• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penerapan Manajemen Kesetan dan Kesehatan Kerja Terhadap Perilaku kesetan Karyawan PT PDSI Rantau Aceh Tamiang Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penerapan Manajemen Kesetan dan Kesehatan Kerja Terhadap Perilaku kesetan Karyawan PT PDSI Rantau Aceh Tamiang Tahun 2014"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sistem Manajemen Keselamatan dan kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (Peraturan Pemerintah RI No. 50 Tahun 2012). Pelaksanaan SMK3 dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tersebut dilakukan dengan tujuan :

1. Untuk meningkatkan efektifitas perlindungan K3 dengan cara : terencana, terukur, terstruktur, terintegrasi.

2. Untuk mencegah kecelakaan kerja dan mengurangi penyakit akibat kerja, dengan melibatkan : manajemen, tenaga kerja/pekerja dan serikat pekerja.

(2)

Penerapan SMK3 berdasarkan prinsip standar OHSAS 18001:2008 yang terdiri dari lima prinsip.

a. Komitmen dan Kebijakan K3

Manajemen perusahaan memiliki komitmen untuk patuh terhadap peraturan perundangan K3, mencegah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan pencemaran. Wewenang yang dimiliki manajemen puncak adalah memberi sanksi kepada karyawan yang bekerja dan investor di area pabrik tidak menggunakan alat keselamatan kerja.

b. Perencanaan K3

Perencanaan yang dilakukan perusahaan adalah membuat jadwal rencana kegiatan yang terdiri dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh divisi yang terkait untuk menerapkan SMK3 di perusahaan. Perusahaan melakukan identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan pengendalian risiko K3 serta menanggulangi limbah terhadap pengendalian dampak lingkungan.

c. Pelaksanaan K3

(3)

keselamatan, dan program lingkungan. Program keselamatan yang dilakukan diantaranya memasang rambu-rambu penggunaan alat pelindung diri di setiap area kerja, rambu-rambu peringatan akan bahaya kerja yang akan terjadi, menerapkan toolbox meeting, memberikan dan menyediakan alat pelindung diri bagi tenaga kerja secara gratis, sosialisasi dan rapat panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3), mengadakan pelatihan K3 tentang P3K dan pelatihan tanggap darurat, melakukan patroli control setiap pagi selama jam kerja, dan penyedian alat pemadam kebakaran di setiap area kerja serta pemberian jalur evakuasi atau jalur hijau. Program peduli lingkungan yang diterapkan meliputi pengolahan limbah cair dan penggunaan kembali hasil limbah cair, penyediaan tempat sampah dan area penghijauan.

d. Pemeriksaan dan tindakan perbaikan K3

(4)

e. Kaji ulang manajemen K3

Pengkajian ulang manajemen yang diterapkan dilakukan untuk menjamin kesinambungan antara perencananan, pelaksanaan dan perbaikan berjalan sesuai yang diharapkan. Pengkajian ulang manajemen dilakukan dengan menyelengarakan rapat dan tinjauan antara tim P2K3 dengan manajemen puncak seperti direksi dan kepala divisi lainnya.

Lima prinsip penerapan SMK3 yang telah diterapkan untuk terus dilakukan perbaikan berkelanjutan oleh manajemen perusahaan. Perbaikan berkelanjutan dilakukan agar kesinambungan penerapan SMK3 dapat ditingkatkan sehingga mengurangi angka kecelakan kerja atau mendapatkan zero accident. SMK3 yang diterapkan diberlakukan untuk semua karyawan secara terintegrasi antara mesin, manusia, material dan lingkungan, sehingga menghasilkan penghargaan zero accident.

(5)

dengan peduli keselamatan dan kesehatan bukan karena unsafe behaviour.

Untuk menerapkan Sistem Manajemen K3, setiap perusahaan diwajibkan untuk membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). P2K3 adalah badan pembantu di tempat kerja yang merupakan wadah kerjasama antara pengusaha dan pekerja untuk mengembangkan kerjasama, saling pengertian dan partisipasi efektif dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja. P2K3 mempunyai tugas memberikan saran dan petimbangan baik diminta maupun tidak, kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah keselamatan dan kesehatan kerja.

(6)

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menurut Joint Committee ILO dan WHO ialah: “The promotion and maintenance of the highest degree of physical, mental, and social well being of in all occupations; the prevention among workers

of departures from health caused bt their working conditions; the protection of

workers in their employment from risks resulting from factors adverse to

health; the placing and maintenance of the worker in an occupational environment

adapted to his physiological equipment; to summarize: the adaptation of work to man

and each man to his job” (Dauly, 2010).

Menurut Budiono (2003), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah: “Suatu ilmu multi disiplin yang menerapkan upaya pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi tenaga kerja terhadap risiko bahaya dalam melakukan pekerjaannya serta mencegah terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran, peledakan, dam pencemaran lingkungan.” Sedangkan menurut Depnaker RI (2005), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah: “Keselamatan dan kesehatan Kerja adalah segala daya upaya dan pemikiran yang dilakukan dalam rangka mencegah, mengurangi dan menanggulangi terjadinya kecelakaan dan dampaknya melalui langkah-langkan identifikasi, analisa, dan pengendalian bahaya secara tepat dan melaksanakan perundang - undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja” (Rizky, 2009).

(7)

menangani atau mengendalikan bahaya dan risiko yang ada di atau dari tempat kerja, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan atau keselamatan pada pekerja maupun masyarakat sekitar lingkungan kerja (Tjipto, 2009).

2.2. Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja adalah suasana dimana karyawan melakukan aktivitas setiap harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosional karyawan. Jika karyawan menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja, maka karyawan tersebut akan betah di tempat kerjanya, melakukan aktivitasnya sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif.

(8)

Lingkungan kerja menurut Nitisemito, dalam Rodhiah (2008) adalah segala sesuatu yang ada disekitar pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Sementara itu, menurut Fieldman dalam Rodhiah (Jurnal Manajemen, 2008) menjelaskan bahwa lingkungan kerja merupakan faktor - faktor di luar manusia baik fisik maupun non fisik dalam suatu organisasi yang pembentukannya terkait dengan kemampuan manusia. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja adalah sebuah hal yang berada di sekitar pekerjaan yang dapat mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan tugas, kondisi kerja, hubungan karyawan di dalam perusahaan dan kinerja karyawan tersebut.

2.2.1. Lingkungan Kerja Sosial

Lingkungan kerja sosial mencakup hubungan yang terbina dalam perusahaan. Seorang pegawai bekerja di dalam perusahaan tidak sendiri. Di dalam melakukan aktivitas, pegawai pasti membutuhkan orang lain. Dengan demikian pegawai wajib membina hubungan yang baik antara rekan kerja, bawahan maupun atasan karena pegawai saling membutuhkan. Hubungan kerja yang terbentuk sangat mempengaruhi psikologis karyawan. Mello (2002) menyatakan bahwa “labor relations is key strategic issue for organizations because the nature of the relationship between the

employeer and can have a significant inpact on morale,motivation and

(9)

Komunikasi yang baik merupakan kunci untuk membangun hubungan kerja. Komunikasi yang buruk dapat menyebabkan kesalahpahaman karena gagal menyampaikan pikiran dan perasaan satu sama lain. Komunikasi yang baik dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi prestasi kerja karyawan dan membangun tim kerja yang solid. Untuk membangun hubungan kerja yang baik, menurut Mangkunegara (2003) diperlukan: “(1) pengaturan waktu, (2) tahu posisi diri, (3) adanya kecocokan, (4) menjaga keharmonisan, (5) pengendalian desakan dalam diri, (6) memahami dampak kata-kata atau tindakan anda pada diri orang lain, (7) jangan mengatur orang lain sampai anda mampu mengatur diri sendiri, (8) tidak mengumbar kemarahan pada orang lain, (9) besikap bijak dan bijaksana”. Hal ini menunjukkan bahwa untuk membangun hubungan kerja yang baik diperlukan pengendalian emosional dengan baik di tempat kerja.

Mangkunegara (2009) menyatakan bahwa “untuk menciptakan hubungan relasi kerja yang harmonis dan efektif, pimpinan dan manajer perlu (1) meluangkan waktu untuk mempelajari aspirasi-aspirasi emosi karyawan dan bagaimana mereka berhubungan dengan tim kerja serta (2) menciptakan suasana, memperhatikan dan memotivasi kreativitas”. Dari pernyataan ini dapat kita simpulkan bahwa pengelolaan hubungan kerja dan pengendalian emosional di tempat kerja itu sangat perlu untuk diperhatikan karena akan memberikan dampak terhadap prestasi kerja karyawan. Hal ini disebabkan karena manusia itu bekerja bukan sebagai mesin.

(10)

segalanya. Menusia bekerja untuk mendapatkan lebih dari sekedar uang, manusia memerlukan penghargaan dari perusahaan, memiliki hubungan yang baik dengan sesama karyawan dan manajer serta memiliki pekerjaan yang layak. Jadi uang bukan merupakan alat motivasi yang utama untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan sebaliknya hubungan kerja yang baik di lingkungan perusahaan merupakan kunci utama untuk mendapatkan kepercayaan dan loyalitas karyawan yang pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap prestasi kerja karyawan.

2.2.2. Lingkungan Kerja Fisik

Lingkungan kerja fisik adalah tempat kerja karyawan melakukan aktivitasnya. Lingkungan kerja fisik mempengaruhi semangat dan emosi kerja karyawan. Faktor - faktor fisik ini mencakup suhu udara di tempat kerja, luas ruang kerja, kebisingan, kepadatan, dan kesesakan. Faktor-faktor fisik ini sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Robbins (2002) menyatakan bahwa “faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja fisik adalah:

a. Suhu

Suhu adalah satu variabel dimana terdapat perbedaan individual yang besar. Suhu yang nyaman bagi seseorang mungkin merupakan neraka bagi orang lain. Dengan demikian untuk memaksimalkan produktivitas, adalah penting bahwa karyawan bekerja di suatu lingkungan dimana suhu diatur sedemikian rupa sehingga berada di antara rentang kerja yang dapat diterima setiap individu.

b. Kebisingan

(11)

konstan atau dapat diramalkan pada umumnya tidak menyebabkan penurunan kinerja sebaliknya efek dari suara-suara yang tidak dapat diramalkan memberikan pengaruh negatif dan mengganggu konsentrasi karyawan.

c. Penerangan

Bekerja pada ruang yang gelap dan samara-samar akan menyebabkan ketegangan pada mata. Intensitas cahaya yang tepat dapat membantu karyawan dalam memperlancar aktivitas kerjanya. Tingkat yang tepat dari intensitas cahaya juga tergantung pada usia karyawan. Pencapaian kinerja pada tingkat penerangan yang lebih tinggi adalah lebih besar untuk karyawan yang lebih tua dibanding yang lebih muda.

d. Mutu Udara

Merupakan fakta yang tidak bisa disangkal bahwa jika menghirup udara tercemar membawa efek yang merugikan pada kesehatan pribadi. Udara yang tercemar dapat mengganggu kesehatan pribadi keryawan. Udara yang tercemar di lingkungan kerja dapat menyebabkan sakit kepala, mata perih, kelelahan, lekas marah dan depresi.

Faktor lainnya yang mempengaruhi lingkungan kerja fisik adalah rancangan ruang kerja. Rancangan ruang kerja yang baik dapat menimbulkan kenyaman bagi karyawan di tempat kerjanya. Faktor - faktor dari rancangan ruang kerja tersebut menurut Robbins (2002) terdiri atas :

a. Ukuran ruang Kerja

(12)

sempit dan membuat karyawan sulit bergerak akan menghasilkan kinerja yang lebih rendah jika dibanding dengan karyawan yang memiliki ruang kerja yang luas. b. Pengaturan

Jika ukuran ruang kerja merujuk pada besarnya ruangan per karyawan, pengaturan merujuk pada jarak antara orang dan fasilitas. Pengaturan ruang kerja itu penting karena sangat mempengaruhi interaksi sosial. Orang lebih mungkin berinteraksi dengan individu - individu yang dekat secara fisik. Oleh karena itu lokasi kerja karyawan mempengaruhi informasi yang ingin diketahui.

c. Privasi

Privasi dipengaruhi oleh dinding, partisi dan sekatan-sekatan fisik lainnya. Kebanyakan karyawan menginginkan tingkat privasi yang besar dalam pekerjaan mereka (khususnya dalam posisi manajerial, dimana privasi diasosiasikan dalam status). Namun kebanyakan karyawan juga menginginkan peluang untuk berinteraksi dengan rekan kerja, yang dibatasi dengan meningkatnya privasi. Keinginan akan privasi itu kuat dipihak banyak orang. Privasi membatasi gangguan yang terutama sangat menyusahkan orang - orang yang melakukan tugas-tugas rumit.

(13)

keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya apabila lingkungan kerja yang tidak baik akan dapat menurunkan motivasi serta semangat kerja dan akhirnya dapat menurunkan kinerja karyawan.

Sedarmayanti (2001) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yaitu:

1. Lingkungan Kerja Fisik

Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Sedarmayanti, 2001). Menurut Nitisemito (2002) Lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak, keamanan, kebersihan, musik dan lain-lain. Berdasarkan definisi tersebut bahwa lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar tempat kerja karyawan lebih banyak berfokus pada benda-benda dan situasi sekitar tempat kerja sehingga dapat mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Faktor-faktor lingkungan kerja fisik yaitu pewarnaan, penerangan, udara, suara bising, ruang gerak, keamanan, kebersihan.

2. Lingkungan Kerja Non Fisik

(14)

2001). Lingkungan kerja non fisik ini tidak kalah pentingnya dengan lingkungan kerja fisik. Semangat kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan kerja non fisik, misalnya hubungan dengan sesama karyawan dan dengan pemimpinnya. Apabila hubungan seorang karyawan dengan karyawan lain dan dengan pimpinan berjalan dengan sangat baik maka akan dapat membuat karyawan merasa lebih nyaman berada di lingkungan kerjanya.

Ada 5 aspek lingkungan kerja non fisik yang bisa mempengaruhi perilaku karyawan, yaitu:

1. Struktur kerja, yaitu sejauh mana bahwa pekerjaan yang diberikan kepadanya memiliki struktur kerja dan organisasi yang baik.

2. Tanggung jawab kerja, yaitu sejauh mana pekerja merasakan bahwa pekerjaan mengerti tanggung jawab mereka serta bertanggung jawab atas tindakan mereka. 3. Perhatian dan dukungan pemimpin, yaitu sejauh mana karyawan merasakan

bahwa pimpinan sering memberikan pengarahan, keyakinan, perhatian serta menghargai mereka.

4. Kerja sama antar kelompok, yaitu sejauh mana karyawan merasakan ada kerjasama yang baik diantara kelompok kerja yang ada.

(15)

2.3. Perilaku

Geller (2001) menyatakan bahwa perilaku itu mengacu pada tingkah laku atau tindakan individu yang dapat diamati oleh orang lain. Dengan kata lain, perilaku adalah apa yang seseorang katakan atau lakukan yang merupakan hasil dari pikirannya, perasaannya, atau diyakininya. Perilaku manusia menurut Dolores dan Johnson (dalam Anggraini, 2011) adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan atau genetika.

Faktor penentu perilaku terbagi atas 2 bagian yakni faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan dan berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar, misalnya tingkat pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, jenis kelamin, dan sebagainya dan faktor eksternal, meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik, seperti iklim, manusia, sosial, budaya, ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang.

(16)

fisik, sosio, masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia cenderung bersifat holistik (menyeluruh). Hal ini dapat diartikan bahwa sulit untuk dibedakan yang mana faktor yang mempengaruhi dan berkontribusi dalam pembentukan perilaku manusia.

Skinner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan proses atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skinner membedakan adanya dua respons, yaitu:

1. Respondent response atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Respondent response ini juga mencakup perilaku emosional.

2. Operant response atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang, kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation karena memperkuat atau reinforce, karena memperkuat respon.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua:

1. Perilaku Tertutup (covert behavior)

(17)

persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Perilaku Terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.3.1. Pembentukan Perilaku

Notoatmodjo (2003) menyebutkan faktor yang memegang peranan didalam pembentukan perilaku, yaitu: faktor intern dan ekstern. Faktor intern berupa kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi, dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor ekstern meliputi objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Kedua faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan lingkungan apabila perilaku tersebut dapat diterima oleh lingkungannya dan dapat diterima oleh individu yang bersangkut an.

(18)

2.3.2. Proses Perubahan Perilaku

Terbentuknya dan perubahan perilaku manusia terjadi dikarenakan adanya proses interaksi antara individu dengan lingkungan melalui suatu proses yakni proses belajar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku dan proses belajar itu sangat erat kaitannya. Perubahan perilaku merupakan hasil dari proses belajar (Soekidjo, 2003).

