• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Ilmu dan Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Filsafat Ilmu dan Penelitian"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

FILSAFAT ILMU &

PENELITIAN

1

Oleh:

Irianton Aritonang

2

POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES RI

JURUSAN GIZI

(2)

YOGYAKARTA, 2008

MATA KULIAH:

Metodologi Penelitian Gizi dan Kesehatan

GBMK:

Filsafat Ilmu dan Penelitian

POKOK BAHASAN:

1. Filsafat ilmu, pengertian, sejarah, kegunaan, penerapan dalam keilmuan

gizi-kesehatan

2. Filsafat penelitian, filosofi-filosofi dasar penelitian, pentingnya suatu penelitian

3. Evidance based research, pengertian, manfaat/tujuan, langkah-langkah, cara

pengelolaan

Apakah filsafat itu ?

Marilah sebelumnya kita memasuki suatu refleksi tentang berfilsafat. Menurut

Jujun S.Suriasumantri3, berfilsafat berarti berendah hati, dan mengoreksi diri. Bila

pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, dan

filsafat dimulai dengan kedua-duanya, yakni rasa ingin tahu dan rasa ragu-ragu. Berfilsafat

didorong untuk mengetahui apa yang telah kita ketahui dan apa yang belum kita ketahui.

Berendah hati dimaksudkan bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam

kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Mengoreksi diri dikandung maksud, adanya

keberanian untuk berterus terang, yakni tentang seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang

dicari telah kita jangkau.

Bukankah yang sering terjadi justeru sebaliknya ? Secara jujur harus kita akui apa

yang dialami bangsa Indonesia, di tengah-tengah keterpurukan ekonomi dan kualitas

3 Jujun S.Suriasumantri.2005. Filsafat ilmu sebuah pengantar popular. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

(3)

kehidupan penduduk yang namanya manusia, ciptaan-Nya yang paling sempurna, manusia

telah kehilangan kesempurnaan dan kemuliaannya. Kerusakan hutan, kemerosotan

lingkungan alam yang dahsyat, menyebabkan bencana banjir, tanah longsor, udara semakin

panas, polusi udara dan berbagai jenis penyakit menular (misalnya Flu Burung, Demam

Berdarah, ISPA, Diare, dll) dan penyakit tidak menular (Diabetes Mellitus, penyakit

Jantung, Hipertensi, kelainan Jiwa dll), tidak kunjung berhenti mendera masyarakat,

nahkan secara kuantitas dan kualitas cenderung meningkat intensitasnya. Bukankah hal ini

karena kerendahan hati yang semakin menjauh, apalagi keinginan mengoreksi diri yang

semakin langka bagi mereka yang menyandang sebutan manusia?. Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme (KKN) yang kian terbungkus rapi dan saling ‘tahu sama tahu’ antar pelakunya.

Kekayaan negara yang seharusnya bagi kesejahteraan rakyat justeru dinikmati sebagian

kecil orang yang memiliki ‘kekuasaan’ untuk melakukan KKN-nya. Mereka yang mewakili

rakyat justeru menelantarkan rakyat yang diwakilinya. Bukankah seharusnya rakyat yang

lebih sejahtera dibandingkan wakilnya ?. Mengapa yang terjadi sebaliknya ?.

Demikian pula halnya, mengapa masalah gizi juga tidak kunjung dapat

dieliminasi ?. Masalah kekurangan gizi masih ada dan semakin tinggi intensitasnya, seiring

dengan masalah kelebihan gizi semakin menjadi-jadi dan berefek ganda terhadap kejadian

penyakit yang berkaitan dengan kelebihan gizi. Bahkan tidak jarang terjadi dalam

menghadapi permasalahan gizi yang ada justeru yang muncul hanya sekedar polemik yang

saling ‘menuding’ sembari ‘mencuci tangan’. Penulis pernah mempertanyakan seputar

kejadian gizi buruk atau busung lapar di negeri ini4. Maksud penulis adalah agar tidak

terjadi mispersepsi di kalangan masyarakat khususnya ilmuwan dan akademisi. Misalnya

pernyataan: “Daerah itu kan lumbung padi, masak ada busung lapar !?”. Bukankah

pernyataan tersebut dapat menimbulkan salah persepsi bagi masyarakat, karena

pemahaman yang keliru terhadap makna dari pernyataan tersebut ?. Secara akal sehat atau

common sense, berikut beberapa makna yang mungkin ditangkap:

4 Aritonang, Irianton dan Priharsiwi, Endah.2006. Busung Lapar, Potret Buram Anak Indonesia di Era

(4)

(1) Lumbung padi dapat saja diartikan sebagai lumbungnya saja tanpa isi berupa padi;

(2) Bilapun ada padinya, namun belum berupa beras yang siap dimasak dan dimakan;

(3) Bilapun sudah berupa beras, belum tentu diterima keluarga yang membutuhkan,

misalnya tidak mampu membeli;

(4) Bilapun diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu, lumbung padi tidak luput dari

tikus-tikus yang setiap saat menggerogoti dan memakan habis padi tersebut;

(5) Adanya lumbung padi otomatis dapat menanggulangi busung lapar. Pernyataan tersebut

bermakna terlalu sempit dan terkesan lari dari rasa tanggungjawab, dan belum

menyadari segala kelemahan dalam membangun sumberdaya manusia melalui

kesejahteraan rakyat;

(6) Antara lumbung padi dan busung lapar tidak saling berkaitan secara langsung. Artinya

adanya lumbung padi tidak otomatis membasmi busung lapar di negeri ini.

Pernyataan pejabat terkesan hanya sebatas komoditas politik, mengabaikan

tanggungjawab yang diemban sebagai seorang pemimpin.

Bila dalam keadaan setengah sadar atau antara sadar dan tidak sadar, seakan-akan

masalah gizi yang diderita manusia dari usia bayi hingga usia lanjut bukanlah hal yang

perlu dipersoalkan, bukankah hal ini menjadi bukti semakin hilangnya kepekaan

kemanusiaan kita ?. Lebih baik kiranya mengingat sebuah kata-kata bijak: Belajar dari

kesalahan. Semudah itukah mengetahui dan mengakui kesalahan dalam kehidupan ini ?

Kerendahan hati dan mengoreksi diri sangat mendasari kemauan manusia untuk belajar

dari kesalahan yang dibuatnya. Keledai sekalipun tidak akan terperosok ke lubang yang

sama untuk kedua kalinya. Kita mengetahui bahwa ilmu gizi merupakan ilmu yang

mempelajari hubungan antara makanan dan kesehatan. Bagaimana memperoleh bahan

pangan yang di dalamnya terkandung zat gizi bagi kebutuhan tubuh dan kesehatan jasmani

(5)

belum, siapa yang mengalaminya dan mengapa mereka belum bernasib baik ?. Bukankah

ilmu gizi itu suatu hal yang indah dan menyejukkan hati karena bermotif untuk

menyehatkan manusia ?. Diperlukan suatu refleksi diri, dan mempertanyakan segala hal

tentang ilmu gizi, khususnya bagi mereka yang menjadi calon Sarjana bidang gizi dan

kesehatan. Bilamana menjadi Sarjana Gizi dan Kesehatan, maka refleksi ini akan mewujud

menjadi tindakan positif dalam upaya menanggulangi permasalahan gizi dan kesehatan

masyarakat..

Proses pendidikan umumnya dan proses pendidikan gizi dan kesehatan khususnya

hanya sibuk mendidik mahasiswa/peserta didik bagaimana cara berbuat (know now) dalam

mengatasi permasalahan gizi dan kesehatan. Namun mengapa berbuat demikiam (know

why) sangat jarang dipertanyakan, baik bagi penyelenggara pendidikan, maupun

mahasiswa/peserta didik. Jawaban atas pertanyaan ini juga akan terus mengiringi seorang

tenaga profesional gizi dan kesehatan, mengapa berbuat / bekerja untuk meningkatkan

derajat gizi dan kesehatan rakyat. Dalam kondisi saat ini (secara jujur tentunya), bukankah

sebagian besar akan menjawabnya demi uang, harta dan kekayaan ?. Ada uang pelayanan

kesehatan akan dilakukan, bila klien/pasien miskin mau diapakan ?.

Berfilsafat tentang ilmu, berarti kita berterus terang terhadap diri sendiri:

♪ Mengapa saya kuliah di program D3/D4/S1/S2/S3 Gizi ?

♪ Apa yang sebenarnya saya ketahui tentang ilmu ?

♪ Apakah ciri-ciri hakiki yang membedakan antara ilmu dengan yang bukan ilmu ?

♪ Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar ?

♪ Kriteria apa yang dipakai dalam menentukan kebenaran ilmiah ?

♪ Mengapa kita harus mempelajari ilmu ?

♪ Apakah kegunaan yang sebenarnya ?

Demikianlah berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan

yang kita ketahui: Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogianya

(6)

berhenti ?, kemanakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan ini ?, apakah kelebihan

dan kekurangan ilmu ?.

Mengapa saya ada di dunia ini ?

Karakteristik berfikir filsafat yang pertama adalah sifatnya menyeluruh. Seorang

ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Artinya

dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Bagaimana

kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama, dan dia ingin yakin bahwa ilmu itu

membawa kebahagiaan kepada dirinya. Bagai ilmu padi, semakin berisi semakin

merunduk, semakin menyadari kebodohan kita sendiri, dan sebenarnya kita akan berkata

bahwa kita tidak tahu apa-apa.

Karakteristik kedua dari berfikir filsafat adalah sifatnya mendasar. Seseorang

bukan saja menengadah ke langit dengan bintang-bintang, namun juga membongkar tempat

berpijak secara fundamental. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar.

Mengapa ilmu dapat dikatakan benar ? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria

tersebut dilakukan ? Apakah kriteria itu sendiri benar ? Lalu benar itu sendiri apa ?.

Memang harus diakui bahwa tidak mungkin meraih pengetahuan secara keseluruhan, dan

bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar.

Dalam hal ini berarti kita hanya berspekulasi. Inilah karakteristik berfikir filsafat

berikutnya, yaitu sifat spekulatif. Dalam hal ini yang penting adalah bahwa dalam

prosesnya (baik dalam analisis maupun pembuktiannya) harus dipisahkan mana yang dapat

diandalkan dan mana yang tidak. Tugas utama filsafat adalah menentukan dasar-dasar yang

dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis, benar, sahih, apakah hidup ini ada tujuannya

atau tidak ?. Sekarang kita mulai sadar, bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada

(7)

diandalkan yang merupakan titik awal penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan

kriteria tentang apa yang disebut benar, maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang

di atas kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk, maka kita tidak

mungkin berbicara tentang moral. Demikian pula tanpa wawasan apa yang disebut indah

atau jelek, tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian/estetika. Pokok permasalahan

yang dikaji filsafat dari ketiga segi di atas merupakan tiga cabang utama filsafat, yakni

meliputi logika, etika dan estetika.

Apakah filsafat ilmu itu ?

Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan (epistemologi) yang

mengkaji hakikat ilmu atau yang dikenal dengan pengetahuan ilmiah. Berikut merupakan

pertanyaan-pertanyaan dalam menjawab hakikat ilmu.

1. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ?

Bagaimana hubungan antara obyek dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir,

merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan ?. Pertanyaan-pertanyaan ini

merupakan landasan ontologis. Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu.

2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?

bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan

pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apakah

kriterianya ? Cara / teknik / sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan

pengethuan yang berupa ilmu ?. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan landasan

epistemologis. Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut.

3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara

cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan obyek yang

ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural

(8)

profesional ?. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan landasan aksiologis. Untuk apa

pengetahuan dipergunakan (nilai kegunaan ilmu).

Ada tiga disiplin ilmu ditinjau dari karakteristiknya, yakni kelompok ilmu-ilmu

alamiah, ilmu-ilmu sosial dan pengethuan budaya5. Perbedaan ketiga disipin ilmu tersebut

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Disiplin Ilmu

Aspek Ilmu-ilmu Alamiah Ilmu-ilmu Sosial Pengetahuan Budaya

Pendekat

sumber karbohidrat, sumber vitamin dan mineral, hal ini berkaitan dengan dengan disiplin

ilmu alamiah. Bagaimana dengan upaya peningkatan pengetahuan gizi bagi ibu hamil dan

ibu menyusui, misalnya melalui penyuluhan/pendidikan gizi sehingga mereka dapat

menyusun menu makanan sehari-hari yang bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizinya ?.

Bukankah keadaan ini menunjukkan bahwa ilmu gizi juga termasuk disiplin ilmu sosial.

Bagaimana pula bila gizi dilihat dari konteks budaya, bukankah ilmu gizi juga berkaitan

dengan pengetahuan budaya ?.

(9)

Soekirman mengatakan, bahwa karena definisi ilmu gizi senantiasa mengandung

dua unsur pokok, yakni makanan (baik mentah maupun terolah), dan manusia atau

masyarakat. Dengan demikian pada hakekatnya ilmu gizi merupakan gabungan disiplin

ilmu yang berkaitan dengan makanan dan manusia atau masyarakat6. Luasnya ruang

lingkup Ilmu Gizi, maka dalam profesi gizi diperlukan penguasaan bidang-bidang khusus,

seperti gizi manusia, gizi masyarakat, gizi klinik, teknologi pangan dan lain-lain sesuai

dengan kebutuhan.

Apakah filsafat penelitian itu ?

Materi filsafat penelitian perlu diberikan kepada mahasiswa, dimaksudkan untuk

mendidik mereka memiliki sifat rasional, kritis, terbuka, rendah hati, skeptis yang

positif, dan tidak fanatik. Ilmu dan penelitian tidak dapat dipisahkan. Ilmu tidak dapat

berkembang tanpa penelitian, dan penelitian tidak akan ada apabila tidak di dalam kerangka

ilmu tertentu. Secara umum dapat dikatakan bahwa penelitian bertujuan untuk

mengembangkan khasanah ilmu dengan memperoleh pengetahuan serta fakta-fakta baru,

sehingga dapat disusun teori, konsep, hokum, kaidah atau metodologi baru.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 232/U/2000

tanggal 20 Desember 2000, kualifikasi lulusan program sarjana adalah:

(1) Menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertentu (gizi dan

kesehatan) sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan

cara penyelesaikan masalah gizi dan kesehatan yang ada dalam kawasan keahliannya;

(2) Mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya sesuai dengan

bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan

sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;

(3) Mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang

keahliannya maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat;

(10)

(4) Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau kesenian yang

merupakan keahliannya.

Sedangkan kualifikasi lulusan program D-IV Gizi adalah: Menguasai kemampuan

dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleks, dengan dasar kemampuan profesional

tertentu, termasuk keterampilan merencanakan, melaksanakan kegiatan, memecahkan

masalah dengan tanggungjawab mandiri pada tingkat tertentu, memiliki kemampuan

manajerial, serta mampu mengikuti perkembangan, pengetahuan, dan teknologi di dalam

bidang keahliannya. Tenaga gizi (termasuk lulusan D-IV Gizi) sebagai salah satu tenaga

kesehatan, adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang

untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (pasal 1

ayat 1 Peraturan Pemerintah No:32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan). Menurut

hemat penulis, tenaga kesehatan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan

adalah tenaga kesehatan atau tenaga gizi yang berkarakter. Tenaga gizi yang berkarakter

akan menunjukkan sikap hormat dalam meraih status sebagai tenaga gizi, yakni melalui

proses belajar dan pemikiran-pemikiran yang bersih. Ia juga mampu menempatkan

kewajiban-kewajibannya di atas segala sesuatu. Tenaga gizi yang disandang merupakan

suatu tugas panggilan yang mulai dan diperoleh melalui proses yang terus menerus menuju

kesempurnaan.

Untuk itu tidak ada salahnya berikut ini disajikan pemikiran Edgar Morin7 tentang

dunia pendidikan yang menghasilkan insan-insan akademis / intelektual / cendekia

pengelola bumi yang satu ini. Menurutnya ada tujuh materi penting bagi dunia pendidikan

(perguruan tinggi), yakni meliputi: (1) Mendeteksi kekeliruan dan ilusi, (2) Prinsip

keterkaitan pengetahuan, (3) Mengajarkan kondisi manusiawi, (4) Jati diri bumi, (5)

Menghadapi ketidakpastian, (6) Memahami satu sama lain, dan (7) Etika manusia.

Mendeteksi kekeliruan dan ilusi

(11)

Tujuan pendidikan adalah penerusan/alih pengetahuan. Namun ternyata pendidikan

justeru gagal menagkap realitas pengetahuan manusia, yakni sistemnya, kelemahannya,

kesulitannya, dan kecenderungannya terhadap kekeliruan dan ilusi. Pendidikan tidak hirau

untuk mengajarkan hakikat pengetahuan. Pengetahuan bukanlah alat siap pakai yang dapat

dipergunakan tanpa mempelajari sifatnya. Mengenal pengetahuan harus menjadi syarat

utama untuk mempersiapkan pikiran menghadapi ancaman kekeliruan dan ilusi yang terus

menerus menjadi parasit dalam pikiran manusia. Mengenal pengetahuan adalah soal

mempersenjatai pikiran dalam pertempuran hidup-mati untuk memperoleh kejernihan.

Dengan demikian, kita harus memperkenalkan dan mengembangkan kajian tentang

aspek-aspek kultural, intelektual, dan serebral pengetahuan manusia, mengenai proses dan

caranya, serta pelbagai disposisi psikologis dan budaya yang membuat kita rentan terhadap

kekeliruan dan ilusi.

Prinsip keterkaitan pengetahuan

Salah satu permasalahan pokok yang terlalu sering disalahpahami adalah bagaimana

mengembangkan suatu cara belajar yang mampu menangkap masalah-masalah yang

bersifat umum dan mendasar, seraya menyisipkan pengetahuan yang bersifat parsial ke

dalamnya. Dominannya belajar yang terbagi-bagi ke dalam berbagai disiplin ilmu sering

membuat kita tidak mampu menghubungkan bagian-bagian dengan keseluruhan. Belajar

semacam ini seharusnya diganti dengan belajar yang dapat memahami materi ajar sesuai

konteks, kompleksitas, dan totalitasnya. Kita harus mengembangkan potensi alami pikiran

manusia, yakni kemampuan untuk menempatkan semua informasi dalam suatu konteks dan

entitas. Kita perlu mengajarkan berbagai metode untuk memahami hubungan satu sama lain

dan pengaruh timbal balik antara bagian-bagian dan keseluruhan dalam dunia yang

kompleks.

Mengajarkan kondisi manusiawi

Manusia adalah mahluk yang sekaligus bersifat fisis, biologis, psikologis, cultural,

(12)

pendidikan yang terkotak-kotak ke dalam berbagai disiplin ilmu. Oleh karenanya, kini kita

tidak dapat lagi belajar apa artinya menjadi manusia. Manusialah penghubung antara

kesatuan dan keberagaman dari semua hal.

Jati diri bumi

Masa depan umat manusia sekarang berada pada skala planet. Hal pokok ini

merupakan realitas hakiki lainnya yang kerap diabaikan oleh pendidikan. Kita sangat

membutuhkan pengetahuan tentang perkembangan-perkembangan planeter terkini yang

niscaya akan tumbuh pesat pada abad ke-21 dan penyadaran akan keberadaan kita sebagai

penghuni bumi. Sejarah era platener harus diajarkan sejak awal perkembangannya pada

abad ke-16 ketika komunikasi terjalin di antara lima benua. Tanpa mengaburkan kejamnya

penindasan dan penjajahan di masa lalu dan masa sekarang, kita harus menunjukkan

bagaimana semua bagian dunia saling tergantung satu sama lain. Konfigurasi krisis

berskala planet yang kompleks pada abad ke-20 harus diurai untuk menunjukkan

bagaimana umat manusia sekarang menghadapi persoalan-persoalan hidup-mati yang sama

dan takdir yang sama.

Menghadapi ketidakpastian

Di satu sisi, kita telah mendapatkan banyak kepastian melalui sains, tetapi di sisi

lain sains abad ke-20 juga telah menunjukkan banyak bidang ketidakpastian. Pendidikan

seharusnya mencakup studi tentang ketidakpastian-ketidakpastian yang telah muncul dalam

ilmu-ilmu fisika (mikrofisika, termodinamika, kosmologi), ilmu evolusi biologis, dan ilmu

sejarah. Kita harus mengajarkan prinsip-prinsip strategis untuk menghadapi peluang,

hal-hal yang tidak terduga dan tidak pasti, serta cara mengubah strategi-strategi ini sebagai

tanggapan atas perolehan informasi yang terus menerus. Kita harus belajar mengarungi

lautan ketidakpastian, berlayar menuju dan mengitari pulau kepastian. ‘Dewa memberi kita

banyak kejutan: yang diharapkan tidak terjadi, justeru mereka membuka pintu bagi yang

tidak diharapkan’. Larik ini, yang ditulis lebih dari dua puluh lima abad yang lalu oleh

(13)

sejarah manusia, yang diklaim dapat memprediksi masa depan, telah ditinggalkan.

Kajian-kajian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian penting pada masa kini

menunjukkan betapa tidak terduganya peristiwa dan kejadian tersebut dan betapa tidak

terprediksinya arah petualangan manusia. Ini mendorong kita untuk mempersiapkan pikiran

agar siap menantikan hal yang tidak terduga dan menghadapinya. Setiap orang yang

bertanggungjawab terhadap pendidikan harus siap maju ke pos-pos terdepan ketidakpastian

dalam zaman kita.

Memahami satu sama lain

Pemahaman bisa berarti sarana dan juga tujuan komunuikasi manusia. Namun

demikian, kita tidak mengajarkan pemahaman. Planet kita menghendaki agar kita saling

memehami dalam segala arah. Mengingat betapa pentingnya mengajarkan pemahaman di

semua tingkat pendidikan pada segala usia, pem,bangunan kualitas memerlukan pembaruan

mentalitas. Ini tugas pendidikan masa depan. Saling memahami di antara manusia, entah

dekat entah jauh, menjadi kebutuhan penting agar relasi antar manusia melalui tahap

kesalahpahaman. Oleh karena itu, semua sebab, cara, dan akibat kesalahpahaman tersebut

harus dipelajari. Ini sangat penting, karena kesalahpahaman merupakan penyebab dan

bukan gejala rasisme, xenophobia, dan diskriminasi. Pemahaman yang makin baik

membentuk dasar yang kokoh bagi pendidikan untuk perdamaian yang meneguhkan

fondasi dan panggilan kita.

Etika manusia

Pendidikan harus menuntun ke ‘antropo-etika’ (etika manusia) dengan mengenali

tiga serangkai kondisi manusia: manusia adalah serentak individu-masyarakat spesies.

Dalam pengertian ini, etika individu/spesies membutuhkan kontrol masyarakat oleh

individu dan kontrol individu oleh masyarakat. Dengan kata lain, demokrasi dan etika

individu-spesies menghendaki suatu kewargaan dunia pada abad ke-21. Etika tidak dapat

diajarkan melalui pelajaran moral. Etika harus mewujud dalam kesadaran akal budi bahwa

(14)

Setiap individu menyandang ketiga realitas ini di dalam dirinya. Perkembangan manusia

yang sejati harus mencakup perkembangan terpadu antara otonomi individu, partisipasi

kelompok, dan kesadaran sebagai bagian umat manusia. Dari pokok ini, dua tujuan

etis/politis pokok milenium baru adalah terbentuknya hubungan saling mengontrol antara

masyarakat dan individu melalui jalan demokrasi, dan terpenuhinya solidaritas umat

manusia sebagai sebuah komunitas planet. Pendidikan seharusnya tidak hanya mendukung

suatu kesadaran akan Tnah Air Bumi, tetapi juga membantu agar kesadaran ini mewujud

sebagai kehendak untuk menyadari keberadaan kita sebagai warga bumi.

Kembali ke pertanyaan: Apakah filsafat penelitian itu ?. Menurut Tejoyuwono dalam Ida

Bagoes Mantra8, filsafat penelitian dapat diartikan sebagai suatu sistem pemikiran yang

mengarahkan penelitian menuju perolehan makna tentang soal yang dikaji.

Memperoleh makna berarti memahami hakekat eksistensi fakta dan kejadian yang

terkandung dalam persoalan tersebut sebagai suatu kausalitas. Sesuatu tidak dapat eksis

tanpa sebab (asas kausalitas) dan sebab selalu mendahului akibat (hukum kausalitas).

Filsafat penelitian bersifat universal. Artinya, tidak ada filsafat penelitian khusus untuk

disiplin masing-masing. Penelitian menghasilkan pengetahuan dan ilmu. Pengetahuan

ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas tentang kebenaran

atau fakta. Ilmu ialah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib,

membentuk suatu sistem pengetahuan berdasarkan rujukan kepada kebenaran atau hukum.

Evidence Based Research

Evidence Based Research, merupakan istilah yang sangat penting artinya dalam

memahami dasar-dasar penelitian gizi dan kesehatan, dimana penelitian harus dilandasi

data empiris yang merujuk dan menuju kepada kebenaran. Permasalahan gizi dan kesehatan

akhir-akhir ini merupakan masalah penelitian yang menantang setiap orang untuk mencari

jalan keluar / pemecahannya. Sepintas pertanyaan di bawah ini menjadi kawasan mereka

yang akan melakukan suatu penelitian bidang gizi dan kesehatan. Landasan teori yang

(15)

mendasari suatu penelitian merupakan modal awal bagi mereka yang akan mendalami

permasalahan gizi dan kesehatan. Baik secara induktif maupun secara deduktif,

pemahaman teori tentang gizi dan kesehatan sangat penting artinya dalam memasuki ranah

penelitian gizi dan kesehatan di Indonesia, khususnya.

Bagaimana kedudukan asumsi, model, teori serta aplikasi kesimpulan

riset dalam paradigma penelitian gizi dan kesehatan ?

Kedudukan asumsi, model, teori serta aplikasi kesimpulan riset sangat berkaitan erat satu

dengan lainnya. Berikut ini akan dijelaskan kaitan diantara mereka. Kedudukan teori dalam

suatu penelitian empirik, dapat diibaratkan sebagai jaring /yang dipakai untuk menangkap

ikan. Jaring memiliki simpul-simpul dan tali penghubung antar mereka. Demikian pula

teori memiliki proposisi-proposisi dan pernyataan-pernyataan penghubung antar mereka.

Peneliti bidang gizi dan kesehatan yang membangun teori empirik dunianya dengan pusat

dan kitaran (boundaries) yang dipilih perlu memahami dan memilih teori atau rangkaian

teori sebagai alat pengamatan atau eksperimentasi. Karl Popper (1965) dalam Suyata

(hlm.3) 9 mengatakan, bahwa teori-teori itu merupakan jaring-jaring yang digunakan untuk

menangkap ‘dunia’ yang telah kita pilih dengan merasionalisasikannya, menjelaskannya,

dan menguasainya dan seterusnya mengusahakan agar hal-hal yang kelihatannya

simpangsiur menjadi semakin kelihatan bertambah bagus. Fenomena dan hubungan antara

fenomena dalam bidang gizi dan kesehatan yang awalnya tidak jelas dan nampak bercerai

berai, atau secara kuantitatif fenomena dan kemungkinan tata hubungannya sangat banyak,

maka peneliti perlu menatanya melalui konseptualisasi tata hubungan (organik dan logik),

sehingga mudah dipahami.

Lebih lanjut Kerlinger10 mendefinisikan teori sebagai seperangkat konsep, definisi

dan proposisi yang saling berhubungan yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik

atas fenomena dengan menjabarkan hubungan-hubungan dengan tujuan menjelaskan dan

meramalkan fenomena tersebut. Fungsi/peran teori sebagai alat dari suatu ilmu

9 Suyata.1996. Penyusunan Kerangka Teoretik Penelitian. Yogyakarta: PPS-IKIP

(16)

pengetahuan ada empat, seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (hlm.19) 11,

yaitu: (1) Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; (2)

Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari fakta-fakta yang

dikumpulkan dalam penelitian; (3) Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan

terjadi, dan (4) Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan kita tentang gejala-gejala

yang telah atau sedang terjadi.

Model merupakan salah satu komponen teori yang diartikan sebagai suatu kreasi mental

tentang suatu objek yang dapat berupa benda, proses psikologik, proses sosial dan lain-lain

lewat miniaturisasi dan penyederhanaan kompleksitas yang ada dengan maksud

memperoleh gambaran keseluruhan yang utuh secara lebih mudah. Dengan demikian

model menjadi bagian dari suatu teori, membantu peneliti dalam konseptualisasi dan

generalisasi suatu fenomena sosial dengan cara melepaskan sejumlah hal yang rinci dan

memperluas terapan sifat yang diangkat dari hal-hal yang sifatnya khusus. Artinya, model

akan memberi pembatasan terhadap teori yang dikembangkan, memberi ketentuan

asumsi-asumsi yang digunakan, dan akibat lebih lanjut akan berpengaruh terhadap corak hipotesis

dan hukum-hukum yang disimpulkannya. Secara singkat Black & Champion (hlm.60) 12

mengatakan, bahwa model-model tidal lebih dari konseptualisasi sistematik yang

disederhanakan tentang unsur-unsur yang saling terkait dalam bentuk skema. Lebih lanjut

dikatakan bahwa penggunaan model memiliki kelebihan karena: (1) Menampilkan

gambaran dari teori; (2) Memperlihatkan lebih jelas batas-batas konseptual dari teori; dan

(3) Memungkinkan kita memahami arah dari kaitan-kaitan di antara beberapa variabel.

Asumsi merupakan bahan pokok dari suatu teori. Asumsi digunakan sebagai pengikat

serangkaian model untuk sejumlah kepentingan. Asumsi juga berfungsi sebagai

penghubung model atau teori dunia empirik, sehingga memungkinkan suatu model atau

suatu teori dites dan juga modifikasi model atau teori dilakukan. Asumsi dapat dinyatakan

11 Koentjaraningrat.1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.Gramedia.

12 Black,James A. dan Champion, Dean J.1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial (terjemahan).

(17)

secara implisit dan eksplisit. Pernyataan asumsi secara eksplisit memungkinkan asumsi

dites. Formalisasi teori penelitian juga memberi peluang lebih besar bagi pengujian asumsi.

Penegasan asumsi memberi arah yang jelas menafsirkan hasil-hasil suatu studi penelitian.

Demikianlah kedudukan asumsi, model, teori serta aplikasi kesimpulan riset sangat

berkaitan erat satu dengan lainnya.

Selanjutnya mengapa terjadi kontroversi sekitar upaya mengangkat

derajat riset sosial bidang gizi dan kesehatan masyarakat dengan

menerapkan riset-riset ilmu-ilmu alamiah ?

Dalam bidang keilmuan terdapat dua perspektif (paradigma) utama (Mulyana,

hlm.11)13, yakni perspektif ilmu alam dan perspektif ilmu sosial (mencakup juga ilmu-ilmu

kemanusiaan-humaniora). Persyaratan yang harus dipenuhi oleh perspektif ilmu alam dan

perspektif ilmu sosial berbeda untuk disebut ilmiah. Sementara ilmu alam harus

menjelaskan ciri-ciri realitas fisik yang diamati dan hubungan diantara berbagai aspek

realitas tersebut, sedangkan ilmu sosial harus menjelaskan bukan hanya ciri-ciri dan

tindakan-tindakan manusia yang diamati, namun juga makna karakteristik dan tindakan

tersebut bagi individu. Artinya, ilmu tentang manusia harus memperhitungkan fakta bahwa

manusia sekaligus menafsirkan diri mereka sendiri dan ilmu yang bermaksud menerangkan

mereka; Sementara benda-benda, seperti air, batu, udara, cuaca dll, tidak melakukan hal

tersebut. Tidak mengherankan bahwa terdapat lebih banyak perbedaan dalam menjelaskan

ciri dan perilaku manusia dalam ilmu sosial daripada menjelaskan ciri dan perilaku benda

dalam fisika atau ilmu alamiah.

Bagi sebagian ilmuwan sosial keistimewaan ilmu sosial justeru keanekaragaman

perspektifnya. Objek ilmu-ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas), memang

berbeda dengan objek ilmu sosial, yakni manusia yang mempunyai jiwa dan kemauan

bebas. Artinya, bahwa upaya mengangkat derajat riset sosial bidang gizi dan kesehatan

13 Mulyana, Deddy.2004. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komuniukasi dan Ilmu

(18)

dengan menerapkan riset-riset ilmu-ilmu alamiah akan mengalami kesulitan dalam upaya

menjelaskan fenomena dan realitas kehidupan manusia. Meskipun demikian, perlu diingat

bahwa tidak satu perspektif pun dapat menangkap keseluruhan realitas yang diamati.

Perspektif (paradigma) dalam bidang keilmuan akan mempengaruhi definisi, model atau

teori yang pada gilirannya akan mempengaruhi cara kita melakukan penelitian.

Perspektif menjelaskan asumsi-asumsinya yang spesifik mengenai bagaimana

penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan. Selanjutnya perspektif

menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan bagi penelitian dan metode yang

sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena. Oleh karena itu, keragaman

paradigma berguna dalam memberikan perspektif mengenai fenomena yang sama. Yang

jelas, suatu paradigma berkembang sepanjang terus memungkinkan kita berhasil mengatasi

problem dan menjelaskan fenomena yang diteliti.

Masalah Gizi

Latar Belakang

Akhir-akhir ini pemberitaan tentang istilah busung lapar, terkesan menjadi

bermakna keadaan gizi buruk saja. Hal ini tentunya wajar-wajar saja, namun lebih manusia

lagi bila upaya penanggulangan gizi buruk, nyata dilakukan dan terpantau untuk

masing-masing anak penderita gizi buruk. Gizi buruk yang tidak ditanggulangi akan berakibat

timbulnya (berdasarkan tanda-tanda klinis) apa yang disebut marasmus dan kwashiorkor

atau tipe gabungan marasmus-kwashiorkor. Anak penderita marasmus atau kwashiorkor

telah mengalami kekurangan zat-zat gizi, baik zat gizi makro (Energi dan Protein) dan zat

gizi mikro (Vitamin dan Mineral), dalam jangka waktu lama dan terus menerus (kronis).

Berdasarkan publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations, July 1996,

How Nutrition Improves), penyebab gizi buruk atau busung lapar dapat ditinjau dari

(19)

masalahnya. Penyebab langsung merupakan faktor yang langsung berhubungan dengan

kejadian gizi buruk, yakni konsumsi makanan (asupan gizi) yang tidak adekuat dan

penyakit yang diderita anak. Asupan gizi dan penyakit yang diderita anak akan bersinergi

dan menguatkan untuk memperburuk status gizi anak – bahkan dapat berakibat fatal

(kematian) dini bagi anak-anak.

Penyebab tidak langsung merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

penyebab langsung, seperti akses mendapatkan pangan yang kurang, perawatan dan pola

asuh anak, pelayanan kesehatan serta lingkungan buruk yang tidak mendukung kesehatan

anak balita. Akar masalah terjadinya gizi buruk terdiri dari dua hal, yakni faktor

sumberdaya potensial dan faktor sumberdaya manusia (pengawasan, ekonomi dan

organisasi). Pengelolaan sumberdaya potensial sangat erat kaitannya dengan politik dan

ideologi, suprastruktur dan struktur ekonomi. Sedangkan faktor sumberdaya manusia erat

kaitannya dengan pendidikan, sehingga pemberdayaan rakyat melalui pendidikan sangat

penting artinya untuk mengatasi penyebab tidak langsung gizi buruk.

Status gizi merupakan cerminan kuantitas (jumlahnya) dan kualitas (ragamnya)

pasokan zat gizi makanan yang dikonsumsi dan kemampuan tubuh untuk memanfaatkan

secara optimal. Dengan demikian beberapa kemungkinan berkaitan dengan pasokan gizi

bagi tubuh. Pertama, pasokan gizi tidak memenuhi kuantitas dan kualitas sehingga tubuh

menderita kekurangan gizi, termasuk terjadinya gizi buruk dan busung lapar; Kedua,

pasokan gizi terpenuhi tetapi tubuh tidak mampu memanfaatkannya secara optimal (karena

menderita penyakit tertentu seperti cacingan, tuberkulosis, diare, campak dll).; Ketiga,

pasokan gizi berlebih, berakibat menumpuknya zat gizi dalam tubuh dan terjadi kegemukan

dan obesitas. Kegemukan dan obesitas bila tidak dikendalikan dapat berakibat timbulnya

penyakit, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, kencing manis, hipertensi dll).

Masalah kegemukan dan obesitas juga telah mencapai titik kritis, karena penderitanya

semakin hari semakin meningkat tajam; Keempat, merupakan peluang yang menghantarkan

(20)

sehat bergizi prima dan produktif, karena memperoleh pasokan gizi seimbang, baik

kuantitas maupun kualitasnya.

Hak Asasi Manusia

Butir pertama dari World Declaration on Nutrition di Roma pada bulan Desember

1992, berbunyi: “Menyatakan kebulatan tekad untuk menghapuskan kelaparan dan

menurunkan berbagai bentuk gizi salah. Kelaparan dan gizi salah tidak layak ada di muka

bumi ini yang memiliki pengetahuan dan sumberdaya untuk melenyapkan bencana besar

bagi manusia. Akses untuk memperoleh gizi seimbang dan makanan yang sehat adalah hak

setiap manusia”. Demikian pula Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No.7

Tahun 1997 tentang Pangan, secara tegas menyatakan bahwa: “Pangan sebagai kebutuhan

dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus

senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga

yang terjangkau oleh daya beli masyarakat”.

Semakin jelas, bahwa terjadinya busung lapar dan tingginya kejadian gizi buruk

pada anak-anak, tentunya merupakan tragedi kemanusiaan karena tidak terpenuhinya

pangan dan gizi sebagai hak asasi manusia yang mendasar bagi generasi penerus bangsa.

Apalagi terjadinya busung lapar dan gizi buruk, seiring semakin terbongkarnya kasus-kasus

korupsi mulai ‘kelas teri’ hingga ‘kelas kakap’ di negeri ini. Tentunya upaya mengatasi

busung lapar dan gizi buruk, tidak sebatas lumbung padi. Namun dilakukan dengan upaya

sungguh-sungguh agar setiap orang dari 200 juta lebih rakyat Indonesia, terpenuhi pangan

dan kecukupan gizinya, secara adil dan merata di seluruh persada Tanah Air.

Rangkaian penyebab gizi buruk dan busung lapar yang teruntai dalam model

tingkatan, bukanlah konsep/teori semata. Namun yang terpenting adalah bagaimana

meracik sebuah sistem yang kondusif, agar semua faktor terkait mendapat perhatian sesuai

dengan porsinya masing-masing. Dominasi salah satu sektor/program (misalnya Kesehatan,

Pertanian atau Pemda/Depdagri) yang terjadi selama ini, maka tidak menutup kemungkinan

(21)

bertambahnya anak-anak yang menderita gizi buruk dari waktu ke waktu, merupakan

pertanda bahwa tidak ada upaya yang berarti bagi kesejahteraan anak. Badan atau lembaga

ketahanan pangan dan gizi nasional dan daerah, hendaknya lebih diaktifkan dan

dioptimalkan fungsinya dalam mengatasi ketersediaan pangan. Daerah yang surplus pangan

dapat menutupi daerah defisit pangan, sesuai dengan keadaan agroklimat masing-masing

pangan di daerah.

Pada skala mikro, upaya mengatasi gizi buruk sebaiknya ‘memberi kail bukan ikan’.

Memberdayakan setiap keluarga / rumahtangga, yakni melalui penyediaan lapangan kerja

merupakan keharusan sehingga daya beli meningkat. Keluarga harus secara mandiri dapat

mengelola konsumsi pangan bagi anak-anak secara berkelanjutan, khususnya bagi anak

yang menderita gizi buruk.

Pengetahuan gizi keluarga (ibu) perlu ditingkatkan melalui pelatihan ketrampilan

pengolahan makanan yang disediakan bagi anggota keluarga. Misalnya ibu-ibu diajarkan

bagaimana membuat kue-kue yang berbahan dasar nonberas (jagung, singkong, ubi, dan

kacang-kacangan) yang memang diproduksi setempat. Dengan demikian, keluarga lebih

diberdayakan bagaimana mengelola sumberdaya yang dimilikinya untuk memenuhi

kebutuhan gizi bagi anak-anak. Niscaya dengan modal kesungguhan hati, di masa

mendatang bukan saja kita dapat mengatasi anak-anak yang menderita gizi buruk, namun

mencegahnya dan menciptakan gizi baik pada anak-anak di negeri ini.

Kompas, 10/12/2005; Kompas, 7/6/2005; Kompas, 30/9/1997; Undang-undang Republik

Indonesia No.7 Tahun 1997 tentang Pangan United Nations, 1996; How Nutrition

Improves; World Declaration on Nutrition di Roma pada bulan Desember 1992

KECENDERUNGAN MASALAH GIZI DAN

(22)

Oleh: Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH (Dirjen Bina Kesmas Depkes)

A. Pendahuluan

Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun sumber daya

manusia yang bekualitas yang sehat, cerdas, dan produktif. Pencapaian pembangunan

manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum menunjukkan hasil

yang menggembirakan dalam tiga dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia

masih rendah yaitu berada pada peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah dari negara-negara

tetangga. Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status

kesehatan penduduk, hal ini antara lain terlihat dari masih tingginya angka kematian bayi

sebesar 35 per seribu kelahiran hidup dan angka kematian balita sebesar 58 per seribu

kelahiran hidup serta angka kematian ibu 307 per seratus ribu kelahiran hidup. Lebih dari

separuh kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh buruknya status gizi anak balita.

Kemiskinan dan kurang gizi merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh

karena itu meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat kaitannya dengan upaya

peningkatan ekonomi. Beberapa penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa proporsi

bayi dengan BBLR berkurang seiring dengan peningkatan pendapatan nasional suatu negara.

Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi sebagai dampak dari berkurangnya

kurang gizi dapat dilihat dari dua sisi, pertama berkurangnya biaya berkaitan dengan

kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan produktivitas. Paling kurang

manfaat ekonomi yang diperoleh sebagai dampak dari perbaikan status gizi adalah:

berkurangnya kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya perawatan untuk

neonatus, bayi dan balita, produktivitas meningkat karena berkurangnya anak yang

(23)

biaya karena penyakit kronis serta meningkatnya manfaat "intergenerasi" melalui peningkatan

kualitas kesehatan.

Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu

kelompok umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan

berikutnya (intergenerational impact). Masa kehamilan merupakan periode yang sangat

menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan

oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan

kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja

atau usia sekolah.

' Disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar

(24)

United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan

upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus kehidupan.

Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu mendapat perhatian pada upaya

perbaikan gizi.

(25)
(26)

Kekurangan gizi biasanya terjadi secara tersembunyi dan sering luput dari

pengamatan biasa. Tidaklah mudah untuk mengetahui seorang ibu hamil yang menderita

kekurangan zat gizi besi (anemia), atau seorang bayi yang terganggu pertumbuhannya atau

seorang anak sekolah yang lemah tidak mampu mengikuti proses belajar karena

kekurangan zat gizi tertentu seperti iodium atau zat besi. Sebagian besar penduduk

Indonesia atau sekitar 50% dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat dan

kondisi ini tergolong kekurangan gizi. Kekurang gizi secara perlahan akan berdampak

terhadap tingginya kematian anak, kematian ibu dan menurunnya produktivitas kerja.

Kondisi ini secara langsung menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara,

oleh karena itu upaya perbaikan gizi masyarakat merupakan bagian dari investasi

sumber daya manusia untuk pembangunan suatu bangsa.

Upaya perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak tiga

puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan difokuskan untuk mengatasi masalah gizi

utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi

(AGB) dan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY). Upaya tersebut telah berhasil

menurunkan keempat masalah gizi utama namun penurunannya dinilai kurang cepat.

Dengan terjadinya transisi demografi, epidemiologi dan perubahan gaya hidup telah

terjadi peningkatan masalah gizi lebih dan penyakit degeneratif. Keadaan ini menyebabkan

Indonesia mengalami beban ganda masalah gizi yaitu gizi kurang belum sepenuhnya

diatasi, gizi lebih sudah menunjukkan peningkatan.

Masalah gizi disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait baik secara

langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi

dan tidak cukupnya asupan gizi secara kuantitas maupun kualitas, sedangkan secara

tidak langsung dipengaruhi oleh jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh

(27)

ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Sebagai pokok masalah di masyarakat adalah

rendahnya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan serta tingkat pendapatan

masyarakat. Untuk lebih jelas mengetahui faktor penyebab masalah gizi seperti

digambarkan pada Lampiran 1 Bagan 2 (Unicef, 1998), menunjukkan secara sistimatis

determinan yang berpengaruh pada masalah gizi yang dapat terjadi pada masyarakat,

sehingga untuk mengatasi masalah gizi diperlukan penanganan faktor-faktor tersebut

secara terintegrasi, sinergi dan memerlukan dukungan lintas sektor, masyarakat, LSM dan

swasta.

B. Perkembangan Situasi Gizi di Indonesia 1.

Status Gizi Pada Balita

Masa balita sering dinyatakan sebagai masa kritis dalam rangka mendapatkan sumber

daya manusia yang berkualitas, terlebih pada periode 2 tahun pertama merupakan

masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal. Gambaran

keadaan gizi balita diawali dengan cukup banyaknya bayi dengan berat lahir rendah

(BBLR). Setiap tahun, diperkirakan ada 350 000 bayi dengan berat lahir rendah di

bawah 2500 gram, sebagai salah satu penyebab utama tingginya kurang gizi pada dan

kematian balita. Tahun 2003 prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 27,5%,

kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1989 yaitu sebesar 37,5%,

atau terjadi penurunan sebesar 10 % ( Susenas 2003).

Meskipun sampai tahun 2000 penurunan gizi kurang cukup berarti, akan tetapi setelah

tahun 2000 gizi kurang meningkat kembali. Gambaran yang terjadi pada gizi buruk

yaitu dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam, lalu cenderung fluktuatif

sampai dengan tahun 2003.

(28)

Jumlah balita gizi buruk (BB/U<-3SD) dan gizi kurang (BB/U <-2SD) Susenas 1989-2003

Tahun Total

Penduduk Total Balita Prevalensi (%) JumlahBbalita dengan

Gizi buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang Gizi Buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang 1989 177,614,965 21,313,796 6.3 31.2 37.5 1,342,769 6,643,510 7,986,279 1992 185,323,458 22,238,815 7.2 28.3 35.6 1,607,866 6,302,480 7,910,346 1995 195,860,899 21,544,699 11.6 20.0 31.6 2,490,567 4,313,249 6,803,816 1998 206,398,340 20,639,834 10.5 19.0 29.5 2,169,247 3,921,568 6,090,815 1999 209,910,821 19,941,528 8.1 18.3 26.4 1,617,258 3,639,329 5,256,587 2000 203,456,005 17,904,128 7.5 17.1 24.7 1,348,181 3,066,977 4,415,158 2001 206,070,543 18,134,208 6.3 19.8 26.1 1,142,455 3,590,573 4,733,028 2002 208,749,460 18,369,952 8.0 19.3 27.3 1,469,596 3,545,401 5,014,997 2003 211,463,203 18,608,762 8.3 19.2 27.5 1,544.527 3,572,882 5,117,409

Meskipun secara prevalensi kelihatan menurun namun jika memperhatikan terhadap

jumlah penduduk dan proporsi balita pada tahun yang sama terlihat beban masalah yang

dihadapi cukup besar. Jika dilihat berdasarkan sebaran di propinsi (Susenas 2003),

prevalensi yang terendah masalah gizi buruk dan gizi kurang adalah propinsi Bali

(16,18%) dan yang tertinggi di propinsi Gorontalo (46,11%). Terdapat 14 propinsi

dengan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk masih di atas rata-rata nasional dan 15

propinsi di bawah rata-rata nasional. Peta sebaran prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di

(29)

Gambar 1

GIZI KURANO PADA BALITA MENURUT

(30)

Masalah gizi lainnya yang dihadapi pada anak usia balita adalah kurang zat gizi mikro

seperti Kurang Vitamin A. Meskipun sejak tahun 1992 Indonesia dinyatakan bebas

dari xeropthalmia, akan tetapi masih dijumpai 50% dari balita mempunyai serum retinol

<20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi balita dengan serum retinol <20 mcg/100 ml ini

menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia dan

menurunnya tingkat kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Keadaan

ini yang mengharuskan pemerintah memberikan kapsul vitamin A dosis tinggi pada anak

balita. Upaya penyadaran gizi kepada masyarakat agar selalu mengkonsumsi sayur dan

buah berwarna menjadi sangat penting, agar tidak selalu tergantung pada kapsul

Vitamin A. Munculnya kasus xeropthalmia sangat mungkin apabila penyuluhan konsumsi

sayur dan buah tidak efektif dan cakupan kapsul Vitamin kurang dari 80%. Hal ini

terbukti dengan laporan dari beberapa propinsi (NTB, Sumsel) pada tahun 2000 lalu yang

masih menemukan kasus xeropthalmia. Ada kemungkinan provinsi lain yang belum

berhasil mencakup >80% kapsul vitamin A akan menemukan kembali kasus

xeropthalmia dan meningkatnya morbiditas pada balita.

Masalah gizi lain pada anak balita adalah anemia gizi besi. Pada tahun 2001 pevalensi

anemia gizi besi sebesar 48.1%, meningkat dibandingkan tahun 1995 yaitu 40% ( SKRT

2001). Prevalensi anemia gizi pada anak di bawah usia 2 tahun lebih tinggi

dibandingkan dengan anak usia di atas 2 tahun, yaitu sekitar 60%. Gambaran ini

mencerminkan masih rendahnya kualitas MP-ASI yang diberikan kepada anak,

sementara itu penanganan anemia secara nasional baru diprioritaskan pada ibu hamil.

2. Keadaan Gizi Anak Sekolah

Tingginya bayi BBLR dan gizi kurang pada balita akan berdampak pada gangguan

pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Lebih dari sepertiga (36.1%) anak

Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah, dan hal ini merupakan indikasi

(31)

bertambahnya usia, baik pada anak laki- laki maupun perempuan. Jika dibandingkan antara

tahun 1994 dan 1999, peningkatan status gizi yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dari

39,8 % menjadi 36,1 %.

Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik

dibanding anak di desa. Gambar 2 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut

umur pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun

1994 ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah

keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak

dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit

sekali peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak

yang dikategorikan sangat pendek.

Gambar 3

(32)
(33)

-5 -4.5 -4 -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

---1994

A

I

x \

//

/\ \

(34)

Masalah kurang gizi lainnya yang terjadi pada kelompok ini selain anemia gizi besi,

adalah gangguan akibat kurang yodium (GAKY). Besaran masalah kurang yodium di

Indonesia dipantau berdasarkan survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998 dan 2003.

Terjadi penurunan yang cukup berarti, dimana pada tahun 1980, prevalensi gangguan

akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%. Prevalensi ini

menurun menjadi 27.9% pada tahun 1990, dan selanjutnya menjadi 9,8% pada tahun

1996/1998. Survei tahun 2003 prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11.1%,

(35)

Survei tahun 2003 merupakan survei nasional yang mengevaluasi dampak dari intensifikasi

program penanggulangan GAKY setelah dilakukan data dasar tahun 1996/1998. Kegiatan

utama dari program ini adalah mengupayakan peningkatan konsumsi garam beryodium, dan

juga memberikan kapsul yodium terutama pada daerah endemik berat dan sedang yang

dinilai berdasarkan data dasar 1996/1998. Garam beryodium sampai dengan tahun

2003, dikonsumsi oleh 73.2% rumah tangga secara adekuat/cukup. Angka ini cukup

bervariasi antar wilayah kabupaten, mulai dari <40% sampai yang sudah >90% rumah

tangga menkonsumsi garam beryodium. Terjadi peningkatan jumlah kabupaten menjadi 104

pada tahun 2003 yang mana lebih dari 90% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium.

Intervensi pada wilayah endemik berat dan sedang adalah dengan mendistribusikan

kapsul yodium, khususnya pada ibu hamil, wanita usia subur, dan anak usia sekolah.

Pemantauan pemberian kapsul ini masih kurang baik. Survei evaluasi 2003, menemukan

hanya 30% cakupan kapsul yodium ini sampai pada sasaran, sementara pada laporan

program cakupan ini berkisar antara 60-75%.

Masalah GAKY masih cukup serius di Indonesia. Untuk mencapai universal konsumsi

garam beryodium pada tahun 2005 memerlukan strategi yang komprehensif. Dari hasil

analisis survei 1996/1998 dan survei evaluasi 2003 menunjukkan adanya peningkatan

jumlah kabupaten yang dulunya tidak endemik, atau endemik ringan, menjadi daerah

endemik sedang atau berat. Walaupun ada penurunan prevalensi GAKY pada daerah

endemik berat dan sedang, surveilans GAKY ini sangat diperlukan, sehingga daerah yang

(36)

Tabel 2

Total Goitre Rate (TGR) Pada 268 Kabupaten Yang Sama Survei Tahun 1996/1998 dan 2003

Klasifikasi kab menurut TGR tahun 2003

Klasifikasi kabupaten menurut TGR tahun 1998 Total kabupaten Non Endemik Endemik Ringan Endemik Sedang Endemik Berat

Non Endemik 86 26 9 1 115

Endemik Ringan 28 52 13 3 96 Endemik Sedang 5 18 7 5 35 Endemik Berat 3 8 6 5 22 Total kabupaten 122 104 28 14 268

Tidak berubah 150 Memburuk 68 Membaik 50

Sumber: National IDD Survey 1998 and National IDD Evaluation Survey 2003

3. Keadaan Gizi Usia Produktif

Anemia gizi besi merupakan masalah gizi yang paling banyak dijumpai pada kelompok ini.

Sekitar sepertiga remaja dan WUS menderita anemia gizi besi dan berlanjut pada masa

kehamilan. Anemia gizi besi dijumpai pada 40 % ibu hamil. Kekurangan Energi Kronis

(KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 tahun yang ditandai dengan proporsi LILA < 23.5

cm, sebesar 24.9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16.7% pada tahun 2003. Pada

umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun),

dan menurun pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS

dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat

pertumbuhan pada anak usia balita.

Gambar 4 Proporsi WUS Risiko KEK dengan LILA < 23.5 cm (1999-2003)

Selain masalah kurang energi kronis atau kurus (Indeks Masa Tubuh < 18.5), masalah

kegemukan (IMT >25) bahkan obesitas (IMT >27) juga dijumpai pada usia poduktif. Hal ini

sebagai dampak dari adanya perubahan gaya hidup yang berkaitan dengan pola makan dan

aktivitas olah raga. Pada survei di 27 ibu kota provinsi tahun 1996/1997, dua masalah gizi ini

(37)

Masalah gizi ganda ("double burden") ini juga tidak saja terjadi pada usia produktif di ibu kota

provinsi, akan tetapi di wilayah kumuh perkotaan maupun perdesaan juga sudah mulai

terlihat dan ada kecenderungan meningkat terutama untuk masalah kegemukan. Hal ini

dapat dilihat pada Gambar 5, analisis dari data HKI 1999 dan 2001 yang memisahkan dua

ekstrim prevalensi kurus (IMT<18.5) dan prevalensi obesitas (IMT >30) pada wanita usia

produktif. Pada daerah kumuh perkotaan (Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya), masalah

kurus banyak terjadi pada usia muda, dan masalah obesitas sudah mulai terlihat pada usia 30

tahun ke atas dengan prevalensi >5%. Masalah obesitas pada usia >30 tahun ini meningkat

dari tahun 1999 ke tahun 2001. Di wilayah perdesaan (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Lampung,

Sumbar, Lombok, Sulsel), masalah yang sama sudah mulai tampak, hanya prevalensinya lebih

rendah dari wilayah kumuh perkotaan.

Dalam 15 tahun terakhir telah terjadi transisi epidemiologi ( SKRT, 1986-2001), yang

ditandai oleh adanya pergeseran proporsi kematian yang tinggi dari kelompok usia muda

(<4 tahun) ke kelompok umur umur tua (>55 tahun), pergeseran perubahan penyakit

penyebab kematian, proporsi kematian karena penyakit infeksi menurun, proporsi kematian

karena penyakit degeneratif dan pembuluh darah, neoplasma serta endokrin meningkat 2-3 kali

lipat.

Kegemukan dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit

degeneratif sebagai akibat dari perubahan gaya hidup, perubahan pola makan ke arah tinggi

karbohidrat, lemak dan garam serta rendah serat serta rendahnya aktivitas fisik yang dilakukan

sehari-hari.

C. Kecenderungan Masalah Gizi kedepan

Dari uraian di atas dan berdasarkan situasi terakhir 2003, target global seperti World

(38)

tergantung banyak faktor, dukungan sumber daya serta peningkatan kualitas manajemen

teknis dan operasional. Beberapa faktor mendasar yang perlu dipertimbangkan serius

apabila kita ingin memperbaiki kualitas SDM melalui upaya perbaikan gizi adalah:

1. Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang belum mencukupi. Hasil kajian

pemantauan konsumsi makanaan yang dilaksanakan tahun 1995 sampai 1998

menyimpulkan 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari 1500

Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gr per orang per hari atau

mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan (Widya Karya Nasional

Pangan dan Gizi, 2000). Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan

kemiskinan, di mana proporsi penduduk miskin 18.2% atau sekitar 38 juta penduduk

(BPS, 2002) serta sebaran penduduk miskin yang bervariasi, masih ada 15% kabupaten

dengan persen penduduk miskin >30%. Hal ini juga berkaitan dengan rata-rata tingkat

pendidikan yang masih rendah.

2. Adanya ketidakseimbangan antar wilayah baik kecamatan maupun kabupaten

berdasarkan prevalensi masalah gizi, kesehatan dan kemiskinan. Masih ada 75%

kabupaten di Indonesia dengan prevalensi gizi kurang pada balita >20%.

3. Masih tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi,

lingkungan, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan

cakupan program yang belum maksimal.

4. Pemberian ASI terutama ASI eksklusif sampai usia 6 bulan masih rendah, serta

MP-ASI untuk bayi di atas 6 bulan yang belum baik dalam hal jumlah dan mutu,

waktu pemberian yang tidak tepat, masalah dalam pengolahan makanan,

memberi dampak pada gangguan pertumbuhan dan munculnya beberapa

penyakit infeksi. Hal ini berkaitan dengan kurang baiknya pola pengasuhan anak,

(39)

5. Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di

Indonesia merupakan masalah kronis yang berkaitan dengan kemiskinan,

rendahnya pendidikan dan kurang memadainya pelayanan dan kesehatan

lingkungan.

6. Masih rendahnya dukungan pembiayaan kesehatan dan gizi dari sektor

pemerintah dan non-pemerintah (Tahun 2000 Rp 147,00/kapita/tahun), demikian

juga pembiayaan untuk gizi (Tahun 2003 Rp 200,00/kapita/tahun). Berdasarkan besaran

masalah gizi yang dikemukakan diatas serta faktor- faktor yang berpengaruh diperkirakan

kecendrungan masalah gizi seperti berikut:

1. Proyeksi Prevalensi Gizi Kurang Pada Balita

Dengan penurunan prevalensi gizi kurang 2% per tahun (kajian Susenas 1989

sampai 2003), serta berbagai intervensi yang dilakukan melalui pelayanan gizi yang dilakukan

di berbagai sarana pelayanan kesehatan dan posyandu serta adanya peningkatan upaya

penyadaran gizi masyarakat yang didukung dengan perbaikan tingkat kesejahteraan

masyarakat diharapkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang minimal sama dengan

tahun-tahun sebelumnya atau sebesar 30%. Dengan asumsi penurunan 30% pada tahun 2015,

prevalensi gizi kurang menjadi 13,7% dan prevalensi gizi buruk menjadi 5.7%

2. Proyeksi Prevalensi Gizi Kurang (Stunting/pendek) Pada Anak Baru Masuk Sekolah

Analisis yang dilakukan pada survei TBABS menunjukkan penurunan prevalensi gizi

kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah tahun 1994-1999 sebesar 3.7%. Stunting atau

pendek merupakan masalah gizi kronis dan pada umumnya penurunan sangat lambat.

Pengalaman kenaikan tinggi badan rata-rata dari generasi ke generasi pada negara sedang

(40)

3,7% dalam kurun waktu 5 tahun, serta menggunakan asumsi yang sama dengan penurunan

prevalensi gizi kurang pada balita, pada tahun 2015 prevalensi stunting pada anak baru

masuk sekolah diasumsikan akan menjadi 24%.

3. Proyeksi KEK pada Wanita Usia Subur

Intervensi pada kelompok ini khususnya usia 15-19 tahun selama ini belum menjadi

prioritas program perbaikan gizi. Untuk peningkatan status gizi penduduk, kelompok umur

harus menjadi prioritas untuk masa yang akan datang, dengan menggunakan asumsi

penurunan yang terjadi pada periode 1999-2003 sekitar 5-8% (tergantung pada kelompok

umur), maka pada tahun 2015 proporsi KEK usia 15-19 tahun diharapkan turun menjadi

20%. Dengan asumsi penurunan proporsi KEK pada kelompok WUS 15-19 tahun,

diharapkan dapat meningkatkan kualitas bayi yang dilahirkan dan perbaikan status gizi balita.

4. Proyeksi Masalah Gizi Mikro

Sampai tahun 2003 belum semua masalah zat gizi mikro yang berfungsi penting

untuk peningkatan status gizi diketahui dengan luas seperti kurang asam folat, kurang

Zink (Zn) dan kurang vitamin B1. Informasi yang tersedia baru untuk masalah KVA, GAKY

dan anemia gizi. Beberapa intervensi yang dilakukan melalui penyuluhan, diversifikasi

konsumsi pangan, supplementasi dan fortifikasi yang didukung dengan upaya advokasi,

law enforcement dan social enforcement yang efektif diharapkan prevalensi 50% KVA (sub

klinis) pada balita dapat diturunkan menjadi 25% pada tahun 2015

Di bidang penanggulangan GAKY, melalui penguatan berbagai upaya fortifikasi,

supplementasi yang didukung dengan strategi kampanye dan monitoring garam yang efektif

diharapkan prevalensi TGR pada tahun 2015 dapat diturunkan menjadi kurang dari 5%.

Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada ibu hamil, dan

(41)

diprioritaskan kepada ibu hamil saja, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka

menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja. Sampai tahun 2002

intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih belum intensif, diperkirakan penurunan

prevalensi anemia hanya sekitar 30%, apabila prevalensi anemia pada WUS 27.1% (SKRT,

2001) sehingga pada tahun 2015 diperkirakan turun menjadi 20% .

D. Masalah, Tantangan dan Pemikiran Program Perbaikan Gizi pada Masa yang

Akan Datang

Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus

kehidupan dan saling berpengaruhnya masalah gizi kepada siklus kehidupan

(intergenerational impact), maka diperlukan kebijakan dan strategi baru perbaikan gizi di

setiap siklus kehidupan.

Faktor geografis dan demografi. Lebih dari 50% penduduk tinggal di daerah perdesaan

dan daerah sulit. Untuk meningkatkan pelayanan gizi dan pemantauan pertumbuhan pada

masyarakat sasaran yang sulit dijangkau dengan fasilitas pelayanan yang ada seperti

puskesmas dan posyandu, perlu ada upaya khusus untuk mendekatkan pelayanan kepada

kelompok ini.

Dampak krisis ekonomi telah menurunkan kemampuan daya beli masyarakat.

Jumlah penduduk miskin masih 18% atau sekitar 38 juta. Pada masyarakat ini daya beli

terhadap makanan dan pelayanan kesehatan sangat terbatas, oleh karena itu untuk mencegah

kurang gizi, upaya peningkatan daya beli melalui pemberian kredit usaha kecil dan

menegah dan bantuan pemasarannya dan peningkatan keterampilan (income

generating) yang disertai dengan upaya KIE gizi menuju keluarga sadar gizi kepada

(42)

Meningkatnya kasus gizi buruk, hal ini menunjukkan rendahnya ketahanan pangan di tingkat

rumah tangga, untuk mengatasi situasi ini upaya pemenuhan kesehatan dan gizi melalui

program jaring pengaman sosial masih perlu mendapat prioritas, misalnya pemberian

supplementasi gizi yang tepat sasaran, tepat waktu dengan mutu yang baik, perlu mendapat

prioritas.

Melakukan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif untuk jangka

panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar

membutuhkan. Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi

tingkat keluarga dilakukan secara profesional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan

ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal.

Transisi bidang kesehatan dan gizi. Indonesia dan juga negara berkembang lainnya sedang

menghadapi transisi epidemiologi, demografi, dan urbanisasi. Di bidang gizi telah terjadi

perubahan pola makan seperti rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi

garam dan meningkatnya konsumsi makananan yang tinggi lemak serta berkurangnya

aktifitas olah raga pada sebagian masyarakat terutama di perkotaan. Gaya hidup demikian

akan meningkatkan gizi lebih yang merupakan faktor risiko terhadap penyakit tidak

menular dan kematian. Untuk mengatasi masalah gizi ganda diperlukan upaya lebih

komprehensif melalui pemberdayaan keluarga, masyarakat, peningkatan kerjasama lintas

sektor, kemitraan dengan LSM dan swasta dan terintegrasi dengan intervensi diberbagai

bidang seperti konseling kesehatan dan gizi, pencegahan penyakit tidak menular, kebugaran

jasmani, olah raga, pendidikan dll. Oleh karena itu sudah saatnya mengembangkan

strategi nasional gizi, aktifitas fisik dan kesehatan, yang bertujuan untuk mencegah

meningkatnya masalah gizi lebih dan penyakit degeneratif.

Tingkat pendidikan. Meskipun tingkat melek huruf relatif tinggi (90%), akan tetapi

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Disiplin Ilmu

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko likuiditas mempengaruhi profitabilitas bank secara signifikan, dengan jumlah Deposito dan tingkat NPLs sebagai dua faktor

Risiko pada saat memproduksi Steering Gear memiliki probabilitas lebih banyak dan lebih besar yaitu dengan nilai severity index paling tinggi adalah sebesar 59% dimana

Dengan demikian penulis ingin mengetahui apakah dukungan sosial teman sebaya memberi pengaruh terhadap kompetensi interpersonal individu yang yang jauh dari daerah

dunia Islam. Beberapa karyanya yang terkenal dalam ilmu mantik seperti 19 ;. a) al-shifa’ : merupakan buku tentang falsafah yang terbahagi kepada

Seni rupa murni daerah adalah gagasan manusia yang berisi nilai-nilai budaya daerah setempat yang diekspresikan melalui pola kelakuan tertentu dengan media titik, garis, bidang,

High diversity of birds’ species in Rajegwesi show potential attraction to be developed for ecotourism; besides other natural attraction such as beach and

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah

terdapat skala dis-ekonomi pada rekrutmen yang mengimplikasikan bahwa biaya total tenaga kerj a bagi perusahaan meningkat sej alan dengan tingkat einployment dan