ANALISIS EFFEKTIFITAS KEBIJAKAN PENGALIHAN
PBB-P2 KEPADA PEMERINTAH KAB/KOTA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi
daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam
mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di
daerah masing-masing.
Otonomi daerah merupakan kesempatan yang baik bagi pemerintah daerah untuk
membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi
hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan
dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah
bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja
dengan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.
kewenangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri,
mengelola dan menggunakan keuangan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan di daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pemerintah pusat
harus seminimal mungkin sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi
sumber keuangan yang terbesar, yang didukung oleh kebijaksanaan Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem
pemerintahan negara (Koswara, 2000).
Salah satu jenis PAD yang jenis kewenangan pengelolaannya dipungut oleh daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2). PBB-P2 memang termasuk dalam jenis local tax (pajak daerah) terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (UU PDRD). Secara konseptual PBB-P2 dipungut oleh daerah karena
lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile),
dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil
pajak tersebut. Pengalihan PBB-P2 kepada kabupaten/kota diharapkan dapat meningkatkan PAD dan memperbaiki struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Pengalihan PBB-P2 ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.
Hartono (2012) menemukan bahwa pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan
menjadi pajak daerah berpengaruh postif terhadap Pendapatan Asli Daerah dengan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Sukoharjo dengan
penelitian langsung di lapangan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Adelina (2013) mengemukakan bahwa penerimaan PBB-P2 di Kota Gresik telah melampaui target yang ditetapkan sejak pengalihan. Meskipun dilihat dari hasil kedua penelitian terdahulu
menunjukkan pencapaian yang positif terhadap penerimaan PBB-P2, namun hal
ini mencerminkan bahwa hasil dari penerimaan PBB-P2 tersebut sama dengan
daerah lain, hal ini dikarenakan potensi dan keadaan dari setiap wilayah
berbeda-beda.
Penelitian yang dilakukan Wigi dan Yudea (2016), bahwa analisis laju pertumbuhan terhadap PAD Kota Balikpapan mengalami pertumbuhan yang tidak stabil. Penerimaan yang tidak stabil sangat berpengaruh sangat berpengaruh
terhadap PAD karena PBB-P2 merupakan salah satu sumber pedapatan daerah
yang cukup besar. Hasil penelitian ini juga didukung dari Sumena (…) juga dimana laju pertumbuhan PBB-P2 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke seluruh pemerintahan kabupaten/kota telah dimulai 1 Januari 2014. Pengalihan pengelolaan ini suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan
Adapun tujuan pengalihan pengelolaan PBB-P2 berdasarkan Undng-undang Nomor 28 Tahun 2009 untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah), memberikan
kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah, memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah. Penyerahan pengelola fungsi pajak ini dilakukan sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah. Dengan pengalihan ini,
penerimaan PBB-P2 akan sepenuhnya masuk ke kas daerah sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah PAD.
Gambar 1. Penerimaan PBB-P2 Setelah Pengalihan.
Di Kota Metro sendiri, Pemerintah Kota Metro mengambil alih kewenangan untuk mengelola PBB-P2 tersebut pada awal tahun 2013. Dinas Pendapatan Kota Metro menjalankan tugas dan fungsinya sesuai keputusan yang telah ditetapkan
oleh Direktorat Jendral Pajak. Berikut ini terdapat data penerimaan PBB-P2
sebelum dan sesudah pengalihan di Kota Metro.
Tabel 1. Penerimaan PBB-P2 Sebelum dan Setelah Pengalihan
Tahun PenerimaanPBB-P2(Rp)
2009 1.598.652.412
2010 1.543.688.988
2011 2.300.121.960
2012 2.457.866.636
2013 2.176.474.957
2014 2.357.971.982
2015 2.501.532.489
2016 2.427.848.443
Dari tabel di atas bisa dikatakan bahwa setelah adanya pengalihan penerimaan
tersebut meningkat. Pada tahun 2013 menurun dikarenakan pemula untuk
pengalihan tersebut.
Efektivitas merupakan suatu ukuran untuk mengetahui berhasil atau tidaknya
suatu organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mardiasmo (..) ,
apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut
dikatakan berjalan dengan efektif. Tingkat efektivitas penerimaan PBB-P2 yang
dicapai semakin tinggi penerimaannya berarti semakin efektif pengalihan tersebut.
Sebaliknya, semakin rendah penerimaan yang dicapai maka semakin kurang
efektif pengalihan itu. Efektivitas penerimaan PBB-P2 adalah mengukur
hubungan antara hasil pungutan PBB-P2 dengan potensi atau target
Menurut Abdul Halim (2007), efektivitas pajak daerah menujukkan kemampuan
pemerintah daerah dalam mengumpulkan pajak daerah sesuai dengan jumlah
penerimaan pajak yang ditargetkan. Dalam mengukur tingkat efektivitas ini
terdapat tiga indikator pengukurannya yaitu dengan melihat efektivitas, kontribusi dan laju pertumbuhannya. Efektivitas dengan membagi realisasi penerimaan PBB dengan target PBB. Kontribusi PBB ini dengan menggunakan
realisasi penerimaan PBB dan penerimaan pajak daerah. Laju pertumbuhan
penerimaan pajak untuk melihat peningkatan atau tidaknya setiap tahun. Indikator
yang digunakan dalam laju pertumbuhan ini realisasi penerimaan tahun sekarang
dan realisasi tahun sebelumnya. Dengan demikian menggabungkan efektivitas
dari Mardiasmo dan Halim, untuk mengukur efektivitas tersebut.
Nasucha (1997) mengungkapkan bahwa PBB merupakan pajak objektif, di mana
pengenaan pajak didasarkan pada objek dari PBB, yaitu bumi dan / atau
bangunan, sehingga yang menjadi objek pajaknya adalah bumi dan bangunan.
Penerimaan PBB dipengaruhi luas lahan dan bangunan yang terkena pajak.
Terkait dengan Penerimaan PBB-P2 dipengaruhi oleh luas lahan dan bangunan
yang dikenakan pajak. Penelitian Hadi (2005) dan Afriansyah (2015)
menunjukkan bahwa jumlah bangunan berpengaruh positif terhadap penerimaan
PBB. Banyak jumlah bangunan makin tinggi penerimaan PBB yang diperoleh.
Jumlah bangunan dapat diukur dengan jumlah bangunan yang menjadi objek PBB
dalam satuan meter persegi (m2).
Lahan atau tanah merupakan sumber daya yang dapat menyediakan ruangan yang
atau banyaknya lahan yang digunakan untuk berbagai kegiatan yang ada dalam
suatu wilayah. Pada dasarnya ruangan yang disediakan sangat terbatas, sementara
itu kebutuhan akan tanah mempunyai kecenderungan yang terus meningkat dari
tahun ke tahun, baik untuk kebutuhan perumahan, pertanian, industri dan lain
sebagainya. Jika pertumbuhan penduduk meningkat maka permintaan akan tanah
semakin meningkat. Dengan banyaknya luas lahan yang menjadi objek PBB dan
dimiliki oleh wajib pajak serta tingginya nilai jual tanah yang menyebabkan NJOP
dari PBB menjadi lebih besar, maka semakin besar pula PBB yang harus
dibayarkan oleh wajib pajak, sehingga pada akhirnya meningkatkan penerimaan
daerah yang berasal dari PBB. Jumlah luas lahan berpengaruh positif terhadap
penerimaan PBB (Afriyanah,2015).
NJOP merupakan dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), baik
PBB-P2 maupun PBB sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB P3).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (UU PDRD), PBB-P2 menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah, dalam hal ini Pemda Kota atau Kabupaten. Kewenangan dalam
pengelolaan PBB-P2 meliputi pengenaan dan penagihan pajaknya.
NJOP merupakan dasar pengenaan PBB-P2. Hal ini diatur dalam pasal 79 ayat (1)
UU PDRD. NJOP terdiri dari NJOP tanah dan NJOP bangunan. NJOP ditetapkan
untuk menghitung besarnya pajak terutang sesuai keadaan objek pajak pada
tanggal 1 Januari tahun pajak. Artinya besarnya NJOP harus sudah ditetapkan
sebelum tangggal 1 Januari tahun pajak, sehingga fiskus dapat menetapkan
besarnya NJOP tanah maupun bangunan untuk kondisi tanggal 1 Januari tahun
pajak dilakukan melalui proses penilaian tanah dan atau bangunan. Penilaian
dilakukan dengan tujuan untuk menentukan NJOP tanah maupun bangunan per
Meter persegi sebagai dasar pengenaan PBB.
Penentuan NJOP tanah per m2, sejak dilakukan pengalihan setiap tahun oleh
kabupaten/kota setempat. NJOP yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan
bupati/walikota. Besarnya NJOP tanah per m2 ditetapkan berdasarkan hasil
penilaian yang dilakukan dengan metode perbandingan data pasar (market data
approach) dan dilaksanakan secara masal. Penilaian tanah dilakukan dengan
tujuan untuk menentukan besarnya NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2 dan
tanggal penilaian ditetapkan untuk keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari
tahun pajak.
Berdasakan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti seberapa efektif
kah pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke pemerintah kabupaten/kota mengambil
judul penelitian mengenai “Analisis Efektivitas Kebijakan Pengalihan
Pengelolaan PBB-P2 Kepada Kabupaten/Kota”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam
penulisan penelitian ini adalah : Seberapa Efektif kebijakan pengalihan
pengelolaan penerimaan PBB-P2 Kota Metro dsri sisi Proses, Dampak dan Kinerja
Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka dapat diketahui bahwa penelitian ini
bertujuan untuk : Mengetahui efektivitas pengalihan pengelolaan PBB-P2
Kota Metro dari sisi Proses, Dampak dan Kinerja .
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberi gambaran mengenai efektivitas Pengalihan
pengelolaan (PBB-P2) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kota
Metro
Efektivitas
Efektivitas menurut Mardiasmo (2004), efektivitas adalah ukuran berhasil
tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi
berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan
dengan efektif. Efektivitas adalah mengukur hubungan antara hasil pungutan
suatu pajak dengan potensi atau target penerimaan pajak itu sendiri.
Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat efektivitas penerimaan
pajak adalah:
Efektivitas Pajak = Realisasi Penerimaan PBB−P2
Target PBB−P2 × 100%
Tabel 6. Nilai Interpretasi Efektivitas
Presentase (%) Kriteria
¿ 100 Sangat Efektif
90-100 Efektif
80-90 Cukup Efektif
60-80 Kurang Efektif
¿ 60 Tidak Efektif
Sumber: Munir, dkk, 2004.
Selain itu untuk melihat efektivitas juga akan digunakan analisis kontribusi dan
laju pertumbuhan dengan manual dan uji beda rata-rata.
f. Kontribusi
Dalam mengetahui kontribusi dilakukan dengan membandingkan pernerimaan
pajak daerah (khusus PBB-P2) periode tertentu dengan penerimaan pajak
periode tertentu pula. Semakin besar hasilnya berarti semakin besar pula
penerimaan pajak daerah, begitu pula sebaliknya jika hasil perbandingannya
terlalu kecil berarti peranan pajak daerah juga kecil. Rumus pengukuran
Kontribusi PBB = Realisasi Penerimaan PBB
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah × 100%
Tabel 7. Nilai Interpretasi Kontribusi
Presentase (%) Kriteria 0.00 – 10 Sangat Kurang
10.10 – 20 Kurang
20.10 – 30 Sedang
30.10 – 40 Cukup Baik
40.10 – 50 Baik
¿ 50 Sangat Baik
Sumber: Munir, dkk, 2004.
g. Laju Pertumbuhan
Halim dan Polii (2015), diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing
komponen sumber pendapatan dan pengeluaran dapat digunakan untuk
mengevaluasi potensi-potensi yang perlu mendapat perhatian. Mengukur laju
pertumbuhan Pajak Bumi dan Banguna Perdesaan Perkotaan (PBB-P2)
digunakan rumus sebagai berikut:
GX = Xt−X(t−1)
X(t−1) × 100%
Sumber: Abdul Halim, dalam Polii 2015
Keterangan :
Gx = Laju pertumbuhan
Xt = Realisasi penerimaan
X(t-1) = Realisasi penerimaan
Menurut Halim (2015), efektivitas juga dapat dilakukan dengan menujukkan
kemampuan mengumpulkan pajak daerah dengan jumlah target pajak dan
realisasi penerimaanya. Ini sama saja untuk melihat kinerja pengalihan dengan
h. Kinerja Pengelolaan PBB-P2
Menurut Abdul Halim (2007), efektivitas pajak daerah menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan pajak daerah sesuai
dengan jumlah penerimaan pajak yang ditargetkan. Ini sama saja untuk melihat
kinerja pengalihan dengan aturan penyimpangan ¿± 10%. Kinerja
Pengelolaan PBB-P2 dapat dilakukan dengan melalukan perbandingan antara
realisasi penerimaan PBB-P2 dengan target PBB-P2.
Menurut Mardiasmo (2002a:127), value for money merupakan inti pengukuran
kinerja pada organisasi pemerintah. Halim (2007:335) memberikan pengertian
Value for money sebagai konsep pencarian dan penggunaan dana pemerintah
daerah yang menerapkan prinsip 3E (ekonomis, efisien, dan efektif). Artinya,
Pemerintah Daerah harus selalu memperhatikan tiap sen/rupiah dana (uang)
yang diperoleh dan digunakan. Lebih lanjut, menurut Kumorotomo (2005:10),
tolok ukur keberhasilan dari pelaksanaan anggaran kinerja adalah prestasi yang
dicapai dalam pelaksanaan kegiatan dengan penggunaan dana yang efektif dan
efisien.
Kinerja anggaranpun terkadang dikaitkan dengan target dan realisasinya.
Menurut Mardiasmo (2002b:124), kinerja manajer publik dapat dinilai
berdasarkan berapa yang berhasil ia capai dikaitkan dengan anggaran yang
telah ditetapkan. Senada dengan Mardiasmo, Mahmudi (2005:112) menyatakan
bahwa pengukuran kinerja hanya bermanfaat jika organisasi mampu
membandingkan kenyataan atau realisasi dengan target yang hendak dicapai
Kepuasan pelanggan menempati posisi penting dalam pengukuran kinerja
instansi pemerintah dari perspektif pelayanan. Menurut (Kumorotomo,
2005:106), kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator
kinerja organisasi sektor publik. Lebih lanjut, menurut Mahmudi (2005:101),
kepuasan pelanggan dapat dikategorikan sebagai tujuan tingkat tinggi dalam
suatu sistem pengukuran kinerja.
j. PBB-P2
Pajak Bumi dan Bangunan Persedaan Perkotaan (PBB-P2) adalah pajak yang
dikenakan atas harta tak bergerak berupa bumi dan/ atau bangunan. Dalam hal
ini yang dipentingkan adalah objeknya dan oleh karena itu keadaan atau status
orang atau badan yang dijadikan sebagai subjek pajak tidak penting dan tidak
mempengaruhi besarnya pajak. oleh karena itu pajak ini disebut pajak objektif.
Sebagai pajak objektif mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban
pajak sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek
pajak tidak mempengaruhi besarnya pajak (Agus Santosa,1992).
Asas Pajak Bumi dan Bangunan ada 4 yaitu :
a. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan;
b. Mudah dimengerti dan adil;
c. Adanya kepastian dalam hukum;
d. Menghindari pajak berganda
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan jenis Pajak
selanjutnya disebut Pajak Daerah sebagaimana diatur dalam UU No.28 Tahun
2009 tentang PDRD yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Pelaksanaan
pelimpahan PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah tersebut
dilakukan secara bertahap, yang diatur oleh Menteri Keuangan bersama-sama
dengan Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lama 4(empat) tahun
sejak diberlakuknya UU PDRD atau sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai
waktu paling lama tanggal 31 Desember 2013, artinya pada tanggal 1 Januari
2014 Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan sudah
diterapkan secara menyeluruh di seluruh Pemerintah Daerah Kabupaten dan
Kota di Indonesia.
Dalam masa transisi tahapan pelimpahan tersebut, ketentuan tentang Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang telah diatur dalam
Undang-undang 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 termasuk peraturan
pelaksanaannya masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013,
sepanjang dalam kurun waktu tersebut belum ada Peraturan Daerah yang
mengatur tentang hal tersebut. Sejak berlakunya UU PDRD pada tanggal 1
Januari 2010 ada daerah yang sejak 1 Januari 2011 sudah menerapkan.
Berdasarkan ketentuan didalam UU PDRD Pasal 77 ayat (1), objek PBB
Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki,
dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
PBB-P2 dikenakan rutin atau terus menerus setiap tahun pajak terhadap objek
pajak PBB yakni bumi atau bangunan. PBB di luar sektor perdesaan perkotaan
termasuk jenis pajak yang dikelola dan diadministrasi oleh DJP, kementrian
Keuangan.
Objek pajak sektor Perdesaan dan Perkotaan
1. Klasifikasi dan besarnya NJOP Bumi untuk objek pajak sektor ini adalah
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II huruf A Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010. Jika nilai jual Bumi lebih besar dari pada
nilai jual tertinggi klasifikasi NJOP bumi yang tercantum dalam Lampiran II
huruf A Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 maka nilai jual
Bumi tersebut ditetapkan sebagai NJOP Bumi.
2. Klasifikasi NJOP Bangunan untuk objek pajak sektor ini adalah
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II huruf B Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010. Jika nilai jual Bangunan lebih besar dari
pada nilai jual tertinggi klasifikasi NJOP bumi yang tercantum dalam Lampiran
II huruf B Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 maka nilai
jual Bangunan tersebut ditetapkan sebagai NJOP Bangunan.
Dasar Pengenaan PBB-P2
Pasal 1 UU PBB menyebutkan dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang
Apabila tidak terdapat transaksi jual beli maka NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru,
atau nilai jual objek pajak pengganti.
Terdapat 3 (tiga) pendekatan penilaian untuk menentukan besarnya NJOP yaitu
1. Pendekatan Perbandingan Harga atau Data Pasar yaitu menentukan nilai
suatu objek dengan membandingkan objek yang dinilai dengan objek lain
sejenis yang telah diketahui nilai jualnya.
2. Pendekatan Biaya yaitu menentukan nilai suatu objek dengan menghitung
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut. Biaya yang
diperhitungkan adalah biaya bangunan baru kemudian dikurangi dengan
jumlah penyusutannya.
3. Pendekatan Pendapatan yaitu menentukan nilai suatu objek dengan
menghitung jumlah pendapatan bersih dari objek tersebt dengan tingkat
kapitalisasi tertentu.
Dasar Perhitungan PBB-P2
Dasar Perhitungan PBB-P2 adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu suatu
persentase tertentu dari Nilai jual Objek Pajak (NJOP). Pasal 6 UU PBB
menyebutkan NKJP ditentukan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari
NJOP.
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 menetapkan NJKP sebagai berikut:
1. objek pajak dengan nilai jual sebesar Rp 1.000.000.000,-(satu miliar) atau
lebih sebesar 40% dari NJOP.
2. sektor perkebunan,perhutanan dan pertambangan sebesar 40% dari NJOP.
Witiya Tri
Asli Daerah (PAD) Kota Tomohon. (Studi Kasus Dinas
Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Barang Milik Daerah Kota Tomohon).
mengalami penurunan dan hanya mengalami kenaikkan pada tahun 2013. Pada tahun 2014-2015 terus mengalami penurunan kontribusi.
C. Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Kerangka pikir
Efektivitas Pengalihan Pengelolaan PBB-P2
Kontribusi
Efektivitas Laju
Pertumbuhan
Kinerja Pengelolaan
PBB-P2 Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah UU Nomor 28 Tahun 2009
PBB-P2 adalah pajak bumi dan bangunan setelah adanya pengalihan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah sesuai dengan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 yaitu tentang pajak daerah dan retribusi
daerah. Sesuai dengan PBB-P2 yang mempengaruhi yaitu tarif, jumlah luas lahan,
jumlah bangunan dan NJOP. Kerangka Pemikiran ini untuk melihat efektivitas
penerimaan PBB-P2 sebelum dan sesudah adanya pengalihan. Efektivitas ini
dilihat dari sisi efektivitas, kontribusi, laju pertumbuhan dan kinerja pengelolaan
PBB-P2.
D. Hipotesis
Dalam penelitian ini penulis membuat hipotesis yaitu :
1. Pengalihan pengelolaan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
Perkotaan (PBB-P2) signifikan efektif.
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian efektivitas ini adalah data sekunder
dengan kurun waktu 2009 – 2016. Data yang digunakan yaitu data tarif, luas lahan,
jumlah luas bangunan, NJOP, penerimaan PBB-P2 dan pajak daerah. Data ini
bersumber dari Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Metro.
B. Definisi Oprasional
1. Efektivitas
Tingkat efektivitas penerimaan PBB-P2 Kota Metro tahun 2009-2016. Adapun
langkah yang dilakukan sebagai berikut: melakukan analisis perbandingan
sebelum dan sesudah adanya PBB-P2 melalui analisis efektivitas penerimaan
PBB Kota Metro tahun 2009-2016. Rumus yang digunakan sebagai berikut:
Efektivitas PBB = Realisasi Penerimaan PBB−P2
Target PBB−P2 × 100%
2. Kontribusi
Menghitung dan menyusun tabel analisis kontribusi penerimaan PBB terhadap
pajak daerah Kota Metro tahun 2009-2016. Rumus yang digunakan sebagai
berikut:
Kontribusi PBB = Realisasi Penerimaan PBB−P2
Pendapatan Asli Daerah digunakan untuk mengitung Kontribusi PBB Kota
Metro tahun 2009-2013 sebagai pembanding penerimaan PBB.
3. Laju Pertumbuhan
Menghitung dan menyusun Laju Pertumbuhan PBB-P2 Kota Metro tahun
2009-2016. Rumus yang digunakan sebagai berikut:
GX = Xt−X(t−1)
X(t−1) × 100%
Sumber: Abdul Halim, dalam Polii 2015
Keterangan :
Gx = Laju pertumbuhan PBB-P2 pertahun
Xt = Realisasi penerimaan PBB-P2 pada tahun
X(t-1) = Realisasi penerimaan PBB-P2 pada tahun sebelumnya
4. Kinerja Pengelolaan PBB-P2
Menurut Abdul Halim (2007), efektivitas pajak daerah menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan pajak daerah sesuai
dengan jumlah penerimaan pajak yang ditargetkan. Ini sama saja untuk melihat
kinerja pengalihan dengan aturan penyimpangan ¿± 10%. Kinerja
Pengelolaan PBB-P2 dapat dilakukan dengan melalukan perbandingan antara
realisasi penerimaan PBB-P2 dengan target PBB-P2.
C. Sampel Penelitian
Pengelolaan PBB-P2 untuk Provinsi Lampung telah dialihkan di lima
Kanan, Kab. Tulang Bawang Barat dan Kota Metro. Lokasi yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Kota Metro. Pemilihan Kota Metro ini dilatar belakangi karena
wilayah yang sudah termasuk ke arah kota dan masih terdapat perdesaan juga. Kota
Metro mengambil alih kewenangan itu sendiri mulai 1 Januari 2013. Kota Metro
merupakan kota nomor dua yang ada di provinsi Lampung dan masih terdapat
wilayah perdesaannya.
D. Model Analisis
Uji 2 Beda Rata-rata (Uji T untuk Sampel Berpasangan)
Uji t untuk sampel berpasangan atau Paired Sample T Test digunakan untuk
menguji perbedaan rata-rata antara dua sampel yang berpasangan. Sampel yang
berpasangan adalah sebuah kelompok sampel dengan subjek yang sama namun
mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda, misalnya perlakuan
sebelum dan sesudah. Interpretasi dari output sebagai berikut :
- Output Paired Samples Statistics
Output ini menjelaskan tentang statistik data dari responden.
- Output Paired Samples Correlations
Output ini menjelaskan tentang korelasi atau besar hubungan antara variabel
sebelum dengan setelah.
- Output Paired Samples Test
Output ini menjelaskan tentang hasil uji t sampel berpasangan. Pengujian
Hipotesis
- H0 : Tidak ada perbedaan efektivitas antara sebelum dan setelah pengalihan
PBB-P2.
Ha : Ada perbedaan efektivitas antara sebelum dan setelah pengalihan
PBB-P2.
- H0 : Tidak ada perbedaan kontribusi antara sebelum dan setelah pengalihan
PBB-P2.
Ha : Ada perbedaan kontribusi antara sebelum dan setelah pengalihan
PBB-P2.
- H0 : Tidak ada perbedaan laju pertumbuhan antara sebelum dan setelah
pengalihan PBB-P2.
Ha : Ada perbedaan laju pertumbuhan antara sebelum dan setelah pengalihan
PBB-P2.
Kriteria pengujian :
Jika –t tabel ≤ t hitung ≤ t tabel maka H0 diterima
Jika –t hitung < -t tabel atau t hitung > t tabel maka H0 ditolak.
Hipotesis pengujian adalah :
H0 : tidak ada perbedaan antara sebelum dengan setelah
Ha : ada perbedaan antara sebelum dengan setelah
Kriteria pengujian berdasarkan signifikansi :
Jika signifikan > 0.05 maka H0 diterima
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Pembahasan
4.1 Analisis Deskriptif
Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, pengalihan PBB-P2 ke seluruh Pemerintah kabupaten/kota telah
dimulai 1 Januari 2014. Pengalihan penerimaan PBB-P2 kepada daerah membuat
PAD Kota Metro meningkat. Peningkatan penerimaan pajak ini selain karena
pengalihan ini juga dipengaruhi oleh tarif, luas lahan, jumlah luas bangunan dan
NJOP. Untuk melihat kondisi tersebut maka akan diuraikan sebagai berikut:
1. Tarif
Tarif PBB-P2 sebelum dialihkan didasarkan pada Undang-Undang Pasal 88 Ayat
1, yaitu sebesar 0,5%, setelah dialihkan ke Undang-Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU PDRD) pasal 80 tarif pajak daerah paling tinggi sebesar
0,3% dan ditetapkan dengan peraturan daerah Undang-Undang 28 Tahun 2009
Pasal 79 Ayat 3. Kota Metro menetapkan besarnya tarif sebesar 0,3 % dan ini
merupakan kebijakan dari Kota Metro itu sendiri. Penentuan tarif setiap daerah
berbeda sebagaimana sesuai dengan acuan masing-masing setiap daerah.
Luas tanah ditentukan dengan membedakan klasifikasi tanah menurut nilai
jualnya. Kota Metro memiliki 5 kecamatan yaitu Metro Barat, Metro Selatan,
Metro Utara, Metro Pusat dan Metro Timur. Sebagaimana tercantum dalam pasal
1 UU Pajak Bumi dan Bangunan, yang dimaksud dengan bumi adalah
permukaan bumi, (perairan) dan tubuh bumi yang berada di bawahnya.
Permukaan bumi itu sebetulnya tidak lain daripada tanah. Jadi yang menjadi
objek PBB-P2 itu adalah tanah (perairan) dan tubuh bumi. Untuk memudahkan
penghitungan PBB-P2 yang terutang, tanah perlu diklasifikasikin (Soemitro,
1989). Klasifikasi tanah adalah pengelompokkan tanah menurut nilai jualnya,
dan memperhatikan faktor-faktornya.
Tabel 8. Luas Lahan Sebelum dan Setelah Pengalihan PBB-P2 di Kota Metro
Kecamatan
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kota Metro.
Tabel di atas menjelaskan bahwa lahan seluas di Kota Metro dari 5 kecamatan.
Baik sebelum dan setelah pengalihan adalah Kecamatan Metro Utara yang
memiliki luas lahan yang lebih dari kecamatan lainnya, sedangkan lahan yang
relatif lebih sempit yaitu pada Kecamatan Metro Timur sebesar 38.044.580 m2.
Sejak pengalihan pengelolaan PBB-P2 luas lahan di Kota Metro menjadi lebih
meningkat drastis sebesar 28,737% diikuti oleh Kecamatan Metro Timur sebesar
23,578%, ini dapat dikatakan bahwa dengan adanya pengalihan kewenangan
yang dikelola Kota Metro berarti wilayah menjadi lebih berkembang dan luas.
Perubahan dengan rata-rata sebesar 10,736 % tersebut terjadi karena semakin
tertibnya aparatur mendata luas lahan warga karena kewenangan pengukuran
sudah ditetapkan Kota Metro makin luas lahan yang dimiliki, makin tinggi pula
penerimaan pajak yang diperoleh pemerintah kota, dan pada akhirnya akan
menambah penerimaan PBB-P2. Setiap penambahan luas lahan yang
dimanfaatkan masyarakat, akan menambah jumlah wajib pajak baru, sehingga
akan meningkatkan penerimaan PBB-P2.
Penelitian ini juga didukung oleh Sasana (2005) bahwa adanya pengaruh atau
hubungan positif antara jumlah luas lahan dengan penerimaan PBB di
Kabupaten Banyumas. Peningkatan jumlah luas lahan yang menjadi objek PBB
di Kabupaten Banyumas sebesar 1%, akan meningkatkan penerimaan PBB-P2.
Penelitian lainnya didukung oleh Afriansyah (2015), bahwa jumlah luas lahan
memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan PBB-P2 di Kota Tangerang
periode 2010-2013.
3. Jumlah Luas Bangunan
Jumlah luas bangunan diukur dengan banyaknya bangunan yang menjadi objek
PBB-P2 di setiap Kecamatan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT) dalam satuan meter persegi (m2). Bangunan yang juga dijadikan objek
PBB adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tempat berusaha atau tempat yang dapat diusahakan. Dalam menentukan
klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor (Soemitro, 1989): a) bahan yang
digunakan, b) rekayasa, c) letak, d) kondisi lingkungan dan lain-lain. Sedangkan
bangunan dapat dikategorikan dalam :
a. Bangunan beton, bangunan bertingkat / susun
b. Bangunan terbuat dari batu
c. Bangunan terbuat dari kayu
d. Bangunan semi permanen, dan sebagainya.
Tabel 9. Jumlah Luas Bangunan Sebelum dan Setelah Pengalihan PBB-P2 di
Kota Metro
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kota Metro
Dilihat dari tabel di atas bahwa total jumlah bangunan di Kota Metro setelah
pengalihan mengalami penurunan jumlah luas bangunan sebesar (3,686%).
Penurunan ini terjadi karena ada 2 kecamatan yang jumlah luas bangunannya
menurun pada Kecamatan Metro Timur menjadi sebesar -4,277% dan Metro
Pusat menjadi sebesar -13,388%. Sebelum adanya pengalihan yang paling kecil
di antara lainnya adalah Kecamatan Metro Selatan. Ini adalah wilayah yang
belum banyak bangunan yang berdiri maka dengan itu kecamatan ini jumlah
Selatan yang meningkat drastis jumlah bangunannya dari pada kecamatan
lainnya. Jumlah luas bangunan sebelum pengalihan sebesar 8.644.261 m2
kemudian mengalami penurunan setelah adanya pengalihan sebesar
8.325.591,99 m2.
Perubahan jumlah luas bangunan tersebut mengalami fluktuatif dan yang
berbeda pada kecamatan Metro Selatan. Pada kecamaatan ini peningkatan
perubahan terjadi sebesar 12,889 %. Sedangkan perubahan yang turun sangat
jauh pada kecamatan Metro Pusat sebesar -13,388 %, penurunan ini terjadi
karena masyarakat lebih memilih membangun di tempat lain yang lebih strategis
dan lebih kecil dalam pengenaan NJOPnya dengan rata-rata perubahan sebelum
dan setelah pengalihan yaitu sebesar -3,686 %. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hubungan antara jumlah luas bangunan dengan penerimaan
PBP-P2 di Kota Metro mempunyai sifat yang elastis, karena peningkatan jumlah
luas bangunan yang kecil mampu menyebabkan peningkatan yang lebih besar
pada penerimaan PBB-P2 di Kota Metro. Jumlah luas bangunan juga merupakan
variabel yang dominan dalam mempengaruhi penerimaan PBB-P2 di Kota
Metro.
Penelitian ini didukung oleh Sasana (2005) bahwa adanya pengaruh atau
hubungan positif antara jumlah bangunan dengan penerimaan PBB di Kabupaten
Banyumas. Angka elastisitas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah bangunan
yang menjadi objek PBB di Kabupaten Banyumas sebesar 1 %, dengan asumsi
variabel yang lain konstan, akan meningkatkan penerimaan PBB. Penelitian
jumlah bangunan memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan PBB di
Kota Tangerang periode 2010-2013.
4. NJOP
Penentuan besarnya NJOP tanah maupun bangunan untuk kondisi tanggal 1
Januari tahun pajak dilakukan melalui proses penilaian tanah dan atau bangunan.
Penilaian dilakukan dengan tujuan untuk menentukan NJOP tanah maupun
bangunan per m2 sebagai dasar pengenaan PBB. Penentuan NJOP tanah per
meter persegi, dilakukan setiap tahun oleh Pemda. NJOP ditetapkan berdasarkan
surat keputusan bupati/walikota. Besarnya NJOP ditetapkan berdasarkan
penilaian yang dilakukan dengan metode perbandingan data pasar dan
dilaksanakan secara masal. Penilaian tanah dilakukan dengan tujuan untuk
menentukan besarnya NJOP sebagai dasar pengenaan PBB-P2 dan tanggal
penilaian ditetapkan untuk keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari tahun
pajak. Nilai NJOP sebelum pengalihan dimulai dari Rp. 7.150/m2 sampai Rp.
702.000/m2 sesuai dengan zona nilai tanah. Sumber data pasar tanah diperoleh
melalui penjualan dan pembelian, notaris PPAT, broker, aparat daerah atau
sumber lainnya yang dipercaya. Untuk Kota Metro sendiri semenjak pengalihan
belum melakukan penyesuaian khususnya NJOP bumi. Rencana estimasi
penyesuaian NJOP akan menggunakan dua kelas dari harga nilai jual tanah
pasar. Penyesuaian NJOP ini berdasarkan aksesibilitas dan status jalan.
Perubahan NJOP mengacu pada Perda Kota Metro Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Pertumbuhan nilai tanah maupun bangunan yang semakin meningkat diiringi
dengan kegiatan perekonomian yang ada, sehingga menyebabkan penerimaan
dari sektor pajak khususnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga meningkat.
Dalam hal ini nilai jual objek pajak (NJOP) yang menjadi dasar perhitungan
PBB sangat berpengaruh penting dalam penerimaan PBB. Penetapan NJOP yang
tinggi menyebabkan penerimaan PBB juga mengalami peningkatan (Ovelia V.
Imbing, 2013:484).
Penjelasan ini didukung oleh Purnamasari (2015) NJOP berbengaruh signifikan
terhadap Penerimaan Pajak dan dapat dikatakan bahwa NJOP searah dengan
Penerimaan Pajak yang dilaporkan. Yang dimana jika NJOP meningkat maka
Penerimaan Pajak juga meningkat. Pengaruh langsung NJOP Pajak terhadap
Penerimaan Pajak lebih besar, sedangkan Pengaruh tidak langsung Nilai Jual Objek
Pajak terhadap Penerimaan lebih kecil dari pengaruh langsung. Total Pengaruh Nilai
Jual Objek Pajak searah positif, artinya Pendapatan Daerah dipengaruhi oleh Nilai
Jual Objek Pajak ke Penerimaan Pajak.
5. Penerimaan PBB-P2 Sebelum dan Setelah Pengalihan
PBB-P2 merupakan pajak objektif, di mana pengenaan pajak didasarkan pada
objek dari PBB, yaitu bumi dan / atau bangunan, sehingga otomatis yang
menjadi objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Undang – undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah bahwa penerimaan
PBB-P2 dialihkan ke pemerintah kabupaten/kota.
Tabel 10. Penerimaan PBB-P2 Sebelum dan Setelah Pengalihan di Kota Metro
Kecamatan
Sebelum Pengalihan (Rp)
Setelah Pengalihan (Rp)
Metro Barat 1.778.662.436 1.535.487.796 -13,671 Metro Utara 1.158.309.644 1.560.946.225 34,760
Metro Selatan 776.493.313 877.321.014 12,985
Metro Timur 2.577.435.105 2.250.346.603 -12,690 Metro Pusat 1.600.448.249 3.211.667.373 100,672
Jumlah 7.891.348.747 9.435.769.008 19,571
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kota Metro
Penerimaan PBB-P2 di Kota Metro dapat dilihat di tabel atas setelah
pengalihan meningkat sebesar 19,571% dari Rp. 7.891.348.747 menjadi Rp.
9.435.769.008. PBB-P2 sebelum pengalihan terbesarnya di kecamatan Metro
Timur sebesar Rp.2.577.435.105. Sementara penerima PBB-P2 yang paling
kecil diantaranya yaitu Metro Selatan sebesar Rp.776.493.313. Dengan adanya
pengalihan kewenangan penerimaan PBB-P2 di Kota Metro penerimaannya
meningkat drastis. Bisa dilihat pada kecamatan Metro Pusat penerimaanya
sebesar Rp.3.211.667.373. Penerimaan sebelum adanya pengalihan sebesar Rp.
7.891.348.747 sedangkan setelah adanya pengalihan meningkat menjadi
sebesar Rp. 9.435.769.008. Ini membuktikan bahwa pengalihan pengelolaan
PBB-P2 dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah di kota tersebut. Dari 5
kecamatan tersebut yang meningkat penerimaan PBB-P2 yaitu pada
Kecamatan Metro Utara, Metro Selatan dan Metro Pusat. Peningkatan
penerimaan setelah pengalihan ini karena ketaatan wajib pajak untuk
membayar dan NJOP yang dikenakan sesuai dengan zona nilai tanah
masing-masing kecamatan. Selanjutnya ada 2 kecamatan yang mengalami penurunan
penerimaan PBB-P2 yaitu pada Kecamatan Metro Barat dan Metro Timur.
dari membayar pajak tersebut dan NJOP yang dikenakan lebih kecil dari 3
kecamatan lainnya.
Perubahan sebelum dan setelah pengalihan yang penerimaan paling tinggi pada
kecamatan Metro Pusat melebihi 100%. Peningkatan penerimaan ini terjadi
setelah adanya pengalihan ke pemerintah kabupaten/kota. Hal ini secara
langsung memperlihatkan bahwa pengalihan penerimaan ini seluruhnya
dikelolah oleh daerah dan bukan bagi hasil dari pemerintah pusat.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Rahman (2011) bahwa pemungutan PBB
berjalan dengan cukup efektif karena setiap tahun mengalami peningkatan
pembayaran oleh wajib pajak. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan
penerimaan pajak pada KPP Pratama Parepare setiap tahunnya.
Penelitian ini didukung oleh Saputro (2014) bahwa potensi penerimaan PBB di
Kabupaten Gianyar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dengan
beralih fungsinya lahan pertanian/tanah sawah menjadi tanah kering
mengakibatkan nilai tanah berubah, di mana NJOP naik sehingga otomatis
penerimaan PBB juga naik.
4.2 Analisis Efektivitas Pengalihan Pengelolaan PBB-P2
1. Efektivitas
Menurut Indra Bastian (2006), efektivitas merupakan hubungan antara output
dan tujuan, dimana efektivitas diukur berdasarkan seberapa jauh tingkat output,
kebijakan, dan prosedur organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
realisasi dari kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Dalam penelitian
ni output tersebut merupakan hasil dari penerimaan PBB-P2.
Efektivitas adalah mengukur hubungan antara hasil pungutan suatu pajak dengan
potensi atau target penerimaan pajak itu sendiri. Rumus yang digunakan dalam
menghitung tingkat efektivitas penerimaan pajak adalah:
Efektivitas Pajak = Realisasi Penerimaan PBB−P2
Target PBB−P2 × 100%
Sumber: Munir, dkk, 2004.
Besarnya tingkat efektivitas penerimaan PBB-P2 Kota Metro dari tahun 2009
-2016.
Tabel 11. Tingkat Efektivitas Pengalihan Pengelolaan PBB-P2.
Tahun Efektivitas(%)
Setelah hasil olah data di atas dapat diketahui dari segi penerimaan PBB-P2
sebelum dan sesudah pengalihan mengalami perubahan yang cukup besar
dengan jumlah rata-rata penerimaan sebelum pengalihan sebesar 65.71%
sedangkan setelah adanya pengalihan rata-rata menjadi 74.11%. Hal ini terlihat
efektif dari rata-rata penerimaan setelah pengalihan terhadap penerimaan
PBB-P2 bergerak naik pada tahun 2013. Pada tahun 2009-2012 penerimaan PBB-PBB-P2
interpretasi kurang efektif. Pada tahun 2010 merupakan tingkat efektivitas
terendah selama tahun 2009-2012 yaitu sebesar 57.23%. Sedangkan rata-rata
sebelum pengalihan yaitu sebesar 65.71%.
Tingkat efektivitas PBB-P2 saat ini dikelola Dinas Pendapatan Kota Metro
mengalami peningkatan penerimaan PBB-P2 pada tahun 2013-2016. Tahun 2015
merupakan tingkat efektivitas tertinggi yaitu sebesar 77.92% dengan interpretasi
kurang efektif dan tingkat efektivitas terendah yaitu sebesar 69.16% pada tahun
2013. Pada Tahun 2016 mengalami penurunan efektivitas karena penerimaan
PBB-P2 tidak sesuai target yang ditetapkan. Rata-rata penerimaan setelah
pengalihan sebesar 74.11%.
Jumlah rata-rata sebelum dan setelah pengalihan mengalami peningkatan. Ini
membuktikan bahwa dengan adanya pengalihan luas lahan, luas bangunanan dan
NJOP juga berpengaruh dalam efektivitas penerimaan PBB-P2.
Penelitian ini didukung oleh Rima Adelina (2012) menyimpulkan bahwa tingkat
efektivitas penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2007 sampai dengan
tahun 2011 dikatakan sangat efektif dengan persentase lebih dari 100%.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Saputro (2014) bahwa tingkat efektivitas
penerimaan PBB Perkotaan Surabaya saat dikelola DJP (2009-2010) dengan
rata-rata sebesar 86.54% menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan saat
dikelola Kota Surabaya DPPK (2011-2013) dengan rata-rata sebesar 76.38%.
Penelitian ini didukung oleh Rizka (2014) bahwa penerimaan PBB Kota
Probolinggo kurang efektif karena selama 6 tahun dari 2008-2013 belum
Penelitian lainnya oleh Nur Riza Utiarahman (2016) bahwa tingkat efektivitas
tahun 2011-2012 PBB Kota Tomohon belum efektif pada tahun 2013 sudah
efektif. Penelitian ini didukung oleh Sumena O. Polli (2014) bahwa tingkat
efektivitas PBB kota Manado cukup efektif karena hampir seluruh tahun dari
tahun 2008-2012 tingkat efektivitasnya mencapai kriteria yang ditetapkan.
Secara statistik tingkat efektivitas juga dapat dihitung dengan menggunakan uji
2 beda rata-rata sebagai berikut:
Tabel 12. Uji Sampel Berpasangan Tingkat Efektivitas Pengalihan PBB-P2
Grup Mean Correlations T
Efektivitas 65.7188 0.473 -2.556
sig 0.527 sig 0.083 efektivitas 1 74.1127
Tabel di atas menunjukkan tingkat efektivitas dengan menggunakan uji t sampel
berpasangan penerimaan PBB-P2 sebelum dan sesudah pengalihan tahun
2009-2016, berdasarkan sig 0.083 berarti bahwa ada perbedaan tingkat efektivitas
antara sebelum pengalihan PBB-P2 dengan setelah adanya pegalihan PBB-P2.
Selain dapat melihat dari t hitung bisa juga dilihat dari signifikansinya.
2. Kontribusi
Kontribusi penerimaan PBB-P2 dilakukan dengan membandingkan penerimaan
total pajak daerah. Semakin besar rasio kontribusi ini berarti semakin efektif
pengalihan penerimaan pajak daerah, begitu pula sebaliknya jika kontribusinya
makin menurun berarti peranan pajak daerah juga kecil. Rumus pengukuran
Kontribusi PBB = Realisasi Penerimaan PBB
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah × 100%
sumber: Munir, dkk, 2004.
Kontribusi sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 terhadap total Pajak
Daerah Kota Metro Tahun 2009-2016.
Tabel 13. Tingkat Kontribusi Sebelum dan Setelah Pengalihan PBB-P2
Tahun Kontribusi (%)
2009 43.67
2010 47.34
2011 37.37
2012 36.1
Rata-rata 41.1
2013 19.27
2014 18.63
2015 17.48
2016 16.99
Rata-rata 18.09
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa rata-rata kontribusi penerimaan
PBB-P2 sebelum pada tahun 2009-2012 sebesar 41.12% dan setelah adanya
pengalihan rata-rata kontribusi turun yaitu sebesar 18.09% menurun sebesar
23% dari sebelum adanya pengalihan penerimaan PBB-P2. Pada tahun
2009-2012 mengalami fluktuasi, Pada tahun 2009-2012 merupakan kontribusi yang sangat
baik yaitu sebesar 47.34%, sedangkan pada tahun 2012 mengalami penurunan
dengan nilai kontribusi yaitu 36.1%.
Setelah adanya pengalihan PBB-P2 tahun 2013-2016 yang dikelola oleh Dinas
Pendapatan Kota Metro kontribusi mengalami penururan dari sebelum adanya
pengalihan. Pada tahun 2016 merupakan kontribusi terendah setelah adanya
2013 sebesar 19.27% dengan interpretasi kurang. Rata- rata setelah adanya
pengalihan sebesar 18.09. Penurunan kontribusi penerimaan PBB-P2
dikarenakan dengan masuknya PBB-P2 ke daerah maka pajak daerah meningkat
dan dalam perhitungan kontribusi pajak daerah menjadi lebih besar dan adanya
kendala dalam rangka optimalisasi penerimaan PBB-P2 Kota Metro. Kendala
tersebut berupa kurangnya kesadaran warga untuk membayar pajak. Penurunan
ini juga dikarenakan PBB-P2 sudah termasuk pajak daerah sehingga penerimaan
pajak daerah menigkat dan ini mengakibatkan pembagian penerimaan PBB
terhadap pajak daerah semakin menurun.
Tabel 14. Realisasi Penerimaan PBB-P2 dan Pajak Daerah
TAHUN REALISASI PBB-P2(Rp) PAJAK DAERAH(Rp)
2009 1.598.652.412 3.660.580.994
2010 1.543.688.988 3.260.505.131
2011 2.300.121.960 6.153.598.584
2012 2.457.866.636 6.807.598.744
2013 2.176.474.957 11.291.481.099
2014 2.357.971.982 12.651.879.441
2015 2.501.532.489 14.309.185.603
2016 2.427.848.443 14.281.738.649
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Metro
Penelitian ini didukung oleh Rima Adelina (2012) menyimpulkan bahwa tingkat
kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2007 sampai dengan tahun 2011
dikatakan sangat kurang dengan persentase kurang dari 10%. Penelitian ini juga
didukung oleh Kharisma Wanta Tarigan (2013) bahwa kontribusi PBB di KPP
Pratama Kota Manadodari tahun 2008-2011 rata-rata 5% sedangkan tahun 2010
Penelitian lainnya dilakukan oleh Saputro (2014) bahwa kontribusi PBB
Perkotaan Surabaya terhadap pajak daerah dan PAD kota Surabaya periode
2011-2013 selalu mengalami penurunan. Penelitian terdahulu oleh Sumena O.
Polli (2014) bahwa jumlah penerimaan PBB Kota Manado memberikan
kontribusi yang masih kurang bagi pendapatan daerah sehingga mempengaruhi
jumlah pendapatn daerah yang diterima.
Penelitian lainnya oleh Nur Riza Utiarahman (2016) bahwa kontribusi Kota
Tomohon dari tahun 2011-2015 selalu mengalami penurunan dan hanya
mengalami kenaikan pada tahun 2014, sedangkan tahun 2014-2015 terus
mengalami penurunan kontribusi. Penelitian terdahulu juga pernah dilakukan
oleh Wigi Astuti (2016) bahwa kontribusi Kota Balikpapan yang diberikan
PBB-P2 terhadap PAD mengalami penurunan setiap tahunnya sehingga
mempengaruhi jumlah pendapatan daerah yang diterima.
Secara statistik tingkat kontribusi juga dapat dihitung dengan menggunakan uji 2
beda rata-rata sebagai berikut:
Tabel 15. Uji Sampel Berpasangan Tingkat Kontribusi Pengalihan PBB-P2
Grup Mean Correlations T
Kontribusi 41.1251 0.776 6.123
sig 0. .224 sig 0.009
Kontribusi 1 30.8540
Tabel di atas menunjukkan tingkat kontribusi penerimaan PBB-P2 sebelum dan
sesudah pengalihan tahun 2009-2016 dengan menggunakan uji t sampel
kontribusi antara sebelum pengalihan PBB-P2 dengan setelah adanya pegalihan
PBB-P2.
3. Laju Pertumbuhan
Analisis efektivitas laju pertumbuhan dihitung dengan menggunakan PBB-P2
sebelum dan setelah pengalihan untuk mengetahui pertumbuhan penerimaan
daerah setiap tahunnya. Perubahan realisasi penerimaan daerah setiap tahunnya
menggambarkan iklim ekonomi setiap tahunnya. Perubahan realisasi penerimaan
setiap tahunnya mempengaruhi besar kecilnya laju pertumbuhan penerimaan
daerah tersebut. Semakin besar perubahan realisasi yang diberikan dari tahun
sebelumnya, maka laju pertumbuhanyang terjadi besar pula. Demikian
sebaliknya, semakin kecil penerimaan dari tahun sebelumnya, maka laju
pertumbuhan yang terjadi semakin kecil. Laju pertumbuhan penerimaan PBB-P2
Kota Metro dari tahun 2009-2016 dapat dilihat sebagai berikut.
Gambar 3. Tingkat Laju Pertumbuhan Pengalihan PBB-P2.
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan penerimaan
PBB-P2 sebelum dan setelah pengalihan dari tahun 2009-2016 mengalami
fluktuasi. Laju pertumbuhan penerimaan PBB-P2 sebelum dan setelah
pengalihan di Kota Metro tertinggi dalam periode tahun 2009-2016 terjadi pada
tahun 2011. Laju pertumbuhan penerimaan PBB-P2 sebelum adanya pengalihan
tahun 2012 mengalami penurunan yang sangat signifikan sedangkan rata-rata
laju pertumbuhan sebelum pengalihan sebesar 6.85%. Dari adanya pengalihan
tersebut laju pertumbuhan mengalami penurunan tidak seperti tahun
sebelumnya. Pada tahun 2013 ini terjadi penurunan laju pertumbuhan sebesar
-11.44% sedangkan untuk rata-rata laju pertumbuhan setelah adanya pengalihan
yaitu sebesar 0.008%. Pada tahun 2014 sampai tahun 2016 mengalami
penurunan karena penerimaan PBB-P2 tidak melebihi target yang ditetapkan.
Penelitian ini didukung oleh Wigi Astuti (2016) bahwa laju pertumbuhan Kota
Balikpapan dari 2012-2014 mengalami pertumbuhan yang tidak stabil. Pada
tahun 2013 mengalami penurunan dan tahun 2014 mengalami kenaikan.
Secara statistik laju pertumbuhan juga dapat dihitung dengan menggunakan uji 2
beda rata-rata sebagai berikut:
Tabel 16. Uji Sampel Berpasangan Tingkat Laju Pertumbuhan Pengalihan
PBB-P2
Grup Mean Correlations T
Laju pertumbuhan 13.4708 0.355 1.197
Laju pertumbuhan 1 .0083
Tabel di atas menunjukkan tingkat laju pertumbuhan penerimaan PBB-P2
dengan menggunakan uji t sampel berpasangan sebelum dan sesudah pengalihan
tahun 2009-2016, berdasarkan sig 0.317 berarti bahwa tidak ada perbedaan
tingkat laju pertumbuhan antara sebelum pengalihan PBB-P2 dengan setelah
adanya pegalihan PBB-P2.
4. Kinerja Pengalihan Pengelolaan PBB-P2
Menurut Abdul Halim (2007), efektivitas pajak daerah menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan realisasi pajak daerah
sesuai dengan jumlah target penerimaan pajak. Menurut aturan penyimpangan
¿± 10%. Jika realisasi mencapai ± 10% target maka kinerja keuangan pengalihan efektif. Kinerja Pengelolaan PBB-P2 dapat dilakukan dengan
melalukan perbandingan antara realisasi penerimaan PBB-P2 dengan target
PBB-P2.
Tabel 17. Realisasi Penerimaan dan Target PBB-P2 Kota Metro
Tahun Realisasi Penerimaan(Rp) Target PBB-P2 (Rp) Penyimpangan(%)
2009 1.598.652.412 2.586.269.080 38,186
2010 1.543.688.988 2.697.329.990 42,769
2011 2.300.121.960 3.249.116.147 29,207
2012 2.457.866.636 3.365.118.094 26,960
rata-rata 34,281
2013 2.176.474.957 3.146.836.651 30,836
2014 2.357.971.982 3.158.685.540 25,359
2015 2.501.532.489 3.210.052.997 22,071
2016 2.427.848.443 3.249.764.588 25,291
rata-rata 25,887
Tabel di atas dapat dijelaskan bahwa realisasi penerimaan belum mencapai target
yang telah ditetapkan. Kinerja pengalihan bisa terlihat bahwa sebelum adanya
pengalihan dan setelah pengalihan tidak ada yang berbeda untuk pencapaian
karena belum bisa melampaui target yang ada. Ini salah satu cara untuk
membuat perubahan penerimaan PBB-P2 supaya semua kinerja pengalihan
sesuai dengan target. Adapun hal lain yang harus diperbaiki sebagai acuan
perubahan.
Penyimpangan yang terjadi dari tahun 2009-2016 > 10% ini berarti melebihi
aturan yang ada dalam penyimpangan. Penyimpangan ini terjadi disebabkan
realisasi penerimaan PBB belum pernah mencapai target yang ditetapkan maka
dengan demikian yang terjadi penyimpangan melampaui batas yang ada.
Perbandingan keduanya dilakukan untuk melihat kinerja pengelolaan PBB-P2 di
Kota Metro. Dengan demikian bahwa kinerja pengelolaan PBB-P2 belum baik
dan harus ada peningkatan dalam pencapaian maksimal untuk realisasi PBB-P2.
Ada perbaikan kinerja pengelolaan PBB-P2 antara target dan realisasi sebab
sebelum pengalihan penyimpangan sebesar 34,281% lalu penyimpangan terjadi
setelah pengalihan sebesar 25,887%. Ini berarti bahwa kinerja pengelolaan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uji dan pembahasan yang telah dilakukan tentang efektivitas
pengalihan pengelolaan penerimaan PBB-P2 kepada kabupaten/kota, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Tingkat efektivitas ini menunjukkan bahwa sebelum adanya pengalihan hanya
meningkat perlahan dengan intepretasi kurang efektif, dan setelah pengalihan
setelah pengalihan ini terjadi penurunan pada tahun 2016. Tetapi untuk
rata-rata sebelum dan setelah adanya pengalihan PBB-P2 mengalami peningkatan.
2. Tingkat kontribusi ini sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 tidak
mengalami kenaikan, hanya saja pada sebelum pengalihan sempat terjadi
kenaikan. Tetapi setelah pengalihan tetap saja mengalami penurunan. Hasil
uji sampel berpasangan menjelaskan bahwa adanya perbedaan tingkat
kontribusi antara sebelum dengan setelah pengalihan PBB-P2.
3. Tingkat laju pertumbuhan sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 ini tidak
jauh berbeda setiap tahunnya terjadi naik turun yang sangat jauh antara tahun
sebelumnya dengan tahun sekarang. Penerimaan yang tidak stabil
sangat berpengaruh karena PBB-P2 merupaka salah satu sumber pendapatan
yang menunjang pendapatan daerah.
4. Kinerja Pengelolaan PBB-P2 belum maksimal dilihat dari perbandingan target
penerimaan dengan realisasi penerimaan terjadi penyimpangan melebihi dari
10%. Ini dikarenakan belum pernah tercapainya target PBB-P2.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis mengajukan saran antara lain yaitu:
1. Penerimaan PBB-P2 harus dioptimalkan dengan membuat pembayaran
secara online, karena kurang efektif dalam penerimaan PBB-P2 sehingga
penerimaan PBB-P2 ini seharusnya tercapai sebagaimana mestinya dan
tersebut. Diharapkan lebih meningkatkan lagi target dan realisasi penerimaan
PBB-P2.
2. Pemerintah harus tetap mengontrol bagi wajib pajak yang melakukan
kecurangan pajak dan ketaatan, khususnya PBB-P2 akan diberikan reward
dan punishment. Hal tersebut dilandasi dengan pemberian sanksi hukuman
yang tegas bagi yang melanggar peraturan tersebut dan mendapatkan
penghargaan bagi yang taat dan tepat waktu membayar pajak.
3. Memberikan penyuluhan lebih lagi kepada masyarakat dengan lebih banyak
diadakan sosialisasi wajib pajak tentang pentingnya membayar pajak
khususnya PBB-P2 karena secara tidak langsung realisasi penerimaan pajak