Proses pembelajaran yang terjadi pada diri individu terjadi dengan baik apabila proses pembelajaran tersebut menghasilkan perubahan perilaku yang relativ permanen. Dengan demikian dikatakan bahwa proses pembelajaran terjadi bila individu tersebut berperilaku, bereaksi dan menanggapi sebagai hasil dari pembelajarannya dengan cara yang berbeda dari individu tersebut berperilaku sebelumnya. Pada proses pembelajaran perubahan perilaku tersebut mencakup tiga komponen:

1. Pembelajaran melibatkan perubahan. Pada proses ini perubahan perilaku yang bersifat sementara akan mengembalikannya perilaku seperti semula.

2. Perubahan harus relatif permanen. Dalam perubahan perilaku sifat yang relatif permanen ini sangat diperlukan dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja agar perilaku tidak aman yang biasanya dilakukan tidak diulangi lagi.

3. Perubahan menyangkut perilaku (Robbin dalam Rizky, 2009). 2.3.3. Faktor Penentu Perilaku

(19)

Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Faktor internal, yaitu karekteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2. Faktor eksternal, yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,

politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).

2.3.3.1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang adalah pendidikan, pekerjaan dan usia (Mubarak, 2006).

(20)

objek-objek atau materi harus dapat menjelaskan, dengan menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dari terhadap objek yang dipelajari. Selanjutnya, apa yang telah dipahami akan diaplikasikan (Aplication). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi juga merupakan penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan dalam konteks atau situasi lain. Kemudian, materi atau objek yang telah diplikasikan selanjutnya diartikan untuk dijabarkan ke dalam komponen-komponen, tetapi dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain (Analysis). Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, dapat menjabarkan, membedakan, mensyahkan dan mengelompokkan. Materi atau objek yang telah dianalisis, digabungkan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada (Syntesis). Kemudian dinilai berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang ada (Evaluasi). Dalam penelitian yang dilakukan Bart (1994) dikatakan bahwa perilaku yang dilakukan atas dasar pengetahuan akan lebih bertahan dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Jadi pengetahuan sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat mengetahui mengapa mereka harus melakukan suatu tindakan sehingga perilaku masyarakat dapat lebih mudah untuk diubah kearah yang lebih baik.

2.3.3.2 Sikap

(21)

setuju (favorablere) ataupun perasaan tidak setuju (non favorable) terhadap rangsangan tersebut. Selain itu Allport (1935 dalam Notoatmodjo, 2003) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 (tiga) komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan) yang merupakan ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

2.3.3.3Tindakan

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan

nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk

nyata atau terbuka (Notoatmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut sudah

jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat

diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga over behavior.

Empat tingkatan tindakan adalah:

1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

diambil.

2. Respon Terpimpin (Guided Response)

(22)

3. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.

4. Adaptasi (Adaptation)

Adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. 2.3.4. Perilaku Keselamatan

Borman dan Motowidlo dalam Wijayanti (2008) membedakan perilaku keselamatan di tingkat individu ke dalam dua kategori, yaitu kepatuhan keselamatan (safety compliance) dan partisipasi keselamatan (safety participation). Kepatuhan keselamatan didefinisikan sebagai aktivitas utama yang harus dilakukan individu untuk mempertahankan keselamatan di tempat kerja, termasuk didalamnya kepatuhan akan prosedur kerja dan menggunakan peralatan pelindung diri (personal protective equipment-PPE). Di sisi lain partisipasi keselamatan didefinisikan sebagai perilaku yang tidak secara langsung berkontribusi terhadap aktivitas keselamatan, tetapi akan membantu lingkungan kerja untuk tetap selamat. Beberapa contoh partisipasi keselamatan adalah mengikuti rapat- rapat keselamatan, dan membantu rekan kerja untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan keselamatan kerja.

(23)

yakni pengetahuan sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia, karena itu ada program safety awareness untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan manusia mengenai keselamatan. Selain itu dapat dilihat bahwa perilaku berhubungan dengan faktor eksternal dan stimulus, oleh karena itu program-program yang dapat memberikan stimulus terhadap perilaku pekerja seperti kampanye, observasi, bahkan reward dan punishment itu memang harus diterapkan. Faktor perilaku memang penting bahkan sangat amat penting. Namun bukan berarti tidak perlu fokus ke desain tempat kerja dan teknologi atau aspek engineering untuk safety saat bekerja, karena teknologi sedikit banyak dapat “menutupi” faktor perilaku manusia dan perlu diingat bahwa terdapat banyak sekali kesalahan yang diakibatkan perilaku manusia dalam sistem termasuk sistem kerja.

