• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan Chapter III V"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

A.

Sejarah dan Pengertian Arbitrase Internasional

1.

Sejarah Arbitrase Internasional

Perkembangan sejarah arbitrase, sesungguhnya badan arbitrase telah lama dipraktekkan.

Menurut M. Domke, bangsa- bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui

arbitrase sejak zaman Yunani kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi

dan Yahudi (biblical times) serta terus berkembang terutama di negara- negara dagang di Eropa,

seperti Inggris dan Belanda. Arbitrase internasional, sejarah terbentuknya, bagi masing- masing

negara memiliki perbedaan yang terlihat dalam bentuk masing- masing jenis lembaga arbitrase

internasional itu sendiri.

36

Permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut LBB) mendorong

masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu

mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas

dari kehendak negara-negara yang bersengketa. Pasal 14 LBB menugaskan Dewan untuk

Berdasarkan Konvensi The Haque 1899, disusul konvensi yang sama 1907 didirikan

lembaga Arbitrasi yang dinamakan Permanent Court of Arbitration dan berkedudukan di Den

Haag. Sebenarnya lembaga Arbitrasi ini didirikan secara tetap, namun ternyata secara praktis lebih

bersifat ad hoc sebagaimana yang dikenal sebelumnya. Hanya susunan anggota yang ditunjuk

sebagai arbitrator (yang menjadi anggota panel permanent court of arbitration) yang bersifat tetap.

Sedang mahkamah arbitrasi yang menangani kasus berakhir setelah adanya putusan arbitrasi.

Mahkamah Arbitrasi ditetapkan lagi bilamana terdapat kasus yang menjadi yurisdiksinya. Jadi

Mahkamah Arbitrasi dibentuk secara ad hoc kasus demi kasus. Ketua dan anggota Mahkamah

Arbitrasi yang dibentuk untuk menangani satu kasus dipilih dari anggota panel Permanent Court

of Arbitration.

36

(2)

menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh

LBB, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut.

Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia

mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru.

Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam PBB dan Statuta Mahkamah

Internasional.

37

Menurut Pasal 92 Piagam PBB disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan

organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun sesungguhnya, pendirian

Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari

Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak

mengalami perubahan secara signifikan.

Pengangkatan arbitrasi dilakukan oleh negara peserta dan penandatanganan konvensi Den

Haag dengan cara masing-masing mengusulkan empat orang yang diakui kemampuannya di

bidang hukum international untuk menjadi anggota panel PCA. Jika para pihak bersengketa setuju

menyerahkan penyelesaian dengan cara ini, maka para pihak masing-masing boleh memilih dua

arbitrator dari anggota panel diatas satu diantara dua pilihannya itu dibolehkan

berkewarganegaraan negaranya. Kemudian keempat arbitrator pilihan para pihak bersengketa

memilih seorang arbitrator kelima sebagai wasit.

Yurisdiksi Mahkamah tetap arbitrasi bersifat sukarela yaitu meliputi semua kasus yang

diserahkan kepadanya oleh negara yang bersengketa, baik melalui perjanjian sebelumnya maupun

cara lain yang ditentukan sendiri oleh mereka. Selain "panel arbitrasi" yang bersifat tetap, juga

dibuat sebuah Code of Rules of Prosedures yang bersifat tetap untuk dipakai bilamana para pihak

gagal memberlakukan peraturan yang telah mereka perjanjikan sebelumnya. Oleh karena

Konvensi The Haque 1899 tahun 1907 merupakan konvensi yang menghindari penggunaan perang

dalam penyelesaian sengketa maka cara penyelesaian melalui Permanent Court of Arbitration

merupakan salah satu cara penyelesaian secara damai tanpa kekerasan.

(3)

Hal serupa dikemukakan juga oleh Brierly, bahwa Mahkamah Tetap Arbitrasi diciptakan

oleh Konvensi Den Haag untuk penyelesaian perselisihan antar negara secara damai, yang dibuat

dalam tahun 1899, dan diubah di tahun 1907. Arbitrasi memiliki garis sejarah yang panjang.

38

a.

Arbitor Tunggal,

Dikenal sejak zaman Yunani kuno. Akan tetapi Aritrasi modern sebagaimana yang dikenal

sekarang ini dimulai sejak adanya Jay Treaty tahun 1794 yang dibuat oleh Inggris dan Amerika

Serikat. Sejak saat itu dikenal tiga tipe arbitrasi ad hoc, yaitu:

b.

Komisi Bersama,

c.

Komisi Campuran.

39

2.

Pengertian Arbitrase Internasional

Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin),

arbitrage

(Belanda),

arbitration

(Inggris),

schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk

menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.

40

Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan

bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di mana satu pihak atau lebih

menyerahkan sengketannya, ketidaksepahamannya, ketidakkesepakatannya dengan salah

satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (Arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter

majlis)ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim atau peradilan swasta

yang akan menerapkantata cara hukum perdamaian yang telah disrpakati bersama oleh

para pihak tersebut untuk sampai pada putusan yang final dan mengikat.

Menuurt Priyatna Abdulrrasyid mengatakan

41

B.

Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Internasional

Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan

sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi

keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase

adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas

38

Brierly,JL. Hukum Bangsa Bangsa suatu pengantara hukum internasional. Bhatara,

Jakarta, 1996, hal, 229.

39

Bowett,D.W. Hukum Organisasi Internasional. Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal 327

40

Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, Grasindo, Jakarta, 2002, hal 1

41

(4)

yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam

arbitrase adalah :

1.

Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan

2.

Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum.

42

Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para

pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi

bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang

terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan

cara lain.

Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas

dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan

arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:

1.

Persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;

2.

Metode pemilihan panel arbitrase;

3.

Waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);

4.

Batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;

5.

Prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu

kesepakatan.

43

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral

serta putusan yang dikeluarkan sifatnya final dan mengikat. Badan arbitrase dewasa ini sudah

semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketasengketa

internasional.

Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu

compromis, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir; atau melalui

pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (clause

42

Burhantsani, Muhammad, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta,

1990, hal 211

43

(5)

compromissoire). Orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut arbitrator atau arbiter

(Indonesia).

Pemilihan arbitrator sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbitrator

yang dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta disyaratkan netral. Ia

tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia bisa insinyur,

pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan.

Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya arbitrator menetapkan terms of reference atau

'aturan permainan' (hukum acara) yang menjadi patokan kerja mereka. Biasanya dokumen ini

memuat pokok masalah yang akan diselesaikan, kewenangan jurisdiks arbitrator dan aturan-aturan

(acara) sidang arbitrase sudah tentu muatan terms ofreference tersebut harus disepakati oleh para

pihak.

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin meningkat. Dari

sejarahnya, cara ini sudah tercatat sejak jaman Yunani kuno. Namun penggunaannya dalam arti

modern dikenal pada waktu dikeluarkannya the

Hague Convention for the Pacific Settlement of

International Disputes tahun 1989 dan 1907. Konvensi ini melahirkan suatu badan arbitrase

internasional yaitu PCA.

C.

Kewenangan Arbitrase Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Wilayah

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa secara damai. Proses ini dilakukan dengan

cara menyerahkan penyelesaian sengketa kepada orang-orang tertentu, yaitu arbitrator. Mereka

dipilih secara bebas oleh para pihak yang bersengketa. Mereka itulah yang memutuskan

penyelesaian sengketa, tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum.

Pengadilan-pengadilan arbitrase semestinya berkewajiban untuk menerapkan hukum internasional. Namun,

pengalaman di lapangan hukum internasional menunjukkan adanya kecenderungan yang berbeda.

Beberapa sengketa yang menyangkut masalah hukum seringkali diputuskan berdasarkan kepatutan

dan keadilan (ex aequo et bono).

44

(6)

Proses arbitrase ada prosedur tertentu yang harus ditempuh. Bila terjadi sengketa antara

dua negara dan mereka menghendaki penyelesaian melalui PCA, maka mereka harus mengikuti

prosedur tertentu. Prosedur tersebut harus ditaati dan dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah

hukum internasional. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut:

1.

