• Tidak ada hasil yang ditemukan

Heterogenitas Asma Berat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Heterogenitas Asma Berat"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

HETEROGENITAS ASMA BERAT

Zuhrial Zubir, Alwinsyah Abidin, E.N Keliat, Triyono

Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit yang heterogen, suatu sindrom klinis yang kompleks dengan

berbagai faktor yang terlibat di dalamnya seperti faktor genetik dan faktor lingkungan. The 2007

National Asthma Education and Prevention Program’s Expert Panel Report 3, dalam tatalaksana untuk diagnosis dan manajemen asma, mendefinisikan asma sebagai suatu inflamasi kronik yang

menyebabkan hiperesponsif jalan napas sehingga menimbulkan gejala episodik berulang yang

berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel

dengan atau tanpa pengobatan. Dalam perkembangannya, guna suatu manajemen terapi yang

terarah dan berhasil, maka berbagai pendekatan untuk klasifikasi asma terus dikembangkan.

Salah satu klasifikasi yang dikembangkan saat ini adalah tentang fenotip asma. Dengan

pemahaman tentang fenotip asma yang tentunya berbeda pada setiap individu maka diharapkan

akan dapat menghasilkan suatu manajemen terapi yang lebih baik.1,2,3

DEFINISI DAN KRITERIA ASMA BERAT

Asma adalah suatu inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan gejala episodik

berulang berupa napas mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam

atau dini hari yang bersifat reversibel dengan atau tanpa obat. Asma berat didefinisikan oleh

America n Thora cic Society dalam kriteria mayor dan minor (Tabel 1). Definisi terpenuhi jika

terdapat salah satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor.4,5,6

TABEL 1. Kriteria Asma Berat menurut American thoracic society workshop consensus4-6

Kriteria Mayor

1. Penggunaan kortikosteroid oral terus menerus atau > 50% dalam setahun.

(2)

2

TABEL 1. Kriteria Asma Berat menurut American thoracic society workshop consensus4-6

Kriteria Mayor

Kriteria Minor

1. Pemakaian kontroler seperti beta agonis kerja panjang, teofilin, atau leukotriene antagonis

setiap hari.

2. Pemakaian beta agonis kerja cepat setiap hari atau hampir setiap hari.

3. Obstruksi saluran napas refrakter yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) kurang

dari 80% prediksi atau variasi diurnal APE lebih dari 20%.

4. Kunjungan ke IGD karena serangan asma lebih dari sekali per tahun.

5. Menggunakan kortikosteriod oral ekstra tiga kali atau lebih per tahun.

6. Terjadi perburukan jika dosis kortikosteroid inhalasi dikurangi 25% atau kurang.

7. Riwayat serangan asma mengancam jiwa.

EPIDEMIOLOGI

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu

tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di

Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan

ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan

emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian

(mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh

Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.

Prevalensi asma di Indonesia menurut Riskesdas 2007 adalah 3,5% dan terjadi peningkatan

menjadi 4,5% menurut Riskesdas 2013.7,8

(3)

3

Penyebab terjadinya hambatan aliran udara yang persisten pada asma masih belum

diketahui, namun sebagian besar peneliti menganggap bahwa kegagalan fungsi paru ini

berhubungan dengan proses inflamasi pada dinding saluran napas. Diduga bahwa inflamasi

saluran napas yang persisten pada asma berat terjadi akibat defisiensi hemostatik endogen seperti

sintesis yang rendah dari lipoxin, produksi yang rendah dari prostaglandin (PGE2) dan

15-hydroxyeicosa tetra enoic acid (15-HETE).2

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan faktor

lingkungan. Faktor pejamu tersebut adalah:9,10,11

1. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma untuk

berkembang menjadi asma.

2. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma menetap.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk

berkembang menjadi asma adalah:9,10,11

- alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen binatang,

alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga

- sensitisasi (bahan) lingkungan kerja

- asap rokok

- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan

- infeksi pernapasan (virus)

- diet

- status sosioekonomi

- besarnya keluarga

(4)

4

Faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau menyebabkan gejala asma

menetap adalah:9,10,11

- alergen di dalam maupun di luar ruangan

- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan

- infeksi pernapasan

- olah raga dan hiperventilasi

- perubahan cuaca

- makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)

- obat-obatan, seperti asetil salisilat

- ekspresi emosi yang berlebihan

- asap rokok

- iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang

PATOGENESIS ASMA

Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.

Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/kecenderungan untuk

terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala)

dan objektif (hipereaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya

gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip

perantara yang dapat diukur secara objektif. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan

beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara lain CD28,

IGPB5, CCR4,CD22, IL9R, NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat

dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2, GRL1,

ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya. Kromosom

11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam berkembangnya atopi dan asma. Fenotip

alergik dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN - ,

ma st cell growth fa ctor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi

berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-petanda pada lokus 12q, asma

dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19. Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada

(5)

5

5q berperan dalam progresivitas inflamasi baik pada asma maupun atopi, yaitu gen yang

mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13, dan GM-CSF. Interleukin-4 sangat

penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun

merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi

IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.11,13,14

Gambar 1. Mekanisme Patofisiologi Asma9

HETEROGENITAS ASMA BERAT

Perkembangan asma berat sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor termasuk

genetik, dan faktor lingkungan dan juga respon terhadap pengobatan. Penyakit ini merupakan

suatu sindrom yang sangat bervariasi dan memiliki elemen yang beragam, namun juga memiliki

kesamaan pada tingkat patofisiologi, termasuk di dalamnya adalah obstruksi jalan napas dan

hiperesponsifitas bronkus. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma

dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif. Dengan

pemahaman yang baik tentang fenotip asma secara imunologis maupun secara patologis akan

meningkatkan kemampuan kita untuk memahami sindrom ini secara genetik sehingga dapat

merancangkan suatu target terapi yang lebih baik terhadap penyakit asma ini. Heterogenitas

asma ini digambarkan sebagai suatu fenotip dari asma. Fenotip didefinisikan sebagai

(6)

6

Fenotip yang mucul merupakan hasil interaksi antara faktor genotip dan lingkungan. Fenotip

asma berat dibagi atas fenotip usia saat onset dan fenotip inflamasi.15,16

a. Fenotip berdasarkan usia saat onset

Terdapat perbedaan yang nyata antara asma yang didapat saat usia dini (childhood-onset)

dibandingkan dengan asma yang didapat saat dewasa (adult-onset). Suatu penelitian

membandingkan 50 pasien dengan asma berat dengan onset penyakit dari usia 12 dengan 30

pasien dengan onset pada usia dewasa dengan derajat asma yang sama. Didapatkan hasil

bahwa pasien dengan onset usia dini memiliki kecenderungan lebih sensitif terhadap alergen

dengan gejala alergi yang lebih menonjol. Pada penderita asma dengan onset pada usia

dewasa, terdapat perburukan fungsi paru dibandingkan penderita dengan onset usia muda.

Pada asma usia muda, memiliki pencetus alergi yang dapat diidentifikasi, selain penyakit

alergi seperti rhinitis atau eczema atau riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Asma usia

dewasa biasanya dikaitkan dengan penyakit respirasi eksaserbasi aspirin

(aspirin-exa cerba ted respira tory disea se-AERD), infeksi kronis saluran napas akibat bakteri patogen,

asma akibat kerja dan asma akibat inhalasi zat-zat iritan.15,16

b. Fenotip berdasarkan inflamasi

Pada asma berat, sel-sel inflamasi biasanya ada dan aktif pada saluran napas dan tetap

bertahan meskipun telah diberi pengobatan. Sel-sel ini termasuk diantaranya adalah eosinofil,

neutrofil, limfosit T, sel mast, makrofag. Fenotip inflamasi pada asma berat dapat ditandai

dengan infiltrasi eosinofil atau neutrofil yang persisten.15,16

1. Fenotip eosinofil

Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan

teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara

lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa. IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan

maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.

Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor dan mampu

menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil

reaktivasi melepaskan protein toksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran

napas yaitu ma jor basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang

(7)

7

peroxida se dan mediator lipid. Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan

fibrogenesis dan angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang

sintesis protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6,

IL-11, IL-13, IL-17, TGF- , NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan

diferensiasi dan migrasi fibroblas. Adanya eosinofil mempresentasikan suatu asma berat

yang ditandai dengan gejala simptomatis yang berat, FEV1 yang rendah, angka

eksaserbasi yang tinggi dan mengancam jiwa. Akhir-akhir ini ada atau tidaknya eosinofil

diaplikasikan juga pada asma berat berdasarkan usia saat onset. Eosinofil yang persisten

terjadi lebih banyak pada asma onset dewasa dibanding asma onset muda, sekalipun

kortikosteroid dosis tinggi telah digunakan.2,15,16

2. Fenotip Neutrofil

Pada beberapa kasus, dimana tidak terdapat eosinofil, maka terjadilah peningkatan

neutrofil. Namun peningkatan neutrofil tidak menandakan tidak adanya eosinofil.

Peningkatan neutrofil dapat diamati pada sputum, bilasan lambung dan biopsi pada

pasien dengan asma berat yang telah menggunakan kortikosteroid dosis tinggi inhalasi

maupun oral. Peningkatan neutrofil, berhubungan dengan peningkatan matriks

metaloprotease 9 (MMP-9) pada cairan bilasan maupun jaringan bronkoalveolar.

Peningkatan MMP-9 sukar diinhibisi oleh kortikosteroid.2,15,16

PENGOBATAN ASMA BERAT

Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan

mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik,

variabilitas APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk

mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu

pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug

BD/hari atau ekuivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala kontrol lebih

tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali

sehari. Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers dapat

sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai kombinasi dengan

(8)

8

yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika sangat

dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin,

dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian

budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi

glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan

pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek samping lokal seperti

sakit tenggorok/mulut. Sehingga tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid

nebulisasi pada asma di luar serangan/stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.17,18

Steroid dependent asthma (asma yang tergantung steroid)

Suatu kondisi asma kronik berat dapat terkontrol hanya bila ditambahkan steroid sistemik

dalam pengobatan. Steroid sistemik yang dimaksudkan adalah steroid oral jangka panjang.

Walau dalam pengamatan menunjukkan bahwa pada umumnya dengan pengobatan asma yang

lazim, asma dapat terkontrol meskipun asma berat dan sulit, asalkan dilakukan penatalaksanaan

asma yang benar, tepat dan komprehensif serta pemantauan dan pengawasan yang sesuai.17,18

Seringkali penderita menggunakan steroid oral jangka panjang bukan disebabkan asma

yang sulit terkontrol, akan tetapi disebabkan hal lain. Kondisi di bawah ini yang memungkinkan

penderita menggunakan steroid oral jangka panjang, seperti:17,18

 asma kronik berat

Pada kondisi penderita menggunakan steroid oral jangka panjang, sebaiknya diupayakan

untuk meminimalkan kebutuhannya dan bila mungkin menghentikannya, dengan cara :17

 meminimalkan pajanan alergen/pencetus

 stop merokok

(9)

9

 mulai kombinasi steroid & agonis beta-2 kerja lama, teofilin lepas lambat, antileukotrin/leukotrien modifiers, atau antiinflamasi lain (sodium kromoglikat,

nedokromil)

kerja lama dengan disertai antiinflamasi lainnya yang optimal, dengan pengawasan ketat

terhadap efek samping. Bila tetap membutuhkan steroid oral walau telah dilakukan berbagai

upaya tersebut, maka kondisi tersebut disebut asma yang tergantung dengan steroid.17,18

Pada keadaan tergantung steroid dan telah terjadi efek samping steroid sistemik, maka

pertimbangkan pemberian steroid sparing agent dengan maksud untuk mengurangi dosis steroid

dengan tetap mengontrol asma. Sebelum memberikan obat tersebut pertimbangkan

sungguh-sungguh mengenai risiko-manfaat obat tersebut, risiko obat tersebut dibandingkan risiko steroid

oral sendiri, biaya dan manfaat pemberian obat tersebut. 17

Obat-obat yang dikenal sebagai steroid sparing agents adalah :

 Metotreksat (MTX)

kurang baik, seringkali upaya mengganti steroid oral dengan inhalasi tidaklah mudah atau

bahkan sangat sulit, hal itu disebabkan ketidakmampuan penderita membeli steroid inhalasi.

Pada kondisi demikian, maka seringkali penderita mendapatkan steroid oral untuk mengontrol

asma dengan tetap mengupayakan dosis steroid oral serendah mungkin dan seefektif mungkin

dengan harapan asma terkontrol dengan efek samping seminimal mungkin. Penggunaan steroid

(10)

10

Steroid resistance asthma (Asma yang resisten dengan steroid)

Asma yang resisten steroid adalah suatu keadaan asma yang menunjukkan gagal respons

pengobatan walau telah diberikan steroid oral sekalipun. Penting untuk diyakini sebelum

mendiagnosis sebagai asma yang resisten steroid, yaitu apakah penderita benar memiliki asma,

bagaimana kepatuhan pengobatan dan adakah masalah dengan absorbsi steroid oral. 17,18

Pengobatan steroid oral yang bagaimana dan respons pengobatan seperti apa yang

diharapkan sampai penderita dinyatakan sebagai asma yang resisten steroid, hal itu yang masih

kontroversial. Akan tetapi pada prinsipnya adalah pengobatan steroid oral dosis besar (  20 mg/

hari) selama 10-14 hari, dengan harapan memberikan respons pengobatan yaitu meningkatnya

VEP1 (idealnya diukur pagi hari sebelum pemberian bronkodilator) sebanyak > 15%. Bila

setelah pemberian steroid oral tersebut, penderita gagal menunjukkan perbaikan VEP1 > 15%

dari nilai awal (baseline), maka dinyatakan sebagai asma yang resisten steroid. Berbagai kondisi

dapat menyebabkan terjadi asma yang resisten steroid antara lain ada defek selular pada respons

steroid.17,18

Penatalaksanaan asma yang resisten steroid adalah sama dengan asma yang tergantung

dengan steroid yaitu mengupayakan penatalaksanaan seoptimal mungkin, dan bila perlu

menggunakan obat imunosupresif sebagai antiinflamasi yaitu metotreksat atau siklosporin.17,18

KESIMPULAN

The 2007 National Asthma Education and Prevention Program’s Expert Panel Report 3, dalam tatalaksana untuk diagnosis dan manajemen asma, mendefinisikan asma sebagai suatu

inflamasi kronik yang menyebabkan hiperesponsif jalan napas sehingga menimbulkan gejala

episodik berulang yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan

seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Penyebab terjadinya hambatan aliran udara yang persisten pada asma masih belum

diketahui, namun sebagian besar peneliti menganggap bahwa kegagalan fungsi paru ini

berhubungan dengan proses inflamasi pada dinding saluran napas.

Heterogenitas asma ini digambarkan sebagai suatu fenotip dari asma. Fenotip

(11)

11

biokimia dari suatu individu. Fenotip yang mucul merupakan hasil interaksi antara faktor genotip

dan lingkungan.

Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/kecenderungan

untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif

(gejala) dan objektif (hipereaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya.

(12)

12

1. Drazen JM, Silverman EK, Lee TH. Heterogeneity of therapeutic responses in asthma. Br

Med Bull. 2000;56(4):1054-70.

2. Rovina N, Baraldo S, Saetta M. Severe Asthma : Inflammation. 2011. Available from :

http://www.pneumon.org/assets/files/844/file425_184.pdf [Accessed on March 4th 2016].

3. Chung KF. International ERS/ATS Guidelines on Definition, Evaluation and Treatment

of Severe Asthma. 2013. Available from :

http://www.smw.ch/docs/PdfContent/smw-12365.pdf [Accessed on March 4th 2016].

6. Sally W. Severe Asthma in Adults. Am J Resp Crit Care Med. 2005; 172(2):149-60.

7. Hudoyo A. Penatalaksanaan Asma & PPOK Pada Orang Dewasa berdasarkan Pedoman

GINA (Global Initiative for Asthma) & GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive

Lung Disease). 2014. Available from :

http://www.rspondokindah.co.id/public/files/events/Dr.Ahu_SIMPOS_RSPI_10_05_201

4.pdf [Accessed on March 4th 2016].

8. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.

(13)

13

12.Koppelman GH, Meijer GG, Bleecker ER, Postma DS. The Genetics of Asthma. 2000.

Available from : http://www.rug.nl/research/portal/files/14524430/c1.pdf [Accessed on

March 4th 2016].

13.Holgate ST, Polosa R. The mechanism, diagnosis and management of severe asthma in

adults. Lancet. 2006:368:80-93.

14.Benayoun L, Druijhe A, Dombret MC, Aubier M, Petrolani M. Airway structural

alterrations selectively associated with severe asthma. Am J Respir Crit Care Med.

2003:16:1360-8.

15.Campo P, Rodriguez F, Sanchez-Gracia S, et al. Phenotypes and endotypes of

uncontrolled severe asthma: New Treatments. J Investig Allergol Clin Immunol 2013;

23(2):76-88.

16.Busse WW. Asthma diagnosis and treatment: Filling in the information gaps. 2011.

Available from : https://xa.yimg.com/kq/groups/23515872/1167507371/name/Asthma+

diagnosis+and+treatment.+Filling+in+the+information.+JACI.+2011.pdf [Accessed on

March 4th 2016].

17.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konsensus asma. Jakarta: PDPI; 2003.

18.Depkes RI. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. 2007. Available from :

http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/02/PC_ASMA.pdf [Accessed on

Gambar

Gambar 1. Mekanisme Patofisiologi Asma9

Referensi

Dokumen terkait

Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma yang dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien yang kadang-kadang menggunakan kortikosteroid

Evaluasi ketepatan pemilihan dan interaksi obat pada pasien asma perlu dilakukan mengingat obat asma teofillin merupakan obat yang memiliki indeks terapi sempit yang lebih

Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kontrol Asma Pada Penderita Asma Umur Lebih Dari Atau Sama Dengan Delapan Belas Tahun Di BBKPM Surakarta. Universitas

Kecemasan umumnya terjadi pada orang dengan asma berat dan asma yang sulit dikontrol. Kecemasan adalah respon normal untuk gejala asma seperti dispnea dan dada sesak serta

Sehubungan dengan kesulitan mendiag- nosis asma pada anak kecil khususnya anak di bawah 3 tahun, respon yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik selama 5 hari

serangan asma derajat sedang-berat akan menurunkan denyut nadi, frekuensi napas dan skor asma lebih cepat dibanding dengan kelompok yang mendapat terapi standar + placebo. Wheezing

Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat men gontrol asma, dengan pilihan: • Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2

Berdasarkan fenomena tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Pengaruh senam asma terhadap fungsi paru (KVP & FEV1) pada wanita asma di Balai Kesehatan