• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOLABORASI ANTARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA KEPULAUAN PASIFIK DALAM MENGHADAPI TANTANGAN LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KOLABORASI ANTARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA KEPULAUAN PASIFIK DALAM MENGHADAPI TANTANGAN LINGKUNGAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Perjanjian No:III/LPPM/2018-01/23-P

KOLABORASI ANTARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA

KEPULAUAN PASIFIK DALAM MENGHADAPI TANTANGAN

LINGKUNGAN

Disusun Oleh:

Elisabeth A.S. Dewi, Ph.D

Stanislaus R. Apresian, M.A.

Vrameswari Omega W., M.Si (Han)

Feby Elvani Pangestika

Agnes Gianni

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

Universitas Katolik Parahyangan

(2)

1 DAFTAR ISI

ABSTRAK ... 2

BAB I. PENDAHULUAN ... 3

I.1 Latar Belakang Penelitian ... 3

I.2 Urgensi Penelitian dan Rencana Temuan ... 5

I.3 Tujuan Penelitian ... 6

I.4 Luaran Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

BAB III. METODE PENELITIAN ... 13

BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN ... 17

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

(3)

2 ABSTRAK

(4)

3 BAB I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Penelitian

Permasalahan lingkungan masih menjadi isu utama bagi negara-negara di dunia, tidak terkecuali bagi negara-negara di Kepulauan Pasifik dan juga Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tahun 2016, kawasan Pasifik dikenal sebagai salah satu yang paling rentan terkena bahaya alam (natural hazard) dan perubahan iklim di dunia.1 Negara-negara di Pasifik bukanlah negara yang menjadi penyumbang besar emisi gas karbon akan tetapi menjadi kawasan yang paling terkena dampak dari perubahan iklim dan terancam eksistensinya. Pemanasan global telah memberikan efek yang nyata terhadap naiknya permukaan air laut yang mengakibatkan kurangnya persediaan air bersih dan menghancurkan daratan yang ada.2 Negara-negara di kepulauan Pasifik memang merupakan kawasan yang rentan terhadap sejumlah bencana alam seperti siklon, kekeringan, banjir, longsor, erupsi dan gunung merapi tetapi kondisi ini diperparah oleh adanya perubahan iklim. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa setidaknya 8 pulau di Samudera Pasifik telah tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.3 Walaupun memiliki risiko yang tinggi terhadap permasalahan lingkungan, negara-negara kecil di kepulauan Pasifik masih sangat memiliki keterbatasan dalam sumber daya manusia dan juga kapasitas dalam memitigasi bencana.

Kondisi serupa pun terjadi di Indonesia. Sebagai negara yang terletak di kawasan

Pacific Ring of Fire dan dikelilingi tiga lempeng tektonik menyebabkan Indonesia menjadi wilayah yang rawan bencana. Lebih jauh lagi, perubahan iklim juga turut menjadi sumber permasalahan lingkungan di Indonesia. Seorang ahli bencana dari Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa dampak perubahan iklim telah mengancam sekitar 2000 pulau dan 42 juta rumah di Indonesia akan tenggelam sebelum tahun 2050.4 Hampir 85 persen bencana yang terjadi di Indonesia berhubungan erat dengan fenomena terkait perubahan iklim.5 Untuk itu,

1 World Bank. (2016).Climate change and Disaster Management. Washington: The World Bank, hlm. 16 2Jim Rolfe. 2014. “The Pacific Islands: Security Problems Out of Mind and Out of Focus”. Centre for Strategic

Studies New Zealand. Diakses dari https://www.victoria.ac.nz/hppi/centres/strategic-studies/documents/20_The-Pacific-Islands_Security-Problems-Out-of-Mind-and-Out-of-Focus.pdf pada 30 Oktober 2017 pukul 20.00 WIB

3 Trevor Nace. ( September 2017). “New Study Finds 8 Islands Swallowed By Rising Sea Level”. Diakses dari

https://www.forbes.com/sites/trevornace/2017/09/09/new-study-finds-8-islands-swallowed-by-rising-sea-level/#54c494575283 pada 5 Desember 2017 pukul 15.00 WIB

4 The Jakarta Post. (Desember 2015). “Rising Sea Levels Threaten 2000 Islands in Indonesia”. Diakses dari

http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/17/rising-sea-levels-threaten-2000-islands-indonesia.html pada 5 Desember 2017 pukul 15.30 WIB

(5)

4

upaya-upaya untuk mengurangi risiko bencana yang kemudian diperparah oleh fenomena perubahan iklim terus dilakukan.

Melihat pada tantangan dan ancaman yang dihadapi oleh negara-negara di kepulauan Pasifik dan Indonesia, membangun kerja sama yang konstruktif untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi menjadi hal yang penting. Indonesia sendiri telah memberikan sejumlah bantuan teknis kepada negara-negara di kawasan Pasifik melalui kerangka Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS). Dalam rangka KSS, terdapat beberapa program yang sudah dilakukan di negara-negara Kepulauan Pasifik sebagai upaya untuk membantu mereka dalam menghadapi dan mengantisipasi risiko yang ditimbulkan oleh ancaman cuaca dan iklim ekstrim.6 Kerja sama ini difokuskan salah satunya untuk mengembangkan kapasitas sumber daya manusia melalui sejumlah pelatihan. Seperti pada tahun 2014-2017, sudah 41 pelatihan yang diberikan oleh pemerintah RI kepada Fiji dalam rangka kerja sama teknis.7 Adapun bantuan kemanusiaan langsung yang diberikan Indonesia kepada negara-negara di Kepulauan Pasifik seperti Vanuatu dan Fiji sebagai upaya untuk mengatasi dampak bencana siklon pada tahun 2015 dan 2016 lalu. Namun, kolaborasi antara Indonesia dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik dinilai masih belum intensif, konstruktif, dan berkelanjutan.

Menggali potensi kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara kepulauan Pasifik menarik untuk dikaji lebih dalam. Pertama, tantangan-tantangan lingkungan seperti perubahan iklim ini erat keterkaitannya dengan keamanan manusia karena masyarakat menjadi unsur yang paling terdampak dalam permasalahan ini.8 Tidak hanya itu saja, fenomena perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya juga memiliki pengaruh besar terhadap sejumlah sektor seperti kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, keamanan pangan, termasuk akses terhadap pendidikan.9 Selain faktor adanya ancaman eksistensial yang diakibatkan dari permasalahan lingkungan, hubungan Indonesia dengan negara-negara di Pasifik Selatan juga tidak terlepas dari aspek politis. Suara sumbang di kawasan Pasifik yang menyuarakan isu HAM dan kemerdekaan Papua jelas telah menyentuh hal paling krusial dari sebuah negara, yaitu kedaulatan. Untuk itu, pendekatan yang lebih intens dengan menekankan aspek keamanan kemanusia dan

6 Dwi Rini. (Juli 2017). “Kesiapan Negara Kawasan Asia Pasifik Hadapi Resiko Bencana”. Diakses dari

http://www.bmkg.go.id/berita/?p=kesiapan-negara-kawasan-asia-pasifik-hadapi-resiko-bencana&lang=ID pada 14 Desember 2017.

7 Direktorat Kerja Sama Teknik, Kementerian Luar Negeri RI. 2017. “Kerja sama Teknik RI-Fiji 2017”.

Disampaikan dalam rapat pemantapan rencana kerja sama riset di kawasan Pasifik pada 30 Oktober 2017 di Sensa Hotel Bandung.

(6)

5

pembangunan perlu lebih dikedepankan dalam menjalin kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik.

Selain itu, negara-negara Kepulauan Pasifik merupakan salah satu kawasan yang paling banyak bergantung pada bantuan luar negeri terutama dalah hal pembangunan. Adapun lima negara donor terbesar di kawasan Pasifik, yaitu Australia, Amerika Serikat, China, Selandia Baru, dan Jepang.10 Melihat konstelasi di kawasan Pasifik ini, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk meningkatkan perannya dalam hal pemberian bantuan teknis khususnya untuk mengurangi risiko dampak bencana yang dihasilkan dari permasalahan-permasalahan lingkugan di kawasan Pasifik sekaligus berpeluang untuk menyeimbangkan kekuatan (balance of power) di kawasan tersebut. Indonesia dengan negara-negara di kawasan Pasifik juga memiliki ikatan atau warisan budaya Melanesia. Hal ini dapat menjadi batu fondasi yang kokoh untuk menjalin kedekatan hubungan, baik itu secara bilateral maupun multilateral. Hal lainnya yang tidak kalah penting, pengalaman-pengalaman dalam mengatasi permasalahan keamanan lingkungan yang pernah hadapi oleh Indonesia maupun negara-negara Kepulauan Pasifik dapat menjadi sebuah sharing knowledge yang apabila memungkinkan dapat diterapkan di negara masing-masing. Untuk itu, penelitian ini akan mencoba menggali potensi kerja sama lebih lanjut antara Indonesia dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik mengingat keduanya memiliki permasalahan yang sama dalam mengatasi berbagai natural hazards dan juga perubahan iklim.

I.2 Urgensi Penelitian dan Rencana Temuan

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena permasalahan lingkungan menjadi salah satu isu global yang hingga saat ini menjadi sorotan dan masuk kategori 17 prioritas yang tertulis dalam agenda Sustainable Development Goals yang ingin dicapai pada tahun 2030. Selain itu, penelitian ini juga sejalan dengan 10 bidang unggulan yang tertulis dalam rencana induk penelitian Universitas Katolik Parahyangan yang salah satunya berfokus pada perubahan iklim. Untuk itu, penelitian mengenai kolaborasi antara Indonesia dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik dalam menghadapi tantangan lingkungan penting untuk dilakukan yang bertujuan memetakan dan menggali potensi kerja sama yang lebih berkelanjutan dan intensif antara negara-negara tersebut. Sementara itu, hasil dari penelitian ini dapat menjadi sebuah

10 Matthew Dornan dan Jonathan Pryke. 2017. Foreign Aid to the Pacific: Trends and Developments in the

(7)

6

rekomendasi kebijakan yang nyata bagi pemerintah Indonesia khususnya Direktorat Kerja Sama Teknik dan Direktorat Kerja Sama Intrakawasan dan Antarkawasan Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri.

I.3 Tujuan Penelitian

Kajian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan keamanan lingkungan di negara-negara Kepulauan Pasifik dan memetakan kerja sama yang sudah dilakukan antara Indonesia dengan kawasan Pasifik dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengelaborasi kerja sama yang dapat dilakukan lebih jauh dan intens antara Indonesia dan negara-negara kepulauan Pasifik dan mengapa kolaborasi ini menjadi hal yang penting.

I.4 Luaran Penelitian

Luaran kongkrit dari penelitian ini adalah artikel jurnal yang telah dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional (http://journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalIlmiahHubunganInternasiona)

(8)

7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini mencoba menjelaskan konsep keamanan lingkungan untuk mengkaji kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik dalam mengatasi keamanan lingkungan. Dalam hal ini, dimulai dengan paparan state of art kajian mengenai keamanan lingkungan yang telah dilakukan para peneliti sebelumnya. Selain itu, dideskripsikan juga mengenai pentingnya keamanan lingkungan bagi negara-negara di wilayah Pasifik, faktor-faktor yang mempengaruhi tantangan lingkungan, dan pendekatan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan-tantangan lingkungan.

Studi mengenai keamanan lingkungan (environmental security) dalam hubungan internasional pada dasarnya masuk pada ranah kajian keamanan. Secara khusus, kajian ini juga masuk dalam wilayah pembahasan keamanan manusia. Memasuki tahun 1990-an, tepatnya setelah Perang Dingin berakhir, ada kebutuhan untuk meredefinisi dan memperluas konsep keamanan. Salah satu karya yang berpengaruh terhadap perkembangan konsep keamanan ialah artikel yang ditulis oleh Richard Ullman. Menurut Ullman, konsep keamanan tradisional masih terlalu sempit dan beriorientasi hanya pada aspek militer saja.11 Dalam tulisannya ia menyatakan bahwa konsep keamanan tidak harus memiliki nilai yang absolut sehingga nilai-nilai lainnya terutama yang berkaitan dengan kebebasan dapat dipertimbangkan. Menurut analisisnya, agenda keamanan setelah Perang Dingin juga membahas mengenai ancaman-ancaman non-militer, termasuk kelangkaan sumber daya dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia.12 Untuk itu, redefinisi konsep keamanan menjadi penting.

Saat ini, keamanan tidak lagi berbicara mengenai negara saja tetapi juga manusia.

Dalam tulisan Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde yang berjudul “Security: A New

Framework for Analysis”, mereka membagi ranah keamanan tidak hanya menyangkut sektor militer saja tetapi merambah 4 sektor lainnya termasuk lingkungan. Hal ini pun diperkuat oleh pernyataan UNDP13 bahwa ancaman yang muncul tidak lagi berasal dari agresi militer eksternal melainkan bersifat internal yang menyentuh kehidupan manusia sehari-hari seperti tantangan lingkungan. Ketika isu lingkungan mengancam kondisi eksistensi manusia dalam skala besar seperti dalam kasus dimana negara-negara rentan terhadap kenaikan air muka laut tetapi memilki keterbatasan kapabilitas untuk menanganinya maka hal ini sudah termasuk ke

11Richard Ullman. 2011. “Redefining Security”. Dalam Christopher W. Hughes dan Lai Yew Meng, Security

Studies: A Reader. London: Routledge, hlm. 11

12 Ibid.

13 United Nations Development Program adalah badan PBB yang memberikan bantuan teknis dan pembangunan

(9)

8

dalam isu keamanan.14 Seperti apa yang dikatakan Barry Buzan dalam artikelnya yang berjudul

“New Patterns of Global Security in the Twenty-First Century”, batas bawah keamanan adalah adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup.15 Pada dasarnya menurut Buzan, dkk. keamanan lingkungan berfokus pada bagaimana memelihara lapisan kehidupan sebagai sistem pendukung paling esensial tempat seluruh sumber daya manusia menggantungkan hidupnya.16 Penelitian lain diungkapkan oleh Nicole Detraz bahwa lingkungan dan keamanan memiliki keterkaitan. Detraz menyatakan terdapat tiga hubungan antara lingkungan dan keamanan. Pertama, degradasi lingkungan secara langsung dapat mendorong terjadinya konflik. Kedua, kerusakan lingkungan memberikan dampak negatif terhadap keamanan manusia. Terakhir, aktivitas manusia mengakibatkan kerusakan lingkungan atau disebut dengan istilah keamanan ekologis.17 Silmon Dalby juga berpendapat bahwa perubahan iklim telah menjadi bagian dari ancaman lingkungan yang muncul. Menurut Dalby, perubahan iklim menambahkan urgensi baru terhadap diskusi panjang mengenai keamanan lingkungan.18 Dalam tulisannya, Dalby memfokuskan pada tiga hal, yaitu kerentanan perkotaan terhadap kejadian ekstrem; konsekuensi sosial dan politik dari upaya adaptasi dan mitigasi; dan upaya geo-engineering

untuk mengatasi perubahan iklim. Ia berpendapat bahwa dalam beberapa hal, permasalahan lingkungan mungkin menjadi bagian dari keamanan nasional. Namun, isu lingkungan utama memerlukan kerja sama internasional untuk ditangani secara efektif.19

Adapun artikel yang ditulis oleh J. Scott Hauger yang secara spesifik membahas tentang tantangan-tantangan perubahan iklim terhadap keamanan di wilayah kepulauan Pasifik dan peluang kerja sama untuk mengelola ancaman tersebut. Hauger menyatakan bahwa, berdasarkan konsensus ilmiah, pemanasan global menyebabkan perubahan pada sistem iklim bumi yang berdampak pada keamanan lingkungan.20 Berdasarkan karakteristik geografis, negara-negara-negara di Kepulauan Pasifik memiliki tantangan-tantangan lingkungan tersendiri yang kemudian diperparah oleh fenomena perubahan iklim seperti naiknya

14Barry Buzan, “New Patterns of Global Security in the Twenty-First Century”, International Affairs (Royal

Institute of International Affairs 1944-), Vol. 67, No. 3 (Jul., 1991), hlm. 450

15 Ibid., hlm. 432

16Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap Wilde. 1998. “Security: A New Framework for Analysis”. London: Lynne

Rienner Publishers, hlm. 8

17 Nicole Detraz. 2015. Environmental Security and Gender. London: Routledge., hlm. 174.

18Simon Dalby. 2013. “Climate Change: New Dimensions of Environmental Security”, The RUSI Journal, Vol.

158, No. 3, (Juni-Juli, 2013), hlm. 34.

19 Ibid.

20 Stocker, T. F., et al., eds.,.2013. Intergovernmental Panel on Climate Change’s (IPCC) “Summary for

(10)

9

permukaan air laut dan badai tropis.21 Selain itu, negara-negara kepulauan ini pun bergantung pada sektor perikanaan dan pariwisata untuk menjalankan roda perekonomian. Namun, kedua sektor ini terancam oleh pengasaman air laut dan kenaikan suhu. Pasokan air tawar menjadi sedikit karena lahan untuk menyerap curah hujan terbatas dan juga disebabkan oleh kenaikan permukaan air laut.22

Menurut Hauger, negara-negara di Kepulauan Pasifik sangat rentan terhadap dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Dampak keamanan yang langsung dirasakan oleh negara-negara ini, antara lain, berkurangnya akses terhadap air bersih, pasokan makanan, dan kerusakan infrastruktur pesisisr.23 Bagi negara-negara pulau karang, seperti Kiribati, Tuvalu, dan Kepulauan Marshall, kenaikan air muka laut merupakan ancaman eksistensial. Hal ini juga berkaitan dengan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penurunan pendapatan dari sektor pariwisata hingga keharusan untuk melakukan migrasi ke dataran yang lebih tinggi. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memproyeksikan risiko menengah hilangnya mata pencaharian, permukiman pesisir, infrastruktur, ekosistem, dan stabilitas ekonomi bagi negara-negara pulau kecil dalam jangka waktu 2030-2040 dan sangat berisiko tinggi dalam jangka panjang 2080-2100.24 Melihat pada situasi yang dihadapi oleh negara-negara di Kepulauan Pasifik ini, maka dibutuhkan kerja sama untuk mengelola ancaman yang terjadi dalam hal mitigasi, adaptasi, respons, serta penciptaan dan diseminasi pengetahuan bagi masyarakat.25 Dengan populasi yang sedikit dan terbatasnya sumber daya, negara-negara di wilayah Pasifik harus mencapai strategi kolaboratif untuk mengelola ancaman perubahan iklim.26 Hauger menegaskan kerja sama antarsektor, lintas sektor, regional, dan internasional merupakan pendekatan yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan-tantangan lingkungan yang dihadapi oleh negara-negara di wilayah Pasifik. Mereka harus menggalakkan dan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan berbagai kolaborasi yang bertujuan untuk mengelola mitigasi, adaptasi, dan respons terhadap perubahan iklim dan juga mengembangkan dan menyebarkan pengetahuan terkait perubahan iklim dan cara mengatasinya untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

21J. Scott Hauger. 2015. “Climate Change Challenges to Security in the Pacific Islands Region and Opportunities

for Cooperation to Manage the Threat”. Dalam Rouben Azizian dan Carleton Cramer, Regionalism, Security & Cooperation in Oceania. Honolulu: Asia Pacific Center for Security Studies, hlm. 148

22 Ibid.

23 Ibid., hlm. 148

24Field, C.B., et al., eds., IPCC “Summary for policymakers” in Climate Change 2014: Impacts, Adaptation,

and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral Aspects. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 23. and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral Aspects. Cambridge: Cambridge University Press., hlm. 23.

(11)

10

Pemikiran mengenai keamanan lingkungan terus mengalami perkembangan seiring meningkatnya pengetahuan dan perhatian lokal dan global terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi.27 Upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang mendorong untuk mencapai kebijakan yang menekankan pada pembangunan berkelanjutan dan ketahanan iklim (climate resilience) kini masuk ke dalam hal keamanan.28 Dampak dari perubahan iklim ini pun tentunya dirasakan oleh semua aktor, mulai dari individu hingga negara. Menciptakan respons yang kooperatif antar semua pihak baik itu ditingkat nasional, regional, hingga global untuk mengatasi tantangan-tantangan lingkungan menjadi sebuah hal yang penting.29 Untuk itu, membangun kerja sama yang koheren antarnegara menjadi sebuah kebutuhan tersendiri dalam mengatasi isu keamanan lingkungan.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian yang telah ada lebih memfokuskan bagaimana permasalahan lingkungan seperti perubahan iklim menjadi bagian dalam studi tentang keamanan dan bagaimana kerja sama internasional diperlukan untuk mengelola tantangan lingkungan. Penelitian ini akan bertitik tolak untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan keamanan lingkungan. Selanjutnya memetakan kerja sama apa saja yang sudah dilakukan dan tantangan dalam mengimplementasikan kerja sama tersebut. Setelah itu, penelitian ini akan mengkaji lebih dalam potensi kerja sama apa yang dapat diciptakan untuk mengatasi permasalahan lingkungan di masa depan yang sifatnya lebih berkelanjutan.

Sementara itu, kajian yang secara khusus membahas mengenai kerja sama Indonesia dengan negara-negara kepulauan Pasifik dalam mengatasi isu lingkungan masih sangat minim

bahkan belum ada sama sekali. Adapun penelitian sebelumnya yang berjudul “Disaster Relief

Sebagai Bentuk Soft Power Diplomacy Indonesia, Studi Kasus: Siklon Pam di Vanuatu, Maret

2015”. Penelitian ini lebih membahas proses bantuan kemanusiaan yang diberikan Indonesia ke Vanuatu dalam mengatasi dampak siklon Pam yang terjadi pada 2015 dan dilihat sebagai upaya diplomasi Indonesia untuk menjalin hubungan bilateral yang lebih kuat. Penelitian lain yang sudah pernah dilakukan dengan judul Foreign Direct Investment (FDI) and

Environmental Degradation: Does Pollution Haven Exist in Indonesia membahas mengenai

tantangan keamanan lingkungan yang dihadapi oleh Indonesia. Hadirnya FDI ternyata dapat

membawa dampak buruk bagi kerusakan lingkungan. Ada dugaan bahwa FDI yang masuk ke

negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia ini mencari negara yang memiliki regulasi

27J. Jackson Ewing. 2016. “Environmental Security”, dalam An Introduction to Non-Traditional Security Studies:

A Transnational Approach.London: Sage, hlm. 96

28 Ibid.

(12)

11 lingkungan yang longgar tidak seperti di negara maju sehingga investor dapat melakukan

praktek produksi yang tidak ramah lingkungan guna menekan biaya produksi. Polusi yang

disebabkan oleh FDI ini tentunya menjadi salah satu penyebab perubahan iklim yang menjadi

ancama seluruh negara di dunia tidak terkecuali. Penelitian ini masih membahas tantangan dari

Indonesia saja, ke depannya, penelitian ini akan dikembangkan untuk melihat tantangan

keamanan lingkungan yang dihadapi oleh negara lain seperti negara-negara Kepulauan Pasifik.

Sesuai peta jalan yang telah dibuat sebelumnya, maka penelitian ini bermaksud melanjutkan kedua penelitian tersebut dengan mencoba untuk menggali potensi kerja sama yang lebih konstruktif dan terarah antara Indonesia dengan negara-negara kepulauan Pasifik utuk mengatasi permasalahan lingkungan. Gambar 1 menunjukkan roadmap penelitian yang telah, sedang dilaksanakan dan rencana penelitian ke depan.

Gambar 1. Roadmap Penelitian 2016-2020

(13)
(14)

13 BAB III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan studi literatur dan wawancara mendalam sebagai sumber informasi. Untuk menganalisis data, Bogdan dalam

Sugiyono menyatakan bahwa “Analisis data adalah proses mencari dan menyusun seecara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain agar dapat mudah dipahami dan hasilnya dapat diinformasikan kepada orang lain.”30 Sugiyono juga mengungkapkan bahwa analisis data dapat dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih hal yang penting dan akan dipekajari, dan membuat kesimpulan.31 Dalam penelitian kualitatif, analisis data dapat berlangsung selama proses pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan metode analisis data menggunakan model Miles dan Huberman. Menurut Miles dan Huberman, analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan terus-menerus hingga data jenuh.32 Hal-hal yang dilakukan selama analisis data meliputi tiga elemen, antara lain, data reduction, data display, dan menarik kesimpulan. Model Miles dan Huberman dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2. Komponen dalam Analisis Data Model Miles dan Huberman

Setelah tahap pengumpulan data maka tahap selanjutnya adalah mereduksi data. Proses ini menjadi penting karena dalam penelitian kualitatif akan menemukan data yang jumlahnya banyak sehingga perlu dipilih data mana saja yang relevan dengan penelitian ini. Mereduksi data berarti merangkum, memilih data yang pokok, dan membuat kategorisasi.33 Tujuannya

30 Sugiyono.2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi. Bandung: Alfabeta., hlm. 332 31 Ibid.

(15)

14

adalah mencari temuan yang relevan dengan pertanyaan penelitian yang ingin digali. Komponen selanjutnya adalah menyajikan data (data display) untuk mencari pola-pola atau hubungan antarkategori. Terakhir, penarikan kesimpulan/verifikasi. Kesimpulan yang merupakan hasil temuan dalam penelitian ini perlu diverifikasi kembali kebenarannya. Untuk menunjang hal itu, maka dapat dilakuan pengumpulan data kembali. Dalam pengolahan data, penelitian ini dibantu dengan penggunaan NVivo Software. Pelaksanaan penelitian mengikuti tahapan-tahapan seperti ditunjukkan pada diagram 3 dan tabel 4.

Diagram 3. Gambaran Tahapan Penelitian

(16)

15 Tabel 4. Tahapan Kegiatan Penelitian

Tahap Rincian Kegiatan

Tahap I

Tujuan:

-Melakukan desk-study dan penelusuran data secara online -Merancang outline penulisan

Lokasi:

Bandung (studi literatur/dokumen, media massa dan elektronik) Luaran:

Identifikasi permasalahan keamanan lingkungan Indikator capaian:

Laporan tahap 1 (Working Paper)

Alokasi waktu: 2 bulan

Tahap II

Tujuan:

-Membeli perangkat lunak Nvivo

-Melakukan pelatihan mengolah data dengan menggunakan perangkat Nvivo -Mengolah data hasil desk-research

-Melakukan wawancara dan pengumpulan data yang lebih rinci

-Melakukan triangulasi data dengan mencocokkan antara data dari desk study (studi literatur dan media massa) dengan data wawancara

Lokasi:

Jakarta (Kementerian Luar Negeri; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kedutaan Besar Negara-Negara Kepulauan Pasifik seperti Kedutaan besar Fiji, Kedutaan Besar Kepulauan Solomon, dan Kedutaan Besar Papua Nugini; NGOs seperti WALHI, dan Greenpeace; dan think thank seperti World Resource Institute dan Climate Policy Initiative)

Luaran:

Hasil wawancara Indikator capaian:

Transkrip wawancara dan kompilasi materi dari dokumen resmi Alokasi waktu: 2 bulan

Tahap IV

Tujuan:

-Menganalisis data hasil studi literatur dan wawancara Lokasi:

Bandung Luaran:

-Analisis pemetaan kerja sama yang sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kawasan Pasifik

-Analisis potensi kerja sama lebih lanjut dalam permasalahan lingkungan Indikator capaian:

(17)

16

Alokasi waktu: 1 bulan

Tahap V

Tujuan:

-Penyusunan laporan penelitian Lokasi:

Bandung Luaran:

Laporan Penelitian Indikator capaian: -Draft artikel -Laporan Penelitian Alokasi waktu: 2 bulan

(18)

17 BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN

Jadwal pelaksanaan penelitian digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 5. Agenda Pelaksanaan Penelitian

No Jenis kegiatan

Bulan Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 Tahap I:

1. Identifikasi

2. Outline

2 Tahap II:

1. Pelatihan pengolahan data

2. Mengolah data

3. Hasil studi literatur

3 Tahap III:

1. Wawancara

2. Triangulasi Data

4 Tahap IV:

1.Analisis data

5 Tahap V:

1. Draft artikel

(19)

18 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tantangan Keamanan Lingkungan di Negara-negara Kepulauan Pasifik

Negara-negara melihat isu perubahan iklim dengan cara yang berbeda satu sama lain karena mereka memiliki pengalaman berbeda terkait dampak-dampak dari perubahan iklim. Isu ini dapat menjadi kepentingan utama suatu negara untuk beberapa negara, tetapi mungkin bukan menjadi prioritas untuk negara-negara yang lain. Ketika banyak masyarakat di suatu negara merasakan ancaman yang disebabkan oleh perubahan iklim maka pemerintah negara tersebut akan mempertimbangkan perubahan iklim sebagai kepentingan nasional yang utama. Negara-negara Kepulauan Pasifik adalah kelompok negara yang menjadikan perubahan iklim sebagai perhatian mereka karena mereka menghadapi ancaman lingkungan yang disebabkan oleh perubahan iklim ini.

Ada beberapa resiko dan kerentanan yang disebabkan oleh perubahan iklim yang dapat menjadi ancaman nyata untuk Negara-negara Kepulauan Pasifik. Beberapa resiko dan kerentanan tersebut dapat dilihat pada diagram di bawah ini.

Diagram 6. Resiko dan Kerentanan Negara-negara Kepulauan Pasifik Terhadap Isu Perubahan Iklim

Sumber: Asian Development Bank34

34Asian Development Bank, “Pacific Risks, Vulnerabilitles, and Key Impacts of Climate Change and Natural

(20)

19

Berdasarkan diagram di atas, Negara-negara Kepulauan Pasifik rentan terhadap ancaman perubahan iklim. Perubahan iklim adalah ancaman nyata terhadap penduduk yang tinggal di Kawasan ini. Naiknya permukaan laut dapat memaksa penduduk untuk pindah dari tempat pemukiman asal. Berdasarkan studi yang dibuat oleh Campbell yang telah menyusun sebuah scenario untuk memprediksikan jumlah manusia yang terpaksa harus berpindah dari tempat tinggal mereka, dia mengestimasikan bahwa 665.000 hingga 1,7 juta manusia terpaksa harus pindah dari tempat tinggal mereka pada 2050.35 Peningkatan permukaan laut berdampak juga pada eksistensi terumbu karang yang merupakan rumah dari banyak spesies ikan di dunia ini. Banyak penduduk di Kepulauan Pasifik bergantung pada perikanan untuk kehidupan mereka. Cuaca ekstrim seperti angin topan, dan banjir dapat merusak infrastruktur dan membuat banyak orang kehilangan tempat tinggal.36 Banyak orang tentunya masih mengingat Cyclone Pam pada tahun 2015 yang membuat 75.000 orang kehilangan tempat tinggal. Perubahan drastis curah hujan juga dapat berdampak pada suplai air dan secara tidak langsung berdampak pada produktivitas pertanian. Ketika produktivitas pertanian menurun, maka akan berakibat pada kelangkaan bahan pangan dan menjadi masalah keamanan pangan.

Dari diagram di atas, dapat dilihat juga bahwa ada kaitan antaran keamanan lingkungan dan aspek lain dalam keamanan nasional. Keamanan lingkungan dapat berdampak pada aspek keamanan lain seperti keamanan manusia, keamanan kesehatan, dan keamanan pangan. Oleh karena itu, sangat jelas apabila Negara-negara Kepulauan Pasifik memiliki kepentingan terhadap isu perubahan iklim ini dan berjuang untuk meminimalisir dampak-dampak negatif dari perubahan iklim.

Mengelola dampak perubahan iklim termasuk mitigasi, adaptasi, respon, dan penciptaan pengetahuan adalah tantangan bagi Negara-negara Kepulauan Pasifik karena itu semua membutuhkan sejumlah dana yang tidak sedikit. Pada kenyataannya, dana tersebut biasanya diambil dari anggaran nasional mereka yang seharusnya dapat dialokasikan untuk dana pembangunan yang lain. Menurut data dari policy paper IMF, rata-rata anggaran yang dihabiskan pemerintah untuk penangangan bencana untuk negara kecil mendekati 2 persen dari total GDP. Persentase ini empat kali lebih besar dari negara-negara yang lebih besar. Hal ini

35 John Campbell, “Climate-induced community relocation in the Pacific: the meaning and importance of

land," Climate change and displacement: Multidisciplinary perspectives (2010), quoted in Elizabeth Ferris, Michael M. Cernea, and Daniel Petz, On the Front Line of Climate Change and Displacement Learning From and With Pacific Island Countries (London: Brooking Institution, 2011), 19.

36Addam Connors, “Cyclone Pam: Vanuatu One Year Later,” ABC, March, 15, 2016, accessed January 28, 2018,

(21)

20

menunjukkan bahwa, negara kecil mengalami bencana dengan frekuensi yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara besar atau maju.37 Berdasarkan data dari Centre for Research on the Epidemiology of Disasters, ada 11 bencana alam yang melanda Negara-negara Kepulauan Pasifik dari bulan Mei 2015 hingga Januari 2018. Tipe bencana alam yang dialami antara lain wabah demam berdarah, wabah campak, tanah longsor, angin topan, dan banjir. 38 Dengan melihat Negara-negara Kepulauan Pasifik yang hanya memiliki jumlah populasi yang kecil, dana terbatas, dan sumber daya yang terbatas untuk mengatasi dampak perubahan iklim, Negara-negara Kepulauan Pasifik seharusnya tidak hanya bergantung pada anggaran nasional dan sumber daya mereka saja. Mereka seharusnya mencari mitra kolaborasi yang memiliki kepentingan yang sama, dan memiliki pengalaman dalam mengelola dampak perubahan iklim. Kolaborasi bisa dalam bentuk antar-lembaga, cross-sectoral, regional, dan internasional. 39

Indonesia yang juga menghadapi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim dapat menjadi mitra kolaborasi yang potensial untuk Negara-negara Kepulauan Pasifik. Indonesia memiliki ancaman lingkungan yang mirip dengan Negara-negara Kepulauan Pasifik dan memiliki pengalaman dalam mengelola dampak perubahan iklim. Secara geografis, Indonesia berlokasi di Kawasan pasifik juga. Oleh karena itu, kolaborasi antara Indonesia dan Negara-negara Kepulauan Pasifik akan menguntungkan kedua belah pihak.

Bantuan Indonesia untuk Negara-Negara Kepulauan Pasifik dalam Menangani Permasalahan Lingkungan

Indonesia telah memberikan sejumlah bantuan teknis kepada negara-negara di kawasan Pasifik melalui Kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (KSS). Dalam kerangka KSS, ada beberapa program yang telah dilakukan di Negara-Negara Kepulauan Pasifik sebagai upaya untuk membantu mereka dalam menangani dan mengantisipasi risiko yang ditimbulkan oleh cuaca ekstrim dan ancaman iklim. Salah satu kerja sama difokuskan pada pengembangan kapasitas sumber daya manusia melalui sejumlah pelatihan. Seperti pada tahun 2014-2017, 41

37 International Monetary Fund, “IMF Policy Paper Small States’ Resilience to Natural Disasters and Climate

Change – The Role of IMF,” Policy Papers, accessed 20 January 2018, https://www.imf.org/external/np/pp/eng/2016/110416.pdf.

38 Centre for Research on the Epidemiology of Disasters, “EM-DAT: Disasters of the Week,” The International

Disaster Database, accessed January 20, 2018, www.emdat.be.

39 J. Scott Hauger, Climate Change Challenges to Security in the Pacific Islands Region and Opportunities for

(22)

21

pelatihan telah diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Fiji dalam kerangka kerja sama teknis.40 Pada Juli hingga Agustus 2017, Indonesia telah mengadakan pelatihan terkait sistem peringatan dini dengan menggunakan aplikasi geospasial dan pembangunan berkelanjutan. Pelatihan ini dihadiri oleh 12 peserta dari perwakilan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB) dari enam negara di kawasan Pasifik, diantaranya, Fiji, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, dan Vanuatu. Selain itu, UN ESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific) dan BMKG telah mengadakan kegiatan pelatihan yang berhubungan dengan kajian pengurangan risiko bencana dan sistem peringatan dini dengan menggunakan Sistem Informasi Geospasial di negara-negara Pasifik.41

Direktorat Kerja sama Teknis, Kementerian Luar Negeri juga telah melaksanakan sejumlah program terkait pengurangan risiko bencana. Sebagai contoh, workshop internasional dalam meningkatkan KSS dalam manajemen risiko bencana di kawasan Asia Pasifik dengan memfokuskan pada upaya adaptasi perubahan iklim yang dihadiri oleh perwakilan negara Fiji dan Paoua Nugini. Kegiatan ini memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas dan membagikan pengalaman dari berbagai institusi di Indonesia yang memiliki keterkaitan dalam bidang manajemen risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim kepada negara-negara peserta. Selain itu, kegiatan ini merupakan wadah untuk bertukar pengalaman dan ide antarnegara yang hadir dalam workshop ini.42 Lokakarya terkait dengan manajemen risiko bencana yang berfokus pada penyususnan perencanaan strategis KSS juga pernah dilaksanakan, yang merupakan kolaborasi antara Kementerian Luar Negeri, UN ESCAP, Unit Khusus UNDP (United Nations Development Programme) untuk KSS (Asia-Pasifik), dan Pusat Gerakan Non-Blok untuk Kerjasama Teknik Selatan-Selatan (NAM CSSTC). Lokakarya ini dihadiri oleh praktisi manajemen risiko bencana dari Fiji dan Papua Nugini. Hasil dari lokakarya adalah pembentukan Rencana Strategis Kerjasama Selatan-Selatan untuk Pengurangan Risiko Bencana tahun 2009-2011.43

40 Direkorat Kerja Sama Teknis, Kementerian Luar Negeri RI, , “Kerja sama Teknik RI-Fiji 2017”.

Dipresentasikan pada rapat terbatas terkait rencana kerja sama dengan Kawasan Pasifik pada 30 Oktober 2017 di Hotel Sensa Bandung

41The Jakarta Post, “RI and the Pacific: AHistory of Cooperation” (2 Desember 2016). Diakses pada 31 Januari

2018, http://www.thejakartapost.com/adv/2016/12/02/ri-and-the-pacific-a-history-of-cooperation.html

42 Kementerian Luar Negeri RI, “International Workshop on Enhancing South-South Cooperation Roles on

Disaster Risk Management in Asia Pacific: Focusing on Climate Change Adaptation”, Kemlu.go.id, (14 Oktober 2008). Diakses pada 28 Januari 2918, https://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/International-Workshop-on-Enhancing-South-South-Cooperation-Roles-on-Disaster-Risk-Management-in-Asi.aspx

43 Kementerian Luar Negeri RI, “Kerjasama Teknik Memperkuat Kemitraan”, Tabloiddiplomasi.org (19 Agustus

(23)

22

Pelatihan tentang ekowisata juga telah difasilitasi oleh Indonesia untuk beberapa Negara Kepulauan Pasifik. Pelatihan ini dimaksudkan untuk berbagi pengalaman Indonesia dalam mengelola potensi ekowisata ke negara-negara di kawasan Pasifik. Pelatihan ini termasuk membahas pengembangan ekowisata di wilayah Pasifik; pembelajaran dan praktik terbaik Indonesia; prinsip dan praktik ekowisata di pulau-pulau; perubahan iklim dan dampaknya terhadap pariwisata; serta mitigasi bencana alam di kawasan ekowisata.44 Bantuan kemanusiaan juga telah disampaikan oleh Indonesia ke Vanuatu dan Fiji sebagai tanggapan untuk mengatasi dampak siklon Pam dan Winston. Pada tahun 2015, Indonesia menyediakan bantuan kemanusiaan senilai 2 juta dollar AS yang terdiri dari bahan makanan, obat-obatan, tenda, selimut, pembangkit listrik, tempat tidur lipat, dan perlengkapan kebersihan pribadi. Selain itu, Indonesia mengirim tim terpadu untuk melakukan asesmen kebutuhan pascabencana di beberapa wilayah Vanuatu sebagai dampak dari Siklon Pam.45 Kemudian pada tahun 2016, Pemerintah Indonesia memberikan bantuan sebesar 5 juta dollar AS untuk membantu Fiji dalam mengatasi dampak Siklon Winston.46 Dalam sebuah pernyataan pers tahunan, Retno Marsudi mengatakan bahwa Indonesia terus memperkuat keterlibatannya di Pasifik melalui pelatihan berbasis kapasitas dan bantuan kemanusiaan, terutama ketika negara-negara di kawasan ini dilanda bencana alam, sebagai bentuk solidaritas sebagai warga dunia dan bagian dari negara Pasifik.47 Kehadiran Indonesia di kawasan Pasifik dapat dilihat sebagai upaya untuk membangun empati dan solidaritas yang didasarkan pada ikatan budaya dan berbagi beban. Terlepas dari pertimbangan politik, bantuan yang diberikan oleh Indonesia menunjukkan pentingnya Indonesia bagi Negara-Negara di Kepulauan Pasifik dan juga bentuk solidaritas kepada orang-orang Melanesia untuk memenangkan hati dan pikiran mereka. Namun, Indonesia harus lebih memperhatikan kawasan ini terutama dalam kaitannya dengan masalah kedaulatan Indonesia di Papua.

44Kementerian Luar Negeri RI, “International Training Program on Ecotourism for Pacific Countries,

Kemlu.go.id. (2011, April 26). Diakses pada 31 Januari 2018, https://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/International-Training-Program-on Ecotourism-for-Pacific-Countries-Yogyakarta-25-April-4-Mei-2011.aspx

45Abba Gabrillin, “Kirim Bantuan ke Vanuatu, Kemenlu RI Galang Solidaritas Antarnegara”, Kompas.com (4

April 2015). Diakses pada 5 Desember 2017,

http://nasional.kompas.com/read/2015/04/04/19182621/Kirim.Bantuan.ke.Vanuatu.Kemenlu.RI.Galang.Solidari tas.Antarnegara

46Humas Polkam, “Mennkopolhukam: Indonesia Akan Konsisten Hadir di Pasifik Selatan”, Polkam.go.id (1 April

2016). Diakses pada 3 January 2018 at https://polkam.go.id/menkopolhukam indonesia-akan-konsisten-hadir-di-pasifik-selatan/

(24)

23 Pentingnya Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) Antara Indonesia dan Nrgara-Negara Kepulauan Pasifik

Menjalin hubungan dengan Negara-Negara Kepulauan Pasifik adalah bagian dari implementasi look east policy Indonesia. Implementasi kebijakan luar negeri Indonesia memiliki dua aspek utama, untuk mencapai kepentingan nasional dan berkontribusi untuk memecahkan masalah global.48 Kebijakan luar negeri Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kepentingan nasionalnya. Namun, tidak berarti bahwa untuk mencapai kepentingan nasional ini, Indonesia tidak dapat berkontribusi terhadap masalah global. Prinsip bebas aktif tetap menjadi dasar kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya, Indonesia memiliki fokus untuk menjadi pembangun jembatan antara berbagai kepentingan dan posisi di tingkat internasional. Selain itu, peran Indonesia juga diarahkan untuk menjadi bagian dari solusi untuk menyelesaikan masalah global.49 Kebijakan luar negeri Indonesia juga memprioritaskan isu-isu yang terkait dengan kepentingan publik seperti masalah lingkungan dan KSS. Kedua prioritas ini pada dasarnya dapat berjalan seiring. Prinsip ini terus diterapkan oleh pemerintah Indonesia dalam membangun hubungan dengan semua negara termasuk dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik. Untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dan menyelesaikan tantangan global, Indonesia berkontribusi untuk memberikan bantuan bagi negara berkembang lainnya melalui kerangka KSST.

Kerjasama Selatan-Selatan telah dilaksanakan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, kerja sama Indonesia dengan negara-negara berkembang lainnya diperkuat oleh pembentukan Gerakan Non-Blok yang diprakarsai oleh Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.50 Kemudian, KSS dikembangkan dengan dukungan mitra pembangunan atau disebut Kerja sama Triangular. Kerja sama ini merupakan kerjasama tiga pihak antara negara atau berbagai mitra pembangunan, Indonesia, dan negara penerima manfaat.51 Istilah "Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular" digunakan di Indonesia untuk merujuk pada semua kegiatan pembangunan bilateral (Selatan-Selatan) dan yang melibatkan mitra pembangunan (Triangular) .52

48 Kementerian Luar Negeri RI , “Rencana Strategis Kemlu 2015-2019” (pp. 1) Jakarta: Kementerian Luar Negeri

RI. 2015.

49 Ibid.

50UNDP Indonesia, “South-South and Triangular Cooperation in Indonesia” (December 16, 2015). Diakses pada

28 January 28 2018, http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/2015/brief/SSC-briefUNDPformat.pdf

51Adirini Pujayanti, “Kerja Sama Selatan-Selatan dan Manfaatnya Bagi Indonesia” dalam Jurnal Politica Volume

6 Issue 1, 7, March 2015, hlm. 1

(25)

24

Negara-negara di Kepulauan Pasifik, yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) termasuk ke dalam kategori negara-negara yang menjadi prioritas bantuan KSST.53 Negara Kepulauan Pasifik adalah salah satu wilayah yang paling bergantung pada bantuan asing terutama di sektor pembangunan. Lima negara donor terbesar di kawasan Pasifik adalah Australia, Amerika Serikat, Cina, Selandia Baru, dan Jepang.54 Melihat konstelasi di kawasan Pasifik serta dalam menerapkan perimbangan kekuatan (Balance of Power), Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan perannya dalam hal pemberian bantuan teknis, terutama dalam upaya untuk mengurangi risiko bencana yang diakibatkan oleh masalah lingkungan di kawasan Pasifik.

Manajemen risiko bencana adalah salah satu program unggulan Indonesia di sektor pembangunan dalam mengimplementasikan KSST. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Indonesia telah memberikan pelatihan-pelatihan, bantuan teknis, serta bantuan kemanusiaan dalam menangani isu-isu lingkungan untuk beberapa negara di Kepulauan Pasifik. Pada tahun 2016, pemerintah Indonesia mengalokasikan 75 juta dollar AS untuk merealisasikan KSS.55 Pentingnya KSST antara Indonesia dan Negara Kepulauan Pasifik dapat dijelaskan dalam beberapa alasan. Pertama, Indonesia, dan negara-negara Kepulauan Pasifik memiliki tantangan yang serupa. Sebagai negara kepulauan, mereka memiliki beberapa tantangan dalam menangani masalah lingkungan. Negara-negara ini rentan terhadap bencana. Oleh karena itu, mereka memiliki kesempatan dalam melakukan kerjasama dalam menghadapi masalah lingkungan melalui KSST. Kedua, negara-negara di Kepulauan Pasifik rentan terhadap sejumlah bencana alam seperti siklon, kekeringan, banjir, tanah longsor dan letusan gunung berapi tetapi kondisi ini diperburuk oleh perubahan iklim. Selain berisiko tinggi terhadap masalah lingkungan, negara-negara kecil di Kepulauan Pasifik masih juga memiliki sumber daya manusia dan kapasitas yang sangat terbatas dalam mengurangi risiko bencana. Ini merupakan tantangan lain bagi negara-negara di Kepulauan Pasifik karena mereka membutuhkan anggaran untuk manajemen risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim. Meningkatknya status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara berpenghasilan menengah (Middle Income Countries) dan juga sebagai anggota G20, Indonesia memiliki peran dan kewajiban untuk mendukung dan mencapai tujuan pembangunan di dalam negeri termasuk di kawasan Kepulauan Pasifik. Ketiga, Indonesia membantu dan memperkuat perannya di

53 UNDP Indonesia, Loc.Cit.

54 Matthew Dornan & Jonathan Pryke, Foreign Aid to the Pacific: Trends and Developments in the Twenty-First

Century in Asia & the Pacific Policy Studies Australia National University, Volume 4, Issue 3, September 2017, hlm. 386

(26)

25

(27)

26 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Masalah keamanan lingkungan seperti bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim masih merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh Negara-negara Kepulauan Pasifik. Tantangan-tantangan tersebut semakin meningkat apabila melihat bahwa negara-negara di Kawasan ini hanya memiliki anggaran yang terbatas, sumber daya manusia yang terbatas, dan kapasitas untuk melakukan mitigasi dan adaptasi juga masih kurang.

Indonesia sebagai negara tetangga yang secara geografis dekat dengan Negara-negara Kepulauan Pasifik ini juga memiliki tantangan yang sama. Sebagai negara yang sedang berkembang namun sudah dikategorikan sebagai middle income country dan memiliki cukup banyak pengalaman dalam menanggulangi bencana alam, mengirimkan bantuan kemanusian ke beberapa negara terdampak, dan memilki kemampuan teknologi yang mencukupi terkait early warning and monitoring system, melalui kerangka kerjasama selatan-selatan dan triangular, Indonesia telah memasukkan Negara-negara Kepulauan Pasifik sebagai prioritas penerima bantuan luar negeri dari Indonesia khususnya untuk manajemen bencana dan sektor adaptasi perubahan iklim.

(28)

27 DAFTAR PUSTAKA

Addam Connors, “Cyclone Pam: Vanuatu One Year Later,” www.abc.net.au, 15 Maret 2016, accessed 28 January 2018, http://www.abc.net.au/news/2016-03-13/cyclone-pam-vanuatu-one-year-on/7242620.

Asian Development Bank. “Pacific Risks, Vulnerabilitles, and Key Impacts of Climate Change and Natural Disasters.” ADB Support to Small Pacific Countries. Accessed February 1,

2018. https://www.adb.org/sites/default/files/linked-documents/E-Pacific-Risks-Vulnerabilities-Climate-Change.pdf.

Barry Buzan. 1991. “New Patterns of Global Security in the Twenty-First Century”.

International Affairs, Royal Institute of International Affair. Vol. 67, No. 3 (Juli, 1991), hlm. 431-451.

Buzan, Barry, Ole Waever, dan Jaap Wilde. 1998. “Security: A New Framework for Analysis”.

London: Lynne Rienner Publishers.

Dalby, Simon Dalby. 2013. “Climate Change: New Dimensions of Environmental Security”. The RUSI Journal. Vol. 158, No. 3, (Juni-Juli, 2013), hlm. 34-43.

Detraz, Nicole. 2015. Environmental Security and Gender. London: Routledge.

Direktorat Kerja Sama Teknik, Kementerian Luar Negeri RI. 2017. “Kerja sama Teknik RI

-Fiji 2017”. Disampaikan dalam rapat pemantapan rencana kerja sama riset di kawasan Pasifik pada 30 Oktober 2017 di Sensa Hotel Bandung.

Dornan, Matthew dan Jonathan Pryke. 2017. “Foreign Aid to the Pacific: Trends and Developments in the Twenty-First Century”. Asia & the Pacific Policy Studies Australia National University. Volume 4, Issue 3 September 2017, hlm. 386-404.

Ewing, J. Jackson Ewing. 2016. “Environmental Security”.Dalam Melly Caballero-Anthony.

An Introduction to Non-Traditional Security Studies: A Transnational Approach.

London: Sage.

Field, C.B., et al., eds., IPCC “Summary for policymakers” in Climate Change 2014: Impacts,

Adaptation, and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral Aspects. Cambridge: Cambridge University Press.

Hauger, J. Scott Hauger. 2015. “Climate Change Challenges to Security in the Pacific Islands

Region and Opportunities for Cooperation to Manage the Threat”. Dalam Rouben Azizian dan Carleton Cramer. Regionalism, Security & Cooperation in Oceania.

Honolulu: Asia Pacific Center for Security Studies.

Nace, Trevor.2017. “New Study Finds 8 Islands Swallowed By Rising Sea Level”.[Online].

(29)

28 Rini, Dwi. 2017. “Kesiapan Negara Kawasan Asia Pasifik Hadapi Resiko Bencana”. [Online].

Tersedia: http://www.bmkg.go.id/berita/?p=kesiapan-negara-kawasan-asia-pasifik-hadapi-resiko-bencana&lang=ID. [14 Desember 2017].

Rolfe, Jim. 2014. “The Pacific Islands: Security Problems Out of Mind and Out of Focus”.

[Online]. Tersedia: https://www.victoria.ac.nz/hppi/centres/strategic- studies/documents/20_The-Pacific-Islands_Security-Problems-Out-of-Mind-and-Out-of-Focus.pdf. [11 November 2017].

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi. Bandung: Alfabeta.

Stocker, T. F., et al., eds.,.2013. Intergovernmental Panel on Climate Change’s (IPCC)

“Summary for Policymakers” in Climate Change 2013: The Physical Science Basis.

Cambridge: Cambridge University Press.

The Jakarta Post. 2015. “Rising Sea Levels Threaten 2000 Islands in Indonesia”. [Online].

Tersedia: http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/17/rising-sea-levels-threaten-2000-islands-indonesia.html. [5 Desember 2017].

World Bank. 2016. Climate change and Disaster Management. Washington: The World Bank.

Ullman, Richard. 2011. “Redefining Security”. Dalam Christopher W. Hughes dan Lai Yew

Gambar

Gambar 1. Roadmap Penelitian 2016-2020
Gambar 2. Komponen dalam Analisis Data Model Miles dan Huberman
Tabel 4. Tahapan Kegiatan Penelitian
Tabel 5. Agenda Pelaksanaan Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan statistik dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) terhadap hasil belajar passing

Dalam pemikiran deduktif, kesimpulan yang ditarik merupakan konsekuensi logis dari fakta-fakta yang sebelumnya telah diketahui sehingga kesimpulan yang ditarik

Berdasarkan uraian tersebut, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana kecenderungan pemberitaan majalah berita nasional Tempo yang dapat dilihat dari bagian

Exposure therapy , merupakan bentuk terapi yang dilakukan dengan cara meminta anak-anak menuliskan tentang bencana yang dialami untuk mengeksplorasi lebih. lanjut tentang

Vibratory Soil Compactor Cat memiliki bobot yang lebih berat, amplitudo yang ditingkatkan, dan teknologi canggih untuk membantu Anda meraih target kerapatan dengan cepat..

Hasil analisa data menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi enzim papain yang berbeda mempunyai pengaruh yang berbeda nyata (P<5%) terhadap semua parameter

Pihak perkebunan dan pabrik minyak sawit harus menyediakan perumahan layak, persediaan air, kebutuhan-kebutuhan medis, pendidikan dan kenyamanan yang sesuai dengan standar

Menghapus notifikasi transaksi Berhasil 24 Mengubah status transaksi Agen memilih menu melihat notifikasi transaksi dan memilih notifikasi