BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
Paradigma ibarat sebuah jendela tempat seseorang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya. Sebagian orang menyatakan paradigma (paradigm) sebagai intelektual komitmen, yaitu suatu citra fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu. Namun secara umum paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Paradigma adalah basis kepercayaan utama dari sistem berpikir basis dari ontologi, epistemologi, dan metodologi. Dalam pandangan filsafat, paradigma merupakan pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Hal ini membawa konsekuensi praktis terhadap perilaku, cara berpikir, intepretasi dan kebijakan dalam pemilihan masalah. Paradigma memberi representasi dasar yang sederhana dari informasi pandangan yang kompleks sehingga orang dapat memilih untuk bersikap atau mengambil keputusan.
Meskipun tidak bisa disetarakan dengan seperangkat teori semata, paradigma memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Menurut Thomas Khun dalam (Bulaeng, 2004: 2) paradigma didefenisikan sebagai suatu pandangan dunia dan model konseptual yang dimiliki oleh anggota masyarakat ilmiah yang menentukan cara mereka meneliti.
Paradigma kuantitatif (Positivisme) berakar pada pandangan teoritis Auguste Comte dan Emile Durkheim pada abad ke 19 dan awal abad ke 20. Para Positivisme mencari fakta dan penyebab femomena sosial dan kurang mempertimbangkan keadaan subjektifitas individu. Paradigma kuantitatif dinyatakan sebagai paradigma tradisional, positivisme, eksperimental, atau empiris.
Penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang dilakukan secara alamiah sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan tanpa adanya rekayasa dan jenis data yang dikumpulkan berupa data deskriptif .(Arifin, 2012: 140).
Sesuai dengan metodologi penelitian ini yakni penelitian kualitatif, maka dalam penelian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme. Asumsi ontologism pada paradigma konstruktivisme menganggap realitas merupakan konstruksi sosial, kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Selain itu realita juga dianggap sebagai konstruksi mental dari individu pelaku sosial, sehingga realitas dipahami secara beragam dan dipengaruhi oleh pengalaman, konteks dan waktu (Kriyantono, 2008: 51).
Secara epistemologis, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti dan objek atau realitas yang diteliti merupakan kesatuan realitas yang tidak terpisahkan. Peneliti merupakan fasilator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka merekonstruksikan realitas sosial. Dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian dengan tujuan merekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku soaial yang diteliti.
konsep-konsep pribadi atau personal constructs yang mengemukakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan mengelompokkan dan membedakan peristiwa-peristiwa yang dialaminya menurut persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaanya. Perbedaan-perbedaan yang dipresepsikan tidaklah alamiah tetapi ditentukan oleh sejumlah hal-hal yang berlawanan didalam system kognitif individu.
Kompleksitas kognitif memainkan peranan yang penting di dalam komunikasi. Konsep-konsep antarpribadi terutama penting karena konsep-konsep tersebut mengarahkan bagaimana kita memahami norang lain. Para individu berbeda dalam kompleksitas dengan mana mereka memandang individu lainnya. Bila seorang individu sederhana dalam arti kognitif, individu tersebut cenderung melakukan stereotip kepada orang lain, sedangkan bila individu lebih memiliki perbedaan secara kognitif, maka individu tersebut akan melakukan perbedaan-perbedaan secara halus dan lebih sensitive. Secara umum, kompleksitas kognitif mengarah kepada pemahaman yang lebih besar mengenai pandangan-pandangan orang lain dan kemampuan yang lebih baik untuk membingkai pesan-pesan dalam arti dapat memahami orang lain.
Konstruktivisme pada dasarnya merupakan teori pilihan stategi atau strategy-choice theory. Prosedur-prosedur penelitian para konstruktivis biasanya
menanyakan para subjek untuk memilih tipe-tipe pesan yang berbeda dan mengklasifikasikannya yang berkenaan dengan kategori-kategori strategi (Budyatna dan Ganiem, 2011: 225).
2.2. Kajian pustaka 2.2.1 Komunikasi
komunikasi yang tidak efektif dimana terjadi ketika adanya ketidaksesuaian dengan apa yang diinginkan dengan apa yang nantinya berjalan sehingga akan menimbulkan hilang arah atau salah arah. Apalagi jika kita berada dalam sebuah lingkungan atau organisasi yang didalamnya terdapat berbagai macam individu dengan karakter atau sifat yang berbeda-beda pula serta tingkat pendidikan dan pemahaman yang juga beda. Oleh karena itu, kemampuan dalam komunikasi menjadi hal yang penting untuk bisa bekerja dengan orang lain.
Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communication yang bersumber pada kata communis yang berarti sama, dalam
arti kata sama makna. Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media (Effendy, 2002:4).
