• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warisan Anak Angkat Menurut Hukum Adat Dan Kompilasi Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Warisan Anak Angkat Menurut Hukum Adat Dan Kompilasi Hukum Islam"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum perdata di Indonesia masih bersifat pluralisme karena sampai saat ini masih berlaku hukum adat, hukum Islam dan hukum barat. Dari ketiga hukum tersebut, hukum Islam mempunyai kedudukan tersendiri, walaupun tidak seluruh hukum perdata Islam merupakan hukum positip di Indonesia, tetapi bidang-bidang tertentu hukum perdata Islam telah menjadi hukum positif. Bidang-bidang tertentu dimaksud adalah hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah anak luar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III pasal 280 sampai dengan pasal 290 KUHPerdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asas nya KUHPerdata tidak mengenal adopsi. Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi.1

Mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan

1

Joko susilo, pengangkatan anak (adopsi

(2)

anak yang dipungut itu tumbul suatu kekeluargaan yang sama seperti ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Pendapat ini menegaskan bahwa dalam pengangkatan anak tidak hanya sebatas mengangkat atau mengakui, tetapi keluarga angkat harus memberlakukan anak angkat tersebut seperti anak kandungnya sendiri.2 Dalam Islam pengangkatan anak yang dibenarkan adalah yaitu tidak melekatkan nasab kepada anak angkat sehingga hukumnya tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan. Hal ini dipahami dari dalil surah al-Ahzab ayat 37, dimana asbabun nuzulnya adalah ketika Nabi saw diperintah Allah saw menikahi Zainab yang merupakan mantan isteri dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Harisah.

Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan system kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia, karena terkait dengan harta kekayaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Kematian atau meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh setiap orang, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia. Saat seseorang meninggal dunia meninggalkan keluarga dan harta kekayaan yang disebut warisan, dengan cara apa akan diselesaikan atau membagi warisan yang ditinggalkan oleh pewaris serta hukum apa yang akan diterapkan untuk membagi warisan tersebut. Hukum yang membahas tentang

2

(3)

peralihan harta peninggalan, pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia diatur di dalam hukum kewarisan.

Sistem hukum perdata di Indonesia bersifat pluralisme (beraneka ragam), demikian juga dengan belum adanya unifikasi dalam hukum kewarisan di Indonesia yang merupakan bagian dari hukum perdata Indonesia, sehingga sampai saat ini kita masih memakai tiga system hukum kewarisan yang sudah ada sejak dahulunya, yaitu :

1. Hukum Kewarisan Adat

Sistem hukum kewarisan adat beraneka ragam, hal ini dipengaruhi oleh bentuk masyarakat di berbagai daerah lingkungan hukum adat dan sifat kekerabatan berdasarkan keturunan. Setiap system keturunan memiliki kekhususan dalam hukum warisannya yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Dalam hukum adat mengenal tiga system hukum kewarisan yang sangat dipengaruhi oleh system kekerabatan sebagai berikut :

a. Sistem kewarisan individual, merupakan system kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Sistem kewarisan individual ini banyak berlaku di lingkungan masyarakat yang memakai sitem kekerabatan secara parental.3 Misalnya pada masyarakat bilateral suku Jawa dan juga

(4)

sebagian masyarakat yang system kekerabatanna patrilinial, seperti suku Batak.

b. Sistem kewarisan kolektif, merupakan system kewarisan yang menentukan bahwa ahli waris mewarisi harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif), karena harta peninggalan tersebut tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris.4 Setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sistem kewarisan kolektif ini terdapat pada masyarakat yang memakai kekerabatan matrilineal, seperti masyarakat Minangkabau.

c. Sistem kewarisan mayorat, system kewarisan ini menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh satu orang anak. Sistem kewarisan mayorat di daerah yang masyarakatnya bersistem kekerabatan patrilineal yang beralih-alih. Sistem mayorat ini dibedakan menjadi dua, yaitu :

1). Mayorat laki, yaitu apabila anak laki tertua/sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, terdapat di Lampung dan Bali. 2). Mayorat perempuan, yaitu anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, misalnya terdapat pada masyarakat di tanah Semendo di Sumatera

(5)

Selatan. 5 Sistem mayorat menentukan bahwa penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga yang menggantikan kedudukan ayah dan ibunya sebagai kepala keluarga. 6

Dasar hukum berlakunya hukum adat ini terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal II aturan peralihan : “Semua lembaga Negara yang ada masih tetap

berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”7

Tentang hukum adat ini Soepomo menyatakan “Hukum adat waris memuat

peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benmda dan barang-barang-barang-barang yang tidak berwujud (immatereriele goederen) dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya”. 8Ajaran Soepomo ini bermaksud memberikan gambaran bahwa hukum adat itu senantiasa tumbuh dan berkembang dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat sebagai wadahnya. 9 Hukum dapat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang berbeda dengan hukum Islam maupun hukum perdata, hal ini disebabkan karena latar belakang fikiran bangsa Indonesia dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika.

2. Hukum kewarisan Islam

5 Ibid, Hal : 53

6 Hadikusuma, Op, Cit, Hal : 28

7

UUD 1945, Bintang Indonesia Jakarta

8 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1987, Hal : 79

(6)

Hukum kewarisan Islam yang lazim disebut dengan hukum faraid merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur dan membahas tentang proses peralihan harta peninggalan dan hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup.

Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan hukum kewarisan adalah sebagai berikut : “Seperangkat ketentuan yang membahas tentang cara-cara peralihan hak dari

seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kepada wahyu Ilahi yang terdapat di dalam Al-Qur‟an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW yang di dalam istilah Arab disebut dengan Faraid. 10

Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, mendifinisikan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan

(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. 11

Dasar hukum kewarisan Islam diatur secara tegas di dalam Al-Qur‟an, diantaranya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa‟ ayat 7 sebagai berikut : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak dan bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit

10 Idris Djakfar, dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, Hal : 3 - 4

(7)

ataupun banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. 12

Selain terdapat dalam Al-Qur‟an, ketentuan hukum kewarisan Islam juga terdapat di dalam hadis Nabi Muhammad SAW, diantaranya Hadis Riwayat Bukhary dari Ibnu Abbas, sebagai berikut : Berikanlah faraid kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat. (H.R. Bukhari).13 Agama Islam mengatur cara pewarisan berdasarkan keadilan kepentingan agama, kepentingan antara anggota keluarga dan kepentingan masyarakat. Hukum Islam tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga memberi warisan kepada pihak keturunan kedua suami isteri tersebut, baik secara garis lurus ke bawah, garis lurus ke atas atau garis ke samping, baik laki-laki ataupun perempuan. Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual.

Di samping sifat hukum waris Islam tersebut di atas, prinsip yang mendasari system pewarisan Islam dalam symposium hukum waris nasional tahun 1983 di Jakarta adalah sebagai berikut :

a. Hukum waris Islam tidak memberikan kebebasan penuh kepada seseorang untuk menghabiskan harta peninggalannya dengan cara wasiat pada orang yang disayanginya. Sebaliknya juga tidak melarang sama sekali pembagian hartanya semasa ia masih hidup.

b. Oleh karena pewarisan merupakan aturan hukum maka pewaris tidak boleh meniadakan hak ahli waris atas harta warisan. Sebaliknya ahli

12 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Gema Risalah Press, Bandung, 1989, Hal : 114

(8)

warispun berhak atas harta peninggalan tanpa syarat pernyataan secara sukarela atau melalui Putusan Pengadilan.

c. Pewarisan terbatas di lingkungan kerabat baik berdasarkan hubungan perkawinan maupun ikatan keturunan yang sah.

d. Hukum waris Islam cenderung membagikan harta warisan kepada ahli waris dalam jumlah yang berhak diterimanya untuk dimiliki secara perorangan menurut kadar bagian masing-masing, baik harta yang ditinggalkan itu sedikit atau banyak jumlahnya.

e. Perbedaan umur tidak membawa perbedaan dalam hak mewarisi bagi anak-anak. Perbedaan besar kecilnya bagian warisan berdasarkan berat ringannya kewajiban dan tanggung jawab si anak dalam kehidupan kerabat. 14

Hal yang perlu diketahui bahwa hukum kewarisan Islam mempunyai corak atau karakteristik tersendiri yang berbeda dengan hukum kewarisan yang lain, corak atau karakteristik tersebut adalah :

a. Perolehan perseorangan ahli waris

Perolehan yang diperuntukkan bagi perseorangan, yaitu bagian tertentu dalam keadaan tertentu. Angka-angka faraid bagian tertentu tersebut ialah 1/8, 1/4, 1/6, 1/3, 2/3 dan ½ menunjukkan jaminan kepemilikan secara individu, seperti untuk anak laki-laki memperoleh bagian dua kali bagian anak perempuan.

(9)

b. Pariasi pengurangan perolehan ahli waris.

Pariasi pengurangan perolehan terjadi karena adanya orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu memperoleh bagian yang tertentu atau kehadiran dzawill furud15

lainnya.

Contohnya dapat dilihat dalam kasus perolehan dzawil furud untuk dua orang anak perempuan atau lebih mendapat bagian 2/3, untuk seorang anak perempuan mendapat bagian ½ (Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 11). Bagian untuk duda mendapat setengah jika tidak ada anak dan seperempat jika ada anak dan janda mendapat bagian seperempat jika tidak mempunyai anak dan mendapat bagian seperdelapan jika ada anak. Pengurangan perolehan bagian warisan disebabkan oleh jumlah mereka berbeda. Kemudian perolehan bagi saudara perempuan mendapat setengah apabila seorang dan mendapat bagian dua pertiga apabila dua orang atau lebih. 16

c. Metode penyelesaian pembagian warisan

Metode penyelesaian pembagian warisan ada yang dikenal dengan Aul dan Rad. Aul17

adalah suatu cara penyelesaian bila terjadi ketekoran dalam pembagian harta warisan, dilakukan pengurangan terhadap bagian masing-masing ahli waris secara berimbang, sedangkan Rad adalah pengembalian sisa harta setelah dibagi kepada dzawil furud,

15

Adalah golongan keluarga tertentu yang ditetapkan menerima bagian tertentu dalam keadaan tertentu, Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal : 135

16 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal : 23

17

(10)

sisa harta tersebut dibagi secra berimbang oleh ahli waris dzawil furud.18. Corak atau karakteristik hukum kewarisan Islam tersebut tidak ditemui di dalam hukum kewarisan KUH Perdata dan hukum waris adat.

3. Hukum Kewarisan Perdata Barat

Sistem kewarisan yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUH Perdata yang menganut system individual, dimana setelah pewaris meninggal dunia, maka harta peninggalan pewaris haruslah segera dilakukan pembagian kepada ahli waris. Berlakunya Burgerlijk wetboek (BW) berdasarkan pada ketentuan :

a. Pasal 131 jo. 163 I.S (Indische Staatsregeling) yaitu : Hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata berlaku bagi orang-orang Erofa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Erofa tersebut.

b. Staatsblaad 1917 Nomor : 129, yaitu : Hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa.

c. Staatsblad 1924 Nomor 557 jo Staatsblad 1917 Nomor : 12, yaitu Hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata berlaku bagi orang-orang Timur asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum Eropa. 19

Saat ini Staatsblad tersebut tidak berlaku lagi setelah adanya Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang tidak mengenal penggolongan penduduk Indonesia. Penggolongan saat ini dikenal dengan “Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing“.

Hukum waris KUH Perdata diartikan sebagai berikut : “Kesemuanya kaedah hukum

yang mengatutr nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan

18 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Tintamas, Jakarta, 1964 Hal : 45

(11)

menentukan siapa orangnya yang dapat menerimanya. 20 Pewarisan akan dilaksanakan setelah ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan dan ada ahli waris yang berhak atas harta peninggalan tersebut, sebagaimana Pasal 830 KUH Perdata menyatakan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian.

Prinsip dalam KUHPerdata, anak yang sah atau disebut juga dengan anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Sedangkan menurut pasal 42 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Menurut pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan anak hasil pembuahan suami-istri yang sah di luar Rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. 21

Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Islam melarang praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum barat/hukum sekuler dan praktik masyarakat jahiliyah.22 Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.

20 Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris, Pionir Jaya, Bandung, 1992, Hal : 24

21

Nur A. Fadhil Lubis, Hukum perdata Indonesia, Medan, Perdana Mulya Sarana, 2011, Hal : 93

22

(12)

Hukum Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas, dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab.23Aspek hukum me-nasab-kan anak angkat kepada orang tua angkatnya, atau yang memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya untuk kemudian dimasukkan ke dalam klan nasab orang tua angkatnya, adalah yang paling mendapat kritikan dari Islam, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam.24Pada kenyataannya bidang kewarisan mengalami perkembangan yang berarti, disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan pola pemikirannya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya saja waris bagi anak adopsi, banyak literature hokum yang mengatur tentang hal ini, termasuk KUHPerdata, Hukum Islam dan juga hukum adat.

Untuk memperjelas hal tersebut di atas diperlukan suatu penelitian lebih lanjut yang terbatas kepada perbandingan mengenai persamaan dan perbedaan tentang waris bagi anak adopsi. Dan berdasarkan hal tersebut yang menjadi alasan peneliti memilih judul yang diteliti, yaitu : WARISAN ANAK ANGKAT MENURUT HUKUM ADAT DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

B. Perumusan Masalah

23

Pengangkatan anak dalam Islam konteksnya lebih tepat disebut anak asuh yang diperluas, Rifyal

Ka‟bah menyebutkan dengan istilah Halhanah yang diperluas. Anak asuh yang diperluas, karena dalam pengangkatan anak-anak, harus melalui proses penetapan Pengadilan Agama, sedangkan pengasuhan anak tidak memerlukan suatu proses penetapan pengadilan.

24

(13)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut

1. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam ?

2. Bagaimana hak waris anak angkat dalam Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam ?

3. Bagaimana porsi warisan bagi anak angkat dalam Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan anak angkat dalam Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan hak waris anak angkat (Adopsi) dalam Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan porsi warisan bagi anak angkat dalam Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam

D. Manfaat Penelitian

(14)

Untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat menciptakan unifikasi dibidang hukum waris untuk menuju kodifikasi hukum hingga dapat mewujudkan hukum waris nasional khususnya dalam hak kewarisan anak angkat.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini nantinya dapat mengembangkan kemampuan individu peneliti dan dapat dijadikan sebagai pengetahuan bagi masyarakat untuk melihat pengaturan warisan bagi anak angkat menurut Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan pemeriksaan judul-judul penelitian yang ada baik di perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara serta di institusi lain mengenai judul Warisan Anak Angkat Menurut Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam ada beberapa judul yang mendekati yaitu antara lain :

1. Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Ditinjau Dari Hukum Islam. Oleh : Adawiyah (097011131), MKn (Magister Kenotariatan) Tesis. Dengan rumusan masalah :

1)Bagaimana ketentuan hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak?

(15)

3)Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak angkat menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 ditinjau dari hukum Islam dalam praktik hukum di Indonesia?

2. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat Menurut PP No. 54 tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam. Oleh : Luthfi Fauzi Fahmi (090200250), Skripsi. Dengan rumusan masalah :

1) Bagaimana kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tuanya? 2) Apa akibat hukum yang timbul dalam pengangkatan anak menurut PP No.

54 tahun 2007 dan KHI?

3) Bagaimana cara pembagian harta warisan orang tua angkat terhadap anak angkat menurut PP No. 54 tahun 2007 dan KHI?

3. Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan STaatsblas 1917 No. 129 (Penelitian Pada Pengadilan Negri/Agama Medan). Oleh : Erwansyah (057011078), MKn (Magister Kenotariatan) Tesis. Dengan rumusan masalah :

1) Bagaimana prosedur pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblaad 1917 No.129?

2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblaad 1917 No.129?

(16)

F. Kerangka Teori dan Konsep

3. Kerangka Teori

Kerangka teoretis dalam penelitian ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup hokum, maka konsep-konsep yang akan digunakan sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang dianggap paling relevan. Adapun teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

a. Teori Sistem Hukum (Lawrence M. Friedman)

Untuk menjawab permasalahan pertama dalam tulisan ini, yaitu menyangkut tentang pengaturan warisan bagi anak adopsi, maka penulis akan berbicara tentang sebuah sistem. Sistem yang dimaksud disini yaitu Hukum Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam. Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (Codes of rules) dan peraturan (Regulation). Namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (Procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law) dan budaya hukum (legal structure).

(17)

substance) dan budaya hukum (legal culture).25Dalam kaitannya dengan perubahan hukum maka perubahan itu dapat terjadi pada tiga unsur yang dominan yakni

pertama, struktur hukum adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya, kedua, subtansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum, dan ketiga, adalah kultur hukum adalah yang berhubungan dengan kebiasaan dalam penyelesaian perkara hukum26. Karena tidak mungkin hukum dapat dipahami secara matematis, sehingga membutuhkan konsep sosiologi hukum untuk menjawabnya.27

b. Teori Keadilan

Berbicara tentang hukum maka tidak jauh sifatnya dari tujuan hukum itu sendiri, salah satunya adalah keadilan. Dalam hal ini penulis menggunakan teori keadilan untuk menjawab permasalahan kedua dan ketiga. Bertujuan untuk mencari fakta dan menjelaskan alasan anak adopsi dalam hukum islam tidak mendapat warisan, dan juga penyelesaian sengketa terhadap pewarisan anak adopsi menurut hukum Perdata, hukum Adat dan hukum Islam. Berbagai macam Teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Teori-teori keadilan menurut para ahli adalah sebagai berikut:

1) Teori Keadilan menurut Aristoteles

25Lawrence Friedman, “American Law”,(London: W.W.Norton & Company,1984), Hal : 6. 26

________________, The legal System, A Sosial Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, 1974,Hal : 6-9

27

(18)

Pandangan Aristoteles tentang keadilan bias didapatkan dalam karyanya

Nichomachean ethis, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bias ditetapkan daam kaitannya dengan keadilan”.28

Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandang manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga Negara dihadapan hukum sama. Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi dalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “Commutatief”.

Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa29.

2) Teori Keadilan John Rawls

John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.

Berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi social (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak

28

Carl Joachim Friedrich, Filsafat hukum Persfektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004, Hal : 24

29L…J. Van Apeldoorn,

(19)

dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.30

Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang. Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).

Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan social ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.31

3) Keadilan dalam agama Islam

30

Pan Mohammad Faiz, Teori keadilan John Rawls, dalam jurnal Konstitusi, volue 6 Nomor 1 (April 2009). Hal : 139-140

31

(20)

Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Qur‟an sangat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau kepada pihak yang berselisih, melainkan Al-Qur‟an juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, bertindak dan bersikap bathin sebagaimana yang tersebut dalam surat Al-An‟am ayat 152 dan surat Al-Baqarah ayat 282 serta Al-Hadid ayat 25. Dari rangkaian ketiga ayat ini, dapat diketahui bahwa keadilan akan mengantarkan kepada ketaqwaan, dan ketaqwaan menghasilkan kesejahteraan bagi ummat manusia.32

Empat makna keadilan yang dikemukakan oleh pakar Agama yang semuanya apabila dilaksanakan dengan benar akan mendatangkan kesejahteraan yakni, pertama,

adil dalam arti sama sebagaimana yang tersebut dalam surat An-Nisa ayat 58, tidak boleh membeda bedakan orang dalam memutur perkara, kedua, adil dalam arti seimbang sebagaimana dikemukakan dalam surat Infithar ayat 6-7 dan surat Al-Mulk ayat 67, keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit masing0masing agar seimbang, tetapi bias saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya, ketiga. Adil dalam hal perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya, keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi, dalam arti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Kebaikan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan

32

(21)

kebaikan Allah dan rahmat Allah itu tidak tertahan untuk memperolehnya sejauh makhluk itu dapat meraihnya.33

4. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau diuraikan dalam karya ilmiah. 34

Kerangka konsep digunakan dalam suatu penelitian dimaksudkan agar dapat menjelaskan konsep kata-kata yang akan dipakai dalam penelitian yang dilakukan dengan tujuan dapat diperoleh pemahaman yang sama antara peneliti dengan pembaca yang membaca hasil dari penelitiannya.35

Adapun landasan konsepsional dalam penelitian ini ialah :

a. Warisan : hak milik seseorang yang meninggal dunia, yang dapat dimanfaatkan secara bebas (tasaruf) semasa hidupnya, setelah dikurangi biaya jenazah (tajhiz al Mayyit), utang, dan wasiat. Hukum waris adalah himpunan aturan, yang mengatur akibat-akibat hukum harta kekayaan pada kematian, peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan orang yang meninggal dunia dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan peralihan ini

33

M Quraish Shihab, wawasan Al-Qur’an, al-Mizan, Bandung, cetakan ke IX, 1999, Hal : 114-116 34 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal : 96

(22)

bagi para penerimanya, baik dalam hubungan dan perimbangan di antara mereka satu dengan yang lain, maupun dengan pihak ketiga.36

b. Anak angkat : adalah anak yang hak nya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.37

c. Hukum Perdata : Adalah hukum yang memuat semua peraturan-peraturan yang mengatur hubungan hukum dan kepentingan-kepentingan antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain, kadang-kadang antara anggota masyarakat dengan pemerintah dengan menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat.38

d. Hukum Islam : Hukum Islam mengatur prilaku manusia dalam dua dimensi, yaitu vertical (hubungan manusia dengan Tuhan) dan horizontal (hubungan manusia dengan sesame). Hukum yang mengatur dimensi vertical dikenal dengan ibadah madhah. Dengan ini manusia sadar dengan pengawasan Tuhan dimana dan kapanpun ia bekerja. Ancaman hukuman bagi pelanggarnya berupa dosa. Hukum yang mengatur dimensi horizontal lumrah disebut mu’amalah (dalam arti luas). Ancaman bagi pelanggarnya

36

Pilto, Hukum Waris, diterjemahkan oleh F. Tengker, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

37

Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

38

(23)

disamping dosa yang akan dirasakan di akhirat juga akibat yang dirasakan di dunia.39

e. Hukum Adat : Adalah susunan dari pada aturan-aturan hidup yang berlaku bagi orang-orang Indonesia dan Timur Asing yang pada satu segi mempunyai sanksi ( oleh karena itu hukum) dan disegi lain berada dalam keadaan tidak tertulis (oleh karena itu adat).40

f. Wasiat : bagi pewaris, terbuka kemungkinan untuk menentukan apa yang akan terjadi dengan harta kekayaan pada saai ia pulang ke rahmatullah. Peristiwa penentuan ini disebut kehendak terakhir. Akta yang memuat kehendak terakhir ini disebut wasiat. Dengan wasiat, dapat juga diberikan kepada seseorang barang-barang tertentu yang dapat diganti. Orang yang menerima hak ini disebut penerima hibah wasiat atau legataris. Barang-barang yang diterimanya disebut hibah waris atau legat.41

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan

39

Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, Hal : 16

40

Het Adatrecht van Nederlands Indie, Hal : 7-14, dikutip dari : Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, Jakarta Utara, Rajawali, 1989, Hal : 3

41

(24)

permasalahan, sehingga diperlukan rencana yang sistimatis. Metologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. 42

Untuk mendapatkan hasil yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode penelitian yang tepat. Metode penelitian yang tepat diperlukan untuk memberikan pedoman serta arahan dalam mempelajari serta memahami tentang objek yang diteliti. Dengan demikian penelitian yang dilakukan akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan. 43

Pada penelitian hukum ini, bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.44

Dalam penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahan-permasalahan. Supaya mendapat hasil yang lebih maksimal, maka peneliti melakukan penelitian hukum dengan menggunakan metode sebagai berikut :

42 Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, Hal : 9

43 Komaruddin, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1979, Hal : 27

(25)

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif , yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka atau dokumen yang disebut data sekunder, berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

2. Pendekatan Perbandingan

Kegunaan dalam pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan diantara pengaturan terhadap anak angkat dalam hukum islam yang di atur di dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Adat.

3. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis, metode ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang dilakukan dengan menggunakan cara kualitatif dari teori-teori hukum dan doktrin-doktrin hukum serta pendapat-pendapat pakar hukum.

2. Sumber Data

Data sekunder diperoleh melalui studi atau literatur, data sekunder tersebut meliputi : a. Bahan hukum primer yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa

Kitab petunjuk dan peraturan perundang-undangan yang terdiri antara lain: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

(26)

b. Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa :

1) Buku-buku 2) Jurnal-jurnal 3) Majalah

4) Artikel dan tulisan lainnya

c. Bahan hukum tersier yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti :

1) Kamus Inggeris-Indonesia; 2) Kamus Hukum;

3) Kamus Bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai permasalahan sehingga diperoleh hasil sesuai dengan tujuan penelitian.

a.Metode Analisis Data

(27)

Metode yang digunakan dalam menganalisa dan mengolah data-data yang terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan metode tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan berdasarkan pada pendekatan yuridis normatif. 45

Pada metode ini data-data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan adalah data sekunder, terhadap data tersebut dilakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Memilih pasal-pasal dan ayat-ayat serta pandangan para ahli hukum yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang masalah anak adopsi tersebut agar dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

b. Pengolahan data, yaitu data yang diinventarisir/dikumpulkan lalu dikelompokkan, kemudian dianalisis dan disistimatiskan dalam uraian yang bersifat deskriptif analisis. 46

Data sekunder yang diperoleh melalui studi leteratur yang berkaitan dengan pokok bahasan, dianalisis dengan objektif serta menghubungkannya dengan pendapat pakar hukum dan penulis-penulis lain, kemudian hasilnya ditafsirkan untuk dirumuskan menjadi penemuan dan kesimpulan peneliti.

4. Analisis Data

Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang terkumpul. Data primer (Undang-Undang) dan sekunder (buku-buku dan tulisan),

45 Ade Saptomo, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum, Unesa University Press, Surabaya, 2007, Hal : 30

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian wawancara tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam pemberian izin SPA di Makassar cukup optimal dalam meminimalisir tempat-tempat yang di

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dirumuskan permasalahan mengenai kendala- kendala yang dihadapi oleh pengadilan untuk menangani para pelaku Kejahatan dunia

Masalah tersebut tentu mencakup pada hal yang luas berupa keterlibatan BPD serta masyarakat sebagai objeknya, adminitrasi Desa secara umum tertuang dalam buku

Bastanta dkk pada tahun 2001 di Kabupaten Mandailing Natal yang membandingkan efikasi kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin dibandingkan pirimetamin- sulfadoksin

Identifikasi kandungan senyawa kimia fraksi n- heksana ekstrak etanol dilakukan dengan pereaksi kimia terhadap senyawa kumarin dan flavonoid, karena dalam beberapa

Agar partisipasi masyarakat menjadi lebih baik, penyuluh sosial dituntut untuk meningkatkan kinerjanya melalui dua hal, yaitu kemampuan yang dimiliki meliputi minat,

independen menggunakan uji t dua sisi (karena ingin diketahui tingkat signifikansi koefesien korelasi, tanpa melihat positif atau negatif arah regresi

JUDUL : TEMPAT TIDUR PASIEN BEDREST YANG DILENGKAPI SARANA TOILET. MEDIA : SEPUTAR INDONESIA TANGGAL : 3