Masing-masing negara yang bersengketa tersebut menunjuk dua arbritator. Salah seorang di

antaranya boleh warga negara mereka sendiri, atau dipilih dari orang-orang yang

dinominasikan oleh negara itu sebagai anggota penel mahkamah arbitrasi.

2.

Para arbritator tersebut kemudian memilih seorang wasit yang bertindak sebagai ketua dari

pengadilan arbritasi tersebut.

3.

Putusan diberikan melalui suara terbanyak. Dengan demikian, arbritase pada hakikatnya

merupakan suatu konsensus atau kesepakatan bersama di antara para pihak yang bersengketa.

Suatu negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka pengadilan arbritase, kecuali jika

mereka setuju untuk melakukan hal tersebut.

45

Jurisdiksi atau kewenangan hukum adalah isu yang penting di dalam arbitrase. Isu inilah

yang pertama-tama akan lembaga arbitrase, mahkamah arbitrase atau majelis arbitrase angkat

sebelum memeriksa dan memutus suatu sengketa. Suatu badan arbitrase yang memutuskan bahwa

ia memiliki jurisdiksi, akan menentukan kelanjutan dari sesuatu sengketa. Sebaliknya, ketika

badan arbitrase memutuskan bahwa ia tidak memiliki kewenangan, ia akan segera menolak untuk

memeriksa sengketa.

46

1.

Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang

didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;

Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:

2.

Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat

nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun

45

Ibid.

46

(7)

biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang

mempunyai kuasa persuasive kuat.

47

Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum

internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:

1.

Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum,

maupun khusus;

2.

Kebiasaan internasional (international custom);

3.

Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law

) yang diakui oleh

negara-negara beradab;

4.

Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui

kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.

Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono,

yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa

dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah

Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga

diambil atas dasar suara mayoritas.

Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke

Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara

unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan,

maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional

tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).

47

(8)

A.

Latar Belakang Sengketa Laut Cina Selatan Antara Republik Rakyat Cina dengan

Philipina

Laut Cina Selatan (LCS) merupakan Kawasan lautan yang memiliki luas sekitar 648.000

persegi yang berada diantara kawasan Tiongkok, Philipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia. Laut

Cina Selatan (LCS) dalam peta konflik dibedakan menjadi dua yaitu bagian utara dan bagian

selatan. Bagian utara laut cina selatan terdapat pulau pratas yang diklaim oleh Tiongkok dan

Taiwan, sedangkan kepulauan paracel yang diklaim oleh Tiongkok, Taiwan dan

Vietnam.Sebenarnya kepulauan paracel telah diduduki oleh Tiongkok semenjak 1974. Bagian

Selatan yang ditandai dengan kepulauan spartly di diperebutkan oleh enam negara sekaligus yaitu

Tiongkok, Taiwan, Philipina, Brunei, Malaysia dan Vietnam.

48

Klaim atas LCS oleh beberapa negara memiliki dasar hukum yang jelas yaitu UNCLOS

128.UNCLOS menetapkan bahwa kedaulatan teritorial laut adalah 12 mil dari tepi pantai dan ZEE

sejauh 200 mil. Hal ini penting karena negara yang memiliki kedaulatan atas pulau-pulau tersebut

juga berhak memiliki sumber daya alam termasuk gas dan minyak bumi. Karena daerah ke-enam

negara yang sedang bersengkata ini berdekatan sehingga terjadi tumpang tindih daerah batas laut

yang menyebabkan terjadinya konflik.Sementara untuk Tiongkok Klaim diataskan konteks

sejarah.

49

Namun perebutan LCS tidak hanya dilatarbelakangi oleh perebutan daerah kekuasaan

saja. Motivasi dari usaha klaim ini beragam namun faktor yang paling menonjol adalah ekonomi.

Keuntungan yang akan didapatkan dapat berupa minyak, gas, ikan dan sumberdaya mineral.

Cadangan minyak potensial LCS sebanyak 213 milyar barrel dan sumber daya hidro karbon LCS

yang sering dilupakan adalah gas alam. Bahkan gas alam diperkirakan sebagai sumber daya

(9)

hidrokarbon yang jumlahnya paling banyak. Menurut estimasi Survei Geologi Amerika Serikat

(USGS) 60% - 70% hidrokarbon di kawasan merupakan gas alam.

50

Di samping itu kebanggan nasional atau national pride kemananan nasional juga menjadi

faktor pendukung dari usaha klaim atas LCS. Seperti contohnya Philipina yang menyatakan usaha

klaim mereka terhadap pulau yang terletak pada LCS merupakan strategi pertahanan negara dan

untuk membantu melindungi nusantara Philipina. Lebih penting, konflik LCS ini berkaitan dengan

kebebasan pelayaran dari pedangan dan lalu lintas militer. Keinginan untuk mendapatkan LCS

sebagai tempat perdagangan yang strategi, juga menjadi salah satu faktor yang mendorong usah

klaim atas wilayah ini. Jalur ini seringkali disebut sebagai maritime superhighway karena

merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Jumlah supertanker yang

berlayar melewati selat Malaka dan bagian barat daya LCS bahkan lebih dari tiga kali lalu lintas

yang melewati Kanal Suez dan lebih dari lima kali lipatnya kanal Panama.

Sumber Photo : www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus

Dan kepentingan

Amerika Serikat dalam konflik ini adalah kebebasan Pelayaran yang tersedia untuk seluruh

bangsa.Hal ini pula yang dapat menjadi titik tolak pertikaian bahkan diluar negara-negara yang

berusaha klaim teritori.

50

(10)

Sejumlah negara saling berebut wilayah di LCS selama berabad-abad namun ketegangan

baru-baru ini menimbulkan kekhawatiran kawasan ini dapat menjadi pemicu perang dengan

dampak global.

51

Philipina menyebut Karang Scarborough sebagai Beting Panatag, Bajo de Masinlóc atau

Karburo. Cina telah menamakannya sebagai Kepulauan Huangyan sejak tahun 1983. Pada tahun

1947, pemerintah Kuomintang dari Republik Tiongkok menyatakan kedaulatan atas karang

tersebut dan menamakannya Minzhu Jiao atau Karang Demokrasi. Nama Baratnya berasal dari

kapal dagang Scarborough milik Perusahaan Hindia Timur Britania yang tenggelam tanpa ada

yang selamat setelah menabrak karang tersebut pada tahun 1784. Philipina berusaha menyatakan

kedaulatannya atas Karang Scarborough selama setengah abad, dengan membangun sebuah

menara setinggi 27,23 kaki (8,3 meter) di sana pada tahun 1965.

Sengketa antara Philipina dan Tiongkok atas klaim yang bertentangan terhadap

Kepulauan Spratly meningkat pada tahun 2011, departemen dan juru bicara pemerintah Philipina

mulai menyebut seluruh kawasan laut tersebut sebagai Laut Philipina Barat. Dalam layanan

Administrasi Atmosferik, Geofisika, dan Astronomik Philipina (PAGASA) bersikukuh bahwa

kawasan tersebut akan selalu disebut sebagai Laut Philipina.

Pulau-pulau kecil yang disengketakan di laut tersebut juga disebut dengan berbagai

nama yang bertentangan, dengan klaim kedaulatan yang bertentangan atas mereka yang sudah

terjadi selama ratusan tahun. Bangsa-bangsa Barat menyebut satu kumpulan pulau sebagai

kepulauan Spratly. Tiongkok menyebutnya Kepulauan Nansha.

52

Pada tahun 2012 ini, pemerintah Philipina akan melelang tiga wilayah di LCS untuk

eksplorasi minyak dan gas yang juga diklaim oleh Tiongkok. Philipina sangat ingin mengurangi

ketergantungan impor energi. Bagaimanapun, perairan yang diklaim oleh sejumlah negara ini,

Philipina berusaha menyatakan

kedaulatannya atas Karang Scarborough selama setengah abad, dengan membangun sebuah

menara setinggi 27,23 kaki (8,3 meter) di sana pada tahun 1965.

diakses tanggal 1 November 2016.

