• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laila Sari Masyhur Thaghut dalam Perspektif Al Quran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laila Sari Masyhur Thaghut dalam Perspektif Al Quran"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

( Kajian Tafsîr dengan Pendekatan Maudhû’î )

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA)

Oleh :

LAILA SARI MASYHUR NIM : 02.2.00.1.05.01.0006

DOSEN PEMBIMBING :

PROF. DR. NASARUDDIN UMAR, MA DR. YUSUF RAHMAN, MA

KONSENTRASI TAFSIR - HADITS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

(2)

Tesis dengan judul " Thághût dalam Perspektif al-Qur'ân : (Kajian

Tafsîr dengan Pendekatan Maudhû’î)" yang di tulis oleh : Nama : Laila Sari Masyhur

NIM : 02.2.00.1.05.01.0006

Program Studi : Pengkajian Islam Konsentrasi : Tafsir – Hadits

Di setujui untuk dibawa ke dalam sidang ujian penilaian tesis dengan

persetujuan kedua pembimbing sebagai berikut :

Pembimbing I, Pembimbing II,

PROF. DR. NASARUDDIN UMAR, MA DR. YUSUF RAHMAN, MA

(3)

(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah swt telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. al-Qashash/28 : 77)

Persembahan :

Ananda persembahkan tesis ini untuk :

Papa H. Dadang Masyhur, Mama Hj. Salcho Irza,

Kakak Yacita Editya Masyhur, dan Adek Achmad Maulana Masyhur.

(4)

ii

Tesis dengan judul : " Thághût dalam Perspektif al-Qur'ân : (Kajian Tafsîr dengan Pendekatan Maudhû’î)" yang di tulis oleh :

Nama : Laila Sari Masyhur NIM : 02.2.00.1.05.01.0006 Program Studi : Pengkajian Islam Konsentrasi : Tafsir – Hadits

Telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Jum'at tanggal 22 Juli 2005 dan telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Dewan Sidang Munaqasyah. Dengan demikian Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Agama Islam (MA).

Jakarta, 8 Agustus 2005 Dewan Sidang Munaqasyah

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA

Pembimbing I Pembimbing II

(5)

iii

ﻡﻴﺤﺭﻟﺍ

ﻥﻤﺤﺭﻟﺍ

ﷲﺍ

ﻡﺴﺒ

Alhamdulillah, berkat rahmat, hidayah dan inayah dari Allah swt, penelitian penulis yang bertajuk " Thághût dalam Perspektif al-Qur'ân : (Kajian Tafsîr dengan Pendekatan Maudhû’î)" telah dapat terwujud dalam bentuk tesis. Penulis patut bersyukur dan bertahmid kehadirat-Nya atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis. Shalawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw.

Penulis yakin atas petunjuk-Nya pula, sehingga berbagai pihak berkenan memberikan bantuan dan bimbingan serta kemudahan kepada penulis dalam penyelesaian studi di Program Pascasarjana ini, khususnya dalam penyelesaian tesis. Untuk itu penulis menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya dan menghaturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak baik yang secara langsung maupun secara tidak langsung, telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Sembah sujud dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan khusus kepada kedua orang tua penulis; Papa H. Dadang Masyhur dan Mama Hj. Salcho Irza yang tiada henti-hentinya memanjatkan do'a kehadirat Ilahi untuk memohon keberkahan dan kesuksesan bagi anak-anaknya. Semoga Allah swt mengampuni dosa keduanya dan senantiasa selalu diberi kemudahan dalam segala hal. ÂmînI am lucky to have you all

(6)

iv

yakni, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan tesis; Kepada kedua penguji dalam sidang Munaqasyah penulis yakni, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA dan Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA yang telah banyak memberikan masukan untuk penyempurnaan tesis ini; Kepada segenap Dosen Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan dan memperluas cakrawala berpikir penulis; Kepada Pimpinan Perpustakaan Utama, Perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan penelitian studi kepustakaan; juga Kepada seluruh karyawan/ pegawai Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi kemudahan dalam segala urusan kelancaran administrasi.

Terima kasih penulis haturkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Daerah Propinsi Riau, atas beasiswa yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh studi di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

v

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya pada Konsentrasi Tafsir-Hadits angkatan 2002, yang telah banyak membantu selama dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian tesis ini; juga sahabat-sahabatku alumni al-Mawaddah, alumni S-1 angkatan 2002 Universitas Islam Negeri Sulthan Syarif Qasim Pekanbaru serta seluruh sahabat-sahabatku yang masih setia mendharma-bhaktikan dirinya pada pramuka Pekanbaru, yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis untuk selalu semangat dalam menyelesaikan tesis!!thanks for all

Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan dan bimbingannya, baik kepada mereka yang telah disebutkan namanya diatas maupun yang tiada disebutkan namanya, kepada Allah swt penulis mohon semoga mereka dilimpahkan pahala yang berlipat ganda dan segala bantuan yang telah diberikan tersebut dicatat sebagai ibadah disisi-Nya. Âmîn yâ Mujîb al-Sâ'ilîn

Akhirnya, penulis berharap tesis ini dapat berguna bagi pengembangan wacana Islam dan turut menjadi sumber inspiratif bagi penelitian tentang pengembangan pemikiran mengenai kajian tafsir selanjutnya.

Wassalam.

Jakarta, 8 Agustus 2005

Penulis,

(8)

vi

Persembahan………... i

Pengesahan Sidang ...……… ii

Kata Pengantar ………... iii

Daftar Isi ………. vi

Pedoman Transliterasi ………. ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Permasalahan ………. 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……… 13

1. Tujuan Penelitian ………... 13

2. Kegunaan Penelitian ……….. 14

D. Metodologi Penelitian ………... 15

1. Sumber Penelitian ………. 15

2. Metode Pendekatan dan Analitis ………... 16

E. Tinjauan Pustaka ………... 18

F. Sistematika Penulisan ……….. 21

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI THÂGHÛT A. Pengertian thâghût ……… 24

1. Etimologi ……….. 24

2. Terminologi ……….. 29

B. Klasifikasi dari thâghût ………. 35

1. Syaithân ………. 36

(9)

vii

3. Kâhin ………….………... 44

4. Sahir (Ahli Sihir) ……….. 46

5. al-Ashnâm ……… 50

BAB III : KONSEP AL-QUR’AN MENGENAI THÂGHÛT A. Pengungkapan thâghût dalam al-Qur’an ……… 53

B. Identifikasi term thâghût dalam al-Qur'an ………. 57

1. Anjuran untuk tidak mempercayai thâghût ………. 58

2. Thâghût menuntun manusia dari cahaya keimanan kepada kekufuran ………. 66

3. Mempersekutukan Allah swt dengan mengimani Jibt dan Thâghût ……….. 74

4. Mereka yang berhukum kepada thâghût ………. 79

5. Mereka yang berperang di jalan thâghût ……….. 90

6. Ganjaran Allah swt bagi mereka yang menyembah thâghût.. 94

7. Perintah agar senantiasa menyembah Allah swt serta menjauhi diri penyembahan thâghût ……… 101

8. Allah swt memberi berita gembira (busyra) bagi mereka yang menjauhi diri dari penyembahan thâghût ……….. 105

C. Faktor manusia berbuat thâghût/thughyân ………. 111

1. Timbulnya penyembahan terhadap thâghût ………..…. 111

2. Thughyân Mâl (Harta) ………. 113

3. Thughyân Sulthân (Kekuasaan) ……….. 115

4. Zhalim ……….……….. 118

(10)

viii

A. Kisah umat manusia yang memiliki watak dan temperamen

thâghût dalam al-Qur’an ……….. 123

1. Secara kelompok atau kaum a. Kaum Nûh, as ……… 129

b. Kaum Nabi Hûd, as (Kaum 'Âd) ……… 132

c. Kaum Nabi Shâleh, as (Kaum Tsamûd) ……… 135

2. Secara individu a. Fir'aun ………. 140

b. Qârûn ……….. 147

c. Hâmân ……… 151

B. Sikap manusia terhadap prilaku thâghût ………... 158

C. Pengaruh dan konsekwensi dari perbuatan thâghût di kehidupan masyarakat zaman sekarang ………... 173

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ……… 184

B. Saran-saran ……… 187

DAFTAR KEPUSTAKAAN……… 190

(11)

ix

= a

= f

= b

= q

= t

= k

= ts

= l

= j

= m

= h

= n

= kh

= w

= d = h

= dz

=

= r

= y

= z

= s untuk Madd dan Diftong :

= sy â = a panjang

= sh î = i panjang

= dh û = u panjang

= th

ﻭﺍ

= aw

= zh

ﻱﺍ

= ay

= ′

(12)

1

ﻡﻴﺤﺭﻟﺍ

ﻥﻤﺤﺭﻟﺍ

ﷲﺍ

ﻡﺴﺒ

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah swt, untuk

seluruh umat manusia. Islam membawa ajaran yang lengkap, mencakup

seluruh aspek kehidupan. Tiada satu aspek pun dari permasalahan

kehidupan umat manusia yang lepas dari perhatian al-Qur'an. Begitu juga

halnya dengan aspek kehidupan yang sangat penting mengenai kaitan

antara hal kemasyarakatan dan aqidah. Semua ini untuk dipahami dan

ditarik manfaatnya oleh umat manusia, sesuai kapasitas ilmu

masing-masing.

al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang memiliki sekian banyak

kelebihan; satu-satunya wahyu yang masih ada hingga sekarang disebabkan

adanya jaminan Allah swt akan ke-orisinalan-nya.1 Kitab yang tidak

bercampur dengan kebathilan dari segi apapun.2 al-Qur’an juga berfungsi

sebagai petunjuk bagi semua umat manusia.3 Artinya al-Qur’an menjadi

pedoman kebutuhan dasar manusia dalam mengarungi hidup dan

(13)

2

kehidupan, guna memperoleh jalan keselamatan. al-Qur’an selalu relevan

dengan berbagai problema kehidupan manusia sepanjang zaman.

Sebagai pedoman hidup bagi manusia, pembicaraan al-Qur’an

tentang satu masalah dapat dikatakan tidaklah tersusun secara sistematis

seperti halnya kitab-kitab ilmu pengetahuan yang dikarang manusia. Pada

umumnya pembicaraan al-Qur’an tentang suatu masalah bersifat global dan

seringkali menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip pokok saja.

Namun demikian, hal itu sama sekali tidak berarti mengurangi nilai yang

terkandung dalam Qur’an. Sebaliknya, justru disanalah letak keunikan

Qur’an sekaligus keistimewaannya. Sebab, dengan keadaan seperti itu,

al-Qur'an menjadi obyek kajian yang tiada hentinya oleh para cendekiawan

muslim dan non-muslim, sehingga ia tetap aktual sejak diturunkan empat

belas abad yang silam.4

Penampilan al-Qur’an yang global tersebut membuat setiap tema

yang dikandungnya tidak dapat dipahami secara serta merta tetapi

diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan berdasarkan kaedah-kaedah

yang telah disepakati. Namun secara bersamaan, sebagai -way of life- segala

sesuatu yang terkandung dalam al-Qur’an haruslah dipahami.

Adapun upaya memahami kandungan al-Qur’an itu, para ulama

tafsir pada umumnya menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan

4 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an; Sebuah Kajian Teologis dengan

(14)

3

susunannya dalam mushaf. Pada kajian ilmu tafsir, penafsiran demikian

dikategorikan dalam tafsir yang menggunakan methode tahlîlî.5 Akan tetapi

dalam perkembangan selanjutnya muncul gagasan untuk mengungkapkan

petunjuk al-Qur’an secara tematis berdasarkan suatu masalah/ tema tertentu

yang dibicarakan, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebahagian ayat

dari berbagai surat yang berbicara tentang topik yang sama untuk kemudian

dikaitkan antara satu ayat dengan ayat lainnya, sehingga pada akhirnya

dapat diambil suatu kesimpulan tentang masalah tersebut menurut petunjuk

al-Qur’an.

Diantara banyak tema yang diteliti dalam kerangka methode tafsir

tematik, salah satunya mengenai thâghût yang terkandung dalam al-Qur’an,

karena ia cenderung termasuk dalam suatu bentuk kekufuran kepada

ketauhidan (Allah swt). Tauhid merupakan kunci utama untuk mencapai

kebahagiaan dunia dan akhirat, sebaliknya sikap thâghût dapat merusak

pondasi keimanan seorang muslim dan keselamatannya dalam kehidupan

dunia dan akhirat. Allah swt telah memperingati setiap insan akan adanya

bahaya dari thâghût, salah satunya pada firman Allah swt :

ﺪﹶﻘﹶﻟﻭ

menyerukan agar menyembah Allah swt saja dan menjauhi thâghût. Maka di antara

5 Abd. Al-Hay al-Farmawî, al-Bidây ah fî al-Tafsîr al-M audhû’î, (Kairo: Hadârah

(15)

4

umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah swt dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan rasul-rasul.” (QS. al-Nahl/16: 36)

Thâghût merupakan suatu istilah Qur'ani yang lahir lebih dari 14 abad

lalu, yang merupakan ujud sosok tandingan dari keesaan Allah swt. Baik itu

berupa sesembahan maupun keyakinan yang selalu bertentangan dengan

Kitabullah dan menjadi pagar pembatas antara hakekat tauhid dengan syirik

antara iman dengan kufur.

Pernyataan al-Qur’an tentang watak dan temperamen thâghût baik

sebagai individu yang memegang kekuasaan maupun sebagai kelompok

atau kaum yang mengorbitkannya, tetap saja relevan dengan kondisi

kekinian.

Dengan kata lain sekalipun contoh thâghût secara individual

ditujukan salah satunya kepada Fir’aun sementara yang berbentuk

kelompok atau kaum ditujukan kepada umat yang terdahulu, namun

prilaku ini tetap saja eksis dalam perjalanan kehidupan manusia. Hal ini

dapat dipahami melalui pernyataan al-Qur’an yang melarang untuk

mengikuti thâghût, bahkan terdapat beberapa anjuran agar supaya

mengingkarinya. Adapun indikasi yang lainnya dapat dipahami melalui

ancaman bagi yang mengikuti thâghût dan imbalan bagi yang

(16)

5

Anjuran untuk mengingkari thâghût sebagaimana yang digambarkan

al-Qur’an tidak lain karena prilaku mereka sangat membahayakan keutuhan

suatu bangsa, bahkan sampai mampu memporak-porandakan tatanan

kehidupan masyarakat yang sudah mapan. Bahaya ini tidak hanya

ditimbulkan oleh thâghût sebagai individu yang kebetulan memiliki

kekuasaan akan tetapi bahaya yang sama pula dapat muncul dalam bentuk

kelompok atau kaum.

Menurut Râghib al-Ishfahânî dalam bukunya Mu'jam Mufradât Alfâzh

al-Qur’ân bahwa thâghût adalah ungkapan dari setiap orang yang melampaui batas dan setiap yang disembah selain Allah swt.6 Kemudian istilah ini dapat

dipakaikan untuk masing-masing individu dan juga kelompok. Akan tetapi

dalam al-Qur’an kata thâghût ini selalu diidentikkan kepada individu, yang

secara kebetulan individu dimaksud sedang dalam memegang kekuasaan.

Namun pada realitanya sekarang, makna ini kemudian berkembang

sehingga dapat saja digunakan untuk segala sikap yang melampaui batas,

baik terhadap tuhan maupun terhadap manusia. Kekufuran, kedurhakaan,

pembangkangan serta kesewenang-wenangan semuanya dilukiskan dengan

thughyân. Dinamai dengan thâghût karena ia telah mencapai puncak kekufuran dan pembangkangan terhadap Allah swt. Dalam al-Qur’an Allah

swt berfirman :

6 Râghib al-Ishfahânî, Mu'jam M ufradât Alfâzh al-Qur’ân, Tahqiq Nadîm Mar’asylî,

(17)

6

“ Allah swt adalah Pelindung bagi orang-orang yang beriman; Dia terus-menerus mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan (kekufuran) kepada cahaya (keimanan). Dan bagi orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah thâghût, semua terus-menerus mengeluarkan mereka dari cahaya (keimanan) kepada aneka kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah/2: 257)

Secara garis besar juga, ayat-ayat yang mencantum kata thâghût dapat

bermakna dengan suatu tindak penyembahan kepada selain Allah swt, oleh

karena itu, sering pula diterjemahkan sebagai “ berhala” atau “syaithân” .

Akan tetapi bila ditinjau dari makna lebih luasnya dapat dilihat pada firman

Allah swt lainnya :

ﻢﹶﻟﹶﺃ

mendakwa bahawa mereka telah beriman kepada al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu dan kepada (Kitab-kitab) yang telah diturunkan dahulu daripadamu? Mereka suka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan supaya kufur ingkar kepada thâghût tersebut. Dan syaithân pula sentiasa hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang amat jauh” .(QS. al-Nisa’/4: 60)

Pada ayat di atas ini, maknanya dapat berarti mengacu pada tindakan

berhakim pada thâghût, yang berarti segala bentuk dari otoritas-otoritas

duniawi yang telah menggantikan Allah swt.

al-Sya'rawi dalam tafsirnya ketika menjelaskan makna thâghût yang

berasal dari lafazh

ﻐﻃ

"melampaui batas". Thâghût sendiri merupakan kata

(18)

7

unggul dalam hal melampaui batas/ thughyân. Allah Ta'ala tidak

menyebutnya thaghî tetapi dengan thâghût seperti jabarût. Thâghût sendiri

memiliki banyak beraneka makna, bisa bermakna syaithân, atau orang-orang

yang menganggap dirinya memiliki hak untuk membuat ketentuan syari'ah,

atau memberikan label iman kepada orang-orang yang mereka kehendaki

sesuai dengan hawa nafsu mereka, memberikan sesuatu sesuai dengan

kekuasaan yang ada di tangan mereka. Thâghût juga bisa berarti para kâhin

dan para pendusta. Sebagaimana thâghût juga diartikan dengan setiap

tingkah seseorang yang melampaui batas dalam segala sesuatu.7

Dengan demikian, thâghût memiliki beragam makna, yakni syaithân,

kâhin, bahkan terkadang juga bisa dalam artian penguasa yang arogan dan

berlebihan dalam kekuasaannya.

Abû A’lâ al-Maudûdî, salah seorang ideolog muslim, mendefinisikan

thâghût dalam tafsirnya, sebagai sesosok makhluk yang telah melampaui

batas-batas kemakhlukan dan telah menempelkan sifat ketuhanan kepada

dirinya sendiri–orang yang tidak hanya membangkang kepada Allah swt,

tetapi juga memaksakan kehendaknya kepada orang lain tanpa

mengindahkan kehendak Allah swt. 8

7 Muhammad Mutawallî al-Sya'rawî, Tafsîr al-Sya'rawî, (ttp: Dâr al-Akhbâr al-Yaum,

1991), Jilid. 2, h. 1120-1121

8 Abu A’lâ al-Maudûdî, Towards Understanding the Qur'ân; English Version of Tafhîm

(19)

8

Ulama Syi'ah Modern, Muhammad Husain Thabâthabâ'î dalam tafsir

al-Qur'annya Mîzân, bersama-sama dengan definisi umum tentang berhala,

setan, mendefinisikan thâghût sebagai "para pemimpin yang menyesatkan

manusia dan yang dita'ati meskipun Allah tidak meridhainya." 9

Sedangkan Sayyid Quthb berpendapat bahwa thâghût merupakan

pecahan kata dari al-thughyân, berlaku bagi segala yang menyeleweng dari

kesadaran dan melanggar kebenaran serta melampaui batasan yang telah

Allah swt gariskan bagi umat-Nya, sementara ia tidak memiliki pedoman

dari aqidah “ di jalan Allah swt” dan syari’at yang ditetapkan oleh Allah swt.

Di antara contohnya adalah setiap metode yang tidak bersumber dari Allah

swt, demikian juga di setiap persepsi, disiplin, etika dan tradisi yang tidak

bersumber dari Allah swt.10

Jadi, menurutnya yang dimaksud dengan thâghût dapat berupakan

sesuatu atau segala kekuasaan yang tidak bersandar pada kekuasaan Allah

swt, segala hukum yang tidak ditegakkan di atas syari’at Allah swt, dan

segala permusuhan yang melanggar pada kebenaran dan bersikap pada

melampaui pada batasan-batasan yang telah ditentukan. Adapun

permusuhan terhadap kekuasaan Allah swt, uluhiyah dan pemerintahan

9 Muhammad Husain Thabâthabâ'i, al-M îzân fî Tafsîr al-Qur'an, (Beirût: Mu'assasah

al-A'lamy lil-Mathbû'ât, tth), Jilid. 2, h. 344

(20)

9

Allah swt adalah suatu permusuhan dan pelanggaran yang amat berat dan

dapat menggolongkan para pelakunya pada kategori thâghût.

Perubahan masa ke masa, dari suatu generasi ke generasi yang lain,

juga perkembangan dan kebudayaan manusia, semakin banyak pula hal-hal

yang menjerumuskan mereka pada sikap thâghût ini. Namun banyak di

antara mereka menganggap ada sesuatu di alam ini yang dapat memberikan

manfaat dan mudhârat kepada mereka, sehingga dipuja dan dihormati

dengan tidak menyadarinya, bahkan mewariskan perbuatan itu kepada

generasi selanjutnya. Kelak, generasi sesudahnya menganggap itulah jalan

untuk senantiasa dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.11

Lebih dari itu, sikap thâghût dapat mempengaruhi sikap dan

kepribadian manusia, baik dari keyakinannya, tingkah laku, perbuatannya

dan juga bisa memberikan dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Jika

melihat pada fakta yang terjadi dalam masyarakat sekarang, ternyata masih

terdapat sebahagian orang yang kurang memperhatikan pada masalah ini.

Hal ini terbukti dengan masih terdapatnya orang-orang yang melampaui

batas dalam hal beraqidah, dalam hal kepemimpinan maupun dalam hal

bermu’amalat lainnya hingga mereka merasa bahwa mereka lebih unggul

daripada ketentuan-ketentuan yang telah disyari’atkan dalam ajaran Islam.

11 al-Shan’ânî, Tathhîr al-I’tiqâd ‘an Adran al-Ilhâd, (Shan’â: Dâr al-Hijrah, 1411 H), h.

(21)

10

al-Qur’an memberikan jawaban dan obat penawar bagi hal tersebut

dalam menangkal bahayanya baik dalam kehidupan individual maupun

hubungan sosial kemasyarakatan.

Tentunya, Islam telah memberikan tuntunan dalam menghadapi

mereka, Islam datang sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Seorang muslim yang

ber-tauhid haruslah memahami bagaimana beradaptasi dan ber-mu’amalah

dengan mereka yang terjebak dalam perbuatan tersebut (sikap thâghût) baik

karena ketidak-tahuannya ataupun keyakinannya yang telah menyeleweng

atau menyimpang.

Tulisan ini berupaya untuk melihat bagaimana konsep al-Qur'an

dalam menjelaskan makna dari sikap thâghût baik secara individu maupun

kelompok atau suatu kaum serta pengaruh dan konsekwensi yang akan

muncul di tengah kehidupan bermasyarakat, merupakan kajian khusus

dalam tulisan ini. Jawaban dari persoalan ini akan dilacak melalui ayat-ayat

al-Qur’an yang membicarakan tentang thâghût. Dengan demikian

diharapkan dapat ditarik suatu pandangan al-Qur’an mengenai thâghût

secara jelas sesuai dengan fenomena dan realita yang ada ditengah

kehidupan umat sekarang.

B. Permasalahan

Seperti telah dijelaskan di atas, pembahasan ini akan dibatasi pada

(22)

11

bagaimana petunjuk dan keterangan tentang suatu perbuatan yang

dilakukan oleh manusia, khususnya perbuatan yang diungkapkan dengan

lafazh thâghût.

Lafazh thâghût di dalam al-Qur’an selalu bermakna dan berkonotasi

negatif, al-Qur’an juga mengecam akan perbuatan dan prilaku dari thâghût

tersebut.

Pengertian thâghût dalam al-Qur’an sangat bervariasi seperti sesat,

durhaka, melampaui batas, membuat kerusakan dan berprilaku

sewenang-wenang. Sifat-sifat yang seperti ini terkadang digambarkan oleh al-Qur’an

sebagai sifat individu dan terkadang pula sebagai sifat kelompok atau kaum.

Sekalipun sifat thâghût ini dikaitkan dengan individu dan kelompok namun

al-Qur’an mensinyalir bahwa kedua-duanya saling berkoalisi untuk

memadukan programnya. Berdasarkan adanya koalisi inilah maka kecaman

al-Qur’an terhadap thâghût selalu ditujukan kepada pemimpin dan juga

kelompok atau kaum yang mendukungnya, justru itulah kiprah thâghût

dapat menjadi bahaya latent dalam setiap kehidupan manusia khususnya

lagi dalam setiap kehidupan bernegara dan berbangsa.

Begitu pentingnya permasalahan mengenai sikap-sikap dari para

pelaku thâghût ini, sehingga al-Qur’an memerintahkan kepada manusia

untuk memperhatikan serta berusaha untuk menghindari dari

(23)

12

tersebut. Bahkan perintah tersebut disampaikan berulang-ulang kali dengan

redaksi yang berbeda-beda.

Pada penelitian awal penulis telah merujuk pada Kitab Mu’jam

al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi,

dalam kitabnya di terangkan bahwa kata thâghût baik dari penggunaan kata

kerja (madhi, mudhari', nahyi’) maupun yang berbentuk mashdar atau isim fa'il

dipaparkan secara jelas sebanyak 39 ayat, sedangkan jumlah ayat al-Qur’an

yang berbicara mengenai kata thâghût itu sendiri terdiri dari 8 ayat.12 Untuk

penelitian ini penulis mencoba untuk memaparkan berbagai ayat-ayat diatas

yang berkaitan dengan pembahasan pada penelitian ini.

Salah satunya sebagaimana dicontohkan dalam al-Qur’an; pada (QS.

al-Nâzi’at/ 79:17), jelas tergambar bahwa dalam tataran ini Fir’aun

merupakan salah satu tokoh individual yang berwatak thâghût, karena

Fir’aun dianggap sosok yang paling komplit menginternalisasi watak-watak

thâghût. Maka pada ayat tersebut dengan tegas al-Qur’an menyatakan bahwa

Fir’aun adalah thâghût. Adapun watak thâghût dalam konteks kelompok atau

kaum maka al-Qur’an mencontohkan kaum ‘Âd, Kaum Tsamûd dan kelompok

Fir’aun sendiri.

12 Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi, M u’jam al-M ufahras lî Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm,

(24)

13

Dengan kata lain bahwa para pemimpin-pemimpin maupun

bangsa-bangsa serta kelompok yang memiliki watak seperti Fir’aun adalah thâghût,

akan tetapi pada kali yang lain al-Qur’an juga menyebutkan bahwa thâghût

merupakan bagian dari syaithân yang senantiasa selalu mengajak manusia

untuk berbuat segala hal yang menjurus kepada kemungkaran dan

kesesatan.

Berdasarkan pengkajian sementara penulis (Preliminary Research),

maka permasalahan dalam penelitian ini seputar thâghût dengan mengkaji

dan mempelajarinya dalam kaitan perspektif al-Qur’an yang sebenarnya,

dibatasi pada identifikasi klasifikasi dari thâghût tersebut, serta pada sikap

manusia itu sendiri dan pengaruh thâghût di kehidupan masyarakat, selain

itu penulis juga menggunakan Sunnah Nabi saw sebagai bahan pendukung.

Dari permasalahan tersebut pertanyaan pokok penelitian (Major

Research Question) yang bersifat mengarahkan pada pengumpulan data ini

adalah : " Bagaimana konsep al-Qur’an mengenai thâghût ? "

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui konsep thâghût menurut al-Qur’an.

2. Untuk mengetahui sikap manusia pada nilai-nilai yang berbicara

mengenai thâghût serta pengaruh dan konsekwensinya di kehidupan

(25)

14

dengan kondisi zaman saat ini serta untuk menyelamatkan manusia

dari tipudaya para pelaku thâghût tersebut yang berusaha membisikkan

manusia untuk bersikap melampaui batas dalam agama, sebab sikap

melampaui batas dalam agama akan merubah tujuan diturunkannya

ajaran agama islam itu sendiri, yaitu untuk memudahkan manusia

dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan sikap

melampaui batas dapat merubah kemudahan itu menjadi kesulitan,

maka sikap melampaui batas dapat menyebabkan manusia

mendapatkan berbagai kesulitan dalam kehidupan dunia maupun

akhirat.

2. Kegunaan Penelitian

1. Hasil penelitian ini berguna dalam memperkaya khazanah

pengetahuan keislaman, terutama yang berhubungan dengan kajian

ayat-ayat al-Qur’an dan tafsir dengan tidak mengabaikan aspek-aspek

lain yang terkait dengan kajian yang dimaksud.

2. Berguna dalam melahirkan suatu kerangka konseptual yang mana

menyangkut pada kajian pandangan al-Qur’an mengenai thâghût

terutama sikap manusia terhadap fenomena dan realita yang ada

ditengah umat sekarang ini.

3. Berguna sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap tuntunan

(26)

15

menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan, melalui

pengkajian ajaran al-Qur’an semoga dapat membantu dijadikan sebagai

referensi dan standar moral bagi umat dalam menatap dan

membangun kehidupannya terutama di era global ini serta dapat

menambah wawasan yang konstruktif dalam membina dan mendidik

masyakarat melalui pendidikan yang bersifat Qur’ani.

4. Sebagai salah satu persyaratan mendapatkan gelar Magister Agama

(MA) pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metodologi Penelitian

1. Sumber Penelitian

Penelitian ini bercorak Library Research (Studi Kepustakaan), sumber

data berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik yang

dibahas, sesuai dengan tujuan penelitian maka yang menjadi obyek

utama penelitian ini adalah Mushaf al-Qur’an yang diterbitkan oleh Dâr

al-Fajr al-Islâmî, Beirût, 1403 H. Dari data utama ini dihimpun ayat-ayat

al-Qur’an yang mengandung informasi tentang thâghût. Untuk

kesempurnaan informasi diupayakan teks-teks ayat dipahami juga

berdasarkan interpretasi mufassir terhadap ayat-ayat tersebut dan jika

(27)

16

dengan pembahasan yang dibahas, sesuai dengan kedudukannya sebagai

penjelas dari al-Qur’an.

Sebagai bahan rujukan untuk memahami maksud term tertentu dari

ayat al-Qur’ân dalam mengidentifikasi ayat-ayat yang berbicara tentang

thâghût, penulis menggunakan Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân

yang ditulis oleh M. Fuad Abdul Bâqî, untuk Asbâb al-Nuzûl pada

ayat-ayat al-Qur’an diacu dengan Kitab Asbâb al-Nuzûl yang ditulis oleh

al-Wahidî (w. 648 H). Sedangkan untuk pendalaman pada kajian bahasan,

kitab-kitab tafsir yang dijadikan rujukan adalah kitab tafsir baik tafsîr bi

al-ma’tsûr maupun tafsîr bi al-ra’yi. Bahkan informasi dari kitab-kitab

hadits serta kitab-kitab yang relevan dengan pembahasan yang akan

diteliti tetap digunakan sebagai sumber sekunder pada kajian ini.

2. Metode Pendekatan dan Analitis

Karena objek studi ini adalah ayat-ayat al-Qur'an, maka pendekatan

yang dipilih didalamnya adalah pendekatan ilmu tafsir. Dalam ilmu

tafsir, dikenal beberapa corak atau metode penafsiran al-Qur'an yang

masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri.

Menurut al-Farmawî, setidaknya terdapat empat macam metode

utama dalam penafsiran al-Qur'an, yaitu metode tahlilî,13 metode ijmalî,14

13 Metode Tahlilî adalah : metode tafsir yang berusaha untuk menerangkan ayat-ayat

(28)

17

metode muqarran15 dan metode maudhû'î16; yang terakhir ini adalah

metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur'an tentang suatu

masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat yang

dimaksud, lalu menganalisakannya melewati ilmu-ilmu yang relevan

dengan masalah yang akan dibahas, untuk kemudian melahirkan konsep

yang utuh dari al-Qur'an tentang suatu masalah.17

Sedangkan metode yang dipilih untuk studi ini adalah maudhû’î,

karena menurut penulis metode inilah tepat untuk digunakan dalam

mengkaji berbagai tema al-Qur’an sehingga dapat menghasilkan suatu

kajian yang utuh dan komprehensif.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif18.

Data penelitian diperoleh melalui teknik pengumpulan data kepustakaan

serta materi-materi lain yang berkaitan dengan penulisan tesis ini.

para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri yang tentunya dilatar belakangi dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya, lihat al-Farmawî, al-Bidây ah, h. 52

14 Metode Ijmalî adalah penafsiran al-Qur'an berdasarkan urutan ayat secara ayat

per-ayat dengan suatu uraian yang sederhana sehingga dapat dikomunikasikan baik oleh kaum awam maupun oleh kaum intelektual, Ibid., h. 25

15 Metode Muqarran adalah penafsiran sekelompok ayat al-Qur'an atau suatu surat

tertentu, dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, ayat dengan hadits atau antara pendapat ulama tafsir dengan cenderung menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan tersebut, lihat al-Farmawî, al-Bidâyah, h. 45

16 al-Farmawî, al-Bidâyah, h. 52 17 al-Farmawî, al-Bidâyah, h. 52

18 Kualitatif artinya : Pendekatan yang digunakan dengan melakukan pengumpulan

(29)

18

Data-data yang diperlukan, baik data primer maupun data sekunder

diperoleh dari kepustakaan baik yang berbahasa Indonesia, Arab

maupun Inggris.

Untuk methode penulisan tesis serta transliterasi, penulis merujuk

pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2002.

Hasil dari studi kajian tentang thâghût diatas, kemudian penulis

idealkan sebagai satu hasil karya yang dapat dijadikan masukan dan

bahan bagi kaum muslimin dalam rangka pengaplikasian ayat-ayat

al-Qur’an tersebut.

E. Tinjauan Pustaka

Di awali dengan proses merancang penelitian ini, sebagai kajian

mengenai “Thâghût dalam Perspektif al-Qur’an” ,-sejauh penelusuran

penulis-terhadap karya-karya tesis dan desertasi di perpustakaan yang ada

khususnya pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta, belum menemukan karya-karya berupa tesis

dan disertasi yang secara khusus membahas ayat-ayat al-Qur’an yang

bertema thâghût, apalagi yang lebih detail lagi membahas ayat al-Qur’an

yang didalamnya terdapat term-term tentang thâghût dan dikaji dengan

menggunakan metode tafsir maudhû’î. Maka sebab itu, penulis dalam tesis

(30)

19

Dalam penyusunan tesis sebagai sebuah karya ilmiah, diperlukan

beberapa literatur yang relevan dan berkaitan dengan tema yang dibahas,

sebagai pedoman dasar dan kerangka acuan, sehingga dalam

penyusunannya dapat mengarah pada tujuan dan sasaran penelitian.

Dalam al-Qur’an dan didalam berbagai kitab-kitab Tafsir pembahasan

mengenai thâghût juga telah dibahas, dengan berbagai tingkat penjabaran

dan interpretasi yang berbeda-beda, dengan secara terpencar atau secara acak

dalam berbagai tempat dan dalam bentuk penyajian tafsir tahlilî karena

mengikuti susunan mushaf, sehingga hasil yang diperoleh pun masih

bersifat parsial dan tidak utuh.

Tulisan yang membahas mengenai thâghût, yang diuraikan oleh

Syaikh Ahmad al-Qathan Muhammad Zein dalam bukunya al-Thâghût.

Dalam bukunya tersebut, beliau hanya membahas pandangan secara umum

mengenai thâghût. Namun tulisan ini, belum mendekati pada penyajian

bahasan dengan menggunakan metode tematik yang ada dalam al-Qur’an.

Begitu pula pada buku karya Abdul Karîm Zaidân dengan judul

al-Sunan al-Ilâhiyah fî al-Umam wa al-Jamâ’ât wa al-Afrâd fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah,

yang didalamnya membahas mengenai Sunnatullah dalam Kezhaliman dan

orang-orang yang zhalim (Qânûn al-Thughyân).

Nurcholish Madjid dalam bukunya yang bertajuk Pesan-Pesan

(31)

20

telah diuraikan bagaimana Pengaruh dan Konsekwensi yang harus di

hadapi oleh setiap manusia di zaman sekarang ini, bila menghadapi para

tiran-tiran yang sedang berkuasa, baik itu dalam lingkup kecil maupun

dalam hal memimpin manusia dalam suatu wilayah tertentu.

Juga dalam bukunya yang berjudul Pintu-Pintu Menuju Tuhan,

karangan Nurcholish Madjid. Beliau didalam bukunya tersebut juga telah

menyinggung akan adanya banyak bahaya laten terhadap thughyân.

Muhammad al-Ghazalî dalam bukunya Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’ân,

juga membahas mengenai cara-cara untuk mengubah para pemimpin yang

memiliki sifat otoriter (tirani) atau diktator dalam kepemimpinannya di

bidang politik, serta memberikan langkah dan beberapa cara untuk

menghadapi politik yang otoriter baik dari segi penguasa yang zhalim

maupun dari segi bidang ekonomi dan penganiayaan pada masyarakat.

Namun kajian pada kitab ini belum menyeluruh, karena bukan merupakan

kajian utama, hanya merupakan bab pembahasan yang tidak ditulis dengan

menggunakan pola penafsiran maudhû’î, serta pembahasannya terkesan

ringkas hingga tidak mengulas secara tuntas.

Muhammad Syahrur dalam bukunya Dirâsâh Islâmiyyah Mu'âshirah fi

al-Daulah wa al-Mujtama', yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

dengan judul Tirani Islam; Genealogi Masyarakat dan Negara, juga dalam

(32)

21

dihasilkannya; baik itu tirani dari segi sosial, politik, ekonomi, teologi,

pemikiran, pengetahuan.

Sedangkan buku al-Nizhâm al-Siyâsî fî al-Islâm, karangan Muhammad

Abdul Qadîr Abû Fariz, juga menguraikan tentang hakekat dalam negara

dan kedudukannya dalam ajaran Islam. Buku ini mengajak untuk berfikir

tentang perlunya pembahasan wacana politik Islam dalam kehidupan

zaman sekarang, serta bahasan mengenai sikap para thâghût terhadap

prinsip persamaan dalam bernegara.

Penelitian yang akan penulis lakukan adalah berupaya

mengungkapkan pemahaman thâghût dalam al-Qur'an secara khusus dan

menyeluruh dengan menekankan penelusuran makna-makna thâghût yang

ditunjukkan secara langsung oleh al-Qur'an serta ayat-ayat lain yang

berkaitan dengan pembahasan agar menjadi jelas dalam pemahamannya.

F. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini terpapar secara terarah, sistematis dan sesuai

dengan tujuan serta kegunaannya, maka sistematika pembahasannya adalah

sebagai berikut :

Bab pertama berisi tentang rancangan penelitian yang mencakup :

Latar Belakang Masalah, Permasalahan, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,

Metode Penelitian yang digunakan, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika

(33)

22

Bab kedua merupakan landasan teoritis atau tinjauan umum

mengenai thâghût, terdiri dari bahasan : definisi dan makna dari thâghût baik

dari segi etimologi maupun terminologi, kemudian klasifikasi dari thâghût

tersebut.

Bab ketiga adalah pembahasan tentang studi konsep al-Qur’an

mengenai thâghût, sebagai gambaran pada bab ini penulis akan membahas

ditinjau dari pengungkapan thâghût dalam al-Qur’an, identifikasi term

thâghût dalam al-Qur'an; anjuran untuk tidak mempercayai thâghût, thâghût

menuntun umat manusia dari cahaya keimanan kepada kekufuran,

mempersekutukan Allah swt dengan mengimani jibt dan thâghût, mereka

(orang-orang munafik) berhukum kepada thâghût, mereka (orang-orang

kafir) berperang di jalan thâghût, ganjaran Allah swt bagi mereka yang

menyembah thâghût, perintah agar senantiasa menyembah Allah swt serta

menjauhkan diri dari penyembahan thâghût, Allah swt memberi berita

gembira (busyra) bagi mereka yang menjauhi penyembahan thâghût, faktor

manusia berbuat thâghût/ thughyân.

Bab keempat merupakan analisis mengenai makna hakikat kisah

thâghût dalam al-Qur’an, pada bab ini membahas mengenai kisah umat manusia yang memiliki watak dan temperamen thâghût dalam al-Qur’an

baik secara kelompok atau kaum maupun secara individu; seperti Kaum

(34)

23

Tsamûd), Fir'aun, Qârûn, Hâmân, serta sikap manusia terhadap prilaku

thâghût, kemudian pengaruh dan konsekwensinya pada kehidupan masyarakat.

Bab kelima adalah penutup yang berisi : kesimpulan dari seluruh

(35)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG THÂGHÛT

A. Pengertian Thâghût

1. Etimologi

Sebelum membahas lebih jauh mengenai thâghût menurut perspektif

al-Qur'an, maka esensi thâghût sebagai tema sentral dalam kajian ini, perlu

diungkapkan lebih dahulu. Hal ini penting, mengingat bahwa pemahaman

terhadap esensi thâghût akan membantu memahami pada pembahasan

selanjutnya.

Thâghût dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah merupakan kata benda yang menunjukkan pada arti pelaku (isim fâ'il), yang bermakna :

yang menyuruh orang untuk senantiasa berbuat jahat, atau yang disembah

orang, namun bukan Tuhan; melainkan berhala.1

Kata thâghût berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari huruf

Tha-Gha'-Waw-Ta'

(

-

-

-

)

.

Secara etimologi, menurut Ibn Fâris dalam Mu'jam Maqâyîs al-Lughah,2

perkataan thâghût berasal dari thaghâ yang terdiri dari huruf

ـﻐﻃ

Tha, Gha'

dan salah satu huruf mu'tal, yakni bermakna : melampaui batas dari

kedurhakaan atau melewati batas dari ketidak-ta'atan. Dapat juga disebut

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. II, h. 882

2 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, M u'jam M aqâyîs al-Lughah, (Kairo:

(36)

dengan

ٍ

ﺎﹶ

. Kata kerja thagha ini merupakan sinonim yang lain dari kata

istakbara secara harfiah berarti menjadi besar, menyombongkan diri dengan kebanggaan,3 yang memainkan peranan penting dalam al-Qur'an. Nama

bagi setiap yang melampaui batas dan yang merusak.

Dalam Lisân al-Arab dijelaskan4 :

ـ

ﻧﺎﻴ

ﻐﻃ

-

ـﻐ

ﻄﻳﻭ

-

ﺎﻴ

ﻐﻃ

-

ﻄﻳ

-

ﻐﻃ

,

yakni

ﺭﺪ

ـ

ﻘﻟﺍ

ﻭﺎ

ـ

bermakna melampaui batas atau

ﻝﻮﺒﻘ

ﺍﺪ

ـﳊ

ﻭﺎﺟ

yakni melampaui batas ketentuan yang telah disepakati.

ـ

ﻔﻜﻟﺍ

ـ

ﻏﻭ

ﻊـ

ﻔﺗﺭﺍﻭ

bermakna keterlaluan dalam kekufuran,

ـ

ﻴﻏﺎ

ﻪﻠﻌﺟ

ﻝﺎ

ﻐﻃ

bermakna

harta menjadikannya melampaui batas atau menjadi lalim.

ﻪﺟﺍﻮﻣﺃ

ﺖﺟﺎﻫ

ﻐﻃ

ﻥﻼﻓ

yakni

ﻢﻠﻈﻟﺍ

ﺮﺳﺃﻭ

ﱪﲡ

ﻭﺃ

,

ﻥﺎﻴ

ﻌﻟﺍ

ﻼﻏ

keterlaluan dalam kedurhakaan (kemaksiatan) atau dalam ketidak-ta'atan pada kezhaliman.

Thaghâ al-Bahru (laut), artinya : meluap bergelombang dan berombak.

Segala sesuatu yang melampaui batas, disebut thaghâ, sebagaimana air yang

3 kata Istakbara merupakan kata kerja yang menunjukkan pada watak kesombongan,

sebenarnya adalah fenomena dinamis yang dapat muncul sewaktu-waktu. Yakni ledakan emosi yang muncul secara tiba-tiba dari amarah yang menghinakan. Dalam bahasa Arab ada sejumlah kata lain yang lebih kurang memiliki arti yang hampir sama dengan istakbara yang berkenaan dengan kesombongan manusia terhadap Allah swt. Di antaranya; baghâ : perbuatan yang melanggar aturan yang berlaku dan tidak bijaksana terhadap orang lain, contoh: (QS. al-Syura: 26-27), batira (QS. al-Qashash: 58), 'ata : keangkuhan dan di luar batas menunjukkan sikap tinggi hati/ pemberontak terhadap peraturan, sikap ini cenderung pada hal yang konkret manifestasi dari lahiriah, baik dalam perilaku maupun dalam ekspresi keangkuhan, contoh : (QS. al-Furqan: 21), thaghâ (QS. al-Syams:11-12), istaghnâ : menunjukkan pada kepercayaan diri yang berlebihan dari manusia dan menegaskan pengertian tentang orang yang berada atau kaya raya, contoh : (QS. (QS. al-Lail: 5-11), lebih lanjutnya lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an, Terj. Mansuruddin Djoely, Etika Beragama dalam Qur'an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 231-244

4 Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, (Beirût: Dâr Ihya al-Turâts al-Arabî, 1991), Jilid VIII, h.

(37)

thaghâ menenggelamkan kaum Nûh as, dan sebagaimana angin kencang

yang thaghâ menghancurkan atau menggilas kaum Tsamûd.

Definisi thâghût ini cakupannya luas. al-thâghût, masdarnya ialah

al-thughyân/thaghâ yang membawa maksud melebihi had. Sebagaimana firman

Allah swt dalam al-Qur'an :

ﺎﻧِﺇ

“ Sesungguhnya Kami, ketika air (banjir) melampaui had-nya (thaghâ) (serta telah menenggelamkan gunung-gunung), telah mengangkut (serta menyelamatkan nenek moyang) kamu ke dalam bahtera Nabi Nûh (yang bergerak laju pelayarannya).” (QS. al-Hâqqah/69: 11)

Bermula dari gambaran tentang yang memancar begitu tinggi hingga

melewati batas dan melimbahi bendungan, kemudian mengandung arti

yang metaforis, berkenaan dengan sikap yang sombong yang suka

dilakukan oleh seseorang yang telah menyimpang atau telah memberontak

dan berbuat sewenang-wenang dalam berkuasa (tirani).5

al-Thâghût bisa juga berlaku untuk lafal mufrad seperti firman Allah swt dalam al-Qur'an :

ﻢﹶﻟﹶﺃ

“ Tidakkah engkau melihat (wahai Muhammad saw) orang-orang (munafik) yang mendakwa bahawa mereka telah beriman kepada al-Qur'an yang telah diturunkan kepadamu dan kepada (Kitab-kitab) yang telah diturunkan dahulu daripadamu? Mereka suka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan supaya kufur ingkar kepada thâghût itu. Dan syaithân pula sentiasa hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang amat jauh” . (QS. al-Nisa'/ 4: 60)

(38)

Dapat juga digunakan untuk lafal jamak seperti firman Allah swt dalam beriman. Ia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekufuran) kepada cahaya (keimanan). Dan bagi orang-orang yang kafir, penolong-penolong mereka ialah thâghût yang mengeluarkan mereka dari cahaya (keimanan) kepada kegelapan (kekufuran). Mereka itulah ahli neraka, mereka kekal di dalamnya” . (QS. al-Baqarah/2: 257)

Serta bisa juga berlaku untuk mudzakkar atau muannats. Timbangan

wazannya adalah fa'alut. Asalnya adalah thayaghût, dengan didahului huruf

ya sebelum huruf ghain yang di-fathah-kan dan sebelumnya juga fathah, lalu

huruf ya itu diganti dengan alif, sehingga menjadi : thâghût.

Jamak kata thâghût adalah al-thawâghî. Dalam hadits disebutkan :

ﻦﻋ

" Dari Abdu al-Rahman ibn Samurah, Bahwasanya Nabi saw bersabda : " Janganlah kalian bersumpah atas nama bapak-bapak kalian dan atas nama al-thawâghî." (HR. Sunan al-Nasâ'i)

al-Thawâghî adalah jamak dari thâghiyah, yakni segala yang mereka

sembah berupa berhala-berhala dan yang lainnya. Misalnya : thâghiyah Banî

Daus dan thâghiyah Banî Khats'am, yakni berhala dan sesembahan mereka.

Tetapi bisa juga yang dimaksud dengan al-Thawâghî adalah mereka

6CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ, diriwayatkan oleh al-Nasâ'i, dalam Sunan al-Nasâ'i,

(39)

orang yang terlalu kufur dan melampaui batas, yakni para pembesar dan

bangsawan mereka. Sedangkan metafora al-thawâghî jamaknya adalah

thâghût, yakni syaithân atau segala apa yang dihiasi oleh mereka untuk disembah dari berhala (al-ashnâm).

Jadi thâghût berasal dari akar kata thaghâ yang secara bahasa berarti

melanggar batas, berbuat sewenang-wenang, kejam atau menindas, melebihi

ketentuan yang ada, meninggi dan melampaui batas dalam hal

pengingkaran.

Sedangkan dalam Mu'jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân7 dijelaskan :

ﺍﺬﻛ

ﻐﻃ

ﺃﻭ

, yakni

ﻥﺎﻴ

ﻐﹼ

ﻄﻟﺍ

ﻪﻠ

membawa kepada kelaliman, begitu juga bisa dikatakan terhadap sesuatu yang melampaui batas dalam kemaksiatan.

Menurut al-Raghib, thughyân yang berakar dari kata thaghâ, berarti:

melampaui batas dalam hal kejahatan, kedurhakaan atau semua yang

disembah selain Allah swt.

Dari kata thughyân ini pula terbentuk kata thâghût. Serta dapat berarti

setiap makhluk yang melebihi batas kelaknatan. Thâghût di ibaratkan

sebagai setiap yang ditaati dan setiap segala sesuatu yang disembah selain

Allah swt, lafadz ini bisa dipergunakan dalam bentuk mufrad maupun jamak.

Dan di ibaratkan pula dengan setiap yang ditaati, sebagaimana telah

7 Râghib al-Ishfahânî, M u'jam M ufradât Alfâzh al-Qur’ân, Tahqîq Nadîm Mar’asyalî,

(40)

diterangkan sebelumnya, baik yang berbentuk sihir, kâhin serta berpaling

dari jalan kebenaran.

Jadi pengertian thâghût bersifat umum, meliputi setiap yang

diagungkan selain Allah swt. Al-Qur'an juga menggunakan kata thâghût

untuk istilah tiran. Hendaklah ditolak segala bentuk thâghût. Perkataan

thâghût disebut dalam bahasa Arab sebagai sighah mubalaghah dengan makna

sangat melampaui batas atau telah berbuat penyimpangan yang

sewenang-wenang.

2. Terminologi

Makna thâghût menurut terminologi tidak terlepas dari maknanya

menurut etimologi. Dari segi terminologinya, thâghût merupakan sesuatu

yang cenderung mempunyai sikap telah melampaui batas dalam bentuk

yang disembah, diikuti atau yang ditaati, setiap kaum yang menjadikan

rujukan perkara mereka selain Allah swt dan Rasul-Nya serta mengikuti

sesuatu tanpa dasar ilmu dari Allah atau menta'atinya.8

Jadi dapat dikatakan sebagai manusia yang melampaui batas dan

ukurannya. Yang dimaksud dengan batas (had) itu adalah batas-batasan

Allah swt yang telah ditetapkan dan tidak boleh dilalui.

Adapun yang dimaksud dengan ukuran (had) itu sendiri adalah,

bahwa manusia itu berada dalam eksistensinya sebagai makhluk Allah swt,

8 Muhammad ibn 'Alî ibn Muhammad ibn 'Atiq, Ibthâl Tandîd bikhtishâr Syarh

(41)

yang konsekwensi logisnya harus taat kepada Tuhannya dan harus selalu

eksis dalam ruang lingkup pengabdian kepada-Nya.

Jika ia melampaui batas yang telah digariskan oleh Allah swt yang

tidak boleh dilalui, atau ia melampaui ukurannya, maka ia telah terjerumus

kepada kemaksiatan dan membangkang kepada Tuhannya. Untuk

menguatkan apa yang penulis kemukakan diatas dari definisi menurut

terminologi ini, sebagaimana firman Allah swt :

ﻢِﻘﺘﺳﺎﹶﻓ

“ Oleh itu, hendaklah engkau (wahai Muhammad) sentiasa tetap teguh di atas jalan yang benar, sebagaimana yang diperintahkan kepadamu, dan hendaklah orang-orang yang telah taubat kembali kepada kebenaran mengikutmu berbuat demikian; dan janganlah kamu melampaui batas hukum-hukum Allah swt; sesungguhnya Allah swt Maha Melihat akan segala apa yang kamu kerjakan." (QS. Hûd/11: 112)

al-Zamakhsyarî menafsirkan ayat

ﺍﻮ

ـ

ﹾﻄﺗ

ﹶﻻ

ﻭ

(dan janganlah kamu

melampaui batas), yakni janganlah kamu keluar dari batas-batas Allah9.

al-Alusî berkata :

ﺍﻮ

ـ

ﹾﻄﺗ

ﹶﻻ

ﻭ

, yakni janganlah kamu berpaling dari batas-batas kalian dengan melakukan keteledoran atau berlebih-lebihan10.

ﻫﹾ

9 Abû Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf 'an Haqâ'iq al-Tanzîl wa

'Uyun al-Awaqil fî W ujûh al-Ta'wîl, (Kairo: Mushtafa al-Bâb al-Halabî, 1966), Jilid. 2, h. 433

10 Abû Al-Sana’ Syihab al-Dîn, al-Sayyid Afandi al-Alûsî al-Baghdadî, Rûh al-M a’ânî fî

(42)

al-Qurthubî berkata mengenai makna :

ﻰ

ُ

ـ

ﻧِﺇ

(sesungguhnya dia telah melampaui batas), yakni sesungguhnya dia (Fir’aun) berdosa, takabur,

kufur, congkak dan melampaui batas.11

al-Alûsî berkata :

ـ

ﻪ

ـ

ﻧِﺇ

, yakni melampaui batas dalam takabur, angkuh, congkak sehingga ia berani mengaku-ngaku sebagai tuhan12.

al-Qurthubî mengutip beberapa pendapat ulama dalam menerangkan

thâghût. Thâghût merupakan bentuk singular, sedangkan bentuk pluralnya

adalah thawâghin. Dimana pada dasarnya berarti berlebih-lebihan. Adapula

yang berpendapat dengan mengartikan sebagai tukang sihir dan setan serta

setiap mastermind kesesatan, sebagaimana yang disebutkan al-Jauhari.13

al-Sya'rawî dalam tafsirnya menjelaskan makna thâghût yang berasal

dari lafazh

ﻐﻃ

"melampaui batas". Thâghût sendiri merupakan kata

superlatif dalam pengertian sesuatu hal yang melampaui batas/ thughyân.

Allah Ta'ala tidak menyebutnya thaghî tetapi dengan thâghût seperti jabarût.

Thâghût sendiri memiliki banyak beraneka makna, bisa bermakna syaithân, atau orang-orang yang menganggap dirinya memiliki hak untuk membuat

ketentuan syari'ah, atau memberikan label iman kepada orang-orang yang

mereka kehendaki sesuai dengan hawa nafsu mereka, memberikan sesuatu

sesuai dengan kekuasaan yang ada di tangan mereka. Thâghût juga bisa

11 Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakar al-Farh al-Qurthubî, Jâmi' li Ahkâm

al-Qur'ân, (Kairo: Dâr al-Sya'b, 1327 H), Jilid. 30, h. 152

12 al-Alûsî, Rûh al-M a'ânî, Jilid. 16, h. 181

(43)

berarti para kâhin dan para pendusta. Sebagaimana thâghût juga diartikan

dengan setiap tingkah seseorang yang cenderung mempunyai sikap telah

melampaui batas dalam segala sesuatu.14

Dengan demikian, thâghût memiliki beragam makna, yakni syaithân,

kâhin, bahkan terkadang juga bisa dalam artian penguasa yang arogan dan

berlebihan dalam kekuasaannya.

Menurut Montgomery Watt15, Thaghâ adalah : "orang yang menekan

tanpa menghiraukan aturan dan terutama sekali tanpa menghiraukan

pertimbangan-pertimbangan agama dan moral, yang tidak menghendaki

apa pun yang menghalanginya dan keyakinan yang tidak terbatas kepada

kemampuan dirinya". Dalam konteksnya yang khusus dalam al-Qur'an, ia

menunjukkan "ketiadaan rasa kepatuhan, yang dikaitkan dengan sikap yang

tidak hormat atau membelakangi al-Khalik."

al-Maudûdî, mendefinisikan thâghût dalam tafsirnya : "sebagai sosok

makhluk yang melampaui batas-batas kemakhlukan dan menempelkan sifat

ketuhanan kepada dirinya sendiri–orang yang tidak hanya membangkang

14 Muhammad Mutawallî al-Sya'rawî, Tafsîr al-Sy a'rawî, (ttp: Dâr al-Akhbâr al-Yaum,

1991), Jilid. 2, h. 1120-1121; lihat juga Fakhru al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Kabîr (Tafsîr M afâtih al-Ghaib), (Beirût: Dâr al-Fikr, 1993), Jilid. 10, h. 133, dalam artian lebih luas menurut al-Razi,

thâghût dapat dibagi menjadi empat hal yakni: syaithân, berhala, kâhin dan Segala sesembahan selain Allah Ta'ala. Jadi thâghût dapat diartikan dengan : setiap sesembahan selain Allah swt; termasuk di dalamnya syaithân, tukang tenun (kâhin), berhala dan setiap orang yang menyeru kepada kesesatan. Yang mana selalu identik dengan kejelekan yang tidak ada nilainya; lihat juga Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-M unîr; fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-M anhaj, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1998), Jilid. 13, h. 128

(44)

kepada Allah swt, tetapi juga memaksakan kehendaknya kepada orang lain

tanpa mengindahkan kehendak Allah swt".16

Sedangkan menurut Fazlur Rahman, thâghût dianggap sebagai prinsip

kejahatan atau kekafiran yang lebih bersifat obyektif ketimbang person.17

Dan sehubungan dengan ini, al-Qur'an mengidentifikasi orang-orang kafir

sebagai teman-teman thâghût sebagaimana mereka adalah teman-teman

syaithân. Seperti halnya thâghût, Fazlur Rahman memperkirakan bahwa

syaithân lebih merupakan prinsip kejahatan dan kekafiran yang obyektif

daripada person, meskipun ia mengakui bahwa ketika kejahatan

berhubungan dengan atau mempengaruhi seseorang individu, maka ia

mengalami personalisasi menjadi syaithân.18

Ibn Qayyîm dalam I’lâm al-Muwaqqî'în19 memberi penjelasan lebih

komprehensif, katanya: “thâghût adalah perkara yang menyebabkan

seseorang itu melebihi batasan sama dan ia berkaitandengan penyembahan,

mengikutinya atau mematuhinya. Jadi thâghût dalamsegala bentuknya ialah

mereka yang berpaling dari Allah dan Rasul-Nya untuk perkara hukum;

atau merasa suka menyembah selain dari Allah serta mengikuti sesuatu

16 Abû A’lâ al-Maudûdî, Towards Understanding the Q ur'ân; English Version of Tafhîm

al-Qur’ân, (Leicester: The Islamic Foundation, 1989) Jilid. 1, h. 199-200

17 Fazlur Rahman, M ajor Themes of The Qur'an, (Chicago: Bibliotheca Islamic, 1980), h.

131

18 M. Asad, The M essage of The Qur'an, (Gibraltar: Dâr al-Andalûs, 1980), h. 130-131 19 Ibn Qayyîm al-Jauziyah, I'lâm al-M uwaqqî'în, Terj. Asep Saefulloh FM, Panduan

(45)

tanpa sembarang dalil dari Allah dan mematuhi sesuatu dalam perkara yang

diketahui bahwa ia adalah keingkaran kepada Allah.”

Sedangkan Sayyid Quthb berpendapat bahwa thâghût merupakan

pecahan kata dari al-thughyân, berlaku bagi segala yang menyeleweng dari

kesadaran dan melanggar kebenaran serta melampaui batasan yang telah

Allah swt gariskan bagi umat-Nya, sementara ia tidak memiliki pedoman

dari aqidah “ di jalan Allah swt” dan syari’at yang ditetapkan oleh Allah swt.

Di antara contohnya adalah setiap metode yang tidak bersumber dari Allah

swt, demikian juga di setiap persepsi, disiplin, etika dan tradisi yang tidak

bersumber dari Allah swt.20

Jadi, menurut penulis, yang dimaksud dengan thâghût dapat berupakan

segala sesuatu kekuasaan yang tidak bersandar pada kekuasaan Allah swt,

segala hukum yang tidak ditegakkan di atas syari’at Allah swt, dan segala

permusuhan yang melanggar pada kebenaran dan bersikap pada melampaui

pada batasan-batasan yang telah ditentukan. Sementara permusuhan

terhadap kekuasaan Allah swt, uluhiyah dan pemerintahan Allah swt adalah

suatu permusuhan dan pelanggaran yang amat berat dan dapat digolongkan

para pelakunya tersebut pada kategori thâghût.

(46)

B. Klasifikasi dari Thâghût

Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa thâghût adalah setiap

yang disembah selain Allah swt, ia rela dengan peribadatan yang dilakukan

oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan ketaatan orang yang

mentaatinya dalam hal melakukan maksiat kepada Allah swt dan

Rasul-Nya. Allah swt mengutus para Rasul agar memerintahkan kaumnya

menyembah kepada Allah swt semata dan menjauhi thaghut. Sebagaimana

firman Allah swt dalam al-Qur'an :

ﺪﹶﻘﹶﻟﻭ

“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus dalam kalangan tiap-tiap umat seorang Rasul (dengan memerintahkannya menyeru mereka): " Hendaklah kamu menyembah Allah swt dan jauhilah thâghût " . Maka di antara mereka (yang menerima seruan Rasul itu), ada yang diberi hidayah petunjuk oIeh Allah swt dan ada pula yang berhak ditimpa kesesatan. Oleh itu mengembaralah (berjalanlah) kamu di bumi, kemudian lihatlah bagaimana buruknya kesudahan umat-umat yang mendustakan Rasul-rasulnya." (QS. al-Nahl/16: 36)

Setelah mengenal arti thâghût diatas, di sini penulis juga menguraikan

klasifikasi dari thâghût tersebut, agar kita dapat mewaspadainya dan

menjalankan kewajiban syar'i untuk menghadapinya. Adapun bentuk

Referensi

Dokumen terkait

Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,

Sistem hukum yang ada Indonesia dapat menjadi acuan karena merupakan sebuah sistem aturan yang berlaku di negara Indonesia memiliki aturan yang sangat luas, Kedudukan

58 Secara harfiah horizon adalah wawasan yang sedikit banyak dikondisikan oleh situasi, dan orang memiliki kesadaran terhadap situasi di mana dia berada di

Telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa molekul itu merupakan gabungan dari beberapa atom sejenis maupun dari atom yang tidak sejenis yaitu molekul senyawa. Dari kedua ayat di

Apabila perbuatan baik ataupun netral didasari dengan keimanan yang tentunya tidak melanggar dari syariat-syariat Islam, maka hal tersebut akan memberikan balasan baik di dunia

memeperhatikan alam semesta dan merenunginya sampai mendapatkan sesuatu pemahaman tentang sifat dan kelakuan serta proses alami yang terjadi di dalamnya merupakan suatu aktivitas

Konsep amr-ma’ruf (menyuruh untuk berbuat baik) telah membuktikan bahwa Islam memberikan tempat bagi perkembangan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat serta

Perbuatan zina akan merusak keharmonisan keluarga, isteri akan hina dimata suami, anak wanita akan harga dirinya di mata pengasuh orang tua.16 Hubungan ayat tersebut dengan sebelumnya