• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki pandangan hidup apabila warga negaranya memiliki jati diri. Jati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. memiliki pandangan hidup apabila warga negaranya memiliki jati diri. Jati"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jati diri bagi suatu bangsa sangat penting karena suatu bangsa akan memiliki pandangan hidup apabila warga negaranya memiliki jati diri. Jati diri bangsa itu akan terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari menjadi karakteristik bangsa itu sendiri. Jadi, karakteristik suatu bangsa akan menjadi cermin pandangan hidup bangsa itu.

Karakteristik bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang berkarakter ramah, sopan santun, suka bergotong royong, dan religius, mulai pudar. Sebagai buktinya perilaku korupsi yang marak, kasus guru di Sumatra Utara yang membocorkan soal UN, padahal mereka orang-orang berpendidikan (Soedarsono, 2008: 3), adalah contoh memudarnya karakteristik bangsa Indonesia. Yang paling memprihatinkan tampak pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Karakter bangsa Indonesia yang ramah dan religius berubah menjadi bangsa yang berkarakter beringas, anarkistis, destruktif, penjarah, bahkan pelaku asusila. Citra bangsa Indonesia di dunia internasional yang disegani dan dikenal sebagai bangsa yang bermartabat, pudar sudah. Kini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang emosional, anarkistis, dan destruktif. Kenyataan saat ini menunjukkan hal itu. Perilaku tawuran terjadi di mana-mana. Dilakukan, baik oleh masyarakat, pelajar, bahkan mahasiswa pun yang dapat dikatakan kaum intelektual, turut serta melakukan tawuran. Elit politik lebih mendahulukan kepentingan

(2)

kelompok daripada kepentingan bangsa. Konflik berbau SARA mudah tersulut menjadi konflik sosial.

Pudarnya jati diri bangsa ini adalah kenyataan pahit yang sungguh sangat memprihatinkan dan perlu menjadi pemikiran bersama untuk dicari jalan keluarnya. Oleh karena itu, jati diri bangsa yang telah memudar ini perlu dibangkitkan kembali, yaitu dengan cara menghidupkan kembali nilai-nilai budaya bangsa Indonesia masa lalu yang telah menjadi jati diri bangsa Indonesia. Dengan dihidupkannya kembali nilai-nilai budaya tersebut, kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan bangsa Indonesia akan menemukan kembali jati dirinya yang telah pudar terkontaminasi budaya global dengan jargonnya demokrasi, keterbukaan, HAM, kebebasan, dan kesetaraan gender yang belum tentu cocok dengan akar budaya bangsa Indonesia. Sebagai contoh, dengan berlindung dibalik jargon kebebasan dan HAM, pornografi diusung menjadi konsumsi masyarakat luas pada media cetak atau media elektronik. Dalih kebebasan dan HAM model begini tentu saja tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.

Jati diri suatu bangsa akan membentuk peradaban bangsa itu. Peradaban akan runtuh bila gagal memunculkan kreativitas dalam menghadapi tantangan. Puncak keruntuhan terjadi bila ada disintegrasi peradaban di mana kesatuan sosial pecah dan ketidakmampuan kebudayaan itu memberi tanggapan kreatif pada tantangan zaman (Sutrino & Putranto,

(3)

2005: 70). Pergeseran nilai budaya suatu bangsa akan mendorong memudarnya jati diri bangsa itu. apabila jati diri bangsa memudar, peradabannya pun terancam runtuh.