52

(11)

memiliki sumber energi yang besar. Blok yang akan dilelang berada di dekat Provinsi Palawan

province, dekat Malampaya dan Sampaguita yang mengandung gas alam. Wilayah ini dekat

dengan Reed Bank, yang juga diklaim oleh Tiongkok. Seluruh wilayah yang ditawarkan berada di

200 mil zona ekonomi eksklusif Philipina sesuai dengan UNCLOS (Konvensi Hukum Laut PBB).

Upaya Philipina untuk mendapatkan hak kedaulatan ekslusif dan otoritas untuk mengeksplorasi

dan eksploitasi sumber alam di wilayah itu diluar negara lain. Tidak ada keraguan dan sengketa

mengenai hak tersebut. Wilayah LCS yang menjadi sengketa itu mengandung minyak dan gas

yang besar. Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan antara sejumlah negara menajam,

menyusul peningkatan aktivitas maritim Tiongkok di wilayah itu.

53

Demi mempertahankan klaim yang diyakininya tersebut, Tiongkok mempertegas

klaimnya terhadap LCS pada tahun tahun 2009. Klaim tersebut sebagai bentuk respon terhadap

Malaysia, Vietnam dan Philipina ketika melakukan perluasan landas kontinen kepada CLCS sesuai

Pasal 4 dalam lampiran II UNCLOS. Protes Tiongkok terhadap kedaulatan maritim yang disertai

dengan lampiran sebuah peta nine dash line memunculkan suatu permasalahan baru di LCS.

Dukungan peta resmi Tiongkok dalam memperkuat klaimnya tersebut dipandang banyak pihak

sebagai klaim yang ilegal. Sebab klaim dalam peta tersebut menyalahi aturan UNCLOS.

Sebaliknya, pemerintah Tiongkok percaya bahwa klaim tersebut telah berdasar pada hak

historisnya terhadap wilayah ini yang terjamin sepanjang sejarah. Tiongkok dapat dikatakan

sebagai negara terakhir yang melakukan reklamasi di kepulauan Spratly.

Konflik terbaru terjadi antara

Philipina dengan Tiongkok di Dangkalan Scarborough. Selain itu, Vietnam dengan Philipina pun

sempat memanas setelah kapal dari tiap kedua negara saling memicu ketegangan.

54

53

Hubungan antara Cina dan Filipina menurun menyusul sengketa wilayah di

Scarborough Shoal, diakses tanggal 1 November2016.

Maka dalam posisi ini,

pemerintah Tiongkok menganggap dirinya adalah pihak yang paling dirugikan. Karena beberapa

negara lain seperti Vietnam, Philipina dan Taiwan telah lebih dahulu melakukan aktifitas

pembangunan ilegal di wilayah tersebut tanpa sepengetahuan Tiongkok. Pemerintah Tiongkok

menganggap jika aktifitas pembangunan di wilayah tersebut merupakan aktifitas yang ilegal.

54

(12)

Berdasarkan bukti rekaman sejarah Tiongkok, Tiongkok telah memiliki kontrol teritorial

terhadap wilayah tersebut sejak lama. Maka, sebelum negaranegara pengklaim di beberapa pulau

di LCS melakukan klaimnya seperti saat ini, Tiongkok lebih dulu memiliki hak atas perairan

tersebut. Sehingga bagi Tiongkok, tidak benar jika banyak negara yang menuduh aktifitasnya di

wilayah tersebut merupakan tindakan yang ilegal. Klaim historis Tiongkok modern terhadap LCS

dapat ditemukan pada tahun 1947 ketika berada dibawah pemerintahan Tiongkok pimpinan

Chiang Kai-Shek. Klaim yang di dukung oleh peta resmi nasionalnya tersebut, memuat 11 garis

putus yang mencakup sebagian besar wilayah LCS. Sedikit berbeda dengan peta yang dikeluarkan

pemerintah Tiongkok pada tahun 2009, dua garis lainnya yang terletak di Teluk Tonkin (Gulf of

Tonkin) telah di hapus sejak pemerintahan Zhou Enlai. Sehingga pada peta modern Tiongkok

diketahui hanya memiliki sembilan garis putus.

Beberapa versi, peta modern Tiongkok sejak 1984 memiliki 10 garis putus. Dimana satu

garis yang lain berada di timur Taiwan.

55

Dari segi skup wilayah klaim terhadap LCS, tidak ada

perbedaan yang signifikan antara klaim teritori dalam peta resmi Tiongkok pada tahun 1947

dengan tahun 2009. Dimana hampir keseluruhan pulau-pulau di LCS berada dalam klaim

Tiongkok menurut peta resminya tersebut. Bila mengacu pada peta resmi Tiongkok yang

dikeluarkan pada tahun 2009, sembilan garis putus dalam peta tersebut mencakup sekitar 2 juta

km2 luas maritim di LCS (sekitar 22% dari luas Tiongkok daratan).

56

55

http://www.mackinderforum.org/commentaries/china2019snine-dashed-map-maritime-

sourceof-geopolitical-tension/china2019s-nine-dashed-map-maritimesource-of-geopolitical-tension

56

Ibid

(13)

menjadi basis reklamasinya. Antara lain Fiery Cross Reef, Mischief Reef, Gaven Reef, Subi Reef,

Hughes, Johnson Sout Reef, Eldad Reef dan Cuarteron Reef.

57

Pada 2013, Philipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas Tiongkok di LCS

kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda. Filipina menuding Cina

mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan mereklamasi demi membangun pulau

buatan. Filipina berargumen bahwa klaim Tiongkok di wilayah perairan LCS yang ditandai

dengan ‘sembilan garis putus-putus’ atau ‘nine-dash-line’ bertentangan dengan kedaulatan wilayah

Philipina dan hukum laut internasional.

58

Klaim kontemporer Philipina terhadap perairan ini sebenarnya tidaklah seluas klaim

Tiongkok. Secara yuridis, klaim yang dilakukan oleh Philipina adalah klaim yang cukup rasional.

Sebab secara geografis, klaim yang dilakukan Philipina atas gugusan pulau Spratly didasarkan

oleh kedekatan geografis. Dalam sejarahnya, klaim yang didasarkan kedekatan geografis tersebut

pada tahun 1956 pernah direspon Tiongkok. Tiongkok meyakini jika Spratly merupakan bagian

dari wilayahnya sesuai isi dari Deklarasi Kairo dan Perjanjian Postdam.

59

Masyarakat Philipina, sebagai warga dari negara yang mengajukan keberatan atas klaim

Tiongkok di LCS, menyambut baik putusan PCA. Sebagian warga menggelar pawai di sejumlah

Klaim Philipina di LCS terbatas pada keseluruhan kepulauan Spratly (kecuali Spratly

Island sendiri, Royal Charlotte Reef, Swallow Reef dan Louis Reef). Klaim tersebut dihasilkan

dari perluasan landas kontinen pulau terluar Philipina yang dilakukan pada tahun 2009. Meskipun

sebagian besar wilayah Philipina didasarkan pada gagasan penemuan yang cukup baru, akan tetapi

prinsip archipelagic state Philipina dinilai telah sesuai dengan syarat-syarat hukum internasional

modern seperti UNCLOS. Dengan demikian, klaim Philipina terbatas pada wilayah yang berada

dalam jangkauan 200 mil dari ZEE negaranya. Terlepas dari adanya selisih luas wilayah yang

diakui dalam Dekrit Presiden 1596 maupun Perjanjian Paris 1898.

57

Arsip online citra satelit yang direklamasi oleh China dapat diakses melalui

http://medium.com/satelite-image-analysis//china-s-new-military-installations-in-the-spratlyislands-satellite-image-update-1169bacc07f9#.h10hqgcpp diakses pada tanggal 2 Desember

2016.

(14)

tempat di Manila, membawa poster, dan mengibarkan bendera negeri itu. Salah satu poster

bertuliskan, “Kedaulatan Philipina, tidak bisa ditawar-tawar”. Menteri Luar Negeri (Menlu)

Philipina, Perfecto Rivas Yasay Jr., menyebut putusan Mahkamah Arbitrase itu sebagai keputusan

bersejarah yang memberi kontribusi penting pada upaya pencarian solusi damai atas perselisihan

teritorial antarnegara di perairan. Menlu Philipina juga menegaskan sikap dan komitmen

negaranya untuk mencari penyelesaian secara damai dengan pandangan untuk mempromosikan

dan meningkatkan perdamaian dan stabilitas di kawasan.

60

Tanggal 22 Januari 2013, Philipina mengajukan pernyataan kepada Kedubes Tiongkok di

Philipina, mengumumkan bahwa mereka akan menyerahkan isu LCS ke Arbitrase. Pada 19

Pebruari 2013, Kedubes Tiongkok dengan tegas menolak untuk mengambil bagian dalam arbitrase

yang diajukan Philipina. Tiongkok menganggap Philipina telah melanggar beberapa konsensus

diplomatik dan mekanisme negoasiasi yang telah disepakati sebelumnya, jadi Tiongkok tidak bisa

menerimanya.

Berbeda dengan Philipina, Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing menyatakan,

Tiongkok tidak akan menerima posisi atau aksi apa pun yang didasarkan pada putusan Mahkamah

Arbitrase atas pengajuan keberatan Philipina. Namun, Tiongkok tetap akan menjaga perdamaian

dan stabilitas di kawasan LCS. Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Tiongkok

menyatakan putusan Mahkamah itu hampa dan tidak memiliki kekuatan mengikat. “Kedaulatan

teritorial dan hak-hak maritim serta kepentingan Tiongkok di LCS tidak terpengaruh keputusan

itu. Tiongkok menentang dan tidak akan pernah menerima klaim ataupun aksi yang didasarkan

pada keputusan itu”.

61

59

Xu Bu. Op. Cit

60

Simela Victor Muhamad, Isu Laut China Selatan Pasca-Putusan Mahkamah Arbitrase:

Tantangan Asean, Vol. VIII, No. 13/I/P3DI/Juli/2016.

(15)

ditunjuk sebagai Presiden ITLOS dan empat anggota hakim lain: Thomas A. Mesh dari Ghana,

Stannishlaw Pawlak dari Polandia, Jean- Pierre Cot dari Prancis, dan Alfred H.A. Soons dari

Belanda. Dokumentasi pribadi Pertama-tama, itu bukan ITLOS (the International Tribunal for the

Law of the Sea).

Kedua, itu bukan PCA di Den Haag, itu hanya pengadilan sementara arbitrase yang

dibentuk dibawah ITCLOS khusus untuk kasus ini. Sikap Tiongkok atas gugatan internasional

Philipina tetap jelas dan pasti tidak menerima atau tidak akan berpartisipasi dalam arbitrase, sikap

ini tidak akan berubah. Pada 7 Desember 2014, Departemen Luar Negeri Tiongkok secara remi

merilis “Paper on Position of the Government of the People’s Republic of China on the Matter of

Jurisdiction in the South China Sea Arbitration Initiated by Republic of the Philippines,”

(Dokumen resmi tentang Posisi Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok Pada Masalah Yuridiksi

Arbitrase di LCS yang diprakarsai oleh Republik Philipina). Secara komprehensif dan sistemik

menggambarkan sikap resmi pemerintah Tiongkok mengenai masalah yurisdiksi arbitrase di LCS.

Bahwa tribunal arbitrase ini tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus LCS yang secara sepihak

diajukan oleh Philipina, dan cacat hukum berdasarkan hukum internasional. Dan posisi Tiongkok

untuk tidak menerima atau mengambil bagian dalam arbitrase yang diajukan Philipina mempunyai

dasar hukum yang kuat berdasarkan hukum internasional. Pada 29 Oktober 2015, tribunal arbitrase

LCS membuat keputusan menerima gugatan tersebut, pemerintah Tiongkok dengan segera

mengumumkan bahwa setiap keputusan terkait masalah ini tidak efektif dan mengikat. Pada tahun

2006 berdasarkan UNCLOS pasal 298 mengenai kepemilikan bersejarah perbatasan maritim,

operasi militer, dan operasi penegakan hukum.

Tiongkok membuat pernyataan mengklasifikasikan sebuah kekecualian, bahwa Tiongkok

tidak bisa akan menerima prosedur pemaksaan untuk menyelesaikan masalah apapun tentang batas

matitim. Sifat khusus arbitrase Philipina yang melibatkan kasus teritorial dan perbatasan maritim.

Seperti diketahui mengenai kedaulatan teritorial, dalam UNCLOS tidak tercakup mengenai sektor

dan skala ini. Dan Tiongkok telah menciptakan pengecualian mengenai batas maritim. Isu LCS

(16)

menjadi rumit karena keterlibatan negara utama ekstra-teritorial telah berusaha untuk ikut

intervensi. Pada 18 Juni 2016, kapal induk bertenaga nuklir USS Nimitz-Klas: USS John C.

62

Beberapa tahun terakhir ini, Amerika Serikat bahkan telah melakukan shown-off forces

(unjuk kekuatan) beberapa kali, dan mengirim pasukan militer dan kapal perang berkali-kali ke

LTS dan perairan terdekat untuk menekan Tiongkok, dan mengekspresikan dukungannya kepada

Filipina. Pada 19 April 2016, empat pesawat serbu AU- Amerika Serikat, A-10C dan dua

helikopter “Pave Hawk” secara terbuka melanggar wilayah udara dalam radius 100 km dari Pulau

Huangyan untuk menunjukkan dukungan kepada sekutu Amerika Serikat-Philipina.

Stennis dan USS Ronald Reagan membentuk group tempur ganda kapal induk. Dua kapal induk

ini melakukan saling lepas landas beberapa jet tempur dan helikopter untuk menampilkan

kekuatan militer dari kelompok tempur ganda. Selain itu, “Kyodo” kantor berita Jepang,

melaporkan bahwa menurut intelijen AL- Amerika Serikat , Angkatan Laut Amerika Serikat akan

mengerahkan tiga kapal induk perusak Klas Arleigh Burke ke LCS, untuk mulai “melakukan

operasi pengamanan dan pengintaian” di LCS. Pada akhir Juni 2016, tiga kapal perusak tiba di

LCS, AS telah menjadi “tangan tak terlihat” dibalik ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.

Tanggal 30 Januari 2016 sebuah kapal perang Amerika Serikat memasuki wilayah

perariran Tiongkok Pulau Zhongjian di Kepulauan Xisha. Pada 10 Mei 2016 kapal perusak USS

Williem P. Lawrence memasuki perairan sekitar pulau-pulau tertentu dan terumbu karang di

Kepulauan Nansha tanpa otorisasi Tiongkok. Pada Juni 2016, sebuah detasemen khusus empat dari

AL-AS - EA-18G Growler pesawat serbu elektronik dikerahkan di Pangakalan Udara Clark di

Luzon, Philipina Dari bulan Maret sampai Juni 2016, Kapal Induk Tenaga Nuklir USS John C.

Stennis menghabiskan 78 hari di LTS dan melakukan lebih dari 4,000 kali peluncuran dan

pendaratan di kapal induk ini.

63

Beberapa tahun terakhir ini, Amerika Serikat bahkan telah melakukan unjuk kekuatan

(shown-off forces) beberapa kali, dan mengirim pasukan militer dan kapal perang berkali-kali ke

LTS dan perairan terdekat untuk menekan Tiongkok, dan mengekspresikan dukungannya kepada

62

Ibid

63

(17)
(18)

menggunakan dua alasan ini untuk mendapatkan pijakan di LTS. Maka tidak heran ketika Menlu

Tiongkok—Wang Yi diwanwacarai Al Jazeera di Qatar dia mengatakan, serial baru US beroperasi

di LTS tidak membantu untuk resolusi masalah ini, hal itu bahkan membuat masalah menajdi lebih

rumit, dan membuat siatuasi menjadi tegang. Wang Yi mengatakan: “Saya pikir aksi semacam ini

setidaknya menciptakan unsur ketidakstabilan di LTS dan bahkan telah memicu ketegangan lebih

lanjut. Ini bukan perilaku konstruktif. Seorang kolumnis “The Standard” terbitan Filipina Rod

Kapunan mengatakan jika membicarakan masalah LTS “Philipina yang menarik chestnut AS

keluar dari api.” AS sengaja menggunakan perbedaan Filipina dengan Tiongkok dalam isu-isu

LTS untuk menemukan alasan untuk dirinya sendiri menggelar pasukan di Philipina dan

melaksanakan “patroli maritim secara rutin” di LTS. Sebagian analis berpendapat, jika AS

mengerahkan pasukan di Philipina untuk waktu yang lama, hal itu akan membuat Filipina

membayar harga yang mahal. Yang sudah jelas sikap Tiongkok bagaimanapun tidak akan

menerima rencana paksa dan resolusi sepihak yang dilakukan pihak ketiga.

B.

Penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan antara Republik Rakyat Cina dengan

Philipina Oleh Badan Arbitrase Internasional

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase mengharuskan adanya persetujuan dari kedua

pihak yang bersengketa untuk membawa sengketanya ke arbitrase. Hal ini harus terpenuhi lebih

dulu sebelum arbitrase dapat menjalankan yurisdiksinya.

64

Secara Geografi LCS dikelilingi sepuluh negara pantai (Tiongkok, Taiwan, Vietnam,

Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, Philipina). Luas perairan

LCS mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk

Tonkin yang dibatasi Vietnam dan Tiongkok. Kawasan LCS merupakan kawasan bernilai

ekonomis, politis dan strategis yang sangat penting. Kondisi geografis posisinya yang strategis

sebagai jalur pelayaran perdagangan (SLOT) dan jalur komunikasi internasional (SLOC) yang

menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Hal ini telah merubah jalur laut

64

(19)

Tiongkok selatan menjadi rute tersibuk di dunia, karena lebih dari setengah perdagangan dunia

berlayar melewati LCS setiap tahun.

65

Sementara kandungan gas alam di LCS mungkin merupakan sumber hidrokarbon yang

paling melimpah. Sebagian besar hidrokarbon kawasan LCS dieksplorasi oleh Brunei, Indonesia,

Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Philipina. Perkiraan menurut United States Geological Survey

dan sumber lain-lain menunjukkan bahwa sekitar 60% -70% dari hidrokarbon di LCS adalah gas.

Selain itu, penggunaan gas alam di wilayah ini diproyeksikan akan tumbuh sebesar 5% per tahun

selama dua dekade mendatang, diperkirakan bisa mencapai sebanyak 20 triliun kaki kubik (Tcf)

per tahun lebih cepat daripada bahan bakar lainnya. Namun harus diakui bahwa sengketa LCS

adalah persoalan yang tidak mudah serta membutuhkan waktu yang panjang. Bagi Indonesia,

meskipun tidak termasuk Claimant State tetapi juga punya kepentingan di LCS, karena konflik

klaim wilayah secara tidak langsung dengan Tiongkok telah terjadi sekarang, menyangkut wilayah

NKRI yakni Pulau Natuna, Khususnya Natuna Blok A.

Kandungan kekayaan Alam yang ada di kawasan LCS telah menyebabkan terjadinya

konflik klaim wilayah antara Tiongkok dan sebagian negara–negara anggota ASEAN yang berada

wilayah LCS. Menurut data Kementerian Geologi dan Sumber Daya Mineral Daya Republik

Rakyat Tiongkok memperkirakan bahwa wilayah Spratly mempunyai cadangan minyak dan gas

alam 17,7 miliar ton (1. 60 × 1010 kg), lebih besar di banding Kuwait, negara yang menempati

ranking ke 4 yang mempunyai cadangan minyak terbesar dunia saat ini dengan jumlah 13 miliar

ton (1,17×1010kg).

66

Secara matematis kekuatan militer Tiongkok jauh diatas baik dari aspek kuantitas dan

kualitas dibandingkan dengan 5 negara (4 Claimant States dan 1 non Claimant State), meskipun

anggaran pertahanan dan kekuatan militer mereka di gabung, tetap masih terjadi

ketidakseimbangan kekuatan. Ini bisa dilihat dari besarnya jumlah anggaran pertahanan, man

power dan kondisi alut sista Tiongkok terkini vs gabungan anggaran pertahanan dan kekuatan

militer 5 negara (4 Claimant States dan 1 non Claimant State). Apabila Tiongkok menggunakan

(20)

kekuatan militer untuk memaksakan kehendaknya penguasaan sebagian besar wilayah LCS, maka

tidak mustahil akan terjadi konflik militer yang akan melibatkan Amerika Serikat sebagai salah

satu negara Super power yang mempunyai kepentingan strategis secara Ekonomi, Politik dan

Militer di kawasan LCS. Tiongkok tidak akan menggunakan kekuatan militernya karena

kemungkinan Tiongkok sudah mempertimbangkan untung dan ruginya, Tiongkok sangat faham

betul apabila dipaksakan penyelesaian secara militer akan kalah serta membuat posisi Tiongkok

semakin terpojok.

Sengketa LCS sebenarnya murni masalah hukum, mengenai batas laut antara beberapa

negara ASEAN dengan Tiongkok yang menyangkut beberapa wilayah yang berupa gugusan pulau

di wilayah LCS. Namun penyelesaian lewat hukum sulit untuk di capai dalam waktu singkat

sehingga

effort ini harus dilakukan terus menerus sebagai upaya permanen jangka panjang.

Sedangkan pendekatan pemecahan permasalahan jangka pendek yang sesuaikan dengan situasi

dilapangan terkini melalui kerangka ASEAN adalah solusi masalah lewat jalur Politik dan

Diplomatik, karena komitmen ASEAN untuk LCS sangat jelas ialah keinginan menghasilkan

pedoman yang mengikat negara yang saling mengklaim wilayah di LCS agar semua masalah bisa

dikelola dengan baik, tidak memunculkan konflik yang tidak dikehendaki.

Sesuai dengan pijakan hukum resmi Claimant States terhadap laut cina selatan khususnya

4 anggota ASEAN, mengacu pada Konvensi PBB tentang hukum laut (United Nation Convention

Law Of the Sea) yang ditujukan untuk memperjelas ketentuan batas laut suatu negara. UNCLOS

ini merupakan konvensi PBB tentang Hukum Laut yang memuat tentang upaya paling

komprehensif PBB untuk menciptakan sebuah peraturan terpadu untuk tata kelola hak-hak negara

di dunia terhadap lautan. Dengan kata lain, adanya hukum internasional ini sebagai tindakan

pencegahan terjadinya perpecahan atau peperangan antar negara yang saling mementingkan

kepentingannya masing-masing.

a)

Negosiasi

66

(21)

Negosiasi. Jasa-jasa baik (Good offices), mediasi

(mediations), konsiliasi

(Consiliaions)

dan Penyelidikan (Inquiry)

(1)

Negosiasi

Negosiasi atau perundingan adalah cara penyelesaian sengketa yang paling penting dan

banyak ditempuh, serta efektif dalam menyelesaikan sengketa internasional. Praktek

negara-negara menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung untuk menggunakan sarana

negosiasi sebagai langkah awal untuk menyelesaikan sengketanya.

67

Negosiasi adalah

perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak untuk mencari

penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga.

68

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme

negosiasi antara lain adalah para pihak mengawasi dan memantau secara langsung

prosedur penyelesaiannya. Kemudian para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan

penyelesaian dengan kesepakatan di antara mereka. Para pihak juga dapat menghindari

perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri. Terakhir, para pihak dapat mencari

penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan

kedua belah pihak.

69

Kelemahan utama penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah pertama,

manakala kedudukan para pihak tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, sedang pihak

yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan

pihak lainnya. Hal ini sering terjadi ketika dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan

sengketa antara mereka. Kedua, bahwa proses berlangsungnya negosiasi sering kali

lambat dan memakan waktu lama. Hal ini terutama dikarenakan permasalahan antar

negara yang timbul, khususnya masalah yang berkaitan dengan ekonomi internasional.

Selain itu, jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk

menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi. Ketiga, manakala suatu pihak terlalu keras

67

Huala Adolf, Op. Cit., hal. 19.

68

Ibid, hal 26

69

(22)

dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak

produktif.

70

(2)

Pencarian fakta

Penggunaan pencarian fakta ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau

negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini,

pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna

memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing pihak. Cara ini telah

dikenal dalam praktik kenegaraan. Selain itu, organisasi-organisasi internasional juga

telah memanfaatkan cara penyelesaian sengketa melalui pencarian fakta ini.

Negaranegara juga telah membentuk badan-badan penyelidikan baik yang sifatnya adhoc

ataupun terlembaga. Pasal 50 Statuta Mahkamah Internasional misalnya mengatakan

bahwa Mahkamah dapat “entrust any individual body, bureau, commission or other

organization that it may select, with the task of carrying out an inquiry or giving an

expert opinion.”

71

The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes tahun 1907

Pasal 35, dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi (pencarian fakta) sifatnya

terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja dan bukan merupakan suatu keputusan.

72

(3)

Jasa-jasa baik

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak

ketiga. Pihak ketiga disini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan

negosiasi. Jadi, fungsi utama jasa baik ini adalah mempertemukan para pihak sedemikian

rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama, dan bernegosiasi.

73

Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa dapat terjadi dalam dua

cara, yaitu atas permintaan para pihak atau inisiatif pihak ketiga itu sendiri yang

menawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Dalam kedua cara tersebut,

70

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Depok, 2014, hal. 329

71

Mahkamah Internasional, Statuta Mahkamah Internasional 1945, Pasal 50.

72

(23)

syarat mutlak yang harus ada adalah kesepakatan para pihak.

74

Jasa-jasa baik sudah

dikenal dalam praktik kenegaraan. Dalam perjanjian internasional pun penggunaan cara

ini tidak terlalu asing. Di samping negara sebagai subjek hukum ekonomi internasional,

jasa-jasa baik juga telah dikenal dalam praktik penyelesaian antara pihak-pihak swasta.

75

(4)

Mediasi

Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut

disebut dengan mediator. Mediator dapat merupakan negara, organisasi internasional atau

individu. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya dengan

kapasitasnya sebagai pihak yang netral berusaha mendamaikan para pihak dengan

memberikan cara penyelesaian sengketa. Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator

masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena

itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi penyelesaian,

mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan

yang dapat mengakhiri sengketa.

76

(5)

Konsiliasi

Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan

intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini adalah negara, tetapi

bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk

para pihak dapat terlembaga atau bersifat adhoc, yang kemudian memberi persyaratan

penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Akan tetapi, keputusan yang diberikan oleh

komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.

77

The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute of 1899 dan

1907 memuat mekanisme dan aturan pembentukan komisi konsiliasi. Badan seperti ini

dibentuk dengan persetujuan bersama kedua belah pihak. Di samping fungsi, terdapat

kriteria lain yang membedakan badan ini dengan mediasi. Konsiliasi memiliki hukum

73

Dedi Supriyadi, Op.Cit., hal. 201

74

Huala Adolf, Op.Cit., hal. 21.

75

Ibid.

76

(24)

acara yang lebih formal dibandingkan dengan mediasi. Hukum acara tersebut dapat

diterapkan terlebih dahulu dalam perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi.

78

b)

Arbitrase

Arbitrase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian sengketa yang telah dikenal

lama dalam hukum internasional. Namun demikian sampai sekarang belum terdapat batasan atau

definisi resmi mengenai arbitrase. Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda

mendeskripsikan badan ini sebagai:

“Arbitration is the resolution of internasional disputes through the submissions, by formal

agreement of the parties, to the decision of a third party who would be one or several

persons by means of contentious proceedings from which the result of definitive judgment is

derived”. Podesta Costa mendefinisikan bahwa Arbitrase merupakan sistem penyelesaian

sengketa melalui pengajuan permohonan dari para pihak, yang menunjuk satu atau lebih pihak

ketiga sebagai penengah dalam perundingan.

79

Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commisions) adalah

a procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of

law and as a result of an undertaking voluntaruly accepted.

80

Huala Adolf memandang arbitrase sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak

ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela untuk

memutuskan sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat.

Melihat kesimpulan oleh para sarjana tersebut, dapat di simpulkan bahwa arbitrasi

merupakan suatu prosedur proses penyelesaian sengketa yang menunjuk pihak ketiga baik

suatu badan hukum atau organisasi yang diakui, untuk memutus sengketa dan putusannya

bersifat mengikat.

81

Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu penyelesaian oleh

seorang arbitrator secara terlembaga

(institutionalized) atau kepada suatu badan arbitrase

ad

77

Dedi Supriyadi, Loc. Cit

78

Huala Adolf, Op. Cit., hal. 37.

79

Ibid, hal 39

80

(25)

hoc. Badan arbitrase terlembaga adalah badan arbitrase yang sudah berdiri sebelumnya dan

memiliki hukum acaranya. Contoh badan arbitrase seperti ini adalah The PCA di Den Haag.

Sedangkan badan arbitrase ad hoc adalah badan yang dibuat oleh para pihak untuk sementara

waktu dan berakhir tugasnya setelah putusan atas suatu sengketa tertentu dikeluarkan.

82

(1)

Para pihak memiliki kebebasan dalam memilih hakimnya (arbitrator) baik secara langsung

maupun secara tidak langsung, hal ini berarti para pihak memiliki kepercayaan secara

penuh penyelesaian sengketanya diputus oleh pihak ketiga.

Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki beberapa unsur positif:

(2)

Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hukum acara atau persyaratan

bagaimana suatu putusan akan didasarkan dalam menentukan hukum acara dan hukum

yang akan diterapkan pada pokok sengketa, dan lain-lain.

(3)

Sifat dari putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.

(4)

Persidangan arbitrase dimungkinkan untuk dilaksanakan secara rahasia apabila kedua belah

pihak menginginkannya.

(5)

Para pihak sendiri yang menentukan tujuan atau tugas badan arbitrase.

83

Selain unsur-unsur positif, badan arbitrase internasional publik memiliki

kekurangan berikut:

(1)

Umumnya negara masih enggan memberikan komitmennya untuk menyerahkan

sengketanya kepada badan-badan pengadilan internasional, termasuk badan arbitrase

internasional.

(2)

Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjamin bahwa putusannya akan

mengikat (dalam hukum internasional, suatu kesepakatan mengikat para pihak untuk

melaksanakan isi kesepakatan tersebut berdasarkan prinsip itikad baik). Hukum

internasional tidak menjamin bahwa pihak yang kalah atau tidak puas dengan

keputusan yang dikeluarkan akan melaksanakan keputusan tersebut.

84

81

Ibid, hal 40

82

Ibid, hal 41

83

Ibid.

84

(26)

Ada dua perbedaan utama antara badan arbitrase internasional publik dengan

pengadilan internasional. Pertama, arbitrase memberikan para pihak kebebasan dalam memilih

atau menentukan badan arbitrasenya. Sebaliknya dalam hal pengadilan, komposisi pengadilan

berada di luar pengawasan atau kontrol para pihak. Kedua, arbitrase memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk memilih hukum yang akan diterapkan oleh badan arbitrase. Kebebasan

seperti ini tidak ada dalam pengadilan internasional pada umumnya. Misalnya pada Mahkamah

Internasional. Mahkamah terikat untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum internasional yang

ada, meskipun dalam mengeluarkan putusannya diperbolehkan menggunakan prinsip ex aequo

et bono.

85

(1)

The Hague Convention for the Pacific settlement of International Dispute

(tahun 1899

dan 1907)

Sumber hukum internasional penggunaan arbitrase antara lain dapat ditemukan dalam

beberapa instrumen hukum berikut:

(2)

Pasal 13

Covenant of the League of Nations. Pasal 13 ayat (1)

Covenant antara lain

mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyerahkan sengketa mereka kepada badan

arbitrase atau pengadilan internasional apabila sengketa mereka tidak dapat diselesaikan

secara diplomatik.

(3)

Pasal 33 Piagam PBB yang memuat beberapa alternatif penyelesaian sengketa, antara lain

arbitrase, yang dapat dimanfaatkan oleh negara- negara anggota PBB

(4)

The UN Model on Arbitration Procedure, yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum

PBB 1962 (XIII) tahun 1958.

86

Persyaratan terpenting dalam proses penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase ini

adalah kata sepakat atau konsensus dari negara-negara yang bersengketa. Kesepakatan

merupakan refleksi dan konsekuensi logis dari atribut negara yang berdaulat. Kedaulatan negara

menyatakan bahwa suatu negara tidak tunduk kepada subjek-subjek hukum internasional tanpa

85

Ibid, hal 42

86

(27)

adanya kesepakatan atau kehendak dari negara tersebut.

87

Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara cara tersebut di

atas adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya

ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil. Seperti halnya

penyelesaian sengketa melalui arbitrase, penyelesaian sengketa melalui pengadilan juga

dimungkinkan apabila ada kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Kesepakatan ini

biasanya tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa yang telah disepakati oleh para pihak

bersengketa. Dalam kesepakatan tersebut telah ditegaskan apabila timbul sengketa dalam

hubungan kerjasama perdagangan, mereka sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada

suatu pengadilan tertentu.

c) Penyelesaian yudisial (Judicial Settlement)

88

Masalah yurisdiksi atau kewenangan suatu pengadilan dalam hukum

internasional merupakan masalah utama dan sangat mendasar dalam upaya penyelesaian suatu

sengketa. Kompetensi suatu mahkamah atau pengadilan internasional pada prinsipnya

didasarkan kepada kesepakatan dari negara-negara yang mendirikannya. Berdirinya suatu

mahkamah atau pengadilan internasional didasarkan pada suatu kesepakatan atau perjanjian

internasional ini.

89

Pengadilan-pengadilan yang telah ada saat ini, seperti Mahkamah Internasional,

the

Inter American Court of Human Right, the Court of European Communities, Dispute

Settlement Body WTO, semua badan peradilan tersebut didirikan oleh perjanjian internasional.

(28)

badan penyelesaian sengketa secara yudisial yang umum dikenal oleh masyarakat internasional

adalah International Court of Justice (ICJ) yang menggantikan dan melanjutkan kontinuitas

Permanent Court of International Justice. Pengukuhan kedudukan dilaksanakan pada

tanggal 18 April 1946, dan pada tanggal tersebut pendahulunya yaitu

Permanent Court

of International Justice, dibubarkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada waktu sidang

terakhirnya. ICJ terbuka bagi negara-negara (anggota-anggota atau bukan anggota Perserikatan

Bangsa-Bangsa) peserta statuta dan bagi negara-negara lain, dengan syarat-syarat yang

ditentukan Dewan Keamanan PBB tunduk pada ketentuan khusus yang dimuat dalam

traktat-traktat yang berlaku dan syarat tersebut tidak untuk menempatkan para pihak dalam

kedudukan yang tidak sama di hadapan Mahkamah (Pasal 35 statuta ICJ). Yurisdiksi ICJ

dapat dibedakan menjadi 2 macam yakni:

(1) Memutuskan Perkara-Perkara Pertikaian (Contentius Case)

Mahkamah memiliki yurisdiksi terhadap semua perkara yang diajukan oleh para pihak.

Ketentuan ini tidak berarti Mahkamah hanya memiliki yurisdiksi apabila proses peradilan

diawali dengan suatu penyerahan sengketa secara bersama oleh negara-negara yang bertikai.

Suatu penyerahan sepihak dari sengketa kepada ICJ oleh salah satu pihak, tanpa didahului

dengan perjanjian khusus sudah dianggap mencukupi apabila pihak atau pihak-pihak lain dalam

sengketa tersebut menyetujui demikian. Selain itu pengakuan suatu negara terhadap

yurisdiksi Mahkamah atas suatu sengketa dapat terjadi setiap saat sebagai kewajiban ipso

facto dan tanpa perjanjian khusus “dalam hubungannya dengan negara lain yang menerima

kewajiban yang sama” yurisdiksi Mahkamah dalam semua sengketa hukum mengenai:

(a)

Penafsiran suatu traktat;

(b)

Setiap persoalan hukum internasional;

(c)

Keberadaan suatu fakta yang apabila ada, akan merupakan suatu pelanggaran

kewajiban internasional;

(29)

suatu kewajiban internasional.

91

Mahkamah tidak dapat melaksanakan yurisdiksi atas kehendaknya sendiri, karena salah

satu pihak harus memiliki untuk membawa perkara itu kehadapannya, maka pihak lain

kemudian terikat untuk menerima yurisdiksi Mahkamah. Kedua pihak tetap bebas dalam setiap

tahap untuk menyelesaikan sengketa terkait melalui perjanjian tanpa perlu persetujuan oleh

Mahkamah, yang dapat diumumkan begitu saja sebagai pernyataan perkara tersebut dihapus

dari daftar perkara (Pasal 88 Rules of Court

1978).

Pasal 41 Statuta ICJ, Mahkamah dapat mengusulkan suatu tindakan sementara

yang diperlukan untuk melindungi hak-hak dari masing- masing pihak, tindakan-tindakan

sementara ini dapat bersifat perintah, juga keputusan atau larangan yang tujuannya melindungi

hak-hak dari masing-masing pihak dalam arti sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 41

Statuta Mahkamah. Akibat hukum dari keputusan Mahkamah ditentukan dalam Pasal 56-61

Statuta ICJ. Keputusan Mahkamah tidak memiliki kekuatan mengikat kecuali di antara para

pihak dan berkenaan dengan kasus tertentu (Pasal 59). Keputusan tersebut adalah final dan tanpa

banding (Pasal 60) tetapi suatu revisi boleh dilakukan atas dasar penemuan suatu faktor yang

menguntungkan yang baru, dengan ketentuan bahwa pelaksanaan hal itu dibuat dalam jangka

waktu 6 bulan dari penemuan itu serta tidak lebih dari 10 tahun dari tanggal keluarnya

keputusan (Pasal 61).

92

Opini-opini nasehat yang dapat diberikan oleh Mahkamah hanya dapat diupayakan atas

persoalan hukum, sama dengan halnya jenis perkara yang dapat dipersengketakan di ICJ.

Kongkret maupun abstrak, dan dalam memberi opini- opini nasihat itu Mahkamah akan

melaksanakan fungsi yudisialnya. Suatu opini nasihat tidak melebihi tujuannya, opini

tersebut kurang memiliki kekuatan mengikat dibanding suatu keputusan dalam kasus-kasus

perdebatan, demikian pula untuk organisasi atau organ-organ organisasi yang memintanya,

(2) Memberikan Opini-opini yang bersifat Nasihat (Advisory Opinion)

91

Ibid

92

(30)

meskipun tentunya organisasi atau organ tersebut dapat memilih untuk menganggapnya suatu

keputusan yang sifatnya wajib. Mahkamah juga menganggap dirinya wajib memiliki tugas

untuk mematuhi pembatasan-pembatasan yudisial yang essensial dalam prosedur opini

nasihatnya, sehingga Mahkamah tidak akan mejalankan yurisdiksi hal yang utama atas dasar

mana suatu opini yang diminta tersebut menentukan suatu kontroversi antara negara-negara

tertentu serta tidak ada satu negara yang tampil di hadapan Mahkamah. Penafsiran

ketentuan-ketentuan traktat sesungguhnya merupakan suatu tugas yudisial dan Mahkamah tidak dapat

menolak suatu permintaan opini nasihat tentang persoalan demikian, meskipun diklaim

bahwa persoalan tersebut dan permintaannya bersifat politis. Setiap peristiwa, Mahkamah tidak

akan menolak untuk memberikan suatu opini nasihat, karena dikatakan bahwa berkaitan

dengan opini tersebut Mahkamah telah atau dapat diduga akan tunduk pada tekanan politis.

93

Mahkamah Internasional apabila diminta oleh para pihak, dapat membentuk

kamar-kamar

(chambers) untuk menangani suatu perkara khusus dan jumlah hakim yang menyusun

kamar tersebut akan ditentukan oleh Mahkamah dengan persetujuan dari para pihak seperti

yang dijelaskan pada Pasal 26 ayat (2) Statuta ICJ. Pada bulan Januari 1982, untuk pertama

kalinya Mahkamah membentuk kamar khusus untuk menyelesaikan sengketa antar Amerika

Serikat dan Kanada mengenai penetapan batas perbatasan maritim di kawasan teluk Maine

dan prosedur ini telah diikuti dalam permasalahan-permasalahan berikutnya.

94

Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan

sengketa-sengketa mereka melalui jalur diplomasi atau damai (bersahabat), maka salah satu cara yang

dapat digunakan sebagai jalan keluar penyelesaian sengketa adalah melalui jalur pemaksaan

atau kekerasan. Penyelesaian sengketa internasional dengan menggunakan kekerasan secara

garis besar dibagi menjadi:

2) Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Kekerasan

95

93

Ibid, hal 77

94

Ibid

a) Perang

95

(31)

Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan

dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian sengketa di mana negara

yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Cara

perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan di

praktikkan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau

instrumen dan kebijakan luar negeri untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman

mereka mengenai aturan-aturan hukum internasional. Dalam perkembangannya

kemudian, seiring dengan berkembangnya teknologi senjata pemusnah massal,

masyarakat internasional menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang,

karenanya masyarakat internasional sekarang ini tengah berupaya untuk

menghilangkan cara penyelesaian ini atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.

96

Hukum internasional sebenarnya telah melarang penggunaan kekerasan

bersenjata dalam penyelesaian sengketa internasional. Pasal 2 ayat (3) Piagam

PBB menyebutkan “All members shall settle their international disputes by

peaceful means in such a manner that international peace and security are not

endangered”,

Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB

diwajibkan untuk menempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara damai.

Kewajiban lainnya yang melarang penggunaan kekerasan dalam Piagam

tercantum dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa dalam hubungan

internasional, semua negara harus menahan diri dalam menggunakan cara-cara

kekerasan, “All members shall refrain in their international relations from the

threat or use of force against the territorial integrity or political independence

of any state or in any manner inconsistent with the purpose of the

United Nations”.

97

Penggunaan kekerasan senjata dalam suatu sengketa hanya dapat

dimungkinkan pada saat keadaan terdesak untuk melakukan pembelaan diri apabila

96

Dedi Supriyadi,

Op. Cit., hal. 206

97

(32)

terlebih dahulu diserang oleh negara lain. Tindakan ini didasarkan pada Pasal

51 Piagam PBB yang menyatakan “Nothing in the present Charter shall impair

the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs

against a Member of the United Nations… Measures taken by Members in the

exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the

Security Council… ”.

98

ekonomi dan penarikan konsesi pajak dan tarif.

Penggunaan perang sebagai alternatif penyelesaian suatu sengketa

internasional merupakan pilihan yang harus digunakan dalam situasi tertentu.

Penggunaan senjata sebagai media penyelesaian sengketa harus dilakukan untuk

alasan pertahanan diri dan bukan sebagai tindakan untuk menekan pihak lain.

126

b) Retorsi (Retortion)

Retorsi merupakan istilah untuk melakukan pembalasan oleh suatu negara

terhadap tindakan-tindakan tidak pantas dari negara lain, balas dendam tersebut

dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, misalnya

pemutusan hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa, penghentian bantuan

99

Reprisal adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi, akan

tetapi terbatas pada penahanan orang dan benda. Pembalasan merupakan upaya

yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dengan maksud untuk

Keadaan yang memberikan penggunaan retorsi hingga kini belum dapat

secara pasti ditentukan karena pelaksanaan retorsi sangat beraneka ragam. Pasal 2

paragraf 3 Piagam PBB ditetapkan bahwa anggota PBB harus menyelesaikan

sengketa mereka dengan cara damai sehingga tidak mengganggu perdamaian dan

keamanan internasional dan keadilan. Penggunaan retorsi secara sah oleh negara

anggota PBB terikat oleh ketentuan piagam tersebut.

c) Tindakan-tindakan pembalasan

(Repraisals)

98

Sefriani,

Op. Cit., hal. 358.

99

(33)

menyelesaikan sengketa yang timbul oleh karena negara tersebut telah melakukan

tindakan yang tidak dibenarkan. Perbedaan tindakan repraisal dan retorsi adalah

bahwa pembalasan adalah mencakup tindakan yang pada umumnya dapat dikatakan

sebagai tindakan ilegal, sedangkan retorsi meliputi tindakan balas dendam yang

dapat dibenarkan oleh hukum.

100

Pembalasan dapat dilakukan dengan bentuk pemboikotan barang-barang

terhadap suatu negara tertentu, suatu embargo atau suatu penyanderaan terhadap

seseorang. Saat ini pada umumnya bahwa suatu pembalasan hanya dibenarkan

apabila negara yang menjadi tujuan tindakan ini bersalah karena melakukan

tindakan yang sifatnya merupakan pelanggaran internasional. Reprisal dapat

dilakukan dengan syarat sasaran reprisal merupakan negara yang melakukan

pelanggaran internasional, negara yang bersangkutan telah terlebih dahulu diminta

untuk mengganti kerugian yang muncul akibat tindakannya, serta tindakan reprisal

harus dilakukan dengan proporsional dan tidak berlebihan.

101

Blokade secara damai adalah tindakan blokade yang dilakukan pada waktu

damai. Tindakan ini pada umumnya ditunjukan untuk memaksa negara yang

pelabuhannya diblokade untuk mengganti kerugian oleh negara yang melakukan

blokade. Blokade secara damai dapat dipandang sebagai suatu prosedur kolektif

yang diakui untuk memperlancar penyelesaian sengketa antara negara. Secara

tegas tindakan

blokade disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai suatu

tindakan yang boleh diprakasai oleh Dewan Keamanan demi untuk memelihara

kedamaian dunia.

d) Blokade secara damai (Pacific Blockade)

102

Internvensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa internasional

dengan melakukan tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik negara

e) Intervensi (intervension)

100

Dedi Supriyadi,

Loc. Cit.

101

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pencapaian sasaran tersebut, direncanakan diukur dengan menggunakan 7 (tujuh) Indikator Kinerja Utama (IKU) yaitu: (1) Jumlah Penguatan Lembaga Distribusi Pangan

Selanjutnya berkaitan dengan metode pertanyaan evaluatif, yaitu metode pertanyaan yang digunakan guru untuk membuat siswa memikirkan kembali pemahaman mereka

Ciri – ciri bunga jantan kelapa sawit yang sedang anthesis adalah bunga berwarna kuning, mengeluarkan aroma yang menjadi attractant bagi kumbang Elaeidobius

(2006, p.129), terdapat beberapa faktor perilaku konsumen yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan konsumen yaitu faktor cultural, social, personal, dan psychological.

Pada penelitian ini 100 pasang serangga dimasukkan kedalam tandan bunga jantan yang telah disungkup dan masih berada pada tanaman kelapa sawit kemudian diambil 3 spikelet

PT Elnusa Tbk (ELNUSA), a leading energy services company in Indonesia for the third time received The Mahakam Award for category of Safety Performance of High Risk

[r]