• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMANFAATAN CAGAR ALAM PULAU SE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PEMANFAATAN CAGAR ALAM PULAU SE"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PEMANFAATAN CAGAR ALAM PULAU SEMPU YANG TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN PASAL 33 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN

2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

(Studi Empiris di Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu, Dusun Sendang Biru, Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang)

1. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil atau dalam istilah lainnya disebut mega biodivesrsity.1 Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ciri alam yang unik, asli dan indah dengan keanekaragaman flora, fauna, beserta ekosistemnya yang harus dijaga, dilindungi, serta dilestarikan. Dalam rangka melindungi kekayaann hayati tersebut, salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah yaitu menetapkan beberapa kawasan di Indonesia sebagai kawasan konservasi Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) serta kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Wisata, Taman Hutan Raya).

Di Indonesia sendiri memiliki 245 kawasan cagar alam dengan luas total kurang lebih 4.485.230 ha2.2 Satu diantaranya adalah kawasan Cagar Alam Pulau Sempu yang secara administratif terletak di Dusun Sendang Biru, Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu ini sudah ditetapkan sebagai Cagar Alam sejak tahun 1928 berdasarkan Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie Nomor 69 dan Nomor 46 tertanggal 15 Maret 1928 tentang Aanwijzing van het Natourmonument Poelau Sempoe dengan luas sekitar 877 ha2. Selain dalam ketetapan tersebut, penetapan Pulau Sempu sebagai kawasan Cagar Alam juga terdapat pada Keputusan

1 Moch. Indrawan, Biologi Konservasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 3.

2 Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara dan Andi Gunawan, Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Pulau

Sempu, Jawa Timur, Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Volume 10, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembanga Perubahan Ikim dan Kebijakan ISSN: 1979-6013 Terakreditasi No 493/AU2/P2M-LIPI/08/2012, Bogor: LIPI, hlm. 248.

DIAN LARSWATI ZURIAH 135010100111046

(2)

Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Nomor: 47/Kpts-11/1999 yang disahkan pada 15 Juni 1999.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehuanan Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam Kawasan Cagar Alam, Pulau Sempu berada di bawah kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. Badan ini bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perlindugan Hutan dan Konservasi Alam, yang secara struktural berada di bawah naungan Kementerian Kehutanan.

Secara geografis, kawasan Caagar Alam Pulau Sempu ini memiiki topografi yang berbentuk bukit dengan ketinggian 50-100 meter dari permukaan laut dengan bentang alam dari arah timur ke barat memiliki panjang kurang lebih 3,9 km dan dari arah utara ke selatan kurang lebih 3,6 km. Pulau yang terletak antara 112o40’45” Bujur Timur dan 8o24’54” Lintang Selatan ini berbatasan dengan Selat Sempu (Sendang Biru) di sisi utarannya, langsung berhadapan dengan Samudera Hindia di sisi selatannya, sedangkan di sisi timur dan barat kawasan ini didominasi oleh ekosistem hutan pantai dan mangrove. Di dalam kawasan Pulau Sempu terdapat beberapa titik potensi alam yang indah, antara lain Telaga Lele, Telaga Sat, Pantai Waru-Waru, Pantai Pasir Panjang, Goa Macan, Pantai Air Tawar, Segara Anakan, dan lain sebagainya.

Gambar. Peta Cagar Alam Pulau Sempu dengan Beberapa Titik Objek Potensi Alamnya

(3)

dan perkembangannya dapat berlangsung secara alami. Dengan demikian, sudah seharusnya pengelolaan yang dilakukan berjalan selaras dengan tujuan dari pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang berdasarkan asas tanggung jawab negara, berkelanjutan dan asas manfaat.

Berdasarkan hal tersebut, telah jelas bahwa manusia sebagai pihak yang memanfaatkan alam akan berhubungan langsung dengan lingkungan hidup dan keduanya memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang erat dalam keberadaannya. Apabila manusia itu menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, maka lingkungan hidup itu juga akan menghasilkan jasa lingkungan yang bermanfaat dan berkepanjangan bagi kehidupan manusia baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

d. pemanfataan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

Dalam ketentuan di atas yang dimaksud dengan kegiatan penelitian dan pegembangan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan atau instansi terkait dengan tujuan meneliti suatu kehidupan vegetasi maupun spesies yang masih alami di dalam kawasan Cagar Alam sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.

(4)

Sedangkan yang dimaksud dengan pemanfaatan Cagar Alam untuk penyimpanan dan/atau penyerapan karbon merupakan bagian dari jasa kawasan ini untuk menyerap unsur karbon yang dilepas ke udara dan menyimpannya sehingga unsur karbon tersebut terikat di dalam dan/atau di atas permukaan tanah yang dapat mengurangi dampak pemanasan global.

Yang terakhir adalah pemanfaatan sumber plasma nutfah di kawasan Cagar Alam bertujuan untuk memanfaatkan sumber plasma nutfah atau sejenis spesies baru yang baru lahir agar dilestarikan kemudian dikembangbiakkan sehingga menghasilkan keturunan yang lebih anyak lagi sebagai peunjang budidaya di dalam kawasan tersebut.

Walau begitu, untuk dapat melakukan pemanfaatan tersebut pun, para pihak yang berkepentingan harus memiliki izin yang telah disetujui terlebih dahulu oleh pihak yang berwenang mengingat izin memiliki fungsi penertib dan sebagai fungsi pengatur.3 Penolakan izin juga dimungkinkan jika kriteria yang telah ditetapkan dalam permohonan izin tidak terpenuhi. Surat izin untuk melakukan kegiatan di kawasan konservasi Cagar Alam ini dinamakan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) yang dimohonkan melalui prosedur tertentu.

Namun, pada fakta yang ada di lapangan, pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Sempu tidak berjalan semestinya karena tidak sejalan dengan peraturan yang telah ditetapkan Pemerintah. Hal itu dapat ditunjukkan dari banyaknya pihak yang dapat keluar masuk kawasan dengan mudah untuk kegiatan diluar pemanfaatan yang telah diatur dalam peraturan tersebut (pariwisata) tanpa menggunakan SIMAKSI sebagaimana yang telah ditentukan tetapi hal inilah yang justru diinginkan masyarakat sekitar Pulau Sempu.

Dengan demikian status Cagar Alam Pulau Sempu tengah menghadapi sebuah dilema yang besar, karena dihadapkan pada dua sisi yang saling berlawanan, yaitu pemanfaatan Pulau Sempu murni sebagai Cagar Alam, dan di sisi lain adanya potensi alam Pulau Sempu dimanfaatkan sebagai wana wisata alam yang turut mendongkrak perekonomian masyarakat sekitar kawasan tersebut.

(5)

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan mengkaji dan menelaah pemanfaatan Cagar Alam Pulau Sempu ditinjau dari Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan pendekatan yuridis sosiologis dimana Peneliti berusaha untuk mengidentifikasi penerapan kaidah hukum yang ada di masyarakat serta menelaah norma yang hidup di masyarakat. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji efektifitas pemanfaatan Pulau Sempu sebagai Cagar Alam yang dikaitkan dengn kenyataan di lapangan.

Perihal teknis yang berkaitan dengan pelaksanaan dari penelitian pemanfaatan cagar Alam Pulau Sempu ini, yaitu sebagai berikut:

a. Waktu Pelaksanaan Penelitian : Minggu, 6 desember 2015

b. Lokasi Penelitian : Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu, Dusun Sendang Biru, Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang

c. Responden Penelitian : 1) Kepala Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu (Setiyadi) 2) Sample rombongan calon wisatawan Pulau Sempu

3) Masyarakat sekitar (Koordinator Penyeberangan

Sendangbiru - Pulau Sempu dan sample nelayan sekaligus Pemandu Wisata )

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer yang diperoleh langsung dari lapangan melalui teknik wawancara dan observasi, kemudian data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis yang kuat serta berbagai data lainnya yang diperlukan dalam penyusunan laporan penelitian. Dalam analisis data, Peneliti menggunakan teknik deskriptif analisis dengan menelaah seluruh data yang didapatkan dari lapangan maupun studi kepustakaan untuk disusun, diolah dan dianalisis agar mendapatkan jawaban dari permasalahan yang telah ditetapkan dalam penelitian.

Dalam proses pelaksanaan penelitian hingga pembentukan laporan, Peneliti menemui beberapa hambatan, diantaranya yaitu:

(6)

mendokumentasikan berbagai kegiatan di kawasan Pulau Sempu yang pada umumnya dipenuhi oleh kegiatan pariwisata;

b. Pihak Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu susah ditemui, dan kantornya dalam kondisi kosong tidak ada seorang pun hanya ada. Hingga 2 (dua) jam kemudian Kepala Resort (Setiyadi) datang. Permasalahan berlanjut ketika proses wawancara, Kepala Resort bersikap kurang kooperatif dalam memberikan penjelasan dan terkesan menutupi fakta negatif yang ada di lapangan terkait pemanfaatan Pulau Sempu sebagai destinasi wisata;

c. Penjelasan antara Kepala Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu (Setiyadi) terkait sosialisasi status Pulau Sempu sebagai Cagar Alam kepada masyarakat sekitar bertentangan dengan penjelasan Koordinator Penyeberangan Kapal Sendang Biru – Pulau Sempu, sehingga Peneliti memutuskan untuk mengambil sample lebih banyak lagi dari masyarakat (nelayan) yang juga memiliki profesi tambahan sebagai pemandu wisata Pulau Sempu agar mendapatkan jawaban yang sesuai dengan kenyataan di lapangan;

d. Sebagian besar sample rombongan calon wisatawan yang akan mengunjungi Pulau Sempu tanpa SIMAKSI lebih memilih diam tidak berkomentar apapun setelah mengetahui bahwa Pulau Sempu bukanlah wana wisata alam sebagaimana stigma yang beredar di masyarakat melainkan sebagai kawasan konservasi Cagar Alam, namun mereka tetap mengunjungi bahkan banyak yang akan bermalam di Cagar Alam tersebut; dan

e. Dari sekian banyak orang baik yang akan mengunjungi dan yang tengah berada di Pulau Sempu, Peneliti tidak menemukan satupun pengunjung yang dilengkapi dengan SIMAKSI dari pihak yang berwenang, sehingga salah satu tujuan penelitian untuk memaparkan contoh nyata pada pembahasan di laporan ini terkait pemanfaatan Pulau Sempu yang sesuai dengan peruntukkannya berdasarkan peraturan berlaku tidak dapat terpenuhi.

Walaupun beberapa hambatan ditemui, namun Peneliti tetap semangat dalam menjalankan proses penelitian serta penyelesaian laporannya. Dari berbagai permasalahan yang ada, diharapkan dapat dijadikan sebagai pembelajaran dan bekal untuk melakukan penelitian selanjutnya.

4. HASIL PENELITIAN

(7)

pengelolaannya dipegang oleh pihak Perhutani Kabupaten Malang. Yang disayangkan, karena objek wisata Sendang Biru ini tidak begitu diperhatikan oleh pihak Perhutani tersebut maka banyak wisatawan yang kemudian mengalihkan destinasi wisatanya ke Pulau Sempu. Dan dimulai sekitar tahun 2008, banyak artikel yang tersedia di internet menuangkan review

pengalaman orang-orang yang pernah ke Pulau Sempu sehingga mulai maraknya agen-agen tour and travel yang menawarkan paket wisata dengan harga relatif terjangkau kepada masyarakat luas untuk turut sera menikmati keindahan Pulau Sempu. Semakin tersebar luaslah keindahan Pulau Sempu sebagai wana wisata eksotis dari mulut ke mulut.

Bahkan prosentase pengunjung Pulau Sempu semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan tujuan utama berwisata bukan untuk melakukan pemanfaatan sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawsan Pelestarian Alam. Kegiatan wisata ini dapat dikategorikan wisata yang illegal. Berikut merupakan data peningkatan pengunjung ke kawasan cagar Alam Pulau Sempu yang tercatat di Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu.