Salah satu upaya untuk membangkitkan kembali jati diri bangsa, adalah melalui pembelajaran sastra di sekolah. Pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal bagi terwujudnya pendidikan yang utuh. Siswa dapat menggali nilai-nilai budaya bangsa di mana akan menumbuhkan kebanggaan terhadap budaya sendiri. Di samping itu pengajaran sastra dapat menunjang pembentukan watak karena pengajaran sastra dapat mengolah perasaan menjadi lebih tajam. Dibanding mata pelajaran-mata pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan yang lebih banyak untuk mengantar siswa mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti; kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kebanggaan diri. Sampai; kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian, perceraian dan kematian. Seseorang yang telah banyak mendalami karya sastra, biasanya memiliki perasaan yang lebih peka. Dia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih dalam (Rahmanto, 1988: 24). Dari sini kita dapat memahami bahwa pengajaran sastra yang dilakukan dengan cara mengapresiasi karya sastra, ternyata memiliki fungsi ganda sebagaimana konsep Horace dulce dan utile, bahwa karya sastra itu indah dan berguna (Wellek & Warren, 1995: 25). Keindahan suatu karya sastra, dapat memperhalus budi manusia menjadi lebih peka. Di sini tampak bahwa karya sastra berfungsi ganda di samping

(4)

indah juga bermanfaat. Manfaat lain tentang sastra, dikemukakan oleh Yus Rusyana (1982): “Sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.”

Dari pendapat Rusyana di atas, dapat ditarik makna, bahwa sastra bukan sesuatu yang tidak berguna. Sastra dapat memperluas wawasan manusia tentang kehidupan, mempertajam kepekaan sosial dan memperhalus rasa kemanusiaan. Sastra adalah karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Melalui bahasa sebagai mediumnya, manusia dapat belajar mengenai pengalaman hidup, pandangan hidup dan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu.

Untuk menghidupkan kembali nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, yaitu dengan cara menggalinya dari karya sastra-karya sastra klasik Indonesia. Dari sekian banyak karya sastra klasik milik bangsa Indonesia, salah satunya adalah sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah dari Jawa Barat yang diperkirakan muncul sekitar tahun 1518 M (Warnaen, dkk: 1987). Sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah menarik untuk dijadikan bahan kajian. Karena pada karya sastra ini tergambar sikap dan pandangan hidup masyarakat Sunda pada waktu itu, sesuai dengan waktu dalam perjalanan sejarah masyarakatnya (Isnendes, 2010: 87).

Pada awalnya sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah merupakan tradisi lisan di Jawa Barat yang dituturkan melalui pantun (Sunda) secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Sastra klasik Mundinglaya Di

(5)

Kusumah, sarat dengan nilai-nilai budaya yang perlu dilestarikan dan patut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat, di mana nilai dan norma tersebut dapat berfungsi sebagai filter untuk menyaring budaya global yang tidak sesuai dengan budaya bangsa.

Melihat kenyataan saat ini, banyak norma dan nilai warisan budaya leluhur (yang tersimpan dalam dongeng, pepatah, pantun, syair, hikayat dan sebagainya) sudah mulai luntur. Bisa jadi luntur karena usang tidak sesuai lagi dengan zaman atau bisa jadi karena kebiasaan mendongeng yang biasa orang tua lakukan zaman dulu (disela-sela aktivitas anak-anak menjelang tidur atau di waktu senggang), sudah tidak dilakukan lagi oleh orang tua masa kini. Waktu luang anak-anak masa kini, banyak diisi dengan membaca cerita-cerita impor berupa komik atau audiovisual impor dari Jepang, Amerika atau Eropa yang tentu saja memiliki akar budaya yang berbeda dengan akar budaya bangsa Indonesia.

Salah satu sastra klasik yang layak untuk disajikan sebagai pengantar tidur bagi anak-anak adalah sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah. Berbeda dengan sastra klasik dari Jawa Barat yang lain seperti Sang Kuriang yang hanya meyakini kebenaran menurut suara hatinya sendiri dan menolak kebenaran yang disampaikan orang lain karena mencintai ibu kandungnya sendiri. Atau cerita Si Kabayan yang mengahadapi hidup ini dengan enteng tanpa cita-cita dan perjuangan hidup. Sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah memiliki nilai keteladanan yang tinggi, malahan sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah memiliki kedudukan penting bagi masyarakat kebatinan,

(6)

perjalanan Mundinglaya Di Kusumah ke Luar Langit bertemu Guriang Tujuh disejajarkan dengan perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan Isra Miraj bertemu dengan Allah SWT (Rosidi, 2009: 45). Nilai positif pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, juga disampaikan oleh Chye Retty Isnendes (2010: 97) yang menilai Mundinglaya Di Kusumah sebagai sosok pahlawan yang ideal: “… aksi Mundinglaya di Kusumah sebagai pahlawan. Pada peristiwa-peristiwa tersebut diperlihatkan kesejatian prilaku seorang pahlawan yang harus diperjuangkannya.”

Beranjak dari keprihatinan terhadap memudarnya jati diri bangsa Indonesia saat ini dan melihat nilai-nilai budaya positif yang terdapat pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, peneliti tertarik untuk menggali nilai-nilai budaya yang terdapat pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah dari berbagai sub genre sastra, yaitu; sub genre sastra klasik lisan (pantun), sub genre sastra klasik tulis (wawacan) dan sub genre sastra modern (novel). Sepengetahuan peneliti sampai saat ini belum ada penelitian ilmiah yang khusus mengkaji nilai-nilai budaya yang terdapat pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang nilai-nilai budaya pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, dengan judul: NILAI-NILAI BUDAYA DALAM

SASTRA KLASIK MUNDINGLAYA DI KUSUMAH DAN

KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER SERTA IMPLEMENTASINYA PADA PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA

(7)

DI KELAS IX SMP PASUNDAN SUBANG TAHUN PELAJARAN 2011/2012.

B. Fokus Penelitian

Sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah berasal dari Jawa Barat, semula berupa tradisi lisan disebut pantun yang muncul pada abad ke-16, kini diterjemahkan dalam bahasa lain dan ditransformasikan dalam bentuk lain, seperti: (1) kajian-kajian ilmiah (2) bentuk karya sastra seperti: wawacan, puisi, cerpen dan cerita bersambung (3) pementasan sandiwara Sunda, gending karesmen (opera tradisional Sunda) dan sendra tari (4) bahkan pernah dimuat menjadi lembaran bergambar pada Koran Pos Kota pada periode 1983-1984 (Isnendes, 2010: 88).

Dalam penelitian ini, peneliti tidak akan meneliti semua sub genre sastra klasik, tapi hanya akan mengambil tiga sub genre sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah sebagai fokus kajian, yakni:

1. Sub genre sastra klasik lisan Mundinglaya Di Kusumah berupa tradisi lisan

pantun yang telah ditransliterasikan menjadi bentuk tulis (buku).

2. Sub genre sastra klasik tulis Mundinglaya Di Kusumah dalam bentuk

wawacan.

3. Sub genre sastra modern Mundinglaya di Kusumah dalam bentuk novel.

Pada suatu karya sastra yang baik, biasanya terekam peristiwa-peristiwa yang terjadi saat itu entah sebagai latar atau sebagai alur, seperti; kondisi sosial politik, adat-istiadat, sistem kekerabatan, nilai-nilai budaya, hukum, sistem kepercayaan dan lain sebagainya. Mengingat demikian

(8)

luasnya bahan kajian, kemudian dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu penelitian, biaya penelitian dan keterbatasan tenaga peneliti sendiri, maka penelitian difokuskan pada: (1) kajian struktur mengunakan analisis struktur Levi-Strauss, (2) kajian semiotik dan (3) kajian terhadap nilai-nilai budaya yang terdapat pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah. Nilai-nilai budaya itu kemudian dikaitkan dengan butir-butir pendidikan karakter yang diterbitkan oleh Balitbang Pusat Kurikulum Kemendiknas Tahun 2010, untuk dijadikan bahan ajar apresiasi sastra bagi peserta didik SMP. Kajian struktur, kajian semiotik dan kajian nilai budaya itu dilakukan terhadap ketiga sub genre sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah.

Kajian struktur dilakukan untuk memahami unsur cerita, kajian semiotik dilakukan, untuk memahami lebih dalam budaya masyarakat Sunda saat itu sesuai dengan penanda yang terdapat pada cerita. Setelah dipahami, dilanjutkan dengan kajian terhadap kandungan nilai-nilai budaya yang terdapat pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah sub genre sastra klasik lisan (pantun), sub genre sastra klasik tulis (wawacan), dan sub genre sastra modern (novel), untuk kemudian diimplementasikan dalam pembelajaran di SMP. Implementasi pembelajaran, dilaksanakan dengan cara menugasi siswa untuk membuat sebuah karangan mengenai cita-cita mereka dengan nilai budaya yang mereka temukan pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah sebagai landasan. Pada karangan itu, secara eksplisit atau implisit harus tergambar karekteristik mereka dalam berusaha meraih cita-cita.

(9)

C. Batasan Masalah

Fokus penelitian di atas, memfokuskan penelitian pada kajian struktur, kajian semiotik dan kajian nilai budaya yang terdapat pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah sub genre sastra klasik lisan (pantun), sub genre sastra klasik tulis (wawacan) dan sub genre sastra modern. Walaupun penelitian ini sudah memfokuskan pada kajian struktur, kajian semiotik dan kajian nilai budaya, tetapi terasa objek kajian masih terlalu luas. Oleh karena itu, peneliti akan membatasi kajian struktur hanya pada kajian peristiwa dengan munggunakan kajian struktur Levi-Strauss. Kajian semiotik dibatasi hanya pada penanda yang terdapat pada mytheme. Untuk kajian nilai budaya peneliti akan membatasinya hanya pada kajian terhadap nilai budaya yang tampak pada figur Mundinglaya Di Kusumah saja.

Pembatasan masalah ini dilakukan, karena keterbatasan penulis dalam berbagai hal. Seperti keterbatasan wawasan apabila seluruh aspek dikaji, keterbatasan waktu pelaksanaan penelitian yang relatif singkat, keterbatasan biaya penelitian, dan keterbatasan kemampuan fisik peneliti.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat ditarik menjadi pertanyaan penelitian, adalah:

1. Berdasarkan kajian struktur, bagaimanakah hubungan antarunsur yang

terdapat pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah sub genre sastra klasik lisan (pantun), sub genre sastra klasik tulis (wawacan), dan sub genre sastra modern?

(10)

2. Bagaimanakah gambaran masyarakat Sunda Lama berdasarkan kajian semiotik pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah sub genre sastra klasik lisan (pantun), sub genre sastra tulis (wawacan), dan sub genre sastra modern (novel)?

3. Nilai-nilai budaya apakah yang tampak pada figur Mundinglaya Di

Kusumah sub genre sastra klasik lisan (pantun), sub genre sastra tulis (wawacan), dan sub genre sastra modern (novel)?

4. Bagaimanakah implementasi nilai-nilai budaya yang terdapat pada sastra

klasik Mundinglaya Di Kusumah sub genre sastra modern (novel) pada pembelajaran apresiasi sastra di SMP?

E. Tujuan

Tujuan yang jelas dalam penelitian merupakan kunci keberhasilan. Tujuan yang jelas memberikan landasan bagi seluruh tahapan dalam penelitian, mulai dari perancangan penelitian sampai dengan penemuan. Tanpa tujuan yang jelas, suatu kegiatan penelitian mungkin diawali dengan langkah yang salah, dilakukan melalui proses pelaksanaan yang menyimpang dan diakhiri dengan laporan yang tidak meyakinkan. Tanpa tujuan yang jelas, peneliti menghadapi ketidakpastian yang mengganggu sebab mereka kehilangan arah (Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti, 2009 : 3).

Mengacu pada hal di atas, tujuan penelitian ini, adalah :

1. Untuk memahami struktur cerita sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah

sub genre sastra lisan (pantun), sub genre sastra tulis (wawacan) dan sub genre sastra modern (novel).

(11)

2. Untuk memahami sistem kebudayaan masyarakat Sunda Lama, pada sekitar abad ke-16.

3. Untuk menemukan nilai-nilai budaya yang tampak pada figur

Mundinglaya Di Kusumah pada sub genre sastra klasik (pantun), sub genre sastra tulis (wawacan) dan sub genre sastra modern (novel).

4. Menemukan strategi pembelajaran untuk mengimplementasikan

nilai-nilai budaya yang terdapat pada figur Mundinglaya Di Kusumah sub genre sastra modern (novel), dalam pembelajaran apresiasi sastra di SMP.

F. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, adalah :

1. Manfaat praktis

Dengan melakukan kajian terhadap sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, diharapkan ditemukan nilai-nilai budaya yang relevan dengan perkembangan budaya masyarakat saat ini, untuk diimplementasikan pada pembelajaran apresiasi sastra di SMP.

2. Manfaat keilmuan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut dengan harapan menemukan teori baru atau menguatkan teori yang telah ada.

3. Manfaat bagi perkembangan ilmu sastra

Dengan diimplementasikannya nilai-nilai budaya yang terdapat pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, diharapkan dapat memberikan

(12)

kontribusi terhadap pembentukan karakter jati diri bangsa. Upaya ini berarti telah menunjukkan, bahwa ilmu sastra dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

G. Definisi Operasional

1. Nilai-nilai Budaya, adalah konsepsi pikiran yang ada pada manusia yang menganggap sesuatu memilki nilai, seperti; perilaku hidup, sikap, atau karakteristik seorang individu atau kelompok masyarakat yang dianggap baik oleh masyarakat.

2. Sastra Klasik Mundinglaya Di Kusumah, adalah karya sastra lisan pada masa lalu yang muncul pada sekitar abad ke-16 di Jawa Barat yang menceritakan perjalanan hidup Mundinglaya Di Kusumah.

3. Kontribusinya terhadap Pendidikan Karakter, adalah sumbangsih

terhadap pendidikan karakter, sebagaimana rumusan karakter yang diterbitkan oleh Balitbang Pusat Kurikulum, Kemendiknas, Tahun 2010. 4. Implementasi pada Pembelajaran Apresiasi Sastra, adalah penerapan

nilai-nilai budaya yang ditemukan pada sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah melalui pembelajaran apresiasi sastra pada peserta didik.

Referensi

Dokumen terkait

UPTD PUSKESMAS PANUMBANGAN UPTD PUSKESMAS

This happens because Sprouts make breathing by involving oxygen gas (O2) as an ingredient is absorbed/required and generate carbon dioxide gas (CO2), water (H2O) and a number of

Digital imaging merupakan sebuah gambar yang dibentuk dari penggunaan sensor elektronik yang dihubungkan dalam beberapa cara ke sebuah komputer.. Pada awal perkembangan dari

Temuan ini menunjukkan bahwa strategi MHM berbasis masalah lebih unggul daripada pembelajaran konvensional dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis

Untuk membahas modifikasi kurva Bezier berderajat lima terhadap bentuk kurva kuartik Bezier yang digunakan untuk desain benda industri keramik.. Pendekatan kepustakaan

Aspek-aspek berpikir kritis diatas akan dicapai dengan optimal oleh seorang anak jika anak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dengan bimbingan, kebiasaan dan latihan

Penelitian ini juga didukung oleh Djumino (2004: 97), “Analisis Kepemimpinan Transformasional dan Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Kesatuan bangsa dan

Sebagai respon atas masyarakat yang majemuk tidak saja dalam konteks eksternal, terlebih lagi dalam kondisi internal umat Islam, maka tujuan pembelajaran yang ditetapkan