KONSTRUKSI EKONOMI INSANI DALAM TATANAN EKONOMI GLOBAL Pra-Wacana
Oleh : Muh. Asratillah Senge, ST
Pendahuluan
Suatu saat saya mendengar istilah “sentimen pasar” di sebuah stasiun berita TV, lalu muncul pertanyaan dalam benak saya, “jikalau benar pasar memiliki sentimen, apakah itu berarti pasar memilki kualitas kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki oleh manusia konkrit ?”,
“bukankah perasaan sentimen itu hanya bisa kita sematkan pada manusia ?”, “apakah pasar itu sehingga dia bisa memiliki sentimen ?”, “apakah pasar dapat diequivalenkan dengan manusia ?, ataukah pasar merupakan sesuatu yang melampaui manusia ?”, “ jikalau pasar dapat diequivalebkan dengan manusia, lalu kenapa pasar (market) seringkali hanya memenuhi kerakusan keinginan manusia, dan di ujung dunia lain menelantarkan manusia yang kebutuhan dasariahnya pun tak bisa mereka penuhi ?, “ jikalau pasar adalah sesuatu yang melampaui manusia, lalu kenapa pasar (market) tak membuat manusia semakin memiliki sensitifitas
kemanusiaan, malah sebaliknya ?”. “atau jangan-jangan pasar (market) adalah ibarat robot di film-film fiksi ilmiah, yang dikemudian hari
menyerang balik pembuatnya ?”.
Itulah barangkali beberapa daftar pertanyaan yang megganggu benak penulis, walaupun penulis tak memiliki latar belakang akademik sebagai ekonomi, tapi penulis mencoba untuk menjawab daftar
pertanyaan di atas.
Keutamaan Pasar
Pasca runtuhnya Uni Sovyet, maka mencuat dan menguatlah waca mengenai “keutamaan pasar”. Bahkan sejak saat itu, opsi mengenai corak ekonomi mengkerucut pada dua opsi dimana alaternatif jalan ke-tiga atau jalan tengah tidak tersedia, opsi itu adalah : Ekonomi perencanaan
beberapa literatur yang sempat dipublikasi di tanah air, misalnya buku yang berjudul Investasi dalam Pembangunan (1988) yang diterbitkan oleh bank dunia bekerja sama dengan UI, pada buku tersebut dijabarkan bahwa hanya ada dua corak pendekatan pembangunan dan perencanaan proyek yaitu pendekatan pembangunan yang terpusat atau terencana dan pendekatan pembangunan dengan sistem pasar yang begitu besar
kepercayaannya pada “harga-harga”. Bahkan kedua corak perencanaan ekonomi tersebut kemudian direduksi menjadi dua istilah belaka yaitu : “pro” dan “anti”-pasar.
Kini tidak bisa kita pungkiri bahwa pergerakan ekonomi global, termasuk ekonomi Indonesia hampir seluruhnya terintegrasi dalam ekonomi sistem pasar atau biasa juga disebut dengan sistem ekonomi swatata (self-regulating market system), ini bisa dilihat bagaimana pemerintah Indonesia menjadikan sistem pasar internasional sebagai referensi dalam mengeluarkan kebijakan mengenai harga bahan bakar minyak, bahkan menurut beberapa portal berita, pemerintah juga akan melakukan hal yang sama untuk menentukan harga LPG di dalam negeri. Apalagi sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke 9 di bali pada tahun 2003 yang kemudian dikenal dengan Bali Concord II,
mencanangkan apa yang disebut dengan ASEAN Economic Community (AEC) atau biasa kita kenal dengan istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), selain MEA di pertemuan tersebut juga disepakati mengenai dua hal yaitu mengenai pembentukan ASEAN Political Security Community dan ASEAN Socio-Culture Community.
Kita ketahui bahwa dalam peta Ekonomi Politik kontemporer, Indonesia dan ASEAN secara umum akan menjadi wilayah yang akan cukup diminati. Ini terlihat bagaimana Amerika Serikat telah
menjanjikan, ASEAN memiliki jumlah penduduk 600 juta jjiwa, Indonesia dan Filipinan memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 5 %, Thailand dan Malaysia yang beberapa dasawarsa silam tertinggal dari Indonesia semakin kokoh dalam industri. Bersama Singapura , Malaysia dan Thailand menjadi produsen penting komputer di dunia. Thailand selain mengekspor mobil, juga menguasai pakan ternak di Indonesia. Malaysia selain menguasai lahan sawit juga memiliki posisi kuat dalam hal
perbankan di Indonesia. Dengan kata lain kawasan Asia Pasifik termasuk ASEAN menjadi wilayah yang penuh gejolak, termasuk misalnya sengketa wilayah Laut Cina Selatan antara Cina dengan negara-negara
tetangganya, yang beberapa waktu silam Cina sempat melanggar wilayah udara beberapa negara-negara ASEAN, dan menurut pengamat sengketa tersebut sangat terkait dengan kelimpahan sumber daya energi di wilayah tersebut.
Melalui latar belakang itulah maka Indonesia bersama negara-negara ASEAN lainnya menyapakati untuk membentuk MEA yang secara formal berlaku sejak tahun 2015. Dalam KTT ASEAN 9 di Bali, para
pemimpin ASEAN telah mnyepakati 4 pilar dari MEA. Pertama menjadi ASEAN sebagai pasar tunggal dan menjadi basis produksi. Kedua
Menjadikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi berdaya saing tinggi. Ketiga Menjadikan ASEAN sebagai kawasan dengan pembangunan ekonomi yang setara dan Keempat menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang
terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Dari 4 pilar yang disepakati tersebut maka secara eksplisit Indonesia yang merupakan bagian aktif dalam komunitas ASEAN mengakui keutamaan sistem pasar walaupun setiap anggota ASEAN melakukan kebijakan-kebijakan penyesuaian untuk menjaga kepentingan nasional masing-masing.
mencapai kebahagiaan tersebut ada keyakinan bahwa akan ada semacam “tangan tak terlihat” (invisible hand) atau ”mutasi gen yang
menguntungkan”- kalau kita meminjam istilah dalam biologi evolusi sebagai analogi- yang akan memastikan terbentuknya tatanan ekonomi yang teratur dan menghantarkan para pelakunya ke dalam kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, melalui pandangan Adam Smith tersebut kapitalisme memberikan penekanan agak lebih kepada manusia sebagai makhlukh individual dibanding manusia sebagai makhlukh sosial.
Pemikiran serupa bisa kita bisa telusuri ke pemikiran Thomas
Hobbes dan John Locke, dimana keduanya menggambarkan bahwa kondisi alami dari manusia adalah ketidakpastian. Lalu Hobbes mengatakan dua hal penting, pertama bagi Hobbes seluruh komunitas, lembaga atau institusi sosial hanyalh bentukan atau konstruksi artifisial dari manusia, dengan kata lain lembaga atau komunitas sosial hanyalah suplemen pada ke-berada-an manusia dengan kata lain bukanlah sesuatu yang
substansial. Kedua bagi Hobbes realitas secara hakiki bersifat individual. Seluruh pengandaian liberal yang disampaikan oleh Adam Smith, Hobbes dan Locke memberikan legitimasi teoritik bagi aktualisasi sistem pasar swatata.
Pada tahun 1954 ekonom Kenneth Arrow dan Gerrad debreu dengan meenruskan gagasan Leon Walras, mengemukakan apa yang disebut dengan sistem pasar model “Walrasian” di mana model tersebut memiliki tiga keyakinan dasar : Pertama, pasar selalu menghasilan ekuilibrium ekonomi secara umum, yakni serangkaian perdagangan yang melibatkan aktor ekonomi secara umum, yakni serangkaian perdagangan yang
melibatkan aktor ekonomi, di mana setiap perusahaan memebutuhkan sumber daya dan buruh, serta menjual keluaran dalam motif
distribusi privat dari sumber daya dan kepemilikian perushaan menjadi sebuah keutamaan. Tapi Joeph Stiglitz megkritik ketiga prinsip itu dengan istilah “the effects of Uncertain”, yakni tidak memungkinkannya diperoleh informasi yang sempurna dan pasti. Dan dampak dari informasi yang asimetris bisa mengakibatkan manipulasi harga. Bagaimana misalnya dibangun kesepakatan mengenai harga yang cocok antara produsen dan konsumen jika produsen mengalami surplus informasi sedangkan
konsumen mengalami defisit informasi ?.
Mungkin sederhananya ada semacam potensi Unfair dan
ketidaksetaraan dalam sistem ekonomi pasar global. Contohnya yang dikatakan oleh Direktur PT. Bank Mandiri TBK, Budi Gunadi, beliau mengatakan dalam sebuah kesempatan bahwa Bank OCBC milik
Singapura bisa memiliki 350 cabang di Indoensia sedangkan bank Mandiri hanya memiliki 50 cabang saja di Singapura. Bank UOB miliki Malaysia memiliki 240 kantor cabang di Indonesia, sedangkan Mandiri hanya memiliki 70 cabang di Malaysia.
Menggugat Ekonomi dan Ikhtiar mengkonstruski Ekonomi Insani Seorang ekonom muda bernama Thomas Piketty dalam bukunya yang berjudul Capital in the Twenty-First Century (2014), dia mengatakan bahwa kini terjadi kesenjangan ekonomi global yang melonjak secara eksponensial. Dia menemukan bahwa kesenjangan ekonomi global akhir abad ke 20 memasuki abad 21 mengalami percepatan yang jauh lebih tinggi dibanding kesenjangan ekonomi pada awal dan pertengahan abad 20. Dia menggambarkan pola tersebut dengan rumus : r>g, di mana r adalah rate of return yaitu tingkat keuntungan dari sebuah investasi modal sedang kan g adalah economic growth menunujukkan keseluruhan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dan r>g itu memperlihatkan bahwa laju laba investasi para kapitalis jauh tumbuh lebih cepat dan tinggi
dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi. Penemuan ini juga
uang dari produk-produk keuangan sendiri, dengan laju yang semakin jauh terlepas dari kegiatan produksi-alokasi barang ril kebutuhan hidup. Hal ini oleh Gerard Dumenil dan Dominique Levi dengan istilah virtualisasi keuangan. Dimana uang sebagai penanda (signifier) tak lagi tertambat pada kebutuhan ril manusia sebagai petandanya (signified), tetapi uang tertambat pada uang yang lain sebagai penanda pula.
Dari arah yang lebih teoritis kritik terhadap ekonomi kapitalis dilakukan oleh Karl Polanyi. Meminjam pembacaan Dr. B. Herry Priyono terhadap Karl polanyi ada beberapa hal yang bisa garis bawahi : Pertama, di sentral gugatannya, Karl Polanyi melakukan pemdeaan antara dua arti ekonomi. Karl Polanyi membdakan antara arti formal dan arti substansial. Secara formal ekonomi berarti “ berasal dari logika yang menyangkut kaitan sarana (means) dan tujuan (end). Dalam artian formal ekonomi merupakan “urusan logika memilih, yang selalu dilakukan dalam pengandaian bahwa ketersediaan sarana selalu langka., sedangkan secara substansial ekonomi berbicara soal fakta “bahwa setiap manusia memnuhi kebutuhan hidup. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh Polanyi terhadap modus ekonomi beberapa peradaban maka dia
berkesimpulan bahwa ekonomi pertama-tama mesti dipahami sebagai “organisasi mata-pencaharian manusia” (the livelihood of man).
Kedua, Menurut Karl Polanyi definisi substanstif ekonomi inilah yang akan tergusur oleh definisi formal ekonomi. Dalam penggususran ini
terlihat bahwa eknomi tidak lagi dilihat sebagai pengorganisasian mata pencaharian tetapi hanya direduksi sebagai mekanisme pasar. Ekonomi tak lagi berhubungan dengan kesejahteraan bersama komunitas,
melainkan hanya sekedar mekanika kalkulasi untung-rugi yang dilakukan tiap individu dalam sistem pasar bebas. Inilah yang disebut oleh Karl Polanyi dengan istilah “ketercerabutan” ( disembeddedness) , saat relasi ekonomi tercerabut dari relasi-relasi sosial yang konkrit. Dalam ekonomi kapitalis ada yang disebut dengan “postulat kelangkaan” (scarcity
sesuatu yang “langka”. Bagaimana membuat sesuatu menjadi langka ? yaitu dengan merubahnya menjadi komoditas.
Ketiga, Di jantung ketercerabutan ekonomi dari relasi sosial terlibat proses komodifikasi, terutama komodifikasi tanah, uang dan tenaga kerja. Polanyi berargumen bahwa “tak satupun dari ketiganya diproduksi untuk jual-beli; komodifikasi tenaga kerja, tanah dan uang itu sepenuhnya fiktif”. Justru karena fiktif, komodifikasi ketiganya “akan membawa kehancuran masyarakat...,tidak satupun masyarakat sanggup bertahan dari dampak sistem fiktif yang ganas itu..., kecuali hakikat manusia dan alam serta organisasi usahanya dari keganasan mekanisme pasar.
Penutup
Lalu apa itu ekonomi insani ? Kalau kita mengacu pada gagasan Karl Polanyi, maka ekonomi insani adalah ekonomi yang kembali pada
khittahnya, ekonomi yang kembali pada alasan atau illah ghaiyah (causa final) dari ekonomi. Bahwa tujuan utama dari ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan konkrit manusia melalui pengorganisasian mata pencaharian manusia.
Ekonomi Insani adalah ekonomi yang mengelami re-integrasi