Tabel. Jumlah Pengunjung Cagar Alam Pulau Sempu Tahun 2009-2014

Disinilah titik mula pergeseran pemanfaatan dan fungsi Pulau Sempu sebagai kawasan Cagar Alam yang menimbulkan terancamnya kelestarian kawasan dan juga rusaknya ekosistem di Pulau Sempu. Ditambah lagi banyaknya hambatan yang dialami oleh Unit pelaksana Teknis (Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu) dalam menjalankan tugasnya berimbas menambah tantangan dalam penjagaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu supaya tetap lestari semakin berat. Hambatan-hambatan tersebut antara lain:

(8)

Hambatan yang terus terjadi dan susah untuk diberantas adalah aktifitas para pengunjung tanpa SIMAKSI yang tetap bersih keras masuk ke dalam kawasan Pulau Sempu walaupun sudah diperingatkan ternyata memiliki kesadaran rendah akan status kawasan konservasi. Jumlah pengunjung yang semakin meningkat berbanding lurus dengan aktifitas massal yang semakin tidak terkendali di kawasan ini mengakibatkan rusaknya ekosistem dan sampah juga turut mewarnai di banyak titik kawasan Pulau Sempu.

b. Adanya Perbedaan Persepsi

Perbedaan persepsi yang dimaksud terjadi antara pengelola kawasan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten Malang selaku pemangku wilayah administratif. Pihak pengelola kawasan menyatakan, bahwa status Pulau Sempu merupakan Cagar Alam yang pemanfaatannya hanya dapat dilakukan guna kegiatan penelitian, pendidikan, penyerapan karbon, serta pemanfaatan sumber plasma nutfah saja. Namun di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Malang beserta jajaran di bawahnya berpendapat bahwa memang benar Pulau Sempu sebagai cagar Alam, tetapi juga sebagai tempat wisata yang menjanjikan dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber pemasukan daerah dari sektor pariwisata dan semakin menjual nama Kabupaten Malang agar semakin dikenal khalayak luas.

c. Keterbatasan Dana

Dana yang telah dianggarkan untuk pengelolaan dan pelestarian Cagar Alam Pulau Sempu ini tidak mencukupi untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan berkala, antara lain inventarisasi keanekaragaman hayati dan non hayati, pembangunan serta perbaikan sarana dan prasarana, kegiatan monitoring kawasan, dan lain sebagainya yang memang memerlukan dana yang cukup besar. Karena hal ini lah menjadikan salah satu pertimbangan mengapa pihak Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu pada akhirnya tetap mengizinkan wisatawan masuk ke dalam kawasan ini, dengan salah satu sayarat membayar “uang kas” guna menutupi keterbatasan dana agar program kerja tetap bisa terlaksana.

d. Kurangnya Sumber Daya Manusia

(9)

rendahnya kehadiran petugas lapangan ini di kantornya maupun di kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. Sehingga menyebabkan pengawasan dan penjagaan kawasan sejauh ini belum efektif. e. Penegakan hukum yang lemah

Salah satu faktor dalam perlindungan dan pengelolaan Cagar Alam Pulau Sempu adalah adanya kepastian hukum dari setiap kebijakan yang dibuat dan juga dalam implementasinya. Hal ini dikarenakan oleh beberapa aspek yang mempengaruhi seperti minimnya jumlah polisi hutan, rendahnya kehadiran petugas di lapangan, kurangnya berbagai macam fasilitas pendukung, hingga kurangnya koordinasi antar sektor terkait. Begitu juga dengan sanksi yang diberikan kepada para pengunjung tanpa SIMAKSI dengan tujuan berwisata hanya berupa teguran semata yang sifatnya pun tidak tegas dan tidak mengikat. Sehingga sanksi yang demikian sama sekali tidak memberikan efek jera untuk keluar masuk kawasan Cagar Alam Pulau Sempu.

Oleh karena status Pulau Sempu sampai saat ini merupakan Cagar Alam, maka pihak Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu yang diperintahkan oleh Balai Besar Konservasi Sumber daya Alam Jawa Timur dan didesak oleh para aktivis lingkungan berupaya untuk menghentikan semua kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemanfaatan cagar Alam di Pulau Sempu agar mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah lagi akibat aktifitas manusia di dalamnnya. Namun uapaya tersebut kerapkali mendapatkan hambatan karena benturan permasalahan perekonomian masyarakat sekitar yang banyak tergantung dari Pulau Sempu tersebut sebagai destinasi wisata. Apabila dihentikan, maka ada dampak yang ditimbulkan, antara lain:

a. Mematikan perekonomian masyarakat sekitar karena mereka otomatis kehilangan penghasilan tambahan;

b. Terjadinya konflik-konflik antar berbagai kepentingan; dan

c. Adanya ancaman kerusakan yang lebih parah pada kawasan Cagar Alam Pulau Sempu yang kemungkinan akan dilakukan oleh para warga sekitar.

(10)

a. Pengajuan usulan agar sebagian kawasan Cagar Alam Pulau Sempu dicabut statusnya dan digantikan dengan status Taman Wisata Alam;

b. Memperkuat sumber daya manusia untuk mengoptimalkan fungsi kawasan dengan turut melibatkan masyarakat setempat;

c. Pembangunan dan penambahan sarana dan prasarana, yaitu: menara pengawas, jalan patrol, sarana komunikasi, perlengkapan medis dan survival, peralatan dokumentasi dan pengolahan data serta kapal boat guna monitoring area pantai dan telaga di sekitar kawasan;

d. Peningkatan kontrol lapang yang meliputi pemantauan dan pengawasan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu sehingga dapat dilaksanakan seminggu sekali;

e. Pengembangan pengelolaan kawasan yang terintegrasi dan terkoordinasi secara sistematis antar pihak terkait;

f. Peningkatan frekuensi penyuluhan kesadaran dan kepedulian untuk meningkatkan apresiasi seluruh lapisan masyarakat terhadap keberadaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, sehingga menciptakan kolaborasi pengelolaan dengan masyarakat; dan

g. Penguatan penegakkan hukum melalui sanksi yang tegas.

Berdasarkan pemapaaran di atas, untuk mendukung status Cagar Alam Pulau Sempu dan kelestarian kawasannya maka diperlukan upaya strategis melalui kerjasama terintegrasi dari berbagai pihak yang dapat dilakukan mulai dari tingkat perencanaan sampai dengan penerapan di lapangan akan menjawab permasalahan yang ada. Dengan pelibatan aktif masyarakat yang ditempatkan juga sebagai subjek pengelola kawasan Cagar Alam akan membawa dampak positif bagi pulihnya kawasan Pulau Sempu.

5. DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar Grafika. Hari Purnomo, dkk, 2012, Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Pulau Sempu, Jawa Timur,

(11)

LAMPIRAN DOKUMENTASI

Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu

Melakukan wawancara dengan Bapak Setyadi (Kepala Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu)

(12)

Salah satu polisi hutan yang menerangkan pelegalan beberapa titik di Pulau Sempu untuk wisata

Dokumentasi fauna di Pulau Sempu

(13)

Pemuda Pecinta Alam setelah camping dengan misi membersihkan kawasan dari sampah

Turis yang juga tertarik untuk mengunjungi Cagar Alam Pulau Sempu

Gambar

Gambar. Peta Cagar Alam Pulau Sempu dengan Beberapa Titik Objek Potensi Alamnya
Tabel. Jumlah Pengunjung Cagar Alam Pulau Sempu Tahun 2009-2014

Referensi

Dokumen terkait

Penganggaran ganda dalam proyek yang sama, berpeluang terjadinya manipulasi (penyelewengan). Untuk itu, dalam.. penyusunan RPJMDesa perlu adanya penyelarasan dengan

Terkait dengan hal tersebut, Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai lembaga kearsipan di provinsi Jawa Tengah, maka memiliki kewajiban

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Sesuai dengan judul yaitu Perpustakaan Umum Daerah Provinsi Bali di Denpasar, menurut IFLA ( Internasional Federation of Library Association ) merupakan

Senin II Tar/PAI Pendidikan Kewarganegaraan/B 39 3 I A1 Siti Malaiha Dewi, M.Si 01 ; 44.. Senin II Tar/PAI Bahasa Indonesia/C 39 2 I

Pada gambar 3 memperlihatkan bahwa dianta ra k om oditi pe rk ebunan y ang diperda gangkan di pa sar nagari, terutama dilakukan oleh generasi pertama dan kedua

Sedangkan persepsi diri, kebutuhan dan harapan tidak berhubungan secara signifikan dengan pemakaian gigi tiruan.Jadi dapat disimpulkan bahwa pemakaian gigi tiruan oleh lansia

ABSTRAK: Pada zaman yang telah modern ini masyarakatnya mulai melupakan budaya setempat dan lebih condong kepada budaya luar dengan alasan budaya setempat sudah ketinggalan zaman