Carl. I Hovland mendefenisikan komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang (biasanya lambang bahasa) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikan) (Effendy, 2002:48). Horold Lasswell menyatakan bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui jaringan apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya” (Mulyana, 2008).
Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang ditemukan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, the sructure and function of communication in Society. Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk
menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut Who Say What In Which Channel To whoam With What Effect? Jadi menurut paradigma
tersebut, Laswell mengartikan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
2.2.2 Gaya Komunikasi
merupakan cara penyampaian dan gaya komunikasi yang baik. Gaya yang dimaksud dapat bertipe verbal atau nonverbal berupa vokalik, bahasa badan, penggunaan waktu, penggunaan ruang dan jarak (Widjaja, 2000: 57).
Mengacu kepada pernyataan Berelson dan Steiner dan arti gaya serta komunikasi di atas maka gaya komunikasi dapat diartikan sebafai cara seseorang menyampaikan ide, gagasan, dengan bahasa sebagai alat penyaluran untuk menyampaikan pesan kepada komunikan.
Pendapat lain menyatakan gaya komunikasi adalah suatu khasan yang dimiliki setiap orang. Proses komunikasi seseorang dipengaruhi oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi antara orang yang satu dengan yang lain dapat berupa perbedaan ciri – ciri model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi cara berekspresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada waktu berkomunikasi.
Setiap orang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Hal tersebut mempengaruhi seseorang dalam cara berkomunikasi baik dalam bentuk perilaku maupun perbuatan atau tindakan. Cara berkomunikasi tersebut disebut gaya komunikasi. Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu (a specialized set of intexpersonal behaviors that are used in a given situation).
Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik (Parwiyanto,Herwan 2007 : 7)
berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi.
Ditambahkan oleh (Widjaja, 2000: 57) Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik. Gaya yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokalik, bahasa badan, penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan jarak. Pengalaman membuktikan bahwa gaya komunikasi sangat penting dan bermanfaat karena akan memperlancar proses komunikasi dan menciptakan hubungan yang harmonis. Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan, bergantung pada maksud dari pengirim (sender) dan harapan dari penerima (receiver).
Gaya komunikasi dipengaruh situasi, bukan kepada tipe seseorang, gaya komunikasi bukan tergantung pada tipe seseorang melainkan kepada situasi yang dihadapi. Setiap orang akan menggunakan gaya komunikasi yang berbeda-beda ketika mereka sedang gembira, sedih, marah, tertarik, atau bosan. Begitu juga dengan seseorang yang berbicara dengan sahabat baiknya, orang yang baru dikenal dan dengan anak-anak akan berbicara dengan gaya yang berbeda. Selain itu gaya yang digunakan dipengaruhi oleh banyak faktor, gaya komunikasi adalah sesuatu yang dinamis dan sangat sulit untuk ditebak. Sebagaimana budaya, gaya komunikasi adalah sesuatu yang relatif.
Para ahli komunikasi telah mengelompokkan beberapa tipe atau kategori gaya komunikasi Norton, 1983, dalam (Liliweri, 2011:309), ke dalam sepuluh jenis:
a. Gaya dominan (dominan style), gaya seorang individu untuk mengontrol situasi sosial.
b. Gaya dramatis (dramatic style), gaya seorang individu yang selalu “hidup” ketika dia bercakap-cakap.
c. Gaya kontroversial (controversial style), gaya seseorang yang selalu berkomunikasi secara argumentatif atau cepat untuk menantang orang lain.
d. Gaya animasi (animated style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara aktif dengan memakai bahasa nonverbal.
e. Gaya berkesan (impression style), gaya berkomunikasi yang merangsang orang lain sehingga mudah diingat, gaya yang sangat mengesankan.
f. Gaya santai (relaxed style), gaya seseorang yang berkomunikasi dengan tenang dan senang, penuh senyum dan tawa.
g. Gaya atentif (attentive style), gaya seseorang yang berkomunikasi dengan memberikan perhatian penuh kepada orang lain, bersikap simpati dan bahkan empati, mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh.
h. Gaya terbuka (open style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara terbuka yang ditunjukkan dalam tampilan jujur dan mungkin saja blakblakan.
i. Gaya bersahabat (friendly style), gaya komunikasi yang ditampilkan seseorang secara ramah, merasa dekat, selalu memberikan respon positif, dan mendukung.
j. Gaya yang tepat (precise style), gaya yang tepat dimana komunikator meminta untuk membicarakan suatu konten yang tepat dan akurat dalam komunikasi lisan. 2.2.2.1 Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tulisan.Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting (Hardjana, 2003: 22).
Komunikasi verbal selalu berhubungan dengan pesan verbal. Pesan-pesan verbal merupakan tema yang dibicarakan bersama oleh peserta komunikasi. Penyampaian pesan oleh seorang komunikator membutuhkan : pengetahuan tentang bentuk-bentuk pesan verbal, masyarakat sasaran (Liliweri, 2001: 193)., yang terdiri dari :
1. Struktur pesan : ditujukan oleh pola penyimpulan (tersirat atau tersurat), pola urutan argumentasi (mana yang lebih dahulu, argumentasi yang disenangi atau tidak disenangi), pola obyektifitas (satu atau dua sisi).
2. Gaya pesan : menunjukkan variasi linguistic dalam penyampaian pesan (perulangan dan mudah dimengerti).
3. Appeals pesan : mengacu pada motif-motif psikologis yang dikandung pesan (rasional-emosional)
Dalam mempelajari interaksi bahasa dan verbal, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan (Devito, 1997: 117), diantaranya:
1. Kata-kata kurang dapat menggantikan perasaan atau pikiran kompleks yang ingin kita komunikasikan. Oleh karenanya, kata-kata hanya dapat mendeteksi makna yang kita sampaikan.
2. Kata-kata hanyalah sebagian dari system komunikasi kita. Dalam komunikasi yang sesungguhnya kata-kata kita selalu disertai perasaan nonverbal. Oleh karenanya, pesan-pesan kita merupakan kombinasi
Ada beberapa unsur penting dalam komunikasi verbal, yaitu: 1. Bahasa
dipergunakan adalah bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Bahasa suatu bangsa atau suku berasal dari interaksi dan hubungan antara warganya satu sama lain (Hardjana, 2003: 23).
Bahasa memiliki banyak fungsi, namun sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang erat hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Ketiga fungsi itu adalah:
a. Untuk mempelajari tentang dunia sekeliling kita.
b. Untuk membina hubungan yang baik di antara sesama manusia. c. Untuk menciptakan ikatan-ikatan dalam kehidupan manusia.
Menurut para ahli, ada tiga teori yang membicarakan sehingga orang bisa memiliki kemampuan berbahasa.
Teori pertama disebut Operant Conditioning yang dikembangkan oleh seorang ahli psikologi behavioristik yang bernama B. F. Skinner (1957). Teori ini menekankan unsur rangsangan (stimulus) dan tanggapan (response) atau lebih dikenal dengan istilah S-R. Teori ini menyatakan bahwa, jika suatu organisme dirangsang oleh stimuli dari luar maka orang cenderung akan memberi reaksi. Anak-anak mengetahui bahasa karena ia diajar oleh orang tuanya atau meniru apa yang diucapkan oleh orang lain.
Teori kedua ialah teori kognitif yang dikembangkan oleh Noam Chomsky. Menurutnya kemampuan berbahasa yang ada pada manusia adalah pembawaan biologis yang dibawa dari lahir.
Teori ketiga disebut Mediating Theory atau teori penengah. Dikembangkan oleh Charles Osgood. Teori ini menekankan bahwa manusia dalam mengembangkan kemampuannya berbahasa, tidak saja bereaksi terhadap rangsangan (stimuli) yang diterima dari luar, tetapi juga dipengaruhi oleh proses internal yang terjadi dalam dirinya (Cangara 2006:105).
Fungsi Bahasa
dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi menekankan barbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Sedangkan fungsi transmisi informasi adalah melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. .
Beberapa faktor yang mempengaruhi kelancaran berkomunikasi verbal: 1. Faktor intelegensi
Masalah komunikasi akan muncul apabila manusia yang memiliki intelegensi tinggi kurang mampu untuk berkomunikasi dengan orang yang memiliki intelegensi rendah.
2. Faktor Budaya
Setiap budaya memiliki bahasa yang berbeda-beda. Apabila manusia yang berkomunikasi tetap mempertahankan bahasa daerahnya masing-masing, maka pembicaraan menjadi tidak efektif, akibatnya komunikasi menjadi terhambat atau bahkan memungkinkan timbulnya kesalahpahaman diantara manusia tersebut.
3. Faktor Pengetahuan
Makin luasnya pengetahuan seseorang akan makin mempermudah dirinya komunikasi.
4. Faktor Kepribadian
Orang yang mempunyai sifat pemalu dan kurang pergaulan biasanya kurang begitu lancar dalam hal berkomunikasi, hal ini disebabkan kurang terbiasa berkomunikasi dengan orang lain.
5. Faktor Biologis
Kelumpuhan organ bicara dapat menimbulkan kelainan-kelainan seperti: Sulit mengatakan kata desing, karena ada kelainan pada rahang, bibir, gigi, berbicara tidak jelas, yang bisa disebabkan oleh bibir sumbing, rahang dan lidah tidak aktif.
6. Faktor Pengalaman
7. Keterbatasan Bahasa
Bahasa memiliki keterbatasan antara lain: Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek. Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu: orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan, dan sebagainya. Suatu kata hanya mewakili realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri.
Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual. Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda, yang menganut latar belakang sosial budaya yang berbeda pula. Kata berat, mempunyai makna yang nuansanya beraneka ragam, misalnya: tubuh orang itu berat; kepala saya berat; ujian itu berat; tinju kelas berat.
Kata yang sama mungkin memiliki makna yang berbeda bagi orang-orang berbeda dan makna yang berbeda bagi orang yang sama dalam waktu yang berbeda. Suatu kata yang sama mungkin tidak tepat atau memberi makna aneh dan lucu bila digunakan dalam konteks (kalimat) lain dengan pelaku yang berbeda.
2. Kata
Kata merupakan inti lambang terkecil dalam bahasa. Kata adalah lambang yang melambangkan atau mewakili sesuatu hal, entah orang, barang, kejadian, atau keadaan. Jadi, kata itu bukan orang, barang, kejadian, atau keadaan sendiri. Makna kata tidak ada pada pikiran orang. Tidak ada hubungan langsung antara kata dan hal. Yang berhubungan langsung hanyalah kata dan pikiran orang (Hardjana 2003: 24).
2.2.2.2 Klasifikasi Komunikasi Verbal
b. Komunikasi verbal melalui tulisan dilakukan dengan secara tidak langsung antara komunikator dengan komunikan. Proses penyampaian informasi dilakukan dengan menggunakan berupa media surat, lukisan, gambar, grafik dan lain-lain
2.2.2.3 Komunikasi NonVerbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk nonverbal, tanpa kata-kata.Dalam hidup nyata komunikasi nonverbal jauh lebih banyak dipakai daripada komuniasi verbal.Dalam berkomunikasi hampir secara otomatis komunikasi nonverbal ikut terpakai. Karena itu, komunikasi nonverbal bersifat tetap dan selalu ada. Komunikasi nonverbal lebih jujur mengungkapkan hal yang mau diungkapkan karena spontan (Hardjana 2003: 26).
Hal menarik dari kode nonverbal adalah studi Albert Mahrabian (1971) yang menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan dari pembicaraan orang hanya 7% berasal dari bahasa verbal, 38% dari vocal suara dan 55% dari ekspresi muka. Ia juga menambahkan bahwa jika terjadi pertentangan antara apa yang diucapkan seseorang dengan perbuatannya, maka orang lain cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat nonverbal (Hardjana 2003: 27).
Komunikasi nonverbal ini mencakup bagaimana kita mengucapkan kata-kata (infleksi, volume), fitur, lingkungan yang mempengaruhi interaksi (suhu, pencahayaan), dan benda-benda yang mempengaruhi citra pribadi dan pola interaksi (pakaian, perhiasan, mebel). Komunikasi nonverbal dapat berupa bahasa tubuh, tanda , tindakan/perbuatan atau objek.
2.2.2.4 Saluran Isyarat Komunikasi Nonverbal
Empat saluran isyarat komunikasi nonverbal menurut Ruben (2013 : 175-198) antara lain :
1. Paralanguage
Paralanguage mengacu pada pesan yang melengkapi bahasa. Secara teknis pesan
a. Bentuk Vokal
Suara (vocalis) seperti tinggi rendah suara, kecepatan berbicara, irama, batuk, tertawa, berhenti, bahkan keheningan merupakan sumber-sumber pesan yang sangat penting dalam komunikasi interpersonal. Sebagai bahasa ucapan, isyarat paralinguistik seperti besar kecilnya volume suara, kecepatan berbicara, nada, kata seru, dan penggunaan jeda memiliki pengaruh besar kepada apa dan bagaimana, orang bereaksi terhadap individu dan verbalisasinya
b. Bentuk Tertulis
Bentuk kata atau pernyataan juga penting bagi interpretasi dalam bahasa tertulis. Tampilan visual dari materi tertulis, termasuk tanda baca, ejaan, kerapian, penggunaan ruang untuk margin dan antara kata-kata, apakah tulisan tersebut dicetak atau di tulis tangan dan bahkan warna tinta cenderung untuk mempengaruhi reaksi pembaca terhadap kata-kata dan sumbernya.Tanda-tanda emosi (emoticons) sangat berguna dalam email dan pesan tertulis. Gabungan antara tanda baca misal : ) menunjukan tersenyum atau : ( menunjukan sedih).
2. Wajah
Manusia bereaksi terhadap tampilan wajah seseorang secara holistic. Yang artinya, ketika kita melihat wajah seseorang kita mendapatkan kesan keseluruhan dan jarang memikirkan ciri-ciri khususnya. Misal :
a. Pandangan mata
Diantara perilaku nonverbal pada aspek mata ini, mengemukakan beberapa istilah yang dapat mendeskripsikan beberapa hal seperti :
1) Face Contact = melihat wajah seseorang 2) Eye contact = melihat mata seseorang
3) Mutual Gaze = Saling pandang wajah antar 2 individu
4) One Sided Gaze = Satu orang melihat wajah orang lain tapi tidak sebaliknya
b. Pelebaran pupil mata.
Ketika melihat orang atau benda yang tampak menarik, pupil mata cenderung melebar dan pada beberapa situasi eksperimental, ditemukan adanya bukti bahwa besarnya pupil mata dapat menjadi faktor pembenar terhadap ada atu tidaknya ketertarikan seseorang.
3. Penampilan
Penampilan adalah sumber informasi tunggal yang paling penting dalam membentuk kesan permulaan.
Penampilan dapat diklasifisikasikan melalui : a. Rambut
Warna rambut dan gaya merupakan sumber pesan nonverbal yang penting. faktor-faktor ini berkaitan terhadap daya tarik keseluruhan yang juga dapat berfungsi sebagai dasar kesimpulan atas kepribadian seseorang, usia, pekerjaan, sikap, keyakinan dan nilai-nilai.
b. Fisik
Fisik mencakup tipe, ukuran dan bentuk tubuk. Deskripsi fisik dapat membentuk persepsi terhadap komunikasi nonverbal seperti contoh, orang yang tampak “lunak”, “bulat” dan kelebihan berat badan dapat dianggap berperasaan, kalem, ceria, terbuka, pemaaf dan lemah lembut.
c. Pakaian dan perhiasan
Pakaian memenuhi sejumlah fungsi bagi kita sebagai manusia, termasuk dekorasi, perlindungan fisik dan psikologis, daya tarik seksual, pernyataan diri dan menampilkan status atau peran.
Dikutip dari ahli komunikasi nonverbal Dale Leather, “identitas sosial dan citra dimodifikasi secara positif atau negatif oleh komunikasi penampilan”.
d. Artefak
4. Isyarat eksternal – ruang dan waktu
Gerakan anggota tubuh memainkan peranan penting dalam komunikasi antar individu. Terdapat banyak cara untuk mengklarifikasikan gerak tubuh. Dikutip dari Morris, gerakan dapat mencakup hal-hal berikut :
a. Penegas dan pemandu
Gerakan digunakan untuk menggarisbawahi atau menekankan masalah tertentu yang dibuat secara lisan.
b. Sebagai sinyal
Sinyal ya-tidak merupakan kategori lain dari gerakan. Cara utama dari membuat sinyal ya-tidak adalah dengan menggerakan kepala seperti anggukan vertikal yang berarti “ya” dan menggelengkan kepala yang berarti tidak.
Pemilihan waktu dan penetapan waktu sebagaimana dirancang secara teknis merupakan faktor penting lain yang juga sering diabaikan dalam komunikasi. Karakteristik penggunaan waktu meliputi kecepatan berbicara, jumlah dan panjang jeda atau interupsi dan pola pergantian bicara memainkan peranan penting dalam penyampaiaan, penerimaan dan interpretasi pesan karena masing-masing berfungsi sebagai dasar pembentukan kesan tentang individu yang terlibat.
2.2.2.5 Klasifikasi Perilaku Nonverbal
Knapp, Hall dan Horgan (2013:10-12) mengatakan bahwa cara lain mendefinisikan komunikasi nonverbal adalah dengan fokus pada tiga ciri utama yaitu :
1. Struktur lingkungan dan kondisi di mana komunikasi terjadi
Lokasi dimana komunikasi dilakukan dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk komunikasi non verbal. Struktur lingkungan dapat mendeskripsikan sebuah makna.Misal dalam bertemu dengan klien perusahaan, biasanya bertemu di tempat seperti apa ?
2. Karakteristik fisik dari komunikator itu sendiri.
Karakteristik fisik dalam interaksi nonverbal komunikasi lebih menggambarkan dari sisi penampilan fisik seperti cara berpakaian dan intonasi suara.Misal dalam bertemu dengan klien perusahaan, adakah persiapan diluar persiapan teknis yang harus dilakukan sebelum bertemu klien sperti contoh harus memakai kemeja, atau baju kaos saja tidak masalah.
Sedangkan intonasi suara dalam berkomunikasi juga dapat memberikan makna tersendiri. Misal, ketika berkomunikasi dengan nada bicara yang tingga maka artinya komunikator sedang menegaskan apa yang sedang di bicarakan.
3. Berbagai perilaku yang dilakukan oleh komunikator
Perilaku atau tindakan merupakan contoh umum dari komunikasi nonverbal. Perilaku maupun tindakan merupakan alat komunikasi nonverbal dalam menjelaskan apa yang disampaikan secara verbal. Misal jika kita memberikan petunjuk mengenai arah seperti “kesitu” tanpa memberikan isyarat nonverbal seperti lirikan mata maupun tangan yang menunjuk arah tersebut, maka tidak akan terjadi pencapaian makna antra komunikator dengan komunikan.
2.2.3. Theory of Reasoned Action (Teori Tindakan Beralasan)
tersebut.Teori ini menghubungkan keyakinan (beliefs), sikap (attitude), kehendak/intensi (intention), dan perilaku(behavior). Untuk mengetahui apa yang akan dilakukan seseorang, cara terbaik untuk meramalkannya adalah mengetahui intensi orang tersebut.
Theory of Reasoned Action (TRA)
Intensi ditentukan oleh sikap dan norma subyektif. Komponen pertama mengacu pada sikap terhadap perilaku. Sikap ini merupakan hasil pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut (outcome of the behavior). Disamping itu juga dipertimbangkan pentingnya konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi bagi individu (evaluation regarding the outcome). Komponen kedua mencerminkan dampak dari norma-norma subyektif. Norma sosial mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggapnya penting (referent person) dan motivasi seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut.
Keuntungan teori ini adalah memberi pegangan untuk menganalisa komponen perilaku dalam item yang operasional. Bagaimana sejumlah pencegahan harus dipertimbangkan supaya model ini dipergunakan dengan tepat. Fokus sasaran adalah prediksi dan pengertian perilaku yang dapat diamati secara langsung dan dibawah kendali seseorang. Artinya bahwa perilaku sasaran harus diseleksi dan diidentifikasikan secara jelas. Tuntutan ini memerlukan pertimbangan mengenai tidakan (action), sasaran (target), konteks (context), waktu (time).
Teori perilaku beralasan diperluas dan dimodifikasi oleh (Ajzen dalam Jogiyanto 2007) dan dinamai Teori Perilaku Terencana (theory of planned behavior). Inti teori ini mencakup 3 hal yaitu; yaitu keyakinan tentang
kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioral beliefs), keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs), serta keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs). Jogiyanto (2007) berpendapat bahwa Intensi atau niat merupakan fungsi dari dua determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang disebut dengan norma subyektif. Secara singkat, praktik atau perilaku menurut Theory of Reasoned Action (TRA) dipengaruhi oleh niat, sedangkan niat dipengaruhi oleh
sikap dan norma subyektif. Sikap sendiri dipengaruhi oleh keyakinan akan hasil dari tindakan yang telah lalu. Norma subyektif dipengaruhi oleh keyakinan akan pendapat orang lain serta motivasi untuk menaati pendapat tersebut. Secara lebih sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.
2.2.4 Hedonisme
Hedonisme atau pandangan yang menyamakan “baik secara moral” dengan “kesenangan” tidak saja merupakan suatu pandangan pada permulaan sejarah filsafat, tetapi di kemudian hari sering kembali dalam pelbagai variasi (Bertens, K 1993:256).
ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dalam kamus Collins Gem (1993:97) dinyatakan bahwa, “Hedonisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa kesenangan adalah hal yang paling penting dalam hidup, atau hedonisme adalah paham yang dianut oleh orang-orang yang mencari kesenangan hidup semata-mata”.
Dari pendapat lain Collin Gem di atas, gaya hidup hedonisme sama sekali tidak sesuai dengan tujuan pendidikan bangsa kita. Tujuan pendidikan Negara kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (pembukaan UUD 1945, alinea 4). Tujuannya tentu bukan untuk menciptakan bangsa yang hedonis, tetapi bangsa yang punya spiritual, punya emosional peduli pada sesama dan tidak mengutamakan diri sendiri. Adalah filsuf Epicurus (341-279 SM) yang mempopulerkan paham hedonisme, suatu paham yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan yang paling utama dalam hidup. Filsafatnya dititikberatkan pada etika yang memberikan ketenangan batin. Kalau manusia mempunyai ketenangan batin, maka manusia mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia adalah hedone (kenikmatan, kepuasan). Ketenangan batin diperoleh dengan memuaskan keinginannya. Manusia harus dapat memilih keinginan yang memberikan kepuasan secara mendalam. Hedonisme sebagai suatu “budaya” yang meletakkan dimensi kepuasan materi sebagai suatu tujuan utama memicu dan memacu pemanfaatan alam dan atau melakukan aktivitas hidup yang jauh dari dimensi spritual (moralitas). Kesadaran akan nilai-nilai etika dan moralitas yang rendah dalam mencapai tujuan hidup meberikan kepuasan sesaat, dan dampak negatif yang berjangka panjang.
2.2.4.1 Karakteristik Hedonisme
Disini hedonisme dalam pelaksanaannya mempunyai karakteristik:
1. Hedonisme Egoistis yaitu hedonisme yang bertujuan untuk mendapatkan kesenangan semaksimal mungkin. Kesenangan yang dimaksud ialah dapat dinikmati dengan waktu yang lama dan mendalam.
Contohnya: makan-makanan yang enak-enak, jumlah dan jenisnya banyak, disediakan waktu yang cukup lama untuk menikmati semuanya, seperti pada perjamuan makan ala Romawi. Bila perut sudah penuh, maka disediakan sebuah alat untuk menggitit kerongkongan, dengan demikian isi perut dapat dimuntahkan keluar, kemudian dapat diisi kembali jenis makanan yang lain, sampai puas.
2. Hedonisme Universal yaitu suatu aliran hedonisme yang mirip dengan ulitarisanisme = kesenangan maksimal bagi semua, bagi banyak orang.
Contohnya: bila berdansa, haruslah berdansa bersama-sama, waktunya semalam suntuk, tidak boleh ada seorang pun yang absen, ataupun kesenangan-kesenangan lainnya yang dapat dinikmati bersama oleh semua orang.
Sebenarnya tidak bisa disangkal lagi bahwa hedonisme banyak jenisnya, secara garis besarnya kesenangan dapat dibagi atas dua golongan:
1. Kesenangan Fisik
Kesenangan yang dapat dirasakan dinikmati oleh batang tubuh/raga. Sumber dan jenisnya dari makan minum, yang menerima kesenangan itu dari tenggorokkan sampai keperut. Hasil kesenangan itu biasa dinilai dengan sebutan nikmat, enak, sedap, nyaman, delicious, dan sebagainya.
2. Kesenangan Psychis/Rohani
Bila sumbernya itu sebagai hasil seni, apakah bentuknya itu berupa puisi atau prosa, lukisan atau patung, atau serangkaian lagu-lagu merdu/musik, maka hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: menarik, hebat, indah, memuaskan mengasikkan, dan sebagainya. Penilaian ini diberikan oleh rasa, emosi, dan getaran jiwa. Bila sumbernya itu berasal dari hasil pikir, yang merasakan kesenangan itu adalah otak, pikir, dimana hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: ilmiah, merangsang otak, hebat, pemikiran yang mendalam, intellegensi yang tinggi, mengagumkan dan sebagainya. Bila sumbernya adalah kepercayaan yang menikmati kesenangan itu adalah jiwa, perasaan, rohani, hati, dimana kesenangan itu dinilai dengan sebutan: menentramkan jiwa, meresapkan rasa iman, rasa takwa, syahdu, suci, yakin dan sebagainya.
Karakteristik menurut Pospoprodijo (1999:71) Kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan untuk hidup saja, yakni kesenangan yang kita dapat dengan perantara kemampuan-kemampuan kita dari subyek-subyek yang mengelilingi kita didunia ini
2.2.4.2. Ciri-ciri dan Bentuk Hedonisme
dan dirasakan oleh panca indera manusia. Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada hedonisme di kalangan mahasiswa.
Ada banyak tanda ciri-ciri sifat orang yang menganut paham hedonisme, selama mereka masih menganggap bahwa materi adalah tujuan akhir untuk mendapatkan kesenangan, entah dengan cara bagaimana mendapatkan materi baik halal ataupun haram yang dilarang agama. Ciri-ciri hedonisme menurut Cicerno dalam Russell (2004) adalah sebagai berikut: Memiliki pandangan gaya hidup instan, melihat perolehan harta dari hasill kahir bukan proses untuk membuat hasil akhir. Menjadi pengejar modernitas fisik. Memiliki relativitas kenikmatan di atas rata-rata tinggi. Memenuhi banyak keinginan-keinginan spontan yang muncul. Ketika mendapat masalah yang dianggap berat, muncul anggapan bahwa dunia begitu membencinya. Berapa uang yang dimilikinya akan habis Melihat dari ciri-ciri tersebut, hedonisme lebih menitik beratkan kepada kebutuhan jasmani daripada rohani. Hedonisme kurang lebih adalah berupa kesenangan sesaat yaitu kesenangan duniawi. Cinta pada dunia beserta segala kemewahan yang terlihat dan dirasakan oleh panca indera manusia. Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada hedonisme di kalangan mahasiswa. Berikut ini beberapa contoh bentuk hedonisme di kalangan mahasiswa berdasarkan ciri-ciri tersebut,: menggampangkan proses perkuliahan, perilaku konsumtif, dan pergaulan bebas.
2.2.4.3 Aspek-Aspek Hedonisme
Aspek-aspek dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Engel, etc (1994: 153) yaitu:
1. Opini
2. Aktivitas
Aktivitas Ialah sebagai cara individu mempergunakan waktunya yang berwujud tindakan nyata dalam kegiatan yang bertujuan mencari kesenangan semata dengan konsekuensi biaya cukup besar, aktivitas dapat berupa berbelanja dengan harga mahal dan frekuensi yang cukup sering. Menghabiskan diri ditempat hiburan khusus dengan biaya mahal serta kegiatan rutin seperti makan,minum yang dilakukan ditempat-tempat tertentu dengan biaya besar dan menimbulkan kesan mewah.
3. Minat
Gambaran inidvidu yang memiliki gaya hidup hedonis yang tinggi adalah individu yang aktivitas, minat dan pendapatnya selalu menekankan pada kesenangan hidup. Hal tersebut diwujudkan dengan banyak mengabiskan waktu Ialah suatu yang menarik dari lingkungan sehingga individu merasa senang untuk memperhatikannya. Minat dapat muncul terhadap suatu objek, peristiwa atau topik yang menekankan pada unsur kesenangan hidup. Minat gaya hidup hedonis dapat berupa ketertarikan individu terhadap barang-barang mahal dan mewah, perhatian khusus pada nilai prestise yang dimiliki suatu barang atau aktivitas serta keinginan individu untuk melakukan berbagai aktivitas atau perilaku yang mewakili gaya hidup yang diinginkannya.
Gambaran inidvidu yang memiliki gaya hidup hedonis yang tinggi adalah individu yang aktivitas, minat dan pendapatnya selalu menekankan pada kesenangan hidup. Hal tersebut diwujudkan dengan banyak mengabiskan waktu diluar rumah, banyak bermain, senang berada dipusat perbelanjaan dan hiburan, senang mengikuti trend mode, senang membeli barang-barang mahal guna memenuhi kesenangannya, selalu berusaha menjadi pusat perhatian, cenderung ikut-ikutan dan peka terhadap inovasi baru (Yongki, Suryo : 2007).
2.2.4.4 Faktor-faktor Penyebab Hedonisme
lingkungan sosial serta faktor intern yang meliputi keyakinan dalam beragama dan keluarga. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Faktor internal
a. Sikap terhadap gaya hidup hedonis
Menggambarkan pengalaman kognitif yang baik maupun tidak baik, perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan berbuat yang bertahan selama waktu tertentu terhadap beberapa objek atau gagasan sikap menempatkan individu pada satu kerangka berpikir menyukai atau tidak menyukai suatu objek, menghampiri atau menjauhi. Sikap hedonis artinya sejauhmana individu memilki respon aktif, kognitif, konatif terhadap serangkaian pola tingkah laku.
b. Pengalaman dan pengamatan
Hasil pengamatan seseorang akan membentuk suatu pandangan tertentu terhadap suatu objek, apabila pengamatan ditunjukan dengan pengalaman yang menghasilkan afek positif seperti rasa senang, bahagia dan nyaman maka akan muncul penguatan dalam diri seseorang untuk melakukan kembali perilaku atau aktivitas tersebut.
c. Kepribadian
d. Motif
Walgito 2001, motif dirartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan individu itu bertindak atau berbuat. Perilaku individu yang menyebabkan individu ini bertindak atau berbuat
2. Faktor ekternal
a. Kelompok referensi
Ialah sarana indentifikasi seseorang, dengan atau tanpa perlu menjadi anggota dari kelompok tersebut, dan oleh orang-orang yang bersangkutan digunakan sebagai pembimbing bagi perilakunya yang patut dan tepat, atau dipakai untuk mengembangkan cita-cita tertentu. Kelompok referensi memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dan dijadikan acuan individu
b. Keluarga
Keluarga memiki peranan terbesar dalam pembentukan sikap dan perilaku, hal ini disebabkan karena pola asuh orang tua akan membentuk kebiasaan anak yang secara logika merupakan pola hidup. Individu yang tinggal dilingkungan keluarga yang terbiasa dengan gaya hedonis secara tidak sadar telah mengikuti proses pembelajaran dan proses peniruan sehingga akan berpola hidup sama seperti keluarganya.
c. Kelas sosial
Kelompok homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang dan pada anggota dalam setiap jenjang memilki minat dan tingkah laku yang sama.
d. Kebudayaan
2.4 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi,2001: 40)
Kerangka pemikiran yang baik akan mampu menjelaskan operasional fenomena-fenomena penelitian dalam penelitian kualitatif, serta akan melahirkan asumsi-asumsi yang dapat digunakan dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai.
Dalam penelitian ini kerangka pemikirannya adalah sebagai berikut :
Bagan kerangka berpikir MAHASISWA
HEDONISME LINGKUNGAN
GAYA KOMUNIKASI