Penerapan teknologi yang melibatkan perilaku manusia (human behavior) termasuk juga human factors harus diterapkan untuk mengurangi kesalahan yang disebabkan oleh faktor perilaku. Karena seperti yang telah disebutkan di atas, perilaku selain ditentukan dari faktor eksternal juga ditentukan dari faktor internal yang sudah melekat pada diri manusia tersebut. Faktor-faktor internal biasanya berupa karakteristik atau kapasitas seperti kognisi, kecerdasan, persepsi, jenis kelamin yang dapat menimbulkan perilaku manusia yang tidak diinginkan ketika desain lingkungan kerja melebihi kapasitas manusia tersebut.

(24)

keselamatan dan kemampuan dalam menjalankan tugasnya.

L.W.Green dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu :

1. Faktor-faktor Predisposisi ( Predisposing Factors)

Adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, kayakinan, nilai-nilai dan juga variasi demografi, seperti : status ekonomi, umur, jenis kelamin dan susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu tersebut, seperti

pengetahuan, keyakinan, nilai dan sikap.

2. Faktor-faktor Pemungkin (Enambling Factors)

Adalah faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, termasuk di dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, misal : dana, transportasi, fasilitas, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya seperti: sarana, Prasarana, dana, transportasi, fasilitas dan kebijakan pemerintah.

3. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors)

Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, undang-undang peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan seperti sikap, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan.

(25)

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (MK3) secara komprehensip merupakan cara pencegahan yang efektif. MK3 merupakan suatu proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang bertujuan untuk membudayakan K3. Keselamatan dan kesehatan kerja yang telah membudaya bagi para pekerja menjadi faktor predisposisi bagi perubahan perilaku keselamatan demikian juga dengan persepsi pekerja terhadap lingkungan pekerjaan. Kebijakan K3 di perusahaan menjadi salah satu faktor pemungkin dalam terjadinya perilaku keselamatan.

2.4. Landasan Teori

Secara konseptual teori Ramsey adalah teori yang menjelaskan hubungan antara faktor individu dengan terjadinya kecelakaan. Ramsey menilai bahwa terjadinya kecelakaan karena adanya faktor-faktor pribadi yang mempengaruhi seseorang. Faktor yang dimaksud adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang berpengaruh dalam pembentukan perilaku yang aman. Menurt Ramsey, untuk dapat terbentuk perilaku yang aman dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu (Sjaaf, 2007) :

a) Pengamatan (Perception)

Faktor ini dipengaruhi oleh kecakapan sensoris, perseptualnya, kesiagaan mental.

b) Kognitif (Cognition)

(26)

c) Pengambilan Keputusan (Decision Making)

Faktor ini dipengaruhi oleh pengalaman, pelatihan, sikap, motivasi, keperibadian dan kecenderungan menghadapi risiko

d) Kemampuan (Ability)

Faktor ini dipengaruhi oleh ciri-ciri fisik dan kemampuan fisik, kemampuan physikomotorik, dan proses-proses fisiologis.

(27)

Gambar 2.1 Kerangka Teori Ramsey

Sumber: Sjaaf,Ridwan Z.2007, Occuptional Health and Safety Behaviour Bahaya

Pengamatan Bahaya

Pengenalan Bahaya

Keputusan untuk menghindar

Kemempuan untuk Menghindar

Change Perilaku Kerja

Tidak Aman

Kecelakaan Tidak Terjadi

(28)

2.5. Kerangka Konsep

Gambar. 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Penerapan Manajemen K3

1. Komitmen dan kebijakan K3 2. Perencanaan K3

3. Pelaksanaan K3

4. Pemeriksaan dan tindakan perbaikan K3

5. Kaji ulang manajemen K3

Kondisi Lingkungan Kerja 1. Lingkungan Fisik

2. Lingkungan Non Fisik/Sosial

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori Ramsey
Gambar. 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan di PT PDSI Rantau Aceh Tamiang tahun 2014 dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan manajemen K3 terhadap pengetahuan, sikap dan tindakan, untuk

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang disebut SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,

PER-05/MEN/1996 bahwa Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang selanjutnya disingkat SMK3, adalah bagian sistem manajemen secara menyeluruh termasuk struktur organisasi,

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang disebut SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,

Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur,

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang disebut SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab,