• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rasio Kecukupan Beras Di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rasio Kecukupan Beras Di Sumatera Utara"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Undang – Undang Ketahanan Pangan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan. UU yang terdiri atas 17 bab dan 154 pasal ini mengatur masalah perencanaan pangan; ketersediaan pangan; keterjangkauan pangan; konsumsi pangan dan gizi; label dan iklan pangan; pengawasan; sistem informasi pangan; penelitian dan pengembangan pangan; kelembagaan pangan; serta peran masyarakat; dan penyidikan.

Ditegaskan dalam Pasal 6 UU ini, perencanaan pangan dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Perencaan ini harus terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah, dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat; disusun di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; serta ditetapkan dalam rencana pembangunan kangka panjang, jangka menengah, dan rencana kerja tahunan.

(2)

diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga , dan perseorangan secara berkelanjutan.

“Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan

cadangan pangan nasional,” tegas Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2012 ini.

Dalam hal sumber penyediaan pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional belum mencukupi. Menurut UU ini, pangan dapat dipenuhi dengan impor pangan sesuai dengan kebutuhan. Mengenai cadangan pangan itu terdiri atas:

a. Cadangan pangan Pemerintah Desa

b. Cadangan pangan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan

c. Cadangan pangan Pemerintah Provinsi. Cadangan pangan ini dilakukan untuk menanggulangi kekurangan pangan, gejolak harga pangan, bencana alam, dan/atau menghadapi keadaan darurat.

“Cadangan pangan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan

Pemerintah Desa bersumber dari produksi dalam negeri,” bunyi Pasal 29 Ayat (2)

UU ini.

(3)

UU ini juga menegaskan, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam mewujudkan keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan. Untuk kepentingan ini, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan kebijakan di bidang distribusi, pemasaran, perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, dan bantuan pangan. Untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan itu bisa dilakukan melalui: a. Penetapan harga pada tingkat produsen sebagai pedoman pembelian Pemerintah b. Penetapan harga pada tingkat konsumen bagi penjualan pemerintah

c. Pengelolaan dan pemeliharaan cadangan pangan Pemerintah d. Pengaturan dan pengelolaan pasokan pangan

e. Penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada kepentingan nasional

f. Pengaturan kelancaran distribusi antar wilayah g. Pengaturan ekspor dan impor pangan.

Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden,” bunyi

(4)

2.1.2 Pengertian Ketahanan Pangan

Definisi pangan menurut UU No. 18 Tahun 2012 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman sedangkan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Anonimousb, 2013).

Pengertian ketahanan pangan berdasasarkan UU no. 7 tahun 1996 adalah kondisi yang terpenuhi pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sedangkan menurut Suryana (2003:103) ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhnya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat diartikan lebih lanjut sebagai berikut:

(5)

2.Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda/zat lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama.

3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.

4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh oleh seetiap rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Yang dimaksud pangan pokok ialah pangan yang muncul dalam menu sehari – hari, mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar. Sedangakan pangan pokok utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagaian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat diganti oleh komoditas lain (Khumaidi, 1997;4).

2.1.3 Sub Sistem Ketahanan Pangan

Adapun subsistem dari ketahanan pangan ada 3 sub sistem, yaitu sebagai berikut:

1. Sub sistem ketersedian pangan

Sub sistem ketersedian pangan yaitu kebutuhan pangan yang tersedia secara fisik di rumah tangga baik yang berasal dari produksi sendiri, membeli dipasar maupun bantuan.

2. Sub sistem distribusi pangan

Sub sistem distribusi pangan yaitu kemampuan rumah tangga secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh sejumlah pangan yanng dibutuhkan.

(6)

Sub sistem konsumsi pangan yaitu pemanfaatan atau penyiapan pangan rumah tangga dan kemampuan biologis individual dalam menyerap nutrisi untuk hidup sehat dan produktif (Lubis, 2014).

Disamping melibatkan integrasi ketiga sub sistem (ketersediaan, distribusi, dan konsumsi) serta sub sistem penunjang, ketahanan pangan dipengaruhi oleh banyak pelaku dan kepentingan (produsen, pengolah, pemasar dan konsumen) serta dikelola oleh berbagai institusi (sektoral, sub sektoral, skala kecil, skala besar, pemerintah dan masyarakat) dan melibatkan integrasi timbal balik antar wilayah. Sistem ketahanan pangan yang kompleks tersebut digambarkan dalam kerangka sistem ketahanan pangan.

Untuk mewujudkan suatu kondisi ketahanan pangan nasional yang mantap, ketiga sub sistem dalam ketahanan pangan diharapkan dapat berfungsi secara sinergis, melalui kerja sama antar komponen–komponennya yang dinamis ini, sistem tersebut dituntun untuk terus berevolusi mengikuti aspirasi masyarakat yang terus berkembang. Dalam kondisi demikian, upaya pemantapan dan peningkatan ketahanan pangan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang kompleks.

(7)

memantapkan ketahanan pangan dalam situasi dan kondisi perdagangan domestik dan global, bekerja sama dengan sektor-sektor mitranya, khususnya industri dan perdagangan, prasarana fisik, serta perhubungan. Dengan memahami hal tersebut, program peningkatan ketahanan pangan ini harus memperhatikan seluruh komponen dalam sistem ketahanan pangan (Suryana, 2003).

Menyadari peran strategis ketahanan pangan terhadap kelangsungan hidup bangsa Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999–2004 yang merupakan abstraksi dari aspirasi rakyat Indonesia dan pembangunan bidang ekonomi menjelaskan bahwa mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan kelembagaan dan budaya lokal dalam menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi yang diatur dalam undang – undang.

Esensi dari pernyataan tersebut adalah mengembangkan dan memantapkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada produksi dan keragaman sumber daya wilayah. Jadi pengembangan ketahanan pangan tersebut harus dikaitkan dengan peningkatan produksi pangan di dalam negeri.

Adapun tujuan dari pembangunan ketahanan pangan yang dilakukan secara bersama oleh masyarakat dan pemerintah pusat adalah :

1. Meningkatkan produksi beras, sumber karbohidrat lain, sumber protein, dan zat gizi mikro untuk meningkatkan kualitas pangan dan gizi masyarakat. 2. Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat/petani mewujudkan

(8)

3. Mengembangkan sistem kelembagaan pangan secara partisifatif di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sehingga dapat berfungsi secara efektif, efisien dan berkelanjutan

4. Meningkatkan upaya ketersediaan pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, beragam, merata, serta terjangkau oleh daya beli masyarakat

5. Meningkatkan penganekaragaman pangan dan produk–produk pangan olahan sehingga mendorong penurunan konsumsi beras per kapita

6. Meningkatkan sistem kewaspadaan pangan dan gizi di daerah sesuai dengan potensi sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal

(Suryana, 2003).

2.1.4 Kecukupan Beras

Kecukupan beras adalah ketersediaan beras dikurangi dengan kebutuhan yang di keluarkan untuk rumah tangga maupun non rumah tangga. Sedangan rasio keukupan beras adalah perbandingan antara ketersedian beras dengan kebutuhan beras. Ketersediaan beras dapat dihitung dari produksi beras ditambahkan dengan stok dan import beras.

(9)

untuk mengukur kecukupan produksi beras nasional dalam memenuhi kebutuhan beras nasional setelah dikurangi ekspor, penggunaan Konsumsi beras nasional dihitung dari total konsumsi beras langsung oleh rumahtangga, konsumsi beras pemerintah berupa penyaluran beras miskin, dan permintaan antara beras. Kebutuhan beras nasional dihitung dari total konsumsi beras nasional dengan kebutuhan untuk cadangan beras masyarakat dan stok beras di BULOG

(Muttaqin dan Drajat, 2009).

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Produksi

Produksi merupakan kegiatan untuk meningkatkan manfaat suatu barang. Untuk meningkatkan manfaat tersebut, diperlukan bahan–bahan yang disebut faktor produksi. Sesuai dengan asumsi bahwa sumber–sumber ekonomi (faktor produksi) bersifat jarang maka faktor–faktor produksi harus dikombinasikan secara baik atau secara efisien sehingga dicapai kombinasi faktor dengan biaya yang paling rendah (least cost combination). Secara konversional, faktor produksi digolongkan menjadi faktor tenaga kerja (L) dan faktor produksi modal (K) (Soeharno, 2006:4).

Sedangkan menurut Bangun (2007) faktor produksi menjelaskan hubungan faktor-faktor produksi dengan hasil produksi. Faktor produksi dikenal dengan istilah input, sedangkan hasil produksi disebut dengan output. Hubungan kedua variabel (input dan output) tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

(10)

Q adalah output, sedangkan K,L,N,dan T merupakan input. Besarnya jumah

output yang dihasilkan tergantung dari penggunaan input-input tersebut. Jumlah

output dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan penggunaan jumlah K,L,dan

N atau meningkatkan teknologi. Untuk memperoleh hasil yang efisien, produsen dapat melakukan pilihan penggunaan input yang lebih efisien.

Dalam upaya meningkatkan produksi beras lebih lanjut telah dianjurkan untuk meningkatkan mutu intensifikasi melalui

a. Peningkatan areal yang menggunakan benih bermutu serta peningkatan populasi tanaman

b. Perluasan areal usaha tani yang menerapkan pemupukan berimbang dengan takaran dan waktu yang tepat

c. Peningkatan areal yang menggunakan zat pengatur tumbuh dan pupuk pelengkap air

d. Pemberantasan hama dan penyakit dengan melakukan pengendalian hama terpadu (PHT)

e. Peningkatan mutu sekaligus mempercepat pengolahan tanah untuk menjamin terlaksananya pola dan jadwal tanam yang ditetapkan.

(11)

2.2.2 Konsumsi

Komsumsi adalah kegiatan memanfatkan barang – barang atau jasa – jasa dalam memenuhi kebutuhan hidup. Barang – barang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini tergantung kepada pendapatan yang diperoleh. Pendapatan (Income) dapat dikelompokkan menjadi rendah, menengah, dan tinggi. Pengelompokan ini bersifat sangat relatif karena tergantung besarnya pendapatan nasional per kapita. Barang – barang yang dihasilkan produsen bukan hanya digolongkan menjadi barang mewah (inferior), tetapi dapat juga dibedakan menjadi barang - barang yang dapat memenuhi kebutuhan pokok (basic need), dan barang–barang yang tergolong bukan memenuhi kebutuhan pokok. Termasuk barang–barang untuk memenuhi kebutuhan pokok anatara lain pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan sebagainya. Ini pun relatif, tergantung pada tingkat perkembangan masyarakat (Soeharno, 2006).

Teori Konsumsi Keynes

Menurut John Maynard Keynes, jumlah konsumsi saat ini (current

disposable income) berhubungan langsung dengan pendapatannya. Hubungan

antara kedua variabel tersebut dapat dijelaskan melalui fungsi konsumsi. Fungsi konsumsi menggambarkan tingkat konsumsi pada berbagai tingkat pendapatan.

C = a +bY

Keterangan : C = Konsumsi seluruh rumah tangga (agregat)

a = Konsumsi otonom, yaitu besarnya konsumsi ketika pendapatan nol (merupakan konstanta)

(12)

Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga dalam perekonomian tergantung kepada pendapatan yang diterima oleh mereka. Makin besar pendapatan mereka maka makin besar pula pengeluaran konsumsi mereka. Sifat penting lainnya dari konsumsi rumah tangga adalah hanya sebagian saja dari pendapatan yang mereka terima yang akan digunakan untuk pengeluaran konsumsi. Oleh Keynes perbandingan di antara pengeluaran konsumsi pada suatu tingkat pendapatan tertentu dengan pendapatan itu sendiri dinamakan kecondongan mengkonsumsi.

Apabila kecondongan mengkonsumsi adalah tinggi, bagian dari pendapatan yang digunakan untuk konsumsi adalah tinggi. Dan sebaliknya pula, apabila kecondongan mengkonsumsi adalah rendah, maka makin sedikit pendapatan masyarakat yang akan digunakan untuk konsumsi (Sukirno, 2010).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi

Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga. Faktor-faktor tersebut dapat di kasifikasikan menjadi tiga besar :

a. faktor-faktor ekonomi

b. faktor-faktor Demografi (kependudukan) c. faktor-faktor Non-Ekonomi

A. Faktor-Faktor Ekonomi

1. Pendapatan Rumah Tangga (Household Income)

(13)

tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi makin besar. Atau mungkin juga pola hidup makon konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik. Contoh yang amat sederhana adalah jika pendapatan sang ayah masih sangat rendah, biasanya beras yang dipilih untuk konsumsi juga beras kelas rendah/menengah.

2. Kekayaan Rumah Tangga ( Household Wealth)

Tercakup dalam pengertian kekayaan rumah tangga adalah kekayaan riil (misalnya: rumah,tanah dan mobil) dan financial (deposito berjangka, saham, surat-surat berharga). Kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan disposibel. Misalnya bunga deposito yang diterima tiap bulan dan deviden yang diterimaa setiap tahun menambah pendapatan rumah tangga.

3. Jumlah Barang-Barang Konsumsi Tahan Lama Dalam Masyarakat

Pengeluaran konsumsi masyarakat juga dipengaruhi oleh jumlah barang-barang konsumsi tahan lama (consumers durables). Pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi bisa bersifat positif (menambah) dan negatif (mengurangi). Barang-barang tahan lama biasnya harganya mahal, yang untuk memperolehnya dibutuhkan waktu untuk menabung. Apabila membelinya secara tunai, maka sebelum membeli harus banyak menabung.

4. Tingkat Bunga

(14)

semakin mahal. Bagi mereka yang ingin mengkonsumsi dengan berutang dahulu, misalnya dengan meminjam dari bank atau menggunakan fasilitas kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik mengurangi konsumsi. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan menyimpan uang di bank terasa lebih menguntungkan ketimbang dihabiskan untuk dikonsumsi. Jika tingkat bunga lebih rendah yang terjadi adalah sebaliknya.

5. Perkiraan Tentang Masa Depan (Household expectation about the future)

Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik, mereka akan merasa lebih leluasa untuk melakukan konsumsi. Karenanya pengeluaran konsumsi cenderung meningkat.

B. Faktor-Faktor Demografi

1. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun rata-rata per orang atau keluaraga relatif rendah. Misalnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih rendah daripada penduduk Singapura, tetapi secara absoult tingkat pengeluaran konsumsi Indonesia lebih besar daripada penduduk Singapura. Sebab jumlah penduduk Indonesia lima puluh kali lipat penduduk Singapura (Anonimousa, 2013).

(15)

kesimpulan bahwa rasio kecukupan beras berbanding terbalik dengan kebutuhan beras.

2. Komposisis Penduduk

Komposisi penduduk satu negara dapat dilihat dari beberapa klasifikasi diantaranya : usia (produktif dan tidak produktif), pendidikan (rendah, menengah, tinggi) dan wilayah tinggal ( pekotaan atau pedesaan)

C. Faktor-Faktor Non-Ekonomi

Faktor-faktor ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi adalah faktor sosial-budaya masyarakat. Misalnya, berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dam tata nilai karena ingin meniru kelopmok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat. Tidak mengherankan bila ada rumah tangga yang mengeluarkan uang ratusan juta, bahakan miliarab rupiah, hanya untuk membeli rumah idaman (Anonimousa, 2013).

Tingkat komsumsi pangan penduduk berkaitan dengan prilaku komsumsi masyarakat. Berbagai masalah yang dihadapi dalam komsumsi pangan adalah: 1. Penduduk yang cukup besar.

Dengan penduduk yang terus bertambah beban penyediaan beras untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat akan semakin bertambah berat, terutama dalam kondisi semakin terbatasnya sumber daya alam sebagai basis produksi.

(16)

3. Teknologi pengolahan pangan lokal di masyarakat kurang berkembang dibandingkan teknologi produksi dan kurang bisa mengimbangi semakin membanjirkan produk pangan olahan yang berasal dari pangan impor.

4. Masyarakat pada daerah–daerah tertentu masih mengalami kerawanan pangan secara berulang (kronis) pada musim peceklit, demikian pula sering terjadi kerawanan pangan yang mendadak (transein) pada daerah – daerah yang terkena bencana (Suryana, 2003:94)

Teori Konsumsi Engel

Hukum engel, berbunyi : “semakin besar pendapatan, semakin kecil bagian

pendapatan yang digunakan untuk konsumsi, dan semakin kecil pendapatan semakin besar pula bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi

Gambar 2. Kurva Engel

Kurva Engel menggambarkan hubungan antara pengeluaran total dengan jumlah suatu barang tertentu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dimana

X3 X2 X1

I1 I2 I3 I1 I2 I3

(17)

pendapatan naik. Barang dalam gambar (a) adalah suatu kebutuhan pokok dalam arti bahwa bagian dari pengeluaran yang disediakan oleh X menurun kalau pendapatan naik. Sebaliknya, barang Y pada gambar (b) merupakan barang mewah (Nicholson, 1991).

2.3 Penelitian Sebelumnya

Penelitian Hasyim (2007) yang berjudul “ Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Beras di Sumatera Utara”. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtun waktu (time series) mulai tahun 1987 hingga 2006. Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan dengan metode

Ordinary Least Square (OLS). Alat bantu dalam mengolah sekunder ini adalah

(18)

Nababan (2006) tentang “Analisis Situasi Ketahanan Pangan ” dengan

studi kasus Provinsi Suamtera Utara. Metode yang digunakan adalah metode sampling secara purposive yaitu menentukan daerah dan sampel dipilih berdasarkan pada pertimbangan dan tujuan tertentu. Metode analisis yang digunakan yaitu metode deskriptif. Adapun hasil dari penelitian antara ini adalah jumlah kebutuhan beras sebagai bahan pangan utama di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2000 – 2004 mengalami peningkatan. Kebutuhan rata–rata sebesar 1.654.834 ton dengan tingkat pertumbuhan 1,35 persen per tahun. Jumlah produksi beras di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2000-2004 tersedia untuk memenuhi pangan masyarakat. Produksi beras rata–rata sebesar 2.121.120 ton dimana jumlah ini jauh lebih besar daripada kebutuhan rata–rata pangan sebesar 1.654.834 ton. Faktor–faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan dari sisi penawaran antara lain berkurangnya luas panen, masih rendah tingkat penerapan teknologi, nilai tukar petani yang rendah. Faktor–faktor yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan dari sisi permintaan antara lain tingkat pendapatan riil masyarakat, fluktuasi harga.

Penelitian Harahap yang berjudul “ Analisis Permintaan Beras Di Sumatera Utara”. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel

(19)

(R2) sebesar 0,934 yang berarti bahwa variasi yang terjadi pada harga beras, harga jagung, jumlah penduduk, dan PDRB dapat menjelaskan permintaan beras sebesar 93,4%, secara serempak menunjukkan bahwa dari keseluruhan variabel bebas yaitu harga beras, harga jagung, jumlah penduduk, dan PDRB memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap permintaan beras. Sedangkan secara parsial variabel harga beras berpengaruh negatif, jumlah penduduk berpengaruh positif dan PDRB berpengaruh positif dan dari ketiga variabel tersebut memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap permintaan beras sedangkan variabel lain yaitu harga jagung berpengaruh positif dan menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap permintaan beras.

Penelitian Muttaqin dan Drajat yang berjudul “ Konsumsi, Kebutuhan, dan

Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002-2007”, dengan data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi data konsumsi beras rumah tangga tahun 2002 – 2007, data konsumsi beras pemerintah, yaitu data penyaluran/ realisasi beras

(20)

2002 dan 2005 masih mengalami defisit. Ketersediaan beras dalam negeri baru mengalami surplus pada tahun 2007, yaitu sebesar 5.9 persen.

Penelitian Afrianto (2010) yang berjudul “Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Penen, Rata-Rata Produksi, Harga Beras dan Jumlah Konsumsi Beras terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah ”, menggunakan rasio ketersediaan

beras sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah stok beras, luas panen, rata-rata produksi, harga beras eceran, dan jumlah konsumsi beras. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data panel dengan membandingkan prilaku ketersediaan beras di tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah. Dari hasil analisis regresi diketahui bahwa stok beras berpengaruh positif namun tidak signifikan tehadap rasio ketersediaan beras, luas panen dan rata-rata produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, sedangkan harga beras berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, dan jumlah konsumsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras. Berdasarkan hasil analisis didapatkan temuan bahwa 22 kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan ketahanan pangan yang lebih baik dari kabupaten Sukoharjo yang menjadi benchmark dalam penelitian ini, sementara sisanya 12 kabupaten/kota di Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ketahanan pangan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kabupaten Sukoharjo.

(21)

Penelitian ini menggunakan data runtun waktu (time series) tahun 2004 – 2010. Data yang dikumpulkan adalah data per semester. Analisis data yang dilakukan dengan analisis deksriptif dan analisis kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian bahwa variabel luas areal irigasi dan harga pupuk urea berpengaruh positif sedangkan harga gabah di tingkat petani dan curah hujan daerah setempat berpengaruh negatif. Secara parsial, hanya variabel luas areal irigasi yang berpengaruh signifkan terhadap luas areal panen di Kabupaten Deli Serdang. Pada persamaan komsumsi beras, variabel pandapatan perkapita dan harga beras berpengaruh signifikan terhadap komsumsi beras di kabupaten deli Serdang. Pada persamaan harga eceran beras, variabel jumlah komsumsi beras dan lag harga eceran beras berpengaruh positif sedangkan lag jumlah produksi beras berpengaruh negatif. Hanya variabel komsumsi beras yang berpengaruh nyata, sedangkan yang lainnya tidak berpengaruh nyata.

2.4 Kerangka Pemikiran

Beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat Indonesia khususnya di Sumatera Utara, memegang peranan penting dalam menyokong terwujudnya kecukupan beras nasional. Oleh karena itu, rasio kecukupan beras yang digambarkan sebagai perbandingan jumlah ketersediaan beras dengan jumlah kebutuhan beras, harus dapat dijamin oleh pemerintah sehingga ketahanan pangan dapat diwujudkan.

(22)

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada gambar 2.1 yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh harga beras, luas panen padi, produksi jagung, jumlah penduduk, dan pendapatan regionsl per kapita Sumatera Utara terhadap rasio kecukupan beras di Sumatera Utara.

Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

= menyatakan pengaruh = menyatakan hubungan

Ketersediaan Beras Kebutuhan Beras

Rasio Kecukupan Beras

Faktor-faktor yang mempengaruhi rasio kecukupan beras:

1. Harga beras 2. Jumlah penduduk 3. Harga jagung 4. Produksi jagung

(23)

2.5 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Harga beras berpengaruh negatif terhadap rasio kecukupan beras 2. Luas panen padi berpengaruh positif terhadap rasio kecukupan beras 3. Jumlah penduduk berpengaruh negatif terhadap rasio kecukupan beras 4. Produksi jagung berpengaruh negatif terhadap rasio kecukupan beras

Gambar

Gambar 2. Kurva Engel
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2016 sampai dengan Oktober 2016 bertempat di PT. Perkebunan Nusantara VIII Kebun Gedeh, Desa Sukamulya, Kecamatan

Studi Eksperimen ini dilakukan dilaboratorium dengan membuat sejumlah benda uji untuk ditest sehingga didapat data-data yang diperlukan, setelah data-data tersebut

Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik responden yang me- rupakan faktor – faktor risiko ter- jadinya postpartum blues yaitu umur, paritas, pendidikan,

Untuk mengetahui perubahan gugus fungsi yang terjadi selama sintesis selulosa xanthat, maka dilakukan karakterisasi FTIR pada raw material (ampas tebu), selulosa hasil

Untuk menggambarkan rekaman trend fluktuasi suhu udara di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan yang terjadi selama kurun waktu 30 tahun terakhir dari Tahun 1980 – 2009..

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, kulit manggis memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan karbon berpori dengan luas permukaan

Desa Kampung Beru Kecamatan Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar merupakan daerah yang 10% lahannya ditanami tebu dan masyarakatnya adalah petani tebu, ini