FILSAFAT ILMU &
PENELITIAN
1
Oleh:
Irianton Aritonang
2POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES RI
JURUSAN GIZI
YOGYAKARTA, 2008
MATA KULIAH:
Metodologi Penelitian Gizi dan Kesehatan
GBMK:
Filsafat Ilmu dan Penelitian
POKOK BAHASAN:
1. Filsafat ilmu, pengertian, sejarah, kegunaan, penerapan dalam keilmuan
gizi-kesehatan
2. Filsafat penelitian, filosofi-filosofi dasar penelitian, pentingnya suatu penelitian
3. Evidance based research, pengertian, manfaat/tujuan, langkah-langkah, cara
pengelolaan
Apakah filsafat itu ?
Marilah sebelumnya kita memasuki suatu refleksi tentang berfilsafat. Menurut
Jujun S.Suriasumantri3, berfilsafat berarti berendah hati, dan mengoreksi diri. Bila
pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, dan
filsafat dimulai dengan kedua-duanya, yakni rasa ingin tahu dan rasa ragu-ragu. Berfilsafat
didorong untuk mengetahui apa yang telah kita ketahui dan apa yang belum kita ketahui.
Berendah hati dimaksudkan bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam
kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Mengoreksi diri dikandung maksud, adanya
keberanian untuk berterus terang, yakni tentang seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang
dicari telah kita jangkau.
Bukankah yang sering terjadi justeru sebaliknya ? Secara jujur harus kita akui apa
yang dialami bangsa Indonesia, di tengah-tengah keterpurukan ekonomi dan kualitas
3 Jujun S.Suriasumantri.2005. Filsafat ilmu sebuah pengantar popular. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
kehidupan penduduk yang namanya manusia, ciptaan-Nya yang paling sempurna, manusia
telah kehilangan kesempurnaan dan kemuliaannya. Kerusakan hutan, kemerosotan
lingkungan alam yang dahsyat, menyebabkan bencana banjir, tanah longsor, udara semakin
panas, polusi udara dan berbagai jenis penyakit menular (misalnya Flu Burung, Demam
Berdarah, ISPA, Diare, dll) dan penyakit tidak menular (Diabetes Mellitus, penyakit
Jantung, Hipertensi, kelainan Jiwa dll), tidak kunjung berhenti mendera masyarakat,
nahkan secara kuantitas dan kualitas cenderung meningkat intensitasnya. Bukankah hal ini
karena kerendahan hati yang semakin menjauh, apalagi keinginan mengoreksi diri yang
semakin langka bagi mereka yang menyandang sebutan manusia?. Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) yang kian terbungkus rapi dan saling ‘tahu sama tahu’ antar pelakunya.
Kekayaan negara yang seharusnya bagi kesejahteraan rakyat justeru dinikmati sebagian
kecil orang yang memiliki ‘kekuasaan’ untuk melakukan KKN-nya. Mereka yang mewakili
rakyat justeru menelantarkan rakyat yang diwakilinya. Bukankah seharusnya rakyat yang
lebih sejahtera dibandingkan wakilnya ?. Mengapa yang terjadi sebaliknya ?.
Demikian pula halnya, mengapa masalah gizi juga tidak kunjung dapat
dieliminasi ?. Masalah kekurangan gizi masih ada dan semakin tinggi intensitasnya, seiring
dengan masalah kelebihan gizi semakin menjadi-jadi dan berefek ganda terhadap kejadian
penyakit yang berkaitan dengan kelebihan gizi. Bahkan tidak jarang terjadi dalam
menghadapi permasalahan gizi yang ada justeru yang muncul hanya sekedar polemik yang
saling ‘menuding’ sembari ‘mencuci tangan’. Penulis pernah mempertanyakan seputar
kejadian gizi buruk atau busung lapar di negeri ini4. Maksud penulis adalah agar tidak
terjadi mispersepsi di kalangan masyarakat khususnya ilmuwan dan akademisi. Misalnya
pernyataan: “Daerah itu kan lumbung padi, masak ada busung lapar !?”. Bukankah
pernyataan tersebut dapat menimbulkan salah persepsi bagi masyarakat, karena
pemahaman yang keliru terhadap makna dari pernyataan tersebut ?. Secara akal sehat atau
common sense, berikut beberapa makna yang mungkin ditangkap:
4 Aritonang, Irianton dan Priharsiwi, Endah.2006. Busung Lapar, Potret Buram Anak Indonesia di Era
(1) Lumbung padi dapat saja diartikan sebagai lumbungnya saja tanpa isi berupa padi;
(2) Bilapun ada padinya, namun belum berupa beras yang siap dimasak dan dimakan;
(3) Bilapun sudah berupa beras, belum tentu diterima keluarga yang membutuhkan,
misalnya tidak mampu membeli;
(4) Bilapun diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu, lumbung padi tidak luput dari
tikus-tikus yang setiap saat menggerogoti dan memakan habis padi tersebut;
(5) Adanya lumbung padi otomatis dapat menanggulangi busung lapar. Pernyataan tersebut
bermakna terlalu sempit dan terkesan lari dari rasa tanggungjawab, dan belum
menyadari segala kelemahan dalam membangun sumberdaya manusia melalui
kesejahteraan rakyat;
(6) Antara lumbung padi dan busung lapar tidak saling berkaitan secara langsung. Artinya
adanya lumbung padi tidak otomatis membasmi busung lapar di negeri ini.
Pernyataan pejabat terkesan hanya sebatas komoditas politik, mengabaikan
tanggungjawab yang diemban sebagai seorang pemimpin.
Bila dalam keadaan setengah sadar atau antara sadar dan tidak sadar, seakan-akan
masalah gizi yang diderita manusia dari usia bayi hingga usia lanjut bukanlah hal yang
perlu dipersoalkan, bukankah hal ini menjadi bukti semakin hilangnya kepekaan
kemanusiaan kita ?. Lebih baik kiranya mengingat sebuah kata-kata bijak: Belajar dari
kesalahan. Semudah itukah mengetahui dan mengakui kesalahan dalam kehidupan ini ?
Kerendahan hati dan mengoreksi diri sangat mendasari kemauan manusia untuk belajar
dari kesalahan yang dibuatnya. Keledai sekalipun tidak akan terperosok ke lubang yang
sama untuk kedua kalinya. Kita mengetahui bahwa ilmu gizi merupakan ilmu yang
mempelajari hubungan antara makanan dan kesehatan. Bagaimana memperoleh bahan
pangan yang di dalamnya terkandung zat gizi bagi kebutuhan tubuh dan kesehatan jasmani
belum, siapa yang mengalaminya dan mengapa mereka belum bernasib baik ?. Bukankah
ilmu gizi itu suatu hal yang indah dan menyejukkan hati karena bermotif untuk
menyehatkan manusia ?. Diperlukan suatu refleksi diri, dan mempertanyakan segala hal
tentang ilmu gizi, khususnya bagi mereka yang menjadi calon Sarjana bidang gizi dan
kesehatan. Bilamana menjadi Sarjana Gizi dan Kesehatan, maka refleksi ini akan mewujud
menjadi tindakan positif dalam upaya menanggulangi permasalahan gizi dan kesehatan
masyarakat..
Proses pendidikan umumnya dan proses pendidikan gizi dan kesehatan khususnya
hanya sibuk mendidik mahasiswa/peserta didik bagaimana cara berbuat (know now) dalam
mengatasi permasalahan gizi dan kesehatan. Namun mengapa berbuat demikiam (know
why) sangat jarang dipertanyakan, baik bagi penyelenggara pendidikan, maupun
mahasiswa/peserta didik. Jawaban atas pertanyaan ini juga akan terus mengiringi seorang
tenaga profesional gizi dan kesehatan, mengapa berbuat / bekerja untuk meningkatkan
derajat gizi dan kesehatan rakyat. Dalam kondisi saat ini (secara jujur tentunya), bukankah
sebagian besar akan menjawabnya demi uang, harta dan kekayaan ?. Ada uang pelayanan
kesehatan akan dilakukan, bila klien/pasien miskin mau diapakan ?.
Berfilsafat tentang ilmu, berarti kita berterus terang terhadap diri sendiri:
♪ Mengapa saya kuliah di program D3/D4/S1/S2/S3 Gizi ?
♪ Apa yang sebenarnya saya ketahui tentang ilmu ?
♪ Apakah ciri-ciri hakiki yang membedakan antara ilmu dengan yang bukan ilmu ?
♪ Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar ?
♪ Kriteria apa yang dipakai dalam menentukan kebenaran ilmiah ?
♪ Mengapa kita harus mempelajari ilmu ?
♪ Apakah kegunaan yang sebenarnya ?
Demikianlah berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan
yang kita ketahui: Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogianya
berhenti ?, kemanakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan ini ?, apakah kelebihan
dan kekurangan ilmu ?.
Mengapa saya ada di dunia ini ?
Karakteristik berfikir filsafat yang pertama adalah sifatnya menyeluruh. Seorang
ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Artinya
dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Bagaimana
kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama, dan dia ingin yakin bahwa ilmu itu
membawa kebahagiaan kepada dirinya. Bagai ilmu padi, semakin berisi semakin
merunduk, semakin menyadari kebodohan kita sendiri, dan sebenarnya kita akan berkata
bahwa kita tidak tahu apa-apa.
Karakteristik kedua dari berfikir filsafat adalah sifatnya mendasar. Seseorang
bukan saja menengadah ke langit dengan bintang-bintang, namun juga membongkar tempat
berpijak secara fundamental. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar.
Mengapa ilmu dapat dikatakan benar ? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria
tersebut dilakukan ? Apakah kriteria itu sendiri benar ? Lalu benar itu sendiri apa ?.
Memang harus diakui bahwa tidak mungkin meraih pengetahuan secara keseluruhan, dan
bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar.
Dalam hal ini berarti kita hanya berspekulasi. Inilah karakteristik berfikir filsafat
berikutnya, yaitu sifat spekulatif. Dalam hal ini yang penting adalah bahwa dalam
prosesnya (baik dalam analisis maupun pembuktiannya) harus dipisahkan mana yang dapat
diandalkan dan mana yang tidak. Tugas utama filsafat adalah menentukan dasar-dasar yang
dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis, benar, sahih, apakah hidup ini ada tujuannya
atau tidak ?. Sekarang kita mulai sadar, bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada
diandalkan yang merupakan titik awal penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan
kriteria tentang apa yang disebut benar, maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang
di atas kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk, maka kita tidak
mungkin berbicara tentang moral. Demikian pula tanpa wawasan apa yang disebut indah
atau jelek, tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian/estetika. Pokok permasalahan
yang dikaji filsafat dari ketiga segi di atas merupakan tiga cabang utama filsafat, yakni
meliputi logika, etika dan estetika.
Apakah filsafat ilmu itu ?
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan (epistemologi) yang
mengkaji hakikat ilmu atau yang dikenal dengan pengetahuan ilmiah. Berikut merupakan
pertanyaan-pertanyaan dalam menjawab hakikat ilmu.
1. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ?
Bagaimana hubungan antara obyek dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir,
merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan ?. Pertanyaan-pertanyaan ini
merupakan landasan ontologis. Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu.
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apakah
kriterianya ? Cara / teknik / sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengethuan yang berupa ilmu ?. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan landasan
epistemologis. Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut.
3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara
cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural
profesional ?. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan landasan aksiologis. Untuk apa
pengetahuan dipergunakan (nilai kegunaan ilmu).
Ada tiga disiplin ilmu ditinjau dari karakteristiknya, yakni kelompok ilmu-ilmu
alamiah, ilmu-ilmu sosial dan pengethuan budaya5. Perbedaan ketiga disipin ilmu tersebut
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Disiplin Ilmu
Aspek Ilmu-ilmu Alamiah Ilmu-ilmu Sosial Pengetahuan Budaya
Pendekat
sumber karbohidrat, sumber vitamin dan mineral, hal ini berkaitan dengan dengan disiplin
ilmu alamiah. Bagaimana dengan upaya peningkatan pengetahuan gizi bagi ibu hamil dan
ibu menyusui, misalnya melalui penyuluhan/pendidikan gizi sehingga mereka dapat
menyusun menu makanan sehari-hari yang bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizinya ?.
Bukankah keadaan ini menunjukkan bahwa ilmu gizi juga termasuk disiplin ilmu sosial.
Bagaimana pula bila gizi dilihat dari konteks budaya, bukankah ilmu gizi juga berkaitan
dengan pengetahuan budaya ?.
Soekirman mengatakan, bahwa karena definisi ilmu gizi senantiasa mengandung
dua unsur pokok, yakni makanan (baik mentah maupun terolah), dan manusia atau
masyarakat. Dengan demikian pada hakekatnya ilmu gizi merupakan gabungan disiplin
ilmu yang berkaitan dengan makanan dan manusia atau masyarakat6. Luasnya ruang
lingkup Ilmu Gizi, maka dalam profesi gizi diperlukan penguasaan bidang-bidang khusus,
seperti gizi manusia, gizi masyarakat, gizi klinik, teknologi pangan dan lain-lain sesuai
dengan kebutuhan.
Apakah filsafat penelitian itu ?
Materi filsafat penelitian perlu diberikan kepada mahasiswa, dimaksudkan untuk
mendidik mereka memiliki sifat rasional, kritis, terbuka, rendah hati, skeptis yang
positif, dan tidak fanatik. Ilmu dan penelitian tidak dapat dipisahkan. Ilmu tidak dapat
berkembang tanpa penelitian, dan penelitian tidak akan ada apabila tidak di dalam kerangka
ilmu tertentu. Secara umum dapat dikatakan bahwa penelitian bertujuan untuk
mengembangkan khasanah ilmu dengan memperoleh pengetahuan serta fakta-fakta baru,
sehingga dapat disusun teori, konsep, hokum, kaidah atau metodologi baru.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 232/U/2000
tanggal 20 Desember 2000, kualifikasi lulusan program sarjana adalah:
(1) Menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertentu (gizi dan
kesehatan) sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan
cara penyelesaikan masalah gizi dan kesehatan yang ada dalam kawasan keahliannya;
(2) Mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya sesuai dengan
bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan
sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;
(3) Mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang
keahliannya maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat;
(4) Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau kesenian yang
merupakan keahliannya.
Sedangkan kualifikasi lulusan program D-IV Gizi adalah: Menguasai kemampuan
dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleks, dengan dasar kemampuan profesional
tertentu, termasuk keterampilan merencanakan, melaksanakan kegiatan, memecahkan
masalah dengan tanggungjawab mandiri pada tingkat tertentu, memiliki kemampuan
manajerial, serta mampu mengikuti perkembangan, pengetahuan, dan teknologi di dalam
bidang keahliannya. Tenaga gizi (termasuk lulusan D-IV Gizi) sebagai salah satu tenaga
kesehatan, adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (pasal 1
ayat 1 Peraturan Pemerintah No:32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan). Menurut
hemat penulis, tenaga kesehatan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan
adalah tenaga kesehatan atau tenaga gizi yang berkarakter. Tenaga gizi yang berkarakter
akan menunjukkan sikap hormat dalam meraih status sebagai tenaga gizi, yakni melalui
proses belajar dan pemikiran-pemikiran yang bersih. Ia juga mampu menempatkan
kewajiban-kewajibannya di atas segala sesuatu. Tenaga gizi yang disandang merupakan
suatu tugas panggilan yang mulai dan diperoleh melalui proses yang terus menerus menuju
kesempurnaan.
Untuk itu tidak ada salahnya berikut ini disajikan pemikiran Edgar Morin7 tentang
dunia pendidikan yang menghasilkan insan-insan akademis / intelektual / cendekia
pengelola bumi yang satu ini. Menurutnya ada tujuh materi penting bagi dunia pendidikan
(perguruan tinggi), yakni meliputi: (1) Mendeteksi kekeliruan dan ilusi, (2) Prinsip
keterkaitan pengetahuan, (3) Mengajarkan kondisi manusiawi, (4) Jati diri bumi, (5)
Menghadapi ketidakpastian, (6) Memahami satu sama lain, dan (7) Etika manusia.
Mendeteksi kekeliruan dan ilusi
Tujuan pendidikan adalah penerusan/alih pengetahuan. Namun ternyata pendidikan
justeru gagal menagkap realitas pengetahuan manusia, yakni sistemnya, kelemahannya,
kesulitannya, dan kecenderungannya terhadap kekeliruan dan ilusi. Pendidikan tidak hirau
untuk mengajarkan hakikat pengetahuan. Pengetahuan bukanlah alat siap pakai yang dapat
dipergunakan tanpa mempelajari sifatnya. Mengenal pengetahuan harus menjadi syarat
utama untuk mempersiapkan pikiran menghadapi ancaman kekeliruan dan ilusi yang terus
menerus menjadi parasit dalam pikiran manusia. Mengenal pengetahuan adalah soal
mempersenjatai pikiran dalam pertempuran hidup-mati untuk memperoleh kejernihan.
Dengan demikian, kita harus memperkenalkan dan mengembangkan kajian tentang
aspek-aspek kultural, intelektual, dan serebral pengetahuan manusia, mengenai proses dan
caranya, serta pelbagai disposisi psikologis dan budaya yang membuat kita rentan terhadap
kekeliruan dan ilusi.
Prinsip keterkaitan pengetahuan
Salah satu permasalahan pokok yang terlalu sering disalahpahami adalah bagaimana
mengembangkan suatu cara belajar yang mampu menangkap masalah-masalah yang
bersifat umum dan mendasar, seraya menyisipkan pengetahuan yang bersifat parsial ke
dalamnya. Dominannya belajar yang terbagi-bagi ke dalam berbagai disiplin ilmu sering
membuat kita tidak mampu menghubungkan bagian-bagian dengan keseluruhan. Belajar
semacam ini seharusnya diganti dengan belajar yang dapat memahami materi ajar sesuai
konteks, kompleksitas, dan totalitasnya. Kita harus mengembangkan potensi alami pikiran
manusia, yakni kemampuan untuk menempatkan semua informasi dalam suatu konteks dan
entitas. Kita perlu mengajarkan berbagai metode untuk memahami hubungan satu sama lain
dan pengaruh timbal balik antara bagian-bagian dan keseluruhan dalam dunia yang
kompleks.
Mengajarkan kondisi manusiawi
Manusia adalah mahluk yang sekaligus bersifat fisis, biologis, psikologis, cultural,
pendidikan yang terkotak-kotak ke dalam berbagai disiplin ilmu. Oleh karenanya, kini kita
tidak dapat lagi belajar apa artinya menjadi manusia. Manusialah penghubung antara
kesatuan dan keberagaman dari semua hal.
Jati diri bumi
Masa depan umat manusia sekarang berada pada skala planet. Hal pokok ini
merupakan realitas hakiki lainnya yang kerap diabaikan oleh pendidikan. Kita sangat
membutuhkan pengetahuan tentang perkembangan-perkembangan planeter terkini yang
niscaya akan tumbuh pesat pada abad ke-21 dan penyadaran akan keberadaan kita sebagai
penghuni bumi. Sejarah era platener harus diajarkan sejak awal perkembangannya pada
abad ke-16 ketika komunikasi terjalin di antara lima benua. Tanpa mengaburkan kejamnya
penindasan dan penjajahan di masa lalu dan masa sekarang, kita harus menunjukkan
bagaimana semua bagian dunia saling tergantung satu sama lain. Konfigurasi krisis
berskala planet yang kompleks pada abad ke-20 harus diurai untuk menunjukkan
bagaimana umat manusia sekarang menghadapi persoalan-persoalan hidup-mati yang sama
dan takdir yang sama.
Menghadapi ketidakpastian
Di satu sisi, kita telah mendapatkan banyak kepastian melalui sains, tetapi di sisi
lain sains abad ke-20 juga telah menunjukkan banyak bidang ketidakpastian. Pendidikan
seharusnya mencakup studi tentang ketidakpastian-ketidakpastian yang telah muncul dalam
ilmu-ilmu fisika (mikrofisika, termodinamika, kosmologi), ilmu evolusi biologis, dan ilmu
sejarah. Kita harus mengajarkan prinsip-prinsip strategis untuk menghadapi peluang,
hal-hal yang tidak terduga dan tidak pasti, serta cara mengubah strategi-strategi ini sebagai
tanggapan atas perolehan informasi yang terus menerus. Kita harus belajar mengarungi
lautan ketidakpastian, berlayar menuju dan mengitari pulau kepastian. ‘Dewa memberi kita
banyak kejutan: yang diharapkan tidak terjadi, justeru mereka membuka pintu bagi yang
tidak diharapkan’. Larik ini, yang ditulis lebih dari dua puluh lima abad yang lalu oleh
sejarah manusia, yang diklaim dapat memprediksi masa depan, telah ditinggalkan.
Kajian-kajian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian penting pada masa kini
menunjukkan betapa tidak terduganya peristiwa dan kejadian tersebut dan betapa tidak
terprediksinya arah petualangan manusia. Ini mendorong kita untuk mempersiapkan pikiran
agar siap menantikan hal yang tidak terduga dan menghadapinya. Setiap orang yang
bertanggungjawab terhadap pendidikan harus siap maju ke pos-pos terdepan ketidakpastian
dalam zaman kita.
Memahami satu sama lain
Pemahaman bisa berarti sarana dan juga tujuan komunuikasi manusia. Namun
demikian, kita tidak mengajarkan pemahaman. Planet kita menghendaki agar kita saling
memehami dalam segala arah. Mengingat betapa pentingnya mengajarkan pemahaman di
semua tingkat pendidikan pada segala usia, pem,bangunan kualitas memerlukan pembaruan
mentalitas. Ini tugas pendidikan masa depan. Saling memahami di antara manusia, entah
dekat entah jauh, menjadi kebutuhan penting agar relasi antar manusia melalui tahap
kesalahpahaman. Oleh karena itu, semua sebab, cara, dan akibat kesalahpahaman tersebut
harus dipelajari. Ini sangat penting, karena kesalahpahaman merupakan penyebab dan
bukan gejala rasisme, xenophobia, dan diskriminasi. Pemahaman yang makin baik
membentuk dasar yang kokoh bagi pendidikan untuk perdamaian yang meneguhkan
fondasi dan panggilan kita.
Etika manusia
Pendidikan harus menuntun ke ‘antropo-etika’ (etika manusia) dengan mengenali
tiga serangkai kondisi manusia: manusia adalah serentak individu-masyarakat spesies.
Dalam pengertian ini, etika individu/spesies membutuhkan kontrol masyarakat oleh
individu dan kontrol individu oleh masyarakat. Dengan kata lain, demokrasi dan etika
individu-spesies menghendaki suatu kewargaan dunia pada abad ke-21. Etika tidak dapat
diajarkan melalui pelajaran moral. Etika harus mewujud dalam kesadaran akal budi bahwa
Setiap individu menyandang ketiga realitas ini di dalam dirinya. Perkembangan manusia
yang sejati harus mencakup perkembangan terpadu antara otonomi individu, partisipasi
kelompok, dan kesadaran sebagai bagian umat manusia. Dari pokok ini, dua tujuan
etis/politis pokok milenium baru adalah terbentuknya hubungan saling mengontrol antara
masyarakat dan individu melalui jalan demokrasi, dan terpenuhinya solidaritas umat
manusia sebagai sebuah komunitas planet. Pendidikan seharusnya tidak hanya mendukung
suatu kesadaran akan Tnah Air Bumi, tetapi juga membantu agar kesadaran ini mewujud
sebagai kehendak untuk menyadari keberadaan kita sebagai warga bumi.
Kembali ke pertanyaan: Apakah filsafat penelitian itu ?. Menurut Tejoyuwono dalam Ida
Bagoes Mantra8, filsafat penelitian dapat diartikan sebagai suatu sistem pemikