BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Earnings Response Coefficient (ERC)
Kualitas laba yang baik dapat diukur dengan menggunakan Earnings Response Coefficient yang merupakan bentuk pengukuran kandungan informasi laba. “Earnings Response Coefficient (ERC) adalah ukuran besaran abnormal return suatu saham sebagai respon terhadap komponen laba abnormal (unexpected earnings) yang dilaporkan oleh perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut” (Scott, 2003). Earnings Response Coefficient berguna dalam analisis investor dalam model penilaian untuk menentukan reaksi pasar atas
informasi laba perusahaan. Earnings Response Coefficient merupakan koefisien yang diperoleh dari regresi antara proksi harga saham dan laba akuntansi. Proksi
harga saham yang digunakan adalah cummulative abnormal return (CAR), sedangkan proksi laba akuntansi adalah unexpected earning (UE) (Chaney dan Jeter, 1991). Regresi model tersebut akan menghasilkan ERC untuk masing-masing sampel yang akan digunakan untuk analisis berikutnya.
Earnings Response Coefficient merupakan pengaruh laba abnormal (unexpected earnings) terhadap CAR, yang ditunjukkan melalui slope coefficient dalam regresi abnormal return saham dengan unexpected earnings (Scott, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa ERC adalah reaksi CAR terhadap laba yang
diumumkan oleh perusahaan. Ada beberapa hal yang menyebabkan respon pasar
perusahaan, kualitas laba, growth opportunities, dan ukuran perusahaan (Scott, 2003). Nilai Earnings Response Coefficient diprediksi lebih tinggi jika laba perusahaan lebih persistensi di masa depan. Demikian juga jika kualitas laba
semakin baik, maka diprediksi nilai ERC akan semakin tinggi. Beta
mencerminkan risiko sistematis. Investor akan menilai laba sekarang untuk
memprediksi laba dan return dimasa yang akan datang. Jika future return tersebut semakin berisiko, maka reaksi investor terhadap unexpected earnings perusahaan juga semakin rendah (Scott, 2003).
Informasi laba ini digunakan oleh investor sebagai bahan pertimbangan
dalam membuat keputusan dan untuk mengetahui kinerja perusahaan. Akan tetapi,
informasi laba saja tidak cukup sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
keputusan karena masih ada beberapa informasi lain yang dibutuhkan investor.
Beaver (1968) dalam Murwaningsari (2008) mendefinisikan, Earnings Response Coefficient atau koefisien respon laba merupakan koefisien slope atas laba. Koefisien respon laba mengukur besarnya kekuatan harga saham dalam merespon
laba akuntansi. Koefisien laba akuntansi dapat menunjukkan kualitas laba
perusahaan. Reaksi atas laba yang diumumkan perusahaan mencerminkan kualitas
laba yang dilaporkan perusahaan. Tinggi rendahnya ERC sangat ditentukan oleh
kekuatan responsif yang tercermin dari informasi baik buruknya yang terkandung
dalam laba.
Cho dan Jung ( 1991) mengklasifikasi pendekatan teoritis ERC menjadi
dua kelompok yaitu:
respon investor terhadap sinyal informasi laba merupakan fungsi dari
ketidakpastian di masa mendatang. Semakin besar noise dalam sistem pelaporan perusahaan (semakin rendah kualitas laba), semakin kecil ERC
dan,
2. model penilaian yang didasarkan pada time series laba (time series based valuation model).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi Earnings Response Coefficients adalah leverage, firms size, profitabilitas, peluang pertumbuhan dan risiko sistematik (Mahboobe Hasanzade et al, 2013). Ukuran perusahaan berpengaruh
terhadap tingkat stock returns perusahaan tersebut. Semakin besar perusahaan maka tingkat stock returns akan semakin besar, demikian sebaliknya. Tidak ada hubungan yang signifikan antara leverage dengan Earnings Response Coefficient. Investor akan bereaksi terhadap leverage ketika perusahaan sangat sulit memperoleh pinjaman dari dan tingkat suku bunga yang terlalu tinggi (Mahboobe
Hasanzade et al, 2013).
Asumsi yang mendasari penelitian Earnings Reponse Coefficient adalah bahwa investor merespon secara berbeda terhadap informasi laba akuntansi sesuai
dengan kredibilitas atau kualitas informasi laba akuntansi tersebut. Menurut
Suwardjono (2005), reaksi pasar ditunjukkan dengan (returns saham) perusahaan tertentu yang cukup mencolok pada saat pengumuman laba adanya perubahan
harga pasar. Maksud dari mencolok adalah perbedaan yang cukup besar antara
Beberapa penelitian menyatakan bahwa respon pasar terhadap laba di
masing-masing perusahaan dapat bervariasi dan tidak konstan. Beberapa peneliti
yang memiliki pendapat tersebut adalah Easton dan Zmijewski (1989); Collins
dan Khotari (1989). Pihak lain mengatakan bahwa Earnings Response Coefficient relatif tidak berubah dan tetap, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Kormendi dan Lipe (1987).
2.1.2. Teori Struktur Modal
Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur
modal terhadap nilai perusahaan, jika keputusan investasi dan kebijakan dividen
dipegang konstan. Struktur modal menunjukkan proporsi atas penggunaan hutang
untuk membiayai investasinya, sehingga dengan mengetahui struktur modal
investor dapat mengetahui risiko dan tingkat pengembalian atas investasinya.
Menurut trade-off theory yang diungkapkan oleh Myers (2001:81), Perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana
penghematan pajak (tax shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress). Biaya kesulitan keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan (bankruptcy costs) atau reorganization, dan biaya keagenan yang meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu
symmetric information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. Beberapa teori terkait struktur modal adalah sebagai berikut:
1. Teori Signaling
Signal atau isyarat adalah suatu tindakan yang diambil manajemen
perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen
memandang prospek perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Menurut Brigham
dan Houston (2001), perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan
mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru
yang diperlukan dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan hutang yang
melebihi target struktur modal yang normal. Perusahaan dengan prospek yang
kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya. Pengumuman
emisi saham oleh suatu perusahaan umumnya merupakan suatu isyarat (signal) bahwa manajemen memandang prospek perusahaan tersebut suram. Apabila suatu
perusahaan menawarkan penjualan saham baru lebih sering dari biasanya, maka
harga sahamnya akan menurun, karena menerbitkan saham baru berarti
memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat menekan harga saham sekalipun
prospek perusahaan cerah.
Teori signaling menekankan kepada pentingnya informasi yang
dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak diluar
perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis
karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran
baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang
bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya.
investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan
investasi.
Menurut Bandi dan Jogiyanto (2000: 392), informasi yang dipublikasikan
sebagai suatu pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam
pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai
positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut
diterima oleh pasar.
Pada waktu informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah
menerima informasi tersebut, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan
dan menganalisis informasi tersebut sebagai signal baik (good news) atau signal buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai signal baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam volume perdagangan saham.
2. Teori Keagenan
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham
(shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi
kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manajemen
harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham.
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai
“Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang
(prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama
prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik
untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak
dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal. Masalah keagenan
potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham perusahaan
kurang dari seratus persen. Dengan proporsi kepemilikan yang hanya sebagian
dari perusahaan membuat manajer cenderung bertindak untuk kepentingan pribadi
dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang nantinya akan
menyebabkan biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap agen. Hampir mustahil bagi perusahaan
untuk memiliki zero agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka.
Menurut teori keagenan, konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi
dengan mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan agen. Kehadiran
kepemilikan saham oleh manajerial (insider ownership) dapat digunakan untuk mengurangi agency cost yang berpotensi timbul, karena dengan memiliki saham perusahaan diharapkan manajer merasakan langsung manfaat dari setiap
keputusan yang diambilnya. Proses ini dinamakan dengan bonding mechanism, yaitu proses untuk menyamakan kepentingan manajemen melalui program
mengikat manajemen dalam modal perusahaan.
Dalam suatu perusahaan, konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen
salah satunya dapat timbul karena adanya kelebihan aliran kas (excess cash flow). Kelebihan arus kas cenderung diinvestasikan dalam hal-hal yang tidak ada
kepentingan karena pemegang saham lebih menyukai investasi yang berisiko
tinggi yang juga menghasilkan returns tinggi, sementara manajemen lebih memilih investasi dengan risiko yang lebih rendah.
Menurut Bathala et al, (1994) terdapat beberapa cara yang digunakan untuk mengurangi konflik kepentingan, yaitu :
a) meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen (insider ownership), b) meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih (earnings after tax), c) meningkatkan sumber pendanaan melalui utang,
d) kepemilikan saham oleh institusi (institutional holdings).
2.1.3. Voluntary Disclosure
Menurut Kamus Besar Akuntansi, pengungkapan (disclosure) adalah informasi yang diberikan sebagai lampiran/pelengkap bagi laporan keuangan,
dalam bentuk catatan kaki atau tambahan. Informasi ini memberikan suatu
penjelasan tentang posisi keuangan dan hasil operasi suatu perusahaan. Segala
sesuatu yang bersifat material akan diungkapkan dalam laporan sehingga
bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan dan akan berpengaruh terhadap
keputusan investasi. Adapun pengelompokan jenis pengungkapan informasi
antara lain adalah pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) (Devina et al., 2004). Kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi emiten atau perusahaan publik tertera dalam peraturan
nomor X.K.6 lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor :
Dari segi luasnya, terdapat tiga tingkatan pengungkapan (Suwardjono,
2005: 581) yaitu:
a. Adequate disclosure (pengungkapan memadai), b. Fair disclosure (pengungkapan wajar),
c. Full disclosure (pengungkapan penuh).
Praktik pelaporan keuangan di Indonesia mengacu pada Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berbasis International Accounting Standards (IAS) dan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dibuat oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Pedoman penyajian dan
pengungkapan laporan keuangan emiten atau perusahaan publik tertera dalam
Peraturan BAPEPAM Nomor VIII.G.7 lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-347/BL/2012.
Agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap
dalam batasan materialitas dan biaya. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan
mengakibatkan informasi menjadi tidak benar atau menyesatkan dan karena itu
tidak dapat diandalkan dan tidak sempurna ditinjau dari segi relevansi. Semakin
lengkap pengungkapan yang dilakukan, maka laporan keuangan perusahaan akan
semakin handal (reliable). Oleh karena itu, suatu perusahaan sangat penting untuk melakukan pengungkapan.
Pengertian pengungkapan sukarela menurut Meek dkk. (1995) dalam Gulo
(2000) adalah sebagai berikut : ”Pengungkapan sukarela merupakan pilihan bebas
manajemen perusahaan untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi lain
perusahaan memiliki keleluasan dalam melakukan pengungkapan sukarela dalam
laporan tahunan sehingga menimbulkan adanya keragaman atau variasi luas
pengungkapan sukarela antar perusahaan”.
Botosan (1997) dalam Adhariani (2005) untuk mengukur kelengkapan
pengukuran dapat dinyatakan dalam bentuk indeks kelengkapan pengungkapan
(Index Disclosure), dimana perhitungan indeks kelengkapan pengungkapan dilakukan sebagai berikut:
a) Memberikan skor untuk setiap pengungkapan, yaitu skor 1 bagi
pengungkapan informasi sekilas, skor 2 untuk pemberian informasi yang
lebih terinci dan maksimum 3 bagi perusahaan yang memberikan
informasi dengan penjelaan data kuantitatif yang mendukung, untuk
memperoleh skor pengungkapan maksimum.
b) Skor yang diperoleh setiap perusahaan dijumlahkan untuk mendapatkan
skor total pengungkapan.
c) Menghitung indeks pengungkapan dengan cara membagi skor total
pengungkapan dengan skor pengungkapan maksimum.
Semakin banyak butir yang diungkapkan oleh perusahaan, semakin
banyak pula angka indeks yang diperoleh perusahaan tersebut. Perusahaan dengan
angka indeks yang lebih tinggi menunjukkan bahwa perusahaan tersebut
melakukan praktek pengungkapan secara lebih komprehensif dibandingkan
dengan perusahaan yang angka indeks lebih kecil.
Lang dan Lundholm (1993) melakukan penelitian mengenai
lebih tinggi berasosiasi dengan kinerja pasar yang lebih baik (yang diukur dengan
returns saham). Penelitian tersebut menggunakan asimetri informasi yang merupakan proksi sebagai korelasi laba dan returns saham. Korelasi laba dan returns saham yang rendah mengindikasikan bahwa informasi laba hanya memberikan sedikit informasi tentang nilai perusahaan yang menunjukkan bahwa
masih terdapat asimetri informasi yang tinggi. Pengungkapan yang dilakukan oleh
perusahaan bertujuan untuk mengurangi asimetri informasi terutama pada
perusahaan yang memiliki korelasi earnings/returns yang rendah. Hasil dari penelitian tesebut menyatakan bahwa adanya hubungan negatif antara korelasi
earnings/return (ERC) dengan tingkat pengungkapan.
2.1.4. Firm Size
Pada saat pengumuman laba, informasi laba akan direspon positif oleh
pemodal, pada umumnya perusahaan besar cenderung mempunyai reporting responsibility yang lebih tinggi dan mengindikasikan bahwa pada perusahaan besar Earnings Response Coefficients akan meningkat pula (Scoot, 2003). Ukuran perusahaan menunjukkan jumlah pengalaman dan kemampuan tumbuhnya suatu
perusahaan yang mengindikasikan kemampuan dan tingkat risiko dalam
mengelola investasi yang diberikan para Stockholder untuk meningkatkan kemakmuran mereka.
Firm size ikut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan, semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin mudah untuk
lebih besar cenderung mendapat pengawasan dari masyarakat dan memiliki public demand akan informasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil sehingga akan mengungkapkan lebih banyak informasi. Kemudahan dalam
mendapatkan informasi akan meningkatkan kepercayaan investor dan mengurangi
faktor ketidakpastian. Size perusahaan dinyatakan dalam total aktiva yang dimiliki perusahaan dapat mempengaruhi luas pengungkapan tanggung jawab sosial
karena umumnya perusahaan memiliki competitive disadvantage lebih rendah dari perusahaan kecil, skill karyawan yang lebih baik sehingga memungkinkan melakukan pengungkapan terhadap laporan keuangan yang lebih luas.
Menurut Kartini dan Arianto (2008), “Ukuran perusahaan merupakan
salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan berapa besar kebijakan
keputusan pendanaan (struktur modal) dalam memenuhi ukuran atau besarnya
asset perusahaan”. Perusahaan pada pertumbuhan yang tinggi akan selalu
membutuhkan modal yang semakin besar demikian juga sebaliknya perusahan
pada pertumbuhan penjualan yang rendah, kebutuhan terhadap modal juga
semakin kecil maka, konsep tingkat pertumbuhan penjualan tersebut memiliki
hubungan yang positif tetapi implikasi tersebut akan memberikan efek yang
berbeda terhadap struktur modal yaitu dalam penentuan jenis modal yang
digunakan. Pada perusahan yang besar dimana saham akan tersebar luas, setiap
perluasan modal saham akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap hilangnya
atau tergesernya pengendalian dari pihak yang dominan terhadap pihak yang
bersangkutan (Riyanto, 2001: 299-300). Sebaliknya perusahaan yang kecil dimana
saham tersebut berada di lingkungan perusahan yang kecil, penambahan jumlah
pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Perusahaan dengan
ukuran yang lebih besar memiliki akses untuk mendapatkan sumber pendanaan
dari berbagai sumber, sehingga untuk mendapat pinjaman dari kreditur akan lebih
mudah karena perusahaan dengan ukuran besar memiliki probabilitas lebih besar
untuk memenangkan persaingan dalam industri, sebaliknya perusahaan dengan
skala kecil akan lebih menghadapi ketidakpastian, karena perusahaan kecil lebih
cepat bereaksi terhadap perubahan yang mendadak. Oleh karena itu,
memungkinkan perusahaan besar tingkat leverage akan lebih besar dari pada perusahaan kecil.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya ukuran
perusahaan akan berpengaruh terhadap struktur modal dengan didasarkan pada
kenyataan bahwa semakin besar suatu perusahaan akan mempunyai tingkat
pertumbuhan yang tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan para ahli yang
menyatakan bahwa ukuran perusahan mempunyai pengaruh yang positif, yang
berarti kenaikan ukuran perusahaan akan diikuti dengan kenaikan struktur modal
adalah yang dilakukan penelitian. Logaritma dari total assets dijadikan indikator dari ukuran perusahaan karena jika semakin besar ukuran perusahaan maka asset
tetap yang dibutuhkan juga akan semakin besar. Penelitian Fitriani (2001) ukuran
perusahaan diukur dengan total aktiva, karena menurutnya total aktiva lebih
2.1.5. Leverage
“Rasio leverage adalah rasio yang mengukur seberapa jauh atau besar perusahaan telah didanai atau dibiayai oleh hutang” (Raharjaputra, 2009:199).
Kebijakan leverage merupakan keputusan penting dalam perusahaan. Dimana kebijakan leverage merupakan salah satu kebijakan pendanaan perusahaan. Konsep leverage sangat penting terutama untuk menunjukkan kepada analisis keuangan dalam melihat trade off antara risiko dan keuntungan.
Sartono (2008) memaparkan konsep leverage sebagai berikut : 1. Operating leverage
Perusahaan yang memiliki biaya operasi tetap atau biaya modal tetap , maka
dikatakan perusahaan menggunakan operating leverage. Perusahaan menggunakan operating leverage mengharapkan bahwa penjualan akan meningkatkan perubahan laba sebelum bunga dan pajak yang lebih besar.
Multiplier effect hasil penggu naan biaya tetap operasi terhadap laba sebelum bunga dan pajak disebut degree of operating leverage (DOL). Besar kecilnya DOL akan berdampak pada tinggi rendahnya risiko bisnis perusahaan. Semakin besar DOL, maka semakinbesar pula risiko bisnis yang ditanggung perusahaan. 2. Financial Leverage
Financial Leverage adalah penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan harapan akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar
daripada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia
financial leverage yang tinggi mengakibatkan risiko keuangannya juga meningkat.
3. Combined leverage
Leverage kombinasi terjadi apabila perusahaan memiliki baik operating leverage maupun financial leverage dalam usahanya untuk meningkatkankeuntungan bagi pemegang saham biasa. Degree Combined Leverage (DCL) merupakan multiplier effect atas perubahan laba per lembar saham karena perubahan penjualan. DCL mengukur keseluruhan risikoperusahaan , DCL merupakan fungsi dari DOL dan DFL. Seperti diuraikan di atas, bahwa risiko usaha merupakan variabilitas dari laba operasi terhadap total aktiva atau dengan kata lain risiko usaha merupakan
kemungkinan penyimpangan antara profitabilitas aktiva sesungguhnya dengan
profitabilitas aktiva yang diharapkan. Tingkat profitabilitas dipengaruhi oleh
tingkat operating leverage, oleh karenanya variabilitas profitabilitas aktiva dipengaruhi oleh variabilitas dari pengunaan biaya tetap. Dengan uraian di atas
dapat dikatakan bahwa, variabilitas profitabilitasaktiva bisa disebut dengan risiko
usaha yang besar kecilnya dipengaruhi oleh biaya tetap yang ditanggung oleh
perusahaan. Risiko usaha yang tercermin dari operating leverage dan risiko keuangan tercermin dari financial leverage, maka akan menghasilkan risiko perusahaan yang akan tercermin dari variabilitas profitabilitas. Risiko keuangan
terjadi sebagai akibat penggunaan hutang perusahaan. Jika perusahaan tidak
menggunakan hutang maka risiko perusahaan akan sama dengan risiko usaha.
tingkat pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham dan
semakin besar perlindungan bagi kreditor (Van Horne & Wachowicz, 2005: 209)
Jika dihubungkan dengan teori agensi (agency theory), perusahaan yang mempunyai proporsi hutang lebih banyak dalam struktur permodalannya akan
mengeluarkan agency costs untuk mengawasi tindakan manajer agar manajer bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan pemegang saham sehingga dapat
mengurangi masalah keagenan. Dengan demikian perusahaan mempunyai
kewajiban untuk memenuhi kebutuhan informasi yang memadai bagi investor
atau kreditur melalui pengungkapan dalam laporan keuangan.
Nilai ERC yang rendah juga dipengaruhi oleh tingkat leverage perusahaan yang tinggi. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi, apabila terjadi peningkatan laba perusahaan maka akan dipandang semakin baik bagi pemberi
pinjaman dibandingkan bagi pemegang saham. Oleh karena itu perusahaan yang
high leverage memiliki ERC yang rendah dibandingkan dengan perusahaan low leverage.
2.1.6. Profitability
Menurut Anaroraga dan Widianti (1997) dalam Arfan dan Antasari (2008)
bahwa “Profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan, baik dihubungkan dengan modal sendiri maupun
modal bersama”. Profitabilitas dapat menjelaskan bahwa kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan keuntungan adalah tergantung kepada besarnya penjualan,
Menurut Riyanto (2001:35) profitabiltas perusahaan menunjukkan
perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba.
Dengan kata lain profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba selama periode tertentu yaitu perbandingan jumlah laba yang
diperoleh selama periode tertentu dengan modal atau aktiva yang menghasilkan
laba tertentu. Kemampuan menghasilkan laba yang dimaksud dalam penelitian ini
tentunya adalah kemampuan menghasilkan laba dengan menggunakan modal
sendiri atau profitabilitas ekuitas (return on equity = ROE). Apabila profitabilitas ini dihubungkan dengan ERC maka dapat dikatakan bahwa jika profitabilitas
perusahaan tinggi, laba yang dihasilkan perusahaan meningkat selanjutnya akan
mempengaruhi para investor untuk menanamkan modalnya.
2.2. Review Peneliti Terdahulu
Widiastuti (2002) melakukan pengujian empiris atas pengaruh luas
pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan terhadap Earnings Response Coefficient. Penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang konsisten dengan prediksi tentang pengaruh luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan
terhadap ERC. Prediksi penelitian ini adalah luas pengungkapan sukarela
berpengaruh negatif terhadap ERC.
Penelitian yang dilakukan oleh Adhariani (2005) yaitu menganalisis
tingkat keluasan pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan dan hubungannya
terhadap current ERC, leverage dan nilai buku per lembar saham berpengaruh positif, namun skala KAP tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC.
Naimah dan Utama (2006) melakukan penelitian tentang pengaruh ukuran
perusahaan, pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan terhadap koefisien respon
laba dan koefisien respon nilai buku ekuitas. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa perusahaan-perusahaan yang besar memiliki koefisien respon laba yang
lebih kuat, sedangkan terhadap koefisien nilai buku ekuitas ukuran perusahaan
berpengaruh tidak signifikan. Pertumbuhan berpengaruh positif terhadap ERC dan
berpengaruh tidak signifikan terhadap koefisien respon nilai buku. Profitabilitas
berpengaruh positif terhadap ERC dan koefisien respon nilai buku.
Penelitian Sayekti dan Wondabio (2007) menguji pengaruh CSR
Disclosure terhadap Earnings Response Coefficient. Bukti empiris penelitian ini mendukung hipotesa yang menyatakan bahwa tingkat pengungkapan informasi
CSR dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh negatif terhadap ERC. Hasil
penelitian ini mengindikasikan bahwa investor mengapresiasi informasi CSR yang
diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan.
Murwaningsari (2008) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi ERC pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Hasil
Arfan dan Antasari (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh ukuran,
pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan terhadap koefisien respon laba.
Penelitian ini menggunakan sampel 35 perusahaan manufaktur yang terdaftar di
BEI dari tahun 2003-2005. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa
Ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan profitabilitas perusahaan secara
simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap koefisien respon laba.
Secara parsial hanya pertumbuhan perusahaan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap koefisien respon laba, sedangkan ukuran perusahaan dan
profitabilitas perusahaan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
koefisien respon laba.
Penelitian oleh Pimentel dan Lima (2009) dilakukan untuk menguji sifat
earnings akuntansi dan penentu Earnings Response Coefficient di Brazil. Penelitian ini dilakukan terhadap sampel laporan triwulan 71 perusahaan dari
tahun 1995 sampai tahun 2009 dan sampel laporan tahunan 61 perusahaan dari
tahun 1995 sampai tahun 2008. Hasil menunjuukan bahwa ada hubungan jangka
panjang antara earnigs dan return/price, meskipun hubungan itu tidak dapat dijelaskan lebih detail. Hubungan antara regresi antara earnings dan returns/price dalam laporan perusahaan triwulan dan tahunan hanya beberapa perusahaan yang
menunjukkan hasil signifikan. Risiko sistematis, interest rate, size menunjukkan pengaruh signifikan terhadap ERC. Expected economics growth dan leverage memiliki pengaruh tidak signifikan terhadap ERC. Hal ini dipengaruhi karena
tingkat suku bunga di Brazil lebih tinggi dari negara maju.
Pradipta dan Purwaningsih (2012) melakukan penelitian yang bertujuan
(CSR) terhadap ERC. Sampel penelitian ini adalah 30 peruahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI. Penelitian ini menemukan bahwa pengungkapan tanggung jawab
sosial dan lingkungan berpengaruh negatif terhadap ERC, artinya semakin besar
CSR maka ERC perusahaan akan semakin kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa
investor mempertimbangkan informasi CSR dalam membuat keputusan investasi.
Penelitian ini juga menghasilkan bahwa variabel size dan leverage sebgai variabel kontrol berpengaruh negatif terhadap ERC.
Paramita (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh leverage, firm size dan voluntary disclosure terhadap earnings response coefficient pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2005-2009. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengaruh leverage terhadap ERC memiliki pengaruh yang tidak signifikan, sedangkan untuk voluntary disclosure dan firm size memiliki pengaruh positif signifikan terhadap ERC. Dalam penelitian ini Earnings Response Coefficient diukur melalui variabel kontrol yaitu persistensi laba. Leverage berpengaruh tidak signifikan terhadap coluntary disclosure. Variabel voluntary disclosure merupakan variabel intervening antara size terhadap ERC.
Hasanzade et al (2013) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi
Earnings Response Coefficient: studi empiris di Iran. Penelitiaan ini dilakukan pada 202 perusahaan yang terdaftar di Bursa Tehran Exchange. Variabel
dependen dalam penelitian ini ERC, sedangkan untuk variabel independen adalah
Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
penelitian yang akan dilakukan, disajikan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1
Review Penelitian Terdahulu
No Peneliti /
Indikator Hasil Penelitian
1 Harjanti
melihat info yang diungkapkan nilai buku per saham
ERC: regresi
CAR dan UE Voluntary
disclosure: index
disclosure oleh Nilai buku per saham:rasio nilai buku ekuitas per saham
Pengungkapan sukarela
berpengaruh positif terhadap current ERC
-Leverage dan nilai buku per lembar saham berpengaruh positif, namun skala KAP tidak berpengaruh
Size: ln total asset
Lanjutan Tabel Review Penelitian Terdahulu CSR Disclosure :
Tingkat pengungkapan informasi CSR berpengaruh negatif terhadap Earnings Response Bapepam dan BEJ Size: ln total asset Opini audit: opini yang diberikan audit
Reputasi audit:KAP big 4 Persistensi laba: regresi laba dan persistensi
Lanjutan Tabel Review Penelitian Terdahulu variasi earnings per share oleh harga dan proksi dari unexpected earnings per liabilities dibagi total assets
Size: ln total asset
Expected
economic growth opportunity: total market
capitalization divided by the total equity
Lanjutan Tabel Review Penelitian Terdahulu
Firm size:ln total aset
Leverage:DER
Leverage
berpengaruh tidak signifikan terhadap ERC, voluntary disclosure dan size ERC, voluntary disclosure
merupakan variabel intervening antara size terhadap ERC.
10 Mohboob
Size: penjualan bersih
Leverage: total debt to total asset Growth
opportunities: rasio nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku ekuitas Profitabilitas:
Leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC
growth
opportunities, firms size, profitabilitas, dan risiko
sistematik berpengaruh signifikan terhadap ERC