% % % (
) $ % * + % #
$ , $
- % $ % %
, %
- %
-% % %
+ + % . #
$
/ 00 1 - / 00
-/
00 - %
( %
- - % . .# 2
% %
$ 3
4 5 % 6 * 4 5
% #% $ 5 4 5 % * 7 % #%
yang mencakup penempatan secara dengan 3 sampai 3,5 mm (Jackson
dan Morgan, 2000).
Desain kavitas Kelas II konvensional berbentuk dan bahan restorasi resin
komposit tidak selalu kompatibel sehingga saat ini telah diperkenalkan desain Kelas
II yang telah dimodifikasi untuk restorasi resin komposit sesuai dengan prinsip
. Teknik preparasi kavitas ini mirip dengan teknik preparasi
kavitas Kelas III anterior dan terbatas pada pembuangan jaringan karies, perluasan
yang tepat untuk pemeriksaan, penempatan, dan bahan resin komposit
(Nordbo dkk., 1993).
Resin komposit merupakan bahan tambalan sewarna gigi yang digunakan
hampir pada semua jenis restorasi (Roberson dkk., 2009). Resin komposit berasal dari
bahan komposit polimer yang sering digunakan sebagai bahan restorasi kedokteran
gigi pada gigi,gigi anterior dan posterior (Walmsley dkk., 2007; Hatrick dkk., 2011).
Resin komposit terdiri atas matriks resin organik, partikel anorganik, bahan
silane, sistem aktivator,inisiator, dan , dan
(Garcia dkk., 2006; Shawkat, 2009; Hatrick dkk., 2011).
Matriks resin organik yang paling sering digunakan adalah
(Bis,GMA), yang dihasilkan dari reaksi antara
dengan (Garcia dkk., 2006; Shawkat, 2009; Hatrick dkk.,
2011). Bis,GMA mempunyai dua gugus hidroksil untuk meningkatkan viskositas
sehingga dapat berpolimerisasi menjadi polimer berikatan ganda dan memiliki dua
cincin karbon aromatik untuk menambah berat molekul dan kekakuan (Gambar 2.1)
0 mbar 2.1 Struktur kimia resin komposit matriks resin Bis,GMA (Albers, 2002)
Matriks resin yang sering ditambahkan pada bis,GMA adalah
(TEGDMA) (Garcia dkk., 2006; Shawkat, 2009; Hatrick dkk., 2011).
Struktur kimia TEGDMA memiliki sifat mekanis yang lebih rendah daripada bis,
GMA (Gambar 2.2) (Powers dan Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009).
Gambar 2.2 Struktur kimia resin komposit matriks resin TEGDMA (Albers, 2002)
Matriks resin lainnya yaitu (UDMA) biasanya digunakan
sebagai matriks resin tambahan atau pengganti Bis,GMA (Shawkat, 2009; Hatrick
dkk., 2011). Struktur kimia UDMA memiliki gugus yang memberikan
kekuatan dan kekerasan pada polimer serta sifat penyerapan air yang rendah (Gambar
Gambar 2.3 Struktur kimia resin komposit matriks resin UDMA (Albers, 2002)
Partikel filler umumnya dihasilkan dari penggilingan atau pengolahan kuarsa
untuk menghasilkan partikel berukuran 0,1,100 µm. Partikel anorganik
umumnya membentuk 30,70% volume dan 50,85% berat komposit (Anusavice,
2003).
Fungsi utama bahan adalah sebagai fasilitator ikatan antara matriks
resin dan partikel (Shawkat, 2009; Garg dan Garg, 2010; Hatrick dkk., 2011).
Bahan yang sering digunakan adalah (3,
) (Powers dan Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009).
Gambar 2.4 3, (Powers dan Sakaguchi, 2006)
! " # $
Fotoinisiator yang sering digunakan adalah gugus seperti
(CQ) yang menyerap cahaya tampak berwarna biru dengan panjang
gelombang antara 400,500 nm dan yang paling optimal sekitar 465 nm (Powers dan
Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009; Garg dan Garg, 2010). yang
dihubungkan dengan aktivator yaitu seperti
(DMAEMA) (Gambar 2.5) akan menghasilkan
radikal bebas sehingga dapat menginisiasi proses polimerisasi (Powers dan
Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009).
Gambar 2.5 Skema peranan CQ dan DMAEMA dalam polimerisasi radikal bebas resin komposit (Shawkat, 2009)
% #
dan memiliki struktur kimia seperti yaitu 4,
(MEHQ) dan 2,6, , , ,4, atau
(BHT) yang berfungsi untuk mencegah terjadinya polimerisasi yang
terlalu dini (Shawkat, 2009).
&
dan digunakan untuk mengubah dan memodifikasi warna
visual ( ) dan translusensi bahan komposit menjadi kombinasi yang lebih baik
sebagai bahan restorasi yang menyerupai warna gigi. Bahan yang sering digunakan
untuk meningkatkan opaksitas adalah titanium dioksida dan alumunium oksida dalam
jumlah kecil antara 0,001,0,007% berat (Shawkat, 2009). Selain itu bahan lain yang
dapat digunakan adalah magnesium, tembaga dan besi oksida yang menyediakan
berbagai variasi warna (Anusavice, 2003; Shawkat, 2009).
'
#
Pada tahun 1988, Marshall mengklasifikasikan resin komposit berdasarkan
jumlah dan ukuran partikel . Jumlah dilihat dari segi berat dan volume,
sedangkan ukuran partikel ditetapkan dengan satuan µm.
Resin komposit merupakan generasi pertama dan menggunakan
partikel bahan pengisi ( ) yang relatif besar yaitu dengan ukuran antara 10,100
mikron (µm) dan banyaknya bahan pengisi umumnya 75,80% berat atau 60,65%
volume (Garcia dkk., 2006; Roberson dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011). Bahan pengisi
yang sering digunakan adalah quartz giling, , yang
mengandung (Albers, 2002; Anusavice, 2003; Roberson dkk., 2009). Resin
komposit umumnya lebih kuat daripada resin komposit yang memiliki
partikel bahan pengisi ( ) dengan ukuran kecil (Hatrick dkk., 2011). Tetapi
partikelnya yang besar dapat membuat komposit sulit untuk di, sehingga resin
komposit memiliki permukaan yang kasar (Albers, 2002; Roberson dkk., 2009;
Hatrick dkk., 2011).
# '
Resin komposit midifiller adalah resin yang partikelnya berukuran antara 1,10
µm (Hatrick dkk., 2011).
'
Resin komposit memiliki ciri khas, yaitu partikel bahan pengisi
( ) yang besar tidak tersebar secara merata (Albers, 2002). Selain itu, resin
komposit secara relatif diisi dengan partikel bahan pengisi ( ) anorganik
yang sangat kecil dengan ukuran partikel <0,1,1 µm (Albers, 2002; Hatrick dkk.,
!
Resin komposit memiliki partikel bahan pengisi ( ) yang lebih
kecil daripada resin komposit yaitu silika koidal yang memiliki ukuran
partikel antara 0,03,0,5 µm dengan diameter rata,rata 0,04 µm dan banyaknya bahan
pengisi umumnya 35,60% berat atau 35,50% volume (Garcia dkk., 2006; Roberson
dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011). Partikel yang berkurang ukurannya pada resin
komposit menunjukkan sifat fisis dan mekanis yang rendah (Roberson
dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011). Selain itu, ikatan antara partikel komposit dan
matriks resin organik lemah sehingga menyebabkan terjadinya
polimerisasi, penyerapan air, dan (Powers dan Sakaguchi, 2006;
Roberson dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011).
% ( ) #
Resin komposit hibrid menggabungkan sifat fisis dan mekanis resin komposit
dengan permukaan halus (Albers, 2002; Roberson dkk., 2009).
Resin komposit hibrid memiliki ukuran partikel antara 0,1,3 µm dan banyaknya
bahan pengisi 75,80% berat (Roberson dkk., 2009; Garg dan Garg, 2010; Hatrick
dkk, 2011). Kombinasi kedua resin komposit menghasilkan resin komposit yang
kuat dan dapat di, dengan baik (Hatrick dkk., 2011). Resin komposit hibrid
dapat digunakan pada gigi anterior dan posterior, yang minimal,
penyerapan air sedikit, derajat dan translusensi yang berbeda (Anusavice,
2003; Garcia dkk., 2006).
&
Resin komposit mengandung partikel yang sangat kecil yaitu
antara 0,005,0,01 µm. Partikel yang kecil dengan mudah berkumpul
membentuk barisan yang tersusun penuh sehingga menghasilkan sifat fisis yang
* ) #
Resin komposit nanohibrid merupakan resin komposit yang kuat dan bisa di,
menjadi sangat berkilau dan kilauannya lebih baik daripada resin komposit
yang sebelumnya. Resin komposit nanohibrid memiliki ukuran partikel 0,005,0,02
µm sehingga dapat mengurangi tingkat kekasaran permukaan sampai 1% (Hatrick
dkk., 2011).
#
Resin komposit adalah resin yang memiliki kelekatan permukaan
yang rendah dan viskositas tinggi karena mengandung partikel bahan pengisi ( )
dengan volume yang tinggi, yaitu sekitar 70% (Powers dan Sakaguchi, 2006;
Roberson dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011). Karakteristik tersebut menyebabkan
konsistensi resin yang kaku, lebih kuat, yang rendah, radiopasitas, dan
lebih tahan terhadap pemakaian (3,5 µm/tahun). Resin komposit digunakan
untuk restorasi gigi posterior, yaitu kelas I dan II (Powers dan Sakaguchi, 2006;
Roberson dkk., 2009).Penggunaan extra sistem adhesif atau resin komposit
selapis tipis pada preparasi dinding kavitas dapat meningkatkan adaptasi dan
perlekatan resin komposit (Albers, 2002).
Resin komposit mengandung resin dan partikel
anorganik dengan ukuran partikel 0,4,3,0 µm dan banyaknya bahan pengisi lebih
rendah daripada resin komposit lainnya, yaitu 34,68% volume (Garcia dkk., 2006;
Burgess dan Cakir, 2011). Partikel anorganik yang sering digunakan adalah
partikel hibrid dan (Hatrick dkk., 2011). Resin komposit memiliki
viskositas rendah sehingga bisa beradaptasi dengan baik, yaitu menghasilkan ikatan
yang rapat dengan dasar dan dinding kavitas, serta mengalir masuk ke dalam bagian
2011). Selain itu, resin komposit memiliki beberapa kelebihan seperti
kemampuan membasahi permukaan gigi, memastikan penetrasi ke dalam setiap
iregularitas, membentuk lapisan dengan ketebalan minimal, memperbaiki dan
mengeliminasi udara yang masuk, , tersedia dalam berbagai warna
dan fleksibilitas tinggi (Garcia dkk., 2006). Resin komposit diindikasikan
untuk restorasi kelas I, II, V, dan , bahan reparasi batas tepi
restorasi, dan lebih sering digunakan sebagai dibawah resin komposit hibrid dan
(Roberson dkk., 2009; Burgess dan Cakir, 2011; Hatrick, 2011).Perbedaan
sifat fisis dan mekanis antara resin komposit dan (Tabel 1)
menghasilkan perbedaan kualitas penggunaan bahan restorasi (Powers dan
Sakaguchi, 2006).
Tabel 1. Perbandingan sifat fisis dan mekanis antara resin komposit dan resin komposit
(Powers dan Sakaguchi, 2006).
Sifat Resin Komposit Resin Komposit
!
Kekuatan fleksural (MPa) 85,110 70,120
Modulus fleksural (GPa) 9,0,12 2,6,5,6
# + $
Resin komposit merupakan resin yang diaktivasi secara kimia
(Anusavice, 2003; Hatrick dkk., 2011). Bahan yang diaktifkan secara kimia
mengandung inisiator benzoil peroksida dan aktivator amin tersier (N,N dimetil,p,
toluidin) (Anusavice, 2003; Garg dan Garg, 2010; Hatrick dkk., 2011).Apabila kedua
pasta diaduk, amin bereaksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal
bebas dan polimerisasi tambahan dimulai (Anusavice, 2003; Hatrick dkk., 2011).
Resin komposit mempunyai 1,1,5 menit dan 4,5
menit (Powers dan Sakaguchi, 2006). Bahan tersebut biasanya digunakan untuk
restorasi dan pembuatan inti yang pengerasannya tidak dengan sumber sinar
(Anusavice, 2003).
Sistem pertama yang diaktifkan dengan menggunakan sinar adalah sinar ultra
violet untuk merangsang radikal bebas (Anusavice, 2003). Sistem ini mulai
diperkenalkan pada akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970 (Garg dan Garg, 2010).
Namun, masa sekarang ini resin komposit yang diaktifkan dengan sinar ultra violet
telah digantikan dengan sinar yang dapat dilihat dengan mata pada akhir tahun 1970
dan secara nyata meningkatkan kemampuan polimerisasi lapisan sehingga mencapai
ketebalan 2 mm (Powers dan Sakaguchi, 2006; Garg dan Garg, 2010; Hatrick dkk.,
2011). Waktu dan kedalaman tergantung pada intensitas, panjang gelombang
dan penetrasi sinar (Powers dan Sakaguchi, 2006). Tetapi waktu penyinaran tidak
boleh kurang dari 40,60 detik dan ketebalan resin kurang dari 2,0,2,5 mm. Resin
komposit lebih sering digunakan daripada resin komposit
karena memiliki beberapa kelebihan. Resin komposit terdiri atas pasta
tunggal dalam suatu semprit. Radikal bebas sebagai pemicu reaksi terdiri atas
molekul fotoinisiator dan aktivator amin yang terdapat dalam pasta. Pemaparan
fotoinsiator berinteraksi dengan amin untuk membentuk radikal bebas yang
mengawali polimerisasi tambahan (Anusavice, 2003). Polimerisasi yang baik untuk
mendapatkan stabilitas warna, estetis, sifat fisis dan biologis, serta kinerja klinisnya
(Powers dan Sakaguchi, 2006; Hatrick dkk., 2011).
Resin komposit terdiri atas dua pasta yang mengandung
akselerator kimia dan aktivator sinar). Mekanisme aktivasi diperlukan
ketika bagian,bagian komposit tidak dapat diakses oleh sinar seperti bagian di bawah
restorasi yang (Powers dan Sakaguchi, 2006).Kelebihan penggunaan resin
komposit adalah ketika dua pasta diaduk bersama dan ditempatkan pada
gigi, sinar digunakan untuk mengawali reaksi dan kemudian
dilanjutkan dengan reaksi kimia pada area yang tidak terjangkau oleh sinar
untuk memastikan pengaturan yang tepat (Powers dan Sakaguchi, 2006; Hatrick dkk.,
2011). Proses ini sangat membantu dalam mem, gigi yang telah
dirawat endodontik dan dalam menaruh materi inti komposit setengah jalan ke dalam
ruang kanal. " mungkin tidak mencapai materi di dalam kanal, tetapi
materi komposit akan mengeras sendirinya secara kimiawi (Hatrick dkk., 2011).
Polimerisasi adalah reaksi kimia yang terjadi ketika monomer,monomer resin
dengan berat molekul rendah bergabung untuk membentuk rantai panjang yaitu
polimer yang memiliki berat molekul tinggi (Hatrick dkk., 2011). Aktivasi proses
polimerisasi resin komposit dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu kimia, sinar,
kimia dan sinar (Powers dan Sakaguchi, 2006; Hatrick dkk., 2011). Proses
polimerisasi dimulai oleh aktivator (kimia atau sinar) yang menyebabkan molekul
inisiator membentuk radikal bebas (pengisian molekul yang memiliki elektron tidak
Monomer (bis,GMA) mempunyai gugus fungsional dengan
karbon ikatan ganda (C=C) (Hatrick dkk., 2011). Persentasi ikatan ganda bereaksi
dari 35,80% (Powers dan Sakaguchi, 2006). Radikal bebas memecah salah satu
karbon ikatan ganda membentuk ikatan tunggal dan radikal bebas lainnya (Gambar
2.6) (Albers, 2002). Radikal bebas tersebut bisa bisa menyebabkan reaksi yang sama
dengan monomer lainnya untuk menambah rantai polimer (polimerisasi adisi).
Monomer,monomer yang bergabung satu sama lain menjadi rantai menyebabkan
volume resin berkurang sehingga hasil akhir akan mengalami (Hatrick
dkk., 2011).
Rantai polimer mempunyai kelompok kecil atom yang tidak bergantung pada
sebelah sisi. Kelompok tersebut yang rantai polimernya berdekatan akan
menyebarkan elektron dan membentuk ikatan kovalen yang menghubungkan
kumpulan rantai ( ). polimerisasi menghasilkan kekuatan
tinggi, bahan menjadi lebih kaku daripada rantai polimer tunggal (Hatrick dkk.,
Gambar 2.6 Reaksi rantai suatu radikal bebas pada tahapan proses polimerisasi (Albers, 2002)
Resin komposit cenderung mengalami dan saat proses
polimerisasi. polimerisasi timbul ketika resin komposit disinar dalam kondisi
yang berikatan dan polimerisasi akan menghasilkan suatu gaya di dalam
dinding kavitas. Struktur gigi yang kaku dapat bertahan dari gaya ini, namun adanya
tarikan dapat menyebabkan terbentuknya celah pada tepi restorasi atau kerusakan
struktur gigi yang sehat oleh deformasi. yang timbul akibat
polimerisasi tersebut dapat mengganggu perlekatan resin komposit dengan kavitas
Gambar 2.7 polimerisasi menghasilkan celah di antara bahan restorasi dan permukaan gigi (Garg dan Garg, 2010)
# '
Secara terminologi, adhesi adalah proses perlekatan dari suatu substansi ke
substansi yang lain. Permukaan atau substansi yang berlekatan disebut .
Adhesif adalah bahan yang biasanya berupa zat cair yang kental yang
menggabungkan dua substansi hingga mengeras dan mampu memindahkan suatu
kekuatan dari suatu permukaan ke permukaan yang lain. Bahan perekat atau
adalah bahan yang bila diaplikasikan pada permukaan suatu benda dapat
melekat, dapat bertahan dari pemisahan dan dapat menyebarluaskan beban melalui
perlekatannya (Gambar 2.8) (Perdigao dan Swift, 2009).
Faktor yang efektif untuk membentuk perlekatan yang baik adalah permukaan
yang bersih, kekasaran permukaan, sudut kontak, kelembaban yang sesuai, viskositas
yang rendah dan daya alir yang kuat. Penurunan integritas adhesi marginal dapat
menyebabkan celah mikro, sensitivitas pasca restorasi, lepasnya restorasi, patologi
Gambar 2.8 Definisi terminologi sistem adhesif (Perdigao dan Swift, 2009)
Van Meerbeek dkk. mengklasifikasikan sistem adhesif menjadi dua bagian
besar (Gambar 2.9) yaitu dan dengan subklasifikasi sebagai berikut
(Meena dan Jain, 2011) :
Gambar 2.9 Klasifikasi mekanisme sistem adhesif (Meena dan Jain, 2011)
ZAT PADAT
ZAT PADAT
ZAT PADAT ATAU ZAT CAIR
ZAT PADAT
INTERFACE
INTERFACE ADHESIF
ADHEREND
ADHESI
# ' ! " ,# )- ) # .
a. #
Sistem adhesif mulai diperkenalkan pada awal tahun
1990 sebagai suatu perubahan baru dalam sistem adhesif kedokteran gigi.
Pada saat dentin dietsa dengan asam fosfor dan kemudian dibilas,
hidrofilik digunakan sebelum diaplikasikan pada lapisan yang sama dengan
resin hidrofobik untuk menyempurnakan hibridisasi (Deliperi dkk., 2007).
b. #
Sistem adhesif mulai diperkenalkan pada akhir tahun 1990
(Deliperi dkk., 2007). Fase etsa dan yang terpisah masih menjadi suatu
masalah tetapi hidrofilik dan resin hidrofobik dikombinasikan menjadi
satu aplikasi (Gambar 2.10) (Meena dan Jain, 2011).
Gambar 2.10 Mekanisme sistem adhesif (Meena dan Jain, 2011)
# '
a. #
Sistem adhesif mulai diperkenalkan pada akhir tahun 1990
menghasilkan pembentukan dan lapisan hibrid yang kurang terlihat
jelas dan yang lebih tipis daripada sistem adhesif (Deliperi dkk.,
2007).
Gambar 2.11 Mekanisme sistem adhesif (Meena dan Jain, 2011)
b. $
Sistem adhesif mengkombinasikan dan
resin hidrofobik menjadi satu aplikasi sehingga sering disebut sistem adhesif
(Gambar 2.12) (Meena dan Jain, 2011). Sistem adhesif
memiliki keasaman yang sedang atau kuat (pH ≤ 1) (Deliperi dkk.,
Gambar 2.12 Mekanisme sistem adhesif (Meena dan Jain, 2011)
% $ #
Email adalah jaringan keras gigi yang termineralisasi tinggi dan terdiri dari
90% volume hidroksiapatit (Perdigao dan Swift, 2009). % terhadap email
terjadi melalui retensi mikromekanis setelah etsa asam digunakan untuk
menghilangkan dan terutama untuk melarutkan kristal hidroksiapatit
pada permukaan luar di antara permukaan lainnya (Powers dan Sakaguchi, 2006).
Etsa asam mengubah permukaan email yang halus menjadi sebuah permukaan yang
tidak beraturan dan meningkatkan energi permukaan. Ketika bahan cairan resin
diaplikasikan pada permukaan teretsa yang tidak beraturan tersebut, resin akan
berpenetrasi ke dalam permukaan dengan adanya aksi kapiler.Monomer terkandung
dalam bahan berpolimerisasi dan bahan menjadi terkunci satu sama lain dengan
permukaan email (Perdigao dan Swift, 2009).Sifat yang stabil terhadap
asam menyebabkan keberadaan email tidak menimbulkan kendala pada
yang melibatkan penggunaan etsa asam (Eliades dkk., 2005). Mekanisme
dasar dari perlekatan resin,email adalah pembentukan didalam permukaan
email (Gambar 2.13). & yang terbentuk di sekitar , yaitu di
antara prisma,prisma email disebut dengan dan jaringan halus dari
hidroksiapatit disebut dengan (Bayne dan Thompson, 2009; Perdigao dan
Swift, 2009; Garg dan Garg, 2010).
Gambar 2.13 Pembentukan dan ketika bahan diaplikasikan ke
permukaan gigi teretsa (Garg dan Garg, 2010)
% $ # /
Dentin mempunyai hambatan besar terhadap ikatan perlekatan dibandingkan
email, karena dentin adalah jaringan hidup (Anusavice, 2003). Dentin bersifat
heterogen dan terdiri atas bahan anorganik (hidroksiapatit) 50% volume, bahan
organik (khususnya kolagen tipe I) 30% volume, cairan 20% volume. Perbedaan
signifikan antara email dengan dentin adalah dentin mengandung lebih banyak air dan
sangat hidrofilik (Anusavice, 2003; Powers dan Sakaguchi, 2006). Oleh karena itu,
mempunyai komponen hidrofilik untuk menggeser cairan dentin dan juga
membasahi permukaan, memungkinkan berpenetrasi menembus pori di dalam dentin
dan akhirnya bereaksi dengan komponen organik atau anorganik serta menghasilkan
untuk adhesi mikromekanis (Anusavice, 2003).
% dentin terdiri atas tiga proses perlakuan yang berbeda, yaitu proses
etsa (kondisioner), pemberian dan (Powers dan Sakaguchi,
2006). Untuk penetrasi bahan priming secara optimal ke dalam dentin yang
mengalami demineralisasi, permukaan dentin harus dijaga tetap lembab ( ) agar
. Kolagen merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
terhadap dentin. Dengan mengetsa dentin, dan mineral hilang dari
struktur dentin sehingga serat,serat kolagen terpapar (Garg dan Garg, 2010). Saat
komponen mineral hidroksiapatit sebagai lapisan terluar dentin dihilangkan, dentin
mengandung sekitar 50% ruangan kosong dan sisanya sekitar 20% air (Powers dan
Sakaguchi, 2006). Air menjaga kolagen tetap berada dalam keadaan lembut sehingga
ruang untuk infiltrasi juga terjaga. Serat,serat kolagen ini akan kolaps apabila kering
dan jika matriks organik mengalami denaturasi. Hal ini akan menghambat resin
mencapai permukaan dentin dan menghambat pembentukan lapisan hibrid (Garg dan
Garg, 2010). dapat mengurangi permeabilitas dentin dan sangat
membantu bahan yang bersifat hidrofobik dan menutupi tubulus dentin
(Gambar 2.14) (Albers, 2002).
Gambar 2.14 SEM ( ' ( )
pada dentin (Albers, 2002)
Selain itu juga melekat ke permukaan dentin dan mengandung
potongan gigi, saliva, bakteri dan debris pada permukaan lainnya (Gambar 2.15)
0 mbar 2.15 Diagram skematik yang menunjukkan histologi permukaan
dentin dengan perlekatan (Albers, 2002)
Faktor yang mempengaruhi perlekatan dentin,resin yang buruk, yaitu
(Baroudi dkk., 2007) :
1. Dentin adalah substrat yang bervariasi secara ekstrim dan berubah sepanjang
waktu.
2. Dentin memiliki tingkat kalsifikasi yang bervariasi (lebih atau kurang sklerotik)
dan perubahannya tergantung pada kedalaman dan sudut preparasi.
3. Perubahan struktural pada dentin yang dekat dengan pulpa membuat bahan
adhesif lebih sulit untuk dilekatkan pada area tersebut.
4. Kesulitan untuk menghindari kontaminasi dentin yang dekat sulkus oleh cairan
gingiva.
5. polimerisasi dapat melebihi kekuatan perlekatan dan menghasilkan
celah/kebocoran tepi.
6. Bahan dentin dapat menebal, karena evaporasi dari pelarut, mengurangi
penetrasi dan kekuatan .
3 ,K ) 0 .
Celah yang terbentuk antara resin komposit dengan kavitas restorasi akibat
polimerisasi disebut (kebocoran mikro). Kebocoran mikro
adalah jalan masuk bakteri, cairan, molekul atau ion di antara dinding kavitas dengan
pada permukaan dentin Gigi yang telah dipreparasi
bahan restorasi, yang tidak terdeteksi secara klinis (Kidd, 1976). Secara klinis,
kebocoran mikro dapat mengakibatkan pewarnaan di sekitar tepi restorasi, sensitivitas
pasca,operatif, karies sekunder, kegagalan restorasi, patologi pulpa atau kematian
pulpa, kehilangan sebagian atau keseluruhan restorasi (Eich dan Welch, 1986; Krejci
dan Lutz, 1991). Resin komposit modern mengalami kontraksi volumetrik berkisar
antara 2,6,4,8% (Losche, 1999). Bahkan apabila bahan adhesif dentin modern
menunjukkan kekuatan adhesif terhadap dentin lebih besar daripada 20 MPa
(melebihi kontraksi yang dihasilkan polimerisasi sebesar 13,17 MPa),
total gaya kontraksi dapat lebih besar daripada kekuatan adhesif sehingga
mengakibatkan terbentuknya kebocoran mikro (Eick dkk., 1997).
Faktor C ( ) ) juga berperan penting dalam
menentukan besarnya . Faktor C didefinisikan sebagai rasio antara
permukaan kavitas yang di, dengan yang tidak di, . Meningkatnya
rasio ini juga meningkatkan akibat shrinkage polimerisasi (Feilzer dkk., 1987).
Salah satu masalah paling besar pada restorasi resin komposit Kelas II adalah
kebocoran mikro pada tepi gingival dari proksimal. Hal ini berhubungan dengan
tidak adanya email pada tepi gingival, yang mengakibatkan substrat sementum,dentin
yang kurang stabil untuk proses (Carvalho dkk., 1996). Cagidiaco dkk.
menunjukkan adanya lapisan luar yang terbentuk sebagian oleh sementum yang
berada di bawah * yang tidak memungkinkan retensi
mikromekanis oleh bahan adhesif (Cagidiaco dkk., 1995). Selain itu, orientasi tubulus
dentin dapat berpengaruh negatif terhadap kualitas hibridisasi dan memungkinkan
kebocoran pada restorasi resin komposit yang ditempatkan pada interproksimal
yang dalam (Schupbach dkk., 1990). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa fraktur
mikro email dapat terjadi di sepanjang tepi restorasi segera setelah polimerisasi resin
komposit yang di, pada email yang di,etsa dan mengakibatkan kebocoran
mikro pada daerah tersebut (Han dkk., 1990).
Faktor penyebab lainnya adalah koefisien ekspansi termal (Yazici dkk., 2003).
besar daripada koefisien ekspansi termal email (11,4 ppm/°C) dan koefisien ekspansi
termal dentin (8 ppm/°C) (McCabe dan Walls, 1998). Penelitian menunjukkan bahwa
sifat fisik ini juga menyebabkan kebocoran mikro pada restorasi resin komposit
(Feilzer dkk., 1988). Selain itu, pergerakan mikro restorasi sepanjang dinding kavitas
sebagai akibat ketidakcocokan modulus elastisitas antara gigi dan resin komposit
dapat berkontribusi pada kegagalan perlekatan mekanis sehingga menyebabkan
kebocoran mikro (Lundin dan Noren, 1991).
! / $
Faktor lain penyebab kegagalan restorasi Kelas II resin komposit adalah
kurangnya pemahaman dan keterampilan operator atau dokter gigi dalam membuat
suatu desain kavitas yang tepat, khususnya pada daerah (Widjaja,
1999). Beberapa peneliti telah menggunakan bermacam,macam desain kavitas Kelas
II, mulai dari variasi desain kavitas preparasi Kelas II amalgam yang meluas melalui
oklusal seperti yang digambarkan oleh GV Black (Ben,Amar dkk., 1987),
desain kavitas berbentuk (hanya proksimal) (Summitt dkk., 1994), sampai ke
desain kavitas dengan preparasi minimal berbentuk (Nordbo dkk., 1993).
! / $ - - 1 # , 23*.
Ben,Amar dkk. (1987) menjelaskan prinsip,prinsip desain kavitas restorasi
Kelas II resin komposit yang harus berbeda dengan desain kavitas restorasi amalgam
dalam hal sebagai berikut :
1. Bentuk oklusal harus lebih sempit dan kedalaman kavitas harus lebih dangkal
(Gambar 2.16)
2. Perluasan proksimal (fasial dan lingual) harus ditempatkan pada daerah yang
dapat dilihat, diperiksa, dan di,
3. Garis sudut internal harus dibulatkan dan retensi ditempatkan pada
garis sudut proksimal (aksiofasial dan aksiolingual) dan dinding gingival
4. Bevel direkomendasikan untuk margin proksimal, tetapi tidak untuk margin
oklusal (Gambar 2.18)
Gambar 2.16 Bentuk oklusal pada preparasi kavitas Kelas II gigi molar mandibula.
A. Desain kavitas untuk restorasi amalgam; B. Desain kavitas untuk
resin komposit (Ben,Amar dkk.,1987)
Gambar 2.17 Dinding gingival preparasi kavitas Kelas II resin komposit.
+ retensi ditempatkan pada dentin dan tepi email
di, (Ben,Amar dkk.,1987)
Gambar 2.18 Pandangan proksimal preparasi Kelas II resin komposit (Ben,Amar dkk.,1987)
! / $ - - - # , 22!.
Summitt dkk. (1994) dalam penelitiannya membuat empat macam desain
kavitas Kelas II resin komposit untuk mengevaluasi beban yang diaplikasikan pada
marginal ridge masing,masing desain kavitas (Gambar 2.19), antara lain :
1. Desain kavitas mesio,oklusal dengan perluasan melalui oklusal sampai
fossa sentral
2. Desain kavitas mesio,oklusal (sedikit meluas ke dinding bukal dan
lingual, tegak lurus dengan permukaan gigi bagian luar) dan dengan
retensi pada , garis sudut aksiobukal dan aksiolingual.
3. Desain kavitas mesio,oklusal seperti No. 2, tetapi tanpa retensi
4. Desain kavitas ,mesio,oklusal tanpa membuang email bagian bukal dan
lingual dan tanpa retensi
Gambar 2.19 Desain kavitas Kelas II resin komposit : a. Perluasan melalui oklusal,
b. dengan retensi, c. tanpa retensi,
d. tanpa membuang email pada daerah proksimal dan tanpa retensi (Summitt dkk., 1994)
Hasilnya, rata,rata kegagalan yang terjadi pada kavitas kelompok 1 dan 2
tidak mempunyai perbedaan yang bermakna, dan lebih resisten terhadap terjadinya
rata,rata kegagalan restorasi antara desain kavitas pada kelompok 3 dan 4 tidak
bermakna. Kegagalan restorasi pada marginal ridge dalam restorasi Kelas II resin
komposit yang diperluas melalui oklusal sampai ke fossa sentral tidak
bermakna lebih besar daripada rata,rata kegagalan yang terjadi pada restorasi bentuk
proksimal dengan retensi, namun restorasi bentuk dengan
retensi lebih resisten terhadap terjadinya kegagalan restorasi daripada bentuk
proksimal tanpa retensi (Summitt dkk., 1994).
Pada kavitas yang diperluas melalui oklusal sampai ke fossa sentral,
kegagalan restorasi terjadi berupa fraktur bahan resin komposit pada daerah isthmus,
yang disebabkan aksi pengunyahan dan pengaruh panas yang terutama ditujukan pada
permukaan oklusal restorasi, sehingga pemakaian resin komposit merupakan
kontraindikasi terhadap preparasi rutin pada kavitas yang diperluas melalui
oklusal. Dengan kata lain, restorasi Kelas II resin komposit lebih berhasil pada gigi
posterior yang lesi kariesnya terletak pada daerah aproksimal dan tidak meluas
sampai ke oklusal. Sedangkan pada restorasi bentuk , kegagalan restorasi
terjadi oleh karena terjadi fraktur pada struktur gigi dan dari restorasi
(Summitt dkk., 1994).
!3 D $ - - #) # , 22 .
Nordbo dkk. (1993) meneliti gigi,gigi premolar dan molar satu dengan lesi
karies Kelas II yang kecil, yang dipreparasi menurut prinsip,prinsip preparasi
minimal, yakni hanya membuang jaringan karies yang terlibat karies. Karies yang
mengenai dentin juga dibuang. Bevel 1 mm dibuat pada tepi email, dan tubulus
Gambar 2.20 $ kavitas . Daerah titik menandakan email yang dipreparasi (Nordbo dkk., 1993)
Setelah preparasi selesai, dilakukan etsa pada permukaan email dan aplikasi
bahan , kemudian ditumpat dengan bahan resin komposit (Gambar 2.21).
Teknik penempatan bahan dilakukan secara dengan ketebalan 1,2 mm
dan setiap dipolimerisasi melalui penyinaran (Nordbo dkk., 1993).
Gambar 2.21 kavitas (Nordbo dkk., 1993)
Setelah tiga tahun pemeriksaan, 82% restorasi masih mempunyai kondisi yang
baik, dan sisanya 18% mengalami kegagalan oleh karena beberapa hal seperti terjadi
karies rekuren terutama pada tepi gingival bagian proksimal, kerusakan pada
marginal ridge, hilangnya kontak proksimal, dan adaptasi marginal yang tidak baik
Modifikasi perluasan bevel di dengan teknik penempatan secara
dapat mengurangi terjadinya kebocoran mikro pada daerah ini (Gambar
2.22) (Nordbo dkk., 1993).
Gambar 2.22 Teknik penempatan secara untuk mengisi kavitas (Nordbo dkk.,
1993)
Di samping melindungi struktur gigi yang sehat, yang konservatif
pada kavitas bentuk ini juga dapat mencegah migrasi gigi ke mesial yang
berasal dari pemakaian bahan restorasi di bagian aproksimal, karena hanya
membuang daerah kontak yang sedikit pada permukaan buko,oklusal. Bila
dibandingkan dengan preparasi konvensional Kelas II, preparasi bentuk ini
juga dapat mengurangi pembuangan dentin dan resiko terkenanya gigi tetangga pada
saat melakukan preparasi kavitas (Nordbo dkk., 1993).
Preparasi kavitas bentuk telah dapat mengatasi kekurangan,
kekurangan yang terdapat pada kavitas Kelas II tradisional yang ditumpat dengan
bahan resin komposit, seperti hilangnya jaringan sehat yang banyak, kontak oklusal
gigi antagonis yang besar, dan tepi email gingival yang kurang baik (Nordbo dkk.,
1993). Keefektifan kavitas bentuk ini telah diteliti kembali oleh Nordbo dkk.
pada tahun 1998 dengan prosedur restorasi yang sama terhadap 59 kavitas dan
pengalaman operator yang semakin meningkat dalam melakukan preparasi kavitas
dan prosedur restorasi (Nordbo dkk., 1998).
% ist
Gigi,geligi manusia didesain sedemikian rupa sehingga gigi secara individu
mendukung dirinya sendiri serta secara kolektif mendukung sistem stomatognatik.
Setiap gigi tertanam dalam soket tulang alveolar dengan serat,serat periodontal yang
halus. Serat,serat ini berfungsi sebagai bantalan. Kontak antara gigi yang tidak baik
akan menambah beban pada membran periodontal dan tulang alveolar, yang
mungkin tidak mampu diatasinya (Sikri, 2008).
Kegagalan untuk mempertahankan hubungan ini tidak hanya akan
menyebabkan kegagalan prematur restorasi, tetapi juga masalah periodontal serta
permulaan karies di sekitar struktur gigi yang berdekatan. Pemahaman yang baik
tentang hubungan interproksimal ini akan membantu klinisi untuk mempertahankan
struktur gigi dengan baik. Untuk mencapai kontak yang ideal, seorang klinisi harus
memiliki pengetahuan yang memadai tentang bentuk gigi yang ideal. Kondisi yang
ideal ini sering dirusak oleh tegangan, pengausan, iritan lokal, bentuk gigi yang tidak
baik, dan prosedur dental yang tidak sempurna. Fungsi kontak proksimal yang paling
penting adalah perlindungan terhadap papila interdental (Sikri, 2008).
Suatu sistem matriks terdiri dari 3 komponen, yaitu : matriks, ,
dan . Matriks merupakan suatu alat yang digunakan untuk membentuk kontur
restorasi untuk menyerupai kontur struktur gigi yang digantikannya. Matriks harus
membentuk kontur restorasi yang akan dilakukan secara tiga dimensi dengan tepat
(termasuk daerah kontak). Matriks tidak hanya harus ketika bahan restorasi
, tetapi matriks juga harus tidak bereaksi dengan bahan restorasi. Matriks juga
harus mudah dilepaskan setelah pengerasan bahan restorasi tanpa mengorbankan
kontak proksimal yang telah dibuat dan kontur bahan restorasi (Sikri, 2008).
( merupakan alat yang digunakan untuk mempertahankan
khusus untuk mempertahankan posisinya. Beberapa matriks mungkin membutuhkan
sederhana seperti benang sutra dan . Beberapa matriks
membutuhkan mekanis khusus. Beberapa yang umum
digunakan adalah Ivory No. 1 dan 8, Siqveland, dan Tofflemire (Gambar 2.23 dan
2.24) (Sikri, 2008).
Gambar 2.23 ( (a) Ivory No. 8, (b) Ivory No. 1 (c) Tofflemire (Sikri, 2008)
Gambar 2.24 ( Siqveland (Sikri, 2008)
, merupakan komponen ketiga sistem matriks. Akan tetapi, dengan
melihat sejumlah gambaran radiografis tambalan amalgam proksimal, overhanging
dilaporkan hingga 50 persen dari semua restorasi. Tekanan kondensasi yang
diperlukan untuk adaptasi gingiva yang tepat dari bahan restorasi menyebabkan
bahan restorasi yang berlebih jika tidak digunakan (Sikri, 2008).
Secara umum, sebuah harus berpenampang melintang segitiga atau
yang akan direstorasi dengan gigi tetangga untuk memisahkan gigi. Akan tetapi,
tidak boleh terlalu tebal ke arah oklusal karena hal ini dapat mempengaruhi
kontur proksimal. Jika tidak cukup tinggi, hanya titik kontak antara dan
matriks yang tercapai. Hal ini dapat menyebabkan kontur yang buruk atau pergeseran
selama kondensasi. Kehilangan titik kontak dapat terjadi jika tinggi
penampang melintang terlalu besar (Sikri, 2008).
Pada restorasi kelas II resin komposit khususnya, kontak terbuka dapat
menyebabkan impaksi makanan pada daerah interproksimal sehingga terjadi
inflamasi dan penyakit periodontal (Padbury dkk., 2003) dan juga karies rekuren
(Ash, 2003). Tercapainya kontak interproksimal yang tepat dan kontur yang cembung
membutuhkan matriks yang dikontur dengan baik, yang distabilisasi dan diadaptasi
pada gingiva dengan yang ditempatkan dengan baik (Varlan dkk., 2008).
Penggunaan sistem matriks sirkumferensial seperti matriks dan logam
# yang tidak dikontur dan apabila dikonturpun, hanya distabilisasi pada
gingiva dengan dan tanpa separasi gigi, akan sering menghasilkan kontak
terbuka atau ringan (Wirshing dkk., 2008). Oleh sebab itu, saat ini telah
dikembangkan kombinasi sistem matriks seksional dengan cincin separasi yang dapat
menghasilkan kontak interproksimal yang lebih baik (Loomans dkk., 2006; Saber
dkk., 2010) dan tepi marginal yang lebih kuat (Loomans dkk., 2008). Salah satu
contoh sistem matriks seksional dengan cincin separasi adalah V3 Ring (Triodent).
Sistem matriks ini tersedia dalam 2 ukuran, dan (Gambar 2.25)
Gambar 2.25 Cincin separasi V3 Ring (Boksman, 2010)
Cincin separasi yang berukuran lebih kecil ini memungkinkan tekanan yang
konstan bahkan apabila ruang embrasur antara kedua gigi lebih sempit seperti apabila
cincin tersebut ditempatkan di antara gigi,gigi premolar. Cincin ini dibuat dari nikel
titanium yang mempunyai memori elastis yang tinggi. # plastik berbentuk V
memungkinkan cincin separasi mudah ditempatkan di atas . Lekukan pada
bagian dalam cincin separasi membuat cincin lebih stabil ketika dipegang dengan
. ! mempunyai lekukan di bagian dalam untuk memungkinkan
dari cincin separasi. ( tidak hanya didesain dengan kontur
membulat, tetapi juga dengan kontur , yang apabila ditempatkan pada
tinggi interproksimal yang tepat, akan membentuk embrasur oklusal sehingga mudah
di, . ( mempunyai lubang yang memungkinkannya mudah
ditempatkan dengan , dan juga terdapat lubang di bagian lateral untuk
memudahkan pengeluaran setelah restorasi (Gambar 2.26) (Boksman,
Gambar 2.26 ( V3 Ring (Boksman, 2010)
, yang digunakan (Wave,Wedge) mempunyai bentuk yang unik yang
memungkinkan tetap berada di daerah interproksimal untuk beradaptasi
dengan dan melindungi jaringan dan tanpa memberikan
gaya separasi (Gambar 2.27) (Boksman, 2010).
Gambar 2.27 Wave,Wedge (Boksman, 2010)
& 4aya1gaya5 / 4 - 5
Berbagai jenis gaya diberikan pada gigi selama pergerakan mandibula dan
juga selama pengunyahan. Karena permukaan gigi melengkung atau miring, gaya,
gaya ini tidak hanya vertikal tapi jenis gaya,gaya lain juga dapat diberikan pada
permukaan tersebut. Gigi, pada gilirannya, melawan gaya,gaya ini dengan bantuan
membran periodontal dan tulang alveolar (Sikri, 2008).
Jika permukaan datar dan tegak lurus terhadap gaya pengunyahan, hanya
melengkung, gaya,gaya lain juga timbul dan gaya,gaya yang dihasilkan mungkin
tidak diberikan sepanjang sumbu panjang gigi (Gambar 2.28). Fenomena ini dapat
dipahami dengan mempelajari penyaluran gaya pada bidang miring. Bidang cusp
dianggap sebagai bidang miring (Sikri, 2008).
Gambar 2.28 Reaksi terhadap gaya,gaya oklusal (a) Dasar yang rata (b) Dasar yang melengkung (Sikri, 2008)
Keseimbangan dapat dipertahankan jika lebih dari satu gaya diberikan pada
gigi atau gaya,gaya disalurkan pada kedua arah. Gambar 2.29 menunjukkan
bagaimana gaya,gaya bekerja pada bidang miring cusp. AB merupakan garis
singgung yang ditarik pada bidang miring atau kontak antara dua cusp. Sudut 'α'
mewakili sudut yang dibuat dengan garis horizontal AC dengan garis singgung AB
pada kontak cusp. M merupakan gaya pengunyahan dan N merupakan gaya yang
disalurkan. M tegak lurus terhadap garis horizontal AC dan N tegak lurus terhadap
bidang miring, yaitu garis singgung AB, dan H merupakan komponen horizontal gaya
yang disalurkan, yang mempertahankan keseimbangan. Seiring dengan menurunnya
sudut 'α', yaitu berkurangnya bidang miring, N dan H menjadi lebih pendek dan
Gambar 2.29 Gaya,gaya yang bekerja pada bidang miring cusp (Sikri, 2008)
Efek friksi antara cusp juga memainkan peranan penting. Friksi merupakan
resistensi terhadap gerakan geser sebuah benda terhadap benda lain dan koefisien
friksi merupakan perbandingan gaya friksi terhadap gaya normal (Sikri, 2008).
Sering kali, dua atau lebih permukaan dengan kemiringan tertentu yang
berhadapan satu sama lain pada sebuah gigi berkontak dengan cusp bukal dan lingual
dari gigi yang berlawanan atau berkontak dengan cusp bukal dan lingual dan ridge
marginal. Kondisi ini berperan dalam keseimbangan yang baik dalam oklusi dan
dalam kasus kontak yang tidak normal, dapat menjelaskan terlepasnya restorasi atau
fraktur gigi. Efek yang dihasilkan disebut sebagai (Sikri, 2008).
Komponen horizontal gaya normal yang menyebabkan ini.
Komponen,komponen horizontal yang dibentuk oleh kemiringan ini sama besar dan
berlawanan dan cenderung mendorong permukaan miring sehingga terpisah. Ketika
beban diaplikasikan pada gigi, tegangan didistribusikan baik sejajar terhadap sumbu
panjang dan tegak lurus terhadap sumbu panjang. Gaya atau beban diaplikasikan pada
daerah yang berbeda pada satu waktu dan distribusi tegangan bergantung pada
berbagai faktor (Sikri, 2008) :
1. Jika penampang melintang daerah tersebut konstan, distribusi tegangan praktis
2. Jika terdapat variasi penampang melintang (daerah tersebut biasanya disebut
sebagai prisma), tegangan bervariasi dari titik ke titik, berbanding terbalik dengan
luas.
3. Jika terjadi perubahan luas penampang melintang secara tiba,tiba, konsentrasi
tegangan yang lebih besar terjadi pada titik tersebut.
Pada beban vertikal, akan terjadi tegangan geser ( ) dalam prisma
di bidang manapun. Tegangan geser ini meningkat menjadi maksimum pada sudut
45° dan kemudian menurun menjadi nol pada sudut 90°. Oleh karena itu, bahan yang
lebih lemah dalam tegangan geser daripada tegangan tekan ( ) atau
tegangan tarik ( ) akan pecah pada bidang dengan sudut 45° terhadap
sumbu (Sikri, 2008).
Modulus elastisitas bahan merupakan sifat yang penting dan harus
diperhatikan. Jika kavitas direstorasi dengan inlay emas atau porselen, modulus
elastisitasnya bervariasi antara gigi dan bahan restorasi. Dengan gaya vertikal yang
diberikan pada keduanya, tegangan tekan akan sama untuk restorasi dan gigi, tetapi
karena emas/porselen jauh lebih kaku, bahan,bahan ini akan menerima tegangan yang
besar. Karena S = δE
S (tegangan) = δ (unit regangan) x E (modulus elastisitas) (Sikri, 2008)
Apabila gaya diaplikasikan tegak lurus terhadap sumbu prisma, penyaluran
resultan dikenal sebagai . Beam dapat didukung dari kedua ujung (
sederhana) dan dapat didukung dari satu ujung ( Cantilever). Preparasi MOD
merupakan contoh sederhana sedangkan preparasi MO/DO merupakan contoh
cantilever. Retensi restorasi bergantung pada ini, meskipun kekuatan dan
defleksi bahan juga berperan.
Momen gaya = Gaya x jarak tegak lurus (Sikri, 2008)
Momen lentur berada pada , yang cenderung untuk
merotasi restorasi dari kavitas. Retensi gingival dengan momen yang sama dengan F
x L diperlukan untuk melawan momen ini. Gaya retensi total (R) adalah sama dengan
kedalaman dinding gingival (d), maka R dan d akan berada pada arah yang sama,
sehingga momen gaya sama dengan nol. Oleh karena itu, kedalaman dinding gingival
tidak berperan dalam retensi (Gambar 2.30) (Sikri, 2008).
Gambar 2.30 Momen gaya pada preparasi MO/DO (F = gaya yang diaplikasikan; L = jarak tegak lurus; R = gaya retensi total;
*K