahan dan
menempatkan diri pada posisi yang aman akan tetap maju dan berkembang
walaupun tantangan krisis ini masih berlanjut. Bagi anak-anak miskin perkotaan
seperti halnya di kota Medan, konsep kemiskinan yang dialami tidak hanya dari
faktor ekonomi saja, tetapi juga mengalami kemiskinan dalam bentuk tekanan dan
pengurusan yang merupakan korban dari beberapa kebijakan yang tidak terlalu
melihat kepentingan mereka yang seharusnya mendapat perhatian khusus untuk
dapat bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Pusaka Indonesia, sebagai lembaga advokasi penegakan hak-hak asasi
manusia (HAM) khususnya advokasi perlindungan dan penanganan anak-anak
yang membutuhkan perlindungan khusus di Sumatera Utara. Lembaga yang
berbadan hukum ini yang didirikan pada tanggal 10 Desember 2000 yang juga
bertepatan pada hari hak asasi manusia sedunia.Dari banyak LSM yang menjalani
isu anak di Sumatera Utara pada hari ini, Pusaka Indonesia adalah salah satu yang
berkonsentrasi pada tataran pendampingan hukum dan advokasi kebijakan.Banyak
dari mereka yang bermain pada tataran pendampingan lapangan dan pembinaan
langsung di sentral-sentral berkumpulnya anak jalanan. Namun demikian sangat
sedikit dari mereka yang memiliki kemampuan pendampingan dan pemberian
bantuan hukum di tingkat kepolisian dan pengadilan, seperti yang dilakukan oleh
pengacara khusus anak, dan bahkan telah banyak melatih tenaga pengacara muda
B.Perumusan masalah
Masalah merupakan pokok dari suatu kegiatan peneitian. Dalam suatu rancangan atau usulan penelitia perlu dibuat suatu perumusan masalah, yang bertujuan agar seluruh proses penelitia dapat berjalan sesuai arah dari mendapatkan hasil yang tepat pula. Maka berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : “Bagaimanakah peranan Yayasan Pusaka Indonesia dalam pendampingan dan penanganan terhadap anak jalanan yang berkonflik dengan hukum ?”
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian C.1 Tujuan Penelitian
- Untuk memperoleh informasi dan fakta mengenai peranan Yayasan pusaka indonesia terhadap anak jalanan korban kekerasan, khususnya dalam proses pendampingan dan penanganan kasus tersebut.
- Untuk mengetahui apakah peranan yang diberikan oleh Yayasan Pusaka Indonesia sudah tergolong efektif dalam memberikan pelayanan (pendampingan dan penanganan) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum).
C.2 Manfaat Penelitian
- Bagi penulis dapat mempertajam kemampuan menulis dalam penulisan karya ilmiah, menambah pengetahuan dan mengasah kemampuan berfikir penulis dalam menyikapi dan menganalisa masalah-masalah sosial, khususnya masalah anak jalanan.
- Bagi Fakultas, dapat meberikan sumbangan yang positif terhadap keilmuan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, dan dapat bermanfaat dalam pembuatan keputusan dan kebijakan dalam menyikapi masalah sosial khususnya masalah anak jalanan.
- Bagi pihak lain, dapat menjadi masukan bagi Yayasan Pusaka Indonesia dalam peningkatan kualitas pelayanan ynag diberikan
terhadap anak jalanan korban kekerasan. Menjadi masukan bagi lembaga lain dan pemerintah.
D. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci dan untuk mempermudah
pemahaman isi penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan
sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Berisikan uraian dan konsep-konsep yang berkaitan dengan
masalah-masalah dan objek-objek yang diteliti dan juga berisikan
kerangka berfikir, defenisi konsep, serta defenisi operasional.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan
Bab IV : Deskripsi Lokasi Penelitian
Bab ini berisikan sejarah singkat tentang berdirinya Yayasan
Pusaka Indonesia dan gambaran mengenai lokasi dimana peneliti
melakukan penelitian.
Bab V : Analisis Data
Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian
beserta analisis pembahasannya.
Bab VI : Penutup
Berisikan kesimpulan dan hasil penelitian serta saran-saran yang