• Tidak ada hasil yang ditemukan

MILAN KUNDERA MELAWAN LUPA ulya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MILAN KUNDERA MELAWAN LUPA ulya"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

“Perjuangan Manusia Melawan Kekuasaan

Adalah Perjuangan Melawan Lupa”

Oleh Sabiq Carebesth

Pelajaran Mengingat

PERJUANGAN manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Itulah yang dikatakan Mirek, tokoh dalam The Book of Laugher and Forgetting, karangan pengarang terkenal Cekoslowakia, Milan Kundera. Kundera bercerita, mirek mengatakan kalimat itu pada tahun 1971. Sementara apa yang dikatakannya menunjuk pada peristiwa tiga puluh tahun lalu, tepatnya pada bulan Februari 1948.

Waktu itu pemimpin komunis, Gottwald naik ke balkon istana Praha untuk menyampaikan pidato di hadapan ratusan ribu rakyatnya. Gottwald diapit kawan-kawannya. Salah satunya adalah Clementis. Mendadak turun hujan salju. Udara jadi amat dingin. Padahal Gottwald tidak memakai topi. Clementis tidak mencopot topinya dan mengenaknnya pada kepala Gottwald.

Seksi Propaganda partai mencetak foto Gottwald dengan topi bulu yang dikenakannya itu beribu-ribu. Tak heran jika semua anak cekoslowakia kenal benar foto itu. Kejadian itu sendiri adalah momen yang sangat penting dalam sejarah. Sebab dari balkon itu lah lahir Partai Komunis Cekoslowakia.

Namun bagi Kundera, kejadian itu penting bukan karena kejadian tersebut, tapi karena kejadian itu dapat dijadikan monument untuk melawan lupa. Sebab beginilah kejadiannya selanjutnya: empat tahun setelah peristiwa itu Clementis dituduh melakukan penghianatan dan digantung. Clementis, yang dengan topi bulunya menandai kelahiran partai komunis di balkon istana Praha, harus di enyahkan dari ingatan rakyat Cekoslowakia. Maka seksi propaganda menghapus Clementis yang dulu tertera di foto-foto. Sekarang oleh seksi propaganda foto-foto kenangan itu di ubah sedemikian rupa sehingga Gotwald tampak sendirian, sementara tempat Clementis berdiri dikosongkan. Clementis bisa dienyahkan, tapi hal itu tak mungkinlah di buat dengan topi bulu yang dipinjamkannya pada Gotwald. Topi bulu Clementis tetap tersisa di kepala Gottwald. Memandang topi bulu itu orang akan tetap ingat, apa yang sebenarnya terjadi dulu.

(2)

melawan lupa, yang biasa dibuat oleh penguasa. Karena itu kultur harus terus menerus berusaha melawan lupa. Dan sejarah yang terbentuk dalam kultur tersebut haruslah menjadi ‘der kampf der Erinnerung’ (perjuangan untuk mengingat dan mengenang).

***

Fase transisi di Indonesia, baik setelah Revolusi Kemerdekaan 1945 maupun reformasi 1998 menyiskan suatu pekerjaan lain diantara pekerjaan yang mendesak dan banyak; dari reformasi politik, reformasi kebangsaan, reformasi kelembagaan Negara, demokratisasi ekonomi dan politik, kesejahteraan dan keadilan dari ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria—ada tugas lain yang juga tak kalah penting yang mungkin menolong fase transisi yang sampai hari ini belum bisa dikatakan berhasil terlewati. Yang dimaksudkan adalah penamabahan pengertian tentang sejarah politik selama hampir 80 tahun terakhir ini, karena di situ bangsa ini mungkin mencari sumber kesulitan sekarang; disamping, mungkin menemukan pelajaran yang dapat melapangkan sedikit jalan keluar dari keadaan krisis sekarang ini. Bukankah yang terpenting dari setiap perubahan adalah lahirnya kesadaran historis pada masayarakatnya? Di mana di dalamnya kenangan dan ingatan atas sejarah penindasan menjadi pijakan moral kita untuk terus menyusun pergerakan pembebasan kita.

Ingatan dan kenangan menjadi penting kini dan di sini ditengah budaya hidup berbangsa kini yang gemar lupa. Kegemaran untuk lupa yang menurut kawan saya dalam sebuah obrolan ringan bersama segelas kopi pribumi, mengakibatkan pertumbuhan demokrasi di Indonesia terselewengkan menjadi bentuk-bentuk persaingan kekuasaan semata dalam konotasi_denotasi yang serba negative_aktive dari

faham kekuasaan sebagaimana “dipelajari” dari pragmatika politik Orde Baru, yang membentuk suatu gambar imagologi sejarah atas ‘kenangan dan ingatan’ yang mau dihapuskan dari pembangunanisme bangsa berikutnya; di mana kita hendak dibuat lupa dan dinina bobokan dari mimpi buruk bahwa ibu pertiwi pernah diperkosa berkali-kali oleh penindasan dan pembodohan. “300 tahun Minke, bukan waktu yang pendek…” (Minke, dalam Roman Pulau Buru Pramodya Ananta Toer)

Kokosongan ingatan dan kenangan atas sejarah penindasan bahwa pernah ada darah tumpah dan ibu kehilangan anaknya sebab di culik, buruh Marsinah meninggal dengan cara kejia atau Wiji Tukul yang dihilangkan dan tak pernah dikembalikan, Udin yang bernas tapi dibikin naas; atau ratusan Paman Doblang yang disekap tanpa peradilan, jutaan pahlawan tanpa panji-panji dari petani laki-laki dan perempuan yang berjuang merebut hak dasar sosio budayanya; buku yang dijarah dirampas lalu di bakar, ribuan mahasiswa dan pemuda yang jungkir balik menata kesadaran sosio historisnya menyusun suatu hegemoni organik maju melawan menuntut tanggung jawab lalu tumbang di Trisakti dan Semanggi, di Jogjakarta, di dusun-dusun kecil di saentaro Indonesia__bahwa kemudian ‘tokoh-tokoh’ reformasi yang kemudian membacakan dirinya dalam pemilu kemudian, hanya sedikit menjalankan amanat dari keringat dan kucuran darah yang tumpah. Tokoh-tokoh yang membacakan dirinya sebagai

(3)

yang pragmatis dan narsistik; yang membuat sebagian dari pergerakan pembebasan kita justeru seperti berada di ujung tanduk kekacauan moral dan mental; padalahal— dalam ingatan dan kenangan—sejarah kita,titik awal munculnya pergerakan nasional kerakyatan di Indonesia adalah membebaskan moral mental masyarakat dari dominasi dan hegemoni kaum borjousi suatu kapitalisme semu yang berada dalam orbit dari mana keterasingan menyebar.

Namun rupanya, dan demikian faktanya, (‘elit) bangsa ini tidak segera mengambil pelajaran dari peristiwa runtuhnya konsolidasi demokrasi akibat tirani modal yang merangsek sampe ke akar. Gagalnya liberalisasi ekonomi justeru diteruskan dengan liberalisasi dalam segala lini, dengan cara yang konstan, tak ber visi dan sembarangan. Privatisasi BUMN dan aset-aset produktif yang mestinya di kelola rakyat untuk kemakmuran dan pondasi ekonomi nasional justeru di gadai tanpa jaminan kepada korporasi. Mari berhitung pada liberalisasi tanpa arah ini, berapa kerugian akibat perampokan super canggih dan halus itu? jadi jangan salah kan karena kadang dalam pandangan dunia modern yang serba tragis ini kita harus memilih mengamini anarki rakyat, atau kah membiarkan anarkisme modal yang karena watak serakahnya itu hendak mengambil alih semua otoritas yang dimiliki Negara-bangsa merdeka ini? Tentu ada pilihan, walau dengan mengandung suatu ironi.

Akibatnya sangat jelas dan sangat kasat mata sekarang, liberalisasi ekonomi yang super-kapitalistik telah menyebakan tidak hanya kemiskinan yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya didasarkan pada ‘angka-angka’ dan bukan pada pemerataan kesejahteraan; gap antar masyarakat meluas dan nyaris tanpa ada lagi jembatan solidaritas sesama rakyat.

Tiadanya solidaritas antar rakyat adalah imbas lebih jauh dari karakter kapitalistik yang telah menjangkiti mentalitas dan budaya rakyat. Rakyat menjadi individualistik, tiada lagi gotong royong, sedang kehidupan bersama makin di abaikan akibat makin menguatnya budaya konsumeris dan individualis sebagai konskuensi logis dari makin menguatnya kompetisi di dunia bisnis dalam memperebutkan konsumen dan investor yang sekarang telah merambah dunia politik. Persaingan itu mengakibatkan dana cukup besar mengalir deras dari korporasi dan badan-badan keuangan guna membiayai dan mengarahkan politik dan kebijakan publik Negara untuk kepentingan mereka sebagaimana terlihat dalam sebagian besar produk legislasi hari ini yang memanjakan benar korporasi. Dengan kata lain,”capitalism has inviaded democracy” (Reich, supercapitalism, hal. 207)

(4)

dari kepribadian, bahkan kemudian egoisme menjadi rumah yang mapan bagi kesadaran semu. Akibatnya, multikulturalisme yang harusnya menjadi pengakuan atas keanekaragaman berdasarkan prinsip kesederajatan atas bagian-bagian kebudayaan nasional berbalik menjadi penyeragaman yang memberlakukan dominasi dan hegemoni sebagai hukum moral mengenai nilai.

Maka ancaman bahwa Demokrasi menjadi tidak memadai memang tidak bisa disimpulkan sebagai timbul dari anarkisme melainkan bahwa saat ini sedang berlangsung fragmentasi kekuatan-kekuatan ekonomi dunia menyangkut sumber daya alam yang bukan tidak mungkin akan semakin memperlebar tentangan jarak antara modal uang dengan modal kerja. Institusi keuangan global sedang dalam posisi yang butuh detail atas kapasitas kerja korporasi-korporasi sementara korporasi tidak bisa mengabaikan termin-termin regular dari otoritas publik yang di Indonesia lazim disosialisasikan sebagai Tata Niaga dari masing-masing komoditas.

Sementara itu secara khusus, eksperimentasi yang selama ini diusahakan untuk tidak menempatkan masyarakat sebagai kelinci percobaan ternyata dibalik oleh kekuatan borjuis kapitalis dengan membikin jebakan di mana-mana yang arahnya mencetak kaum pergerakan menjadi semata-mata revolusioner tukang dalam perwujudan buruk berupa kumpulan pedagang legitimasi. Akhirnya bagaimanapun, kepercayaan entah itu datangnya dari rakyat entah itu datangnya dari komunitas internasional tidak boleh berbalik menjadi boomerang beracun yang membahayakan bagi nyala api kesadaran sejarah kita.

Maka ingatan dan kenangan sebagai upaya perjuangan melawan lupa penting diagendakan dalam suatu bagian program memulihkan harkat dan martabat konstitusi politik bagi tercapainya disiplin ekonomi dan tertib sosial; yang ditujukan sebagai manifestasi yang progresif dari demokrasi berbasiskan termin-termin public critical rational discource. Suatu pembudayaan dari transformasi politik yang di antaranya meliputi keperluan regenerasi di satu sisi dan perwujudan secara ideologis bakuan dasar nilai penyelenggaraan demokrasi; dalam hal ini ingatan dan kenangan dari sejarah ketertindasan sebagai bagian dari totalitas pemahaman sejarah berfungsi sebagai perkakas inti untuk memapankan posisi sejarah dan status moral dari gerakan kebangsaan Indonesia baik di tengah sejarah yang berkembang sebagai kepribadian bangsa itu sendiri maupun di tengah tantangan yang muncul dari perkembangan keadaan dunia pada umumnya.

(5)

Demikian lah, usaha pembebasan itu pun ternyata relative sulit dimengerti dan dilangsungkan ketika kondisi obyektive dari subyektivitas masyarakat telah homogen dengan moral mental kaum penindas yang pada kilasan pertama saja dapat terlihat sedang terus mempraktekkan politik “injak bawah jilat atas”; lengkap pula dengan mentalitas celeng sebagaimana digambarkan Sindhunata dalam buku “Tak Enteni

Keplokmu”: pendirian saya; ’binatang buas’ sama sekali tidak menjadi mati,

tetap hidup, tetap berkembang subur, telah menjadi semata-mata---didewakan. **

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan dan catatan dari mitra kolaborasi menunjukkan masih banyak siswa yang kuranag mampu memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah,

Suhu optimum untuk dapat hidup dengan baik adalah 15 o C, sehingga serangga dapat hidup lebih dari 200 hari dengan makanan yang cukup.. Namun, lama hidup kumbang

[r]

Tab mailing merupakan fasilitas yang terdapat pada Microsoft word 2007, yang berfungsi untuk membuat sesuatu dokumen yang akan dicetak dalam jumlah banyak atau

Menurunnya kepuasan konsumen pada Mie Sedaap dapat disebabkan karena penyediaaan spesifikasi produk melalui iklan tidak sesuai dengan yang beredar dipasaran sehingga hal ini

Untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 8 dan Pasal 11 Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Provinsi

Stasiun Angsana house reef yang memiliki tutupan terumbu karang paling baik saat pengambilan data, kematian karang karena tidak mampu untuk pulih juga cukup

Penelitian ini diharapan dapat memberikan informasi mengenai populasi protozoa dan karakteristik fermentasi dalam rumen, kadar alantoin dalam urin, serta neraca nitrogen