• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Konstitusi PKK FH Universitas Kan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal Konstitusi PKK FH Universitas Kan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

TELAAH HERMENEUTIKA PADA PERBUATAN TERCELA Tomy M Saragih

Penerbitan CV. R.A.De.Rozarie

Jl. Ikan Mungsing 8 Nomor 82, Surabaya 60177 a_los_tesalonicenses@yahoo.com

Abstrak

Secara normatif tidak ada definisi perbuatan tercela yang dilakukan presiden. Arti perbuatan tercela hanya termaktub pada Pasal 10 Ayat (3) No. 24-2003 dan Pasal 5 huruf i UU No. 42-2008. Hal ini menimbulkan kekaburan hukum dan berakibat fatal bila terjadi impeachment. Dengan telaah hermeneutika, perbuatan tercela tidak hanya sebatas penggunaan pendapat para ahli hukum melainkan meneliti secara

mendalam terkait pembentukan kata “perbuatan tercela”. lingkaran spiral

hermeneutik mengandung arti bahwa kata tersebut bukanlah suatu kesatuan yang dapat menimbulkan definisi. Perbuatan tercela harus dipahami kata per kata agar terwujudnya definisi sebenarnya. Sarannya ialah presiden harus melakukan uji materiil terhadap Pasal 5 huruf i UU No. 42-2008 kepada Mahakamah Konstitusi, mensetop rencana revisi UU No. 42-2008 dengan alasan teknis seperti ambang batas, bentuk pencontrengan, ataupun muatan politis lainnya, legal drafter wajib menguasai dan mendalami teori hermeneutika guna menemukan kesesuaian kata perbuatan tercela dalam suatu perundang-undangan.

Kata kunci: hermeneutika, tercela, presiden.

Abstract

With normative definition of misconduct made president. Meaning only misconduct contained in Article 10 Paragraph (3) No. 24-2003 and Article 5 letter i No. 42-2008. This raises legal ambiguities and fatal case of impeachment. With the study of pencontrengan forms, or other political content, legal drafter shall retain and deepen the theory of hermeneutics to find the suitability of the word in a disgraceful act of legislation.

Keywords: hermeneutics, despicable, president.

A. Pendahuluan

Secara normatif, tidak terdapat satupun definisi (keterangan singkat dan jelas) tentang perbuatan tercela yang dilakukan oleh presiden. Arti perbuatan tercela hanya termaktub dalam dua peraturan perundang-undangan yaitu

(2)

2

perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden

dan/atau Wakil Presiden”

2. Pasal 5 huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden

“yang dimaksud dengan tidak pernah melakukan perbuatan tercela adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina

Hal ini menimbulkan kekaburan hukum dan berakibat fatal bagi presiden apabila terjadi impeachment. Sedangkan arti perbuatan tercela yang ditujukan selain kepada presiden dalam peraturan perundang-undangan lainnya tidak memiliki definisi. Perbuatan tercela hanya berdasarkan pendapat para ahli hukum saja tanpa mempertimbangkan aspek apa yang terkandung dalam suatu teks. Pada karya ini, penulis hanya membatasi telaah perbuatan tercela yang dilakukan oleh presiden karena ia pemegang pimpinan tertinggi antara lain presiden menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945-UUD NRI 1945), Presiden mengangkat duta dan konsul (Pasal 13 UUD NRI 1945), presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10 UUD NRI 1945) dan presiden memberi grasi, rehabilitasi, amnesti serta abolisi (Pasal 14 UUD NRI 1945).

B. Pembahasan

1. Esensi Impeachment Presiden

Sebelum memasuki kajian impeachment, maka akan dibahas terlebih dahulu siapakah presiden di dalam Negara Republik Indonesia. Wajib dipahami bahwa kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dengan paradigma (cara pandang) Pancasila dan UUD NRI 1945 yaitu memiliki makna yang terkandung dalam lima sila. Artinya Pancasila memiliki dua dimensi kehidupan yaitu kehidupan kerohanian hubungan manusia dengan Tuhan dan kehidupan manusia dalam masyarakat negara. Di dalam paradigma ketatanegaraan berbangsa dan bernegara di Indonesia, penerapan kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah sesuai dengan UUD 1945.1 Namun menurut penulis hal tersebut tidak demikian karena di Indonesia – presiden masih bertindak sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.

1 Sri Soemantri M, Penerapan Kedaulatan Rakyat Dalam Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila Dan

(3)

3

Seperti halnya presiden yang memiliki fungsi dan kedudukan berbeda baik sebelum amandemen UUD NRI 1945 yaitu:

1. Kedudukan presiden pada masa UUD 1945 a. Kekuasaan presiden dalam bidang eksekutif

Kekuasaan presiden dalam bidang tersebut dapat dilihat pada Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945. Kekuasaan presiden dalam menjalankan pemerintahan dibatasi oleh UUD sehingga presiden tidak dapat berbuat menyimpang. Pada masa ini, Republik Indonesia menganut sistem konstitusionil (dalam penjelasan UUD 1945) yaitu pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme.

Di dalam menjalankan pemerintahannya, presiden dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal 17 Ayat (1) UUD 1945) dan tanggung jawab tetap berada di tangan presiden. Di sisi lain, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden (Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945). Berhubung presiden bertanggung jawab atas segala penyelenggaraan pemerintahan maka presiden akan mengarahkan segala tindakan para menteri agar menyesuaikan diri dengan kehendaknya. Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 dapat diartikan juga bahwa menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR karena pengangkatannya tidak tergantung kepada dukungan DPR seperti halnya dalam sistem parlementer.

Merujuk pada Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden dalam melaksanakan kewajibannya. Soepomo selaku ketua Panitia Kecil Perancang UUD mengatakan dalam rapat besar Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 15 Juli 1945.2

“Presiden dalam pekerjaannya sehari-hari untuk menyelenggarakan kewajibannya dibantu oleh dua wakil presiden yang sangat tinggi kedudukannya tidak tergantung

dari pada presiden oleh karena diangkat oleh MPR”

Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkataan dibantu dalam Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945 menandakan bahwa wakil presiden akan tampil sebagai orang pertama apabila presiden berhalangan (hal ini diperkuat dalam Pasal 8 UUD 1945). Dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan wakil presiden sebagai pembantu presiden adalah di bawahnya dan wakil presiden tidak dipilih oleh presiden melainkan oleh MPR

b. Kekuasaan presiden dalam bidang legislatif

Membuat UU adalah suatu tindakan memutuskan untuk membuat peraturan umum (UU dalam arti materiil) sedangkan membuat UU dalam arti formil berarti membuat suatu

2

(4)

4

keputusan yang dilakukan oleh suatu badan atau beberapa badan yang berwenang dengan bekerja sama. UU sebagai peraturan umum mengatur apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam tugasnya untuk memenuhi kepentingan rakyat. Jadi dalam UU ditentukan tujuan apakah yang hendak dicapai oleh negara yang harus diselenggarakan oleh pemerintah. Apabila dihubungkan dengan GBHN sebagai kebijaksanaan umum yang diselenggarakan oleh presiden selaku mandataris MPR, maka penuangan kebijaksanaan umum dalam bentuk UU tersebut dilakukan bersama DPR sebagai jaminan bahwa UU tersebut tidak menyimpang daripada GBHN. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden memiliki kewenangan dalam bidang legislatif yaitu

a. Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan

persetujuan DPR”

b. Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 “Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR”

c. Pasal 21 Ayat (1) UUD 1945 “Anggota-anggota DPR berhak mengajukan RUU”

Di dalam hal memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu (Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945). Pembentukan Perppu haruslah mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan berikutnya (Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945), hal ini bertujuan untuk memenuhi asas demokrasi dan mencegah terjadinya kekuasaan yang sewenang-wenang dari pihak pemerintah karena setiap kebijaksanaan pemerintah yang menyangkut kepentingan rakyat dapat dibenarkan dan apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perppu tersebut harus dicabut (Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945).

c. Kekuasaan presiden sebagai kepala negara

Presiden sebagai kepala negara diatur dalam

a. Pasal 10 UUD 1945 “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,

Angkatan Laut dan Angkatan Udara”

b. Pasal 11 UUD 1945 “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”

c. Pasal 12 UUD 1945 “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat

keadaan bahaya ditetapkan dengan UU”

d. Pasal 13 Ayat (1) UUD 1945 “Presiden mengangkat duta dan konsul” e. Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945 “Presiden menerima duta negara lain”

f. Pasal 14 UUD 1945 “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”

g. Pasal 15 UUD 1945 “Presiden memberi gelaran, tanda jasa, dan lain-lain tanda

kehormatan”

(5)

5

Dalam periode ini, Indonesia menerapkan pemerintahan parlementer pola Inggris sebagai akibat perundingan dan persetujuan Konferensi Meja Bundar di den Haag Belanda antara delegasi Indonesia, delegasi panitia permusyawaratan urusan federal dan delegasi dari kerajaan Belanda. Maka yang berlaku adalah Konstitusi RIS. Sesuai Pasal 69 Ayat (1) Konstitusi RIS, kedudukan presiden adalah kepala negara sedangkan yang dimaksud pemerintah adalah presiden dan menteri-menteri (Pasal 68 Ayat (1) Konstitusi RIS).

3. Kedudukan presiden pada masa UUDS 1950

Pada masa ini melalui Pasal 90 konstitusi RIS, dilakukanlah perubahan-perubahan terhadap Konstitusi RIS dengan mengubah bagian-bagian yang merupakan unsur negara serikat menjadi negara kesatuan. Hal ini dilakukan melalui Undang-Undang Federal Nomor 7 Tahun 1950, dengan kata lain UUDS dalam bentuknya adalah perubahan Konstitusi Sementara RIS.3

Di dalam UUDS tidak secara tegas menyatakan apa atau siapa yang dimaksud dengan pemerintah. Namun apabila melihat ketentua-ketentuan yang diatur dalam Pasal 45 hingga Pasal 55 yang terdapat dalam Bab II bagian I UUDS maka terdapat pengaturan tentang presiden, wakil presiden dan menteri atau menteri-menteri. Sehingga pemerintah adalah presiden, wakil presiden, menteri atau menteri-menteri. Hal ini diperkuat dalam Pasal 83 UUDS bahwa presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat dan menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Melihat Pasal 84 UUDS bahwa presiden dapat membubarkan DPR apabila dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi. Di tahun 1955 diselenggarakan Pemilihan Umum (pemilu) pertama untuk membentuk DPRD, DPR dan Konstituante. Tujuan dibentuknya konstituante adalah untuk menetapkan UUD yang menggantikan UUDS 1950. Hasil pemungutan suara yang kurang dari 2/3 dari peserta sidang yang hadir mengakibatkan munculnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 tentang Dekrit (Dekrit 5 Juli 1959) yang isinya pembubaran konstituante, tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.

4. Kedudukan presiden pada periode 1966 hingga 1973

Di tahun 1966 terjadi pergeseran pertama yang berhubungan dengan jabatan presiden, secara formal terjadi pada waktu Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 kepada Menteri Panglima Angkatan Darat (Jenderal Soeharto). Secara formal, Supersemar

(6)

6

merupakan tindakan ketatanegaraan biasa mengingat kedudukan menteri, panglima Angkatan Darat adalah pembantu presiden dalam pengertian Pasal 17 UUD 1945.

Namun pada saat dikeluarkannya Supersemar (bersifat administratif) serta merta berubah pada saat dikeluarkannya TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS maka Supersemar tidak lagi menjadi lingkungan kewenangan presiden. Bahkan sebagai mandataris MPRS harus tunduk pada Supersemar tersebut. Dengan adanya TAP MPRS tersebut tidak lagi mempertanggungjawabkan tindakannya kepada presiden melainkan kepada MPRS karena telah berubah kedudukannya menjadi Pengemban Ketatpan No. IX/MPRS/1966.4 Adanya dua orang pemegang mandat MPRS secara bersama-sama memiliki wewenang kepresidenan baru dapat diatasi pada waktu dikeluarkannya Pengumuman Presiden/Mandataris MPRS tanggal 20 Februari 1967 tentang Penyerahan Kekuasaan Pemerintahan Negara kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang kemudian dipergunakan sebagai slah satu pertimbangan untuk menarik kembali mandat MPRS dari Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD dan mengangkat Jenderal Soeharto Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden. Di dalam penjelasan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 disebutkan bahwa

“…Jenderal Soeharto Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, selaku Pejabat

Presiden Republik Indonesia”.

5. Kedudukan presiden pada masa UUD 1945 setelah amandemen

Pada masa UUD 1945 setelah amandemen keempat, kedudukan presiden adalah sebagai kepala eksekutif dikarenakan adanya beberapa lembaga negara yang dihapuskan, dibentuk beberapa lembaga negara baru, untuk memenuhi kebutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini terlihat dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan diperkuat dalam Pasal 2 Ayat (1) bahwa keanggotaan MPR dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedaulatan rakyat bahwa seluruh anggota MPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu dan untuk meningkatkan legitimasi MPR. Perubahan Pasal 3 mengenai wewenang MPR berimplikasi pada terjadinya perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem supremasi MPR menjadi sistem mengimbangi dan mengawasi. MPR tidak lagi menetapkan GBHN dan tidak memilih serta mengangkat presiden dan wakil presiden.

4 H Bagir Manan dan H Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia , Bandung:

(7)

7

Dari kedudukan presiden yang berbeda pada masing-masing berlakunya konstitusi maka proses impeachment sebetulnya merupakan sesuatu yang sulit terlaksana. Impeachment tidak hanya sekadar proses formal namun didalamnya terdapat unsur politik. Impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya.5

Terdapat pengkajian mengenai impeachment yaitu terkait objek impeachment, terkait alasan impeachment dan mengenai mekanisme impeachment. Masing-masing negara yang mengadopsi ketentuan mengenai impeachment mengatur secara berbeda-beda mengenai hal-hal tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi.

Objek dari tuduhan impeachment tidak hanya terbatas pada pemimpin negara, seperti presiden atau perdana menteri, namun juga pada pejabat tinggi negara. Objek dari impeachment di berbagai negara berbeda-beda dan terkadang memasukkan pejabat tinggi negara seperti hakim atau ketua serta para anggota lembaga negara menjadi objek impeachment.

Seiring dengan perubahan UUD NRI 1945, Indonesia juga mengadopsi mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut pada presiden dan/atau wakil presiden.

Alasan-alasan impeachment pada masing-masing negara juga berbeda-beda. Selain itu, perdebatan mengenai penafsiran dari alasan impeachment juga mewarnai proses impeachment atau menjadi wacana eksplorasi pengembangan teori dari sisi akademikus. Mengenai mekanisme impeachment di negara-negara yang mengadopsi ketentuan ini juga berbeda-beda. Namun secara umum, mekanisme impeachment pasti melalui sebuah proses peradilan tata negara yang melibatkan lembaga yudikatif, baik lembaga itu adalah Mahkamah Agung (MA) atau MK. Bagi negara-negara yang memiliki dua lembaga pemegang kekuasaan yudikatif yaitu MA dan MK, maka besar kecenderungan bahwa MK-lah yang terlibat dalam proses mekanisme impeachment tersebut. Keterlibatan MK dalam proses impeachment itu sendiri berbeda dimasing-masing negara, tergantung pada sistem pemerintahan yang dimiliki oleh negara tersebut serta tergantung pula pada kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi kepada MK dalam keterlibatannya pada proses impeachment. Di satu negara MK berada pada bagian terakhir dari mekanisme impeachment setelah proses itu melalui beberapa tahapan proses di lembaga negara lain.

5 Jimly Asshiddiqie, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: MKRI, 2005,

(8)

8

Terdapat juga sistem yang menerapkan dimana MK berperan sebagai jembatan yang memberikan landasan hukum atas peristiwa politik impeachment ini. Kata akhir proses impeachment berada dalam proses politik di parlemen. Contoh dari negara yang mengadopsi aturan demikian adalah Lithuania yang juga baru saja memberhentikan Presiden Rolandas Paskas dalam proses impeachment. Negara Indonesia juga mengadopsi aturan seperti ini.

Proses impeachment di Indonesia melalui proses tiga lembaga negara secara langsung. Proses yang pertama berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses investigasi atas dugaan-dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tergolong dalam alasan-alasan impeachment. Setelah proses di DPR selesai, dimana Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan tindakan yang tergolong alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat Paripurna DPR itu harus dibawa ke MK. Sebelum akhirnya proses impeachment ditangani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memperoleh akhir kedudukan presiden dan/atau wakil presiden.6

2. Telaah Hermeneutika

Terkait teori hermeneutika, Jazim Hamidi menjelaskan bahwa objek kajian hermeneutika itu sungguh luas, tergantung dari sudut mana melihatnya. Objek kajian heremeneutika dapat berupa teks, lontar atau ayat Tuhan yang tertuang dalam kitab suci. pendapat ini bisa dibenarkan manakala kita memahami pengertian hermeneutika itu sebagaimana direpresentasikan dalam teologi kristiani melalui dewa Hermes, dalam terminologi agama Yahudi melalui dewa Toth, dalam mitologi Mesir kuno melalui Nabi Musa dan dalam tradisi kalangan umat Islam melalui Nabi Idris.

Hermeneutika hukum sangat berbeda dengan interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Di dalam hermeneutika hukum lebih mengarah pada pemahaman teks secara mendalam sedangkan interpretasi hukum hanya penafsiran teks yang berguna apabila terjadi benturan norma. Konstruksi hukum lebih mengarah keapda analogi hukum dan digunakan pada saat terjadi kekosongan hukum.7 Objek kajian hermeneutika yang kedua dapat berupa teks, naskah kuno, dokumen resmi negara, atau konstitusi sebuah negara. pendapat ini juga benar, sebab dokumen sejarah atau tatanan norma dalam kehidupan bernegara itu tidak semua dipahami oleh rakyatnya. Dalam hal ini diperlukan lembaga resmi untuk menafsirkannya.

(9)

9

Yang mana lembaga tersebut dapat berupa lembaga negara, badan hukum, atau individu yang diberi wewenang dan tugas untuk itu (peran interpretatif).

Objek yang ketiga dapat berupa peristiwa atau pemikiran sebab peristiwa maupun hasil pemikiran itu dalam pemikiran hukum dapat dijadikan alat bukti ataupun sumber hukum. Contohnya yaitu doktrin (hasil pemikiran ahli) merupakan sumber materiil dalam pengertian hukum tata negara.8

Senada juga pakar B. Arief Sidharta, menjelaskan bahwa hermeneutika itu dikembangkan sebagai metode atau seni untuk menafsirkan naskah kuno supaya dapat dipahami makna yang terkandung di dalamnya.9

Sebagai landasan kefilsafatan ilmu hukum, filsafat hermeneutik adalah filsafat tentang hal mengerti atau memahami sesuatu yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan dan peristiwa mengerti atau interpretasi. Jadi memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu dan sebaliknya menginterpretasi sesuatu tercapai pemahaman tentang sesuatu itu. Hal memahami atau menginterpretasi itu adalah aspek hakiki dalam keberadaan manusia, yang membedakannya dari hewan, tanaman dan benda-benda lainnya. Artinya keberadaan manusia dan kegiatan menjalankan kehidupannya berlangsung berlandaskan atau dipengaruhi proses dan produk pemahaman atau interpretasinya.

Menurut penulis dengan hermeneutika yang diajukan Hans George Gadamer tepatnya lingkaran spiral hermeneutik yaitu sebuah cara pemahaman yang menggabungkan sintesis (penggabungan bagian-bagiannya menjadi satu keutuhan) dan analisis (proses timbal balik pembagian satu keutuhan).10

Di dalam bahasa manusia, kata “perbuatan” terkait lisan dan tulisan. Secara lisan, “perbuatan” merupakan sesuatu yang dilakukan guna mencapai suatu tujuan tertentu. Apabila

dikaitkan dengan presiden sebagai manusia maka akan dapat dianalisa bahwa esensi perbuatan melekat pada sang pribadi. Secara lugas dapat dimengerti bahwa baik atau tidaknya perbuatan dilihat subjek yang melakukannya.

Mengacu pada pemahaman dalam Alkitab tertulis bahwa perbuatan pada manusia dapat ditelusuri di Kitab Kejadian 3:1-24. Hawa sebagai manusia perempuan pertama

8 Jazim Hamidi, Disertasi: Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Universitas Padjadjaran, 2005, h. 36.

9

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1999, h. 95-103.

10 Stephen Palmquist, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, h.

(10)

10

melakukan perbuatan untuk memakan buah pohon kehidupan dan dilanjutkan oleh Adam yang turut memakannya juga. Pada akhirnya mereka memperoleh hukuman dari Tuhan Allah. Terkait isi Alkitab bahwa perbuatan juga tergantung kondisi sekitar. Hawa memakan buah pengetahuan karena kecerdikan ular.

Memaknai “perbuatan” secara tulisan cenderung terbatas pada penulisan. Hal yang

dimaksud dalam tulisan harus dipahami bagaimana pembentukan kata “perbuatan” pada suatu peraturan perundang-undangan. Harus diketahui apakah yang terjadi dalam pembentukan kata tersebut.

Penulis menganalisa bahwa pertama kalinya perbuatan tercela muncul pada amandemen ketiga UUD NRI 1945 Pasal 7 huruf A UUD NRI 1945 yang hanya tertulis

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden”.

Perbuatan tercela ditujukan kepada presiden sebagai wujud aspirasi masyarakat yang menghendaki presiden yang tidak berdasarkan kekuasaan melainkan presiden yang sesuai dengan pilihannya. Perbuatan tercela juga didukung dengan Pasal 1 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Terkait kedudukan presiden sebagai kepala eksekutif maka definisi perbuatan tercela seharusnya mempersempit cakupannya. Hal ini bertujuan agar presiden mampu menjadi subjek yang proporsional dalam bertindak. Dimasukkannya norma agama dan norma adat sebagai kriteria perbuatan tercela akan menjadikan presiden sebagai subjek yang tidak terlindungi hak asasinya. Selain itu, perbuatan tercela tidak dapat diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba dan zina. Perbuatan yang bertentangan dengan norma adat seperti judi, mabuk tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela karena dalam beberapa daerah memiliki adat terkait meminum minuman keras.

Penelitian terkait perbuatan tercela pernah diteliti oleh Hufron dalam disertasinya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tahun 2012 yang berjudul Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945”. Di dalam disertasinya, Hufron menyatakan bahwa alasan perbuatan tercela pada

(11)

11

prinsip negara hukum demokratis yang bertumpu pada asas legalitas dan kepastian hukum. Hal ini juga didukung dengan demokrasi yang belaku di Indonesia yang mana kebebasan berbicara, kebebasan beribadat, bebas dari kekurangan dan dan bebas dari rasa takut.11

Alasan norma agama tidak patut dimasukkan karena agama menyangkut hubungan subjek dengan pencipta. Subjek dalam hal ini dapat berupa individu agnostik ataupun individu yang mengaku adanya Tuhan. Perbuatan tercela dalam UUD NRI 1945 dan dalam peraturan perundangan-undangan lainnya bukanlah melihat dari ajran agama dan adat-istiadat karena hal tersebut tidak memliki nilai yang sama dengan norma kesusilaan.

Hal yang sama dengan norma adat, mengacu kepada pendapat Koentjaraningrat bahwa adat merupakan wujud ideel dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan.12 Faktor penyebab lainnya akan menjadikan presiden lebih sering memperoleh stigma buruk dalam masyarakat. Dengan adanya pencampuradukan makna perbuatan tercela dan perbuatan

tidak terpuji mengakibatkan interpretasi ganda. Di dalam harian Jawa Pos “Legislator PDIP Aniaya Warga” halaman 25 pada Tanggal 20 Oktober 2011 dikatakan bahwa “Gedung DPRD

Kabupaten Malang kembali digoncang atas perbuatan tak terpuji yang dilakukan oleh salah

satu anggotanya”. Secara leksikal makna terpuji dan tercela hanya berbeda pada subjek

penggunaannya saja.

Contoh kasus perbuatan tercela di luar negeri yang terkenal adalah skandal pelecehan seksual yang dilakukan Bill Clinton terhadap karyawan magang di Gedung Putih pada tahun 1998. Awalnya Clinton menghadapi tuduhan telah melakukan perbuatan tidak bermoral

terhadap Monica Lewinsky. Clinton membantah melakukan „hubungan tidak wajar‟ ini

dengan karyawannya. Namun selama proses investigasi yang dilakukan oleh House Judiciary Committee dan dibantu dengan independent counsel Kenneth Starr, tuduhan beralih kepada dugaan perbuatan menghalangi atau menghambat proses penyidikan dengan berbohong di bawah sumpah. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1998, Clinton pun akhirnya meralat pernyataannya sendiri dengan mengakui perbuatannya melalui stasion televisi nasional. Oleh House Judiciary Committee, perbuatan Clinton yang berbohong di bawah sumpah tersebut kemudian dikategorikan sebagai perbuatan tercela (misdemeanors) sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (4) konstitusi AS. Dalam proses ini, Clinton berhasil selamat dari proses impeachment lewat voting di parlemen.13 Jadi secara lugas dapat disimpulkan

11

Tomy M Saragih, Pemahaman Teori Dalam Ilmu Hukum, Depok: 959 Publishing House, 2011, h. 41. 12

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia, 1974, h. 27. 13

(12)

12

bahwa perbuatan tercela dengan lingkaran spiral hermeneutik mengandung arti bahwa kata tersebut bukanlah suatu kesatuan yang dapat menimbulkan definisi. Perbuatan tercela harus dipahami kata per kata agar terwujudnya definisi sebenarnya.

3. Undang-Undang Yang Memuat Arti Perbuatan Tercela Arti perbuatan tercela dalam berbagai undang-undang

a. Pasal 11 A Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila hakim agung yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim agung.

b. Pasal 13 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, “perbuatan tercela” adalah sikap, perbuatan, dan tindakan jaksa yang bersangkutan baik pada saat bertugas maupun tidak bertugas merendahkan martabat jaksa atau kejaksaan.

c. Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, melakukan perbuatan tercela adalah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar Pengadilan Pajak merendahkan martabat Hakim.

d. Pasal 52 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, melakukan perbuatan tercela adalah melakukan perbuatan yang merendahkan martabat Dewan Pengawas dan Direksi.

e. Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 19 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 18 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, melakukan perbuatan tercela ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.

(13)

13

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 85 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Pasal 38 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 5 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 4-36-77-187 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hanya memuat kata cukup jelas.

Dari berbagai undang-undang tersebut, penulis beranggapan bahwa dengan tidak adanya definisi perbuatan tercela sejak amandemen ketiga UUD NRI 1945 hingga terbentuknya UU No. 24-2011 maka tidak terdapat semangat untuk menciptakan kepastian hukum bagi presiden.

C. Kesimpulan 1. Simpulan

Di dalam memaknai perbuatan tercela tidak hanya sebatas penggunaan pendapat para ahli

hukum melainkan meneliti secara mendalam terkait pembentukan kata “perbuatan tercela”.

lingkaran spiral hermeneutik mengandung arti bahwa kata tersebut bukanlah suatu kesatuan yang dapat menimbulkan definisi. Perbuatan tercela harus dipahami kata per kata agar terwujudnya definisi sebenarnya. Hal lainnya yaitu norma agama dan norma adat tidak dapat dimasukkan sebagai salah satu unsur definisi dalam perbuatan tercela yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden karena agama menyangkut hubungan subjek dengan Pencipta.

2. Saran

(14)

14

b. Mensetop rencana revisi UU No. 42-2008 dengan alasan teknis seperti ambang batas, bentuk pencontrengan, ataupun muatan politis lainnya.

c. Apabila poin huruf a tidak terlaksana maka pemerintah untuk segera melakukan amandemen kelima UUD NRI 1945 khususnya dalam Pasal 7 huruf A guna memperjelas makna dari perbuatan tercela.

d. Bagi legal drafter wajib menguasai dan mendalami teori hermeneutika guna menemukan kesesuaian kata perbuatan tercela dalam suatu perundang-undangan.

(15)

15 Daftar Pustaka

Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju.

H Bagir Manan dan H Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni.

Harun Alrasid, 1999, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Hufron, 2012, Disertasi: Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Malang: Universitas Brawijaya.

Jazim Hamidi, 2005, Disertasi: Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Universitas Padjadjaran.

___________ dan Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, Bandung: Alumni.

___________, 2011, Hermeneutika Hukum, Malang: UB Press.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: MKRI.

Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia. Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1986, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Jakarta: Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI.

Sri Soemantri M, 1996, Penerapan Kedaulatan Rakyat Dalam Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Steven D. Strauss and Spencer Strauss, 1998, The Complete Idiot’s Guide to Impeachment of the President, New York: Alpha Books.

Stephen Palmquist, 2002, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(16)

16

Referensi

Dokumen terkait

Pangkalan Banteng, Perda 10/2003 Lada Mandala Jaya Menjadi wil.. Pangkalan Lada, Perda 10/2003 Makarti Jaya

[r]

3. Kemajuan Peradaban Daulah Abbasyiyah ... Kemunduran Peradaban Daulah Abbasyiyah ... Ibrah Perkembangan Islam Masa Abbasyiyah ... Tugas dan Kegiatan .... Syukur alhamdulillah

“Aquascape Arsitektur”. bangunan yang berkamar banyak yang di sewakan sebagai tempat untuk menginap dan makan orang yang sedang dalam perjalanan ; bentuk akomidasi

Berdasarkan analisis tentang world view pengarang dapat disimpulkan bahwa secara simbolik cerita dalam naskah drama Aa-Ii-Uu sebagaimana karya Arifin C.. Noer yang lain

Setelah menemukan alamat bengkel yang cocok maka akan menuju bengkel untuk melakukan service, tapi jika tidak cocok dengan bengkel tersebut maka pengguna akan

Rogers & Kincaid dalam buku Communication Network mengatakan bahwa analisis jaringan komunikasi adalah sebuah metode riset untuk mengidentifikasi struktur

Untuk user tipe customer pada halaman ini akan muncul daftar dari nama area dan mesin yang dimiliki oleh customer, namun customer juga dapat mencari data yang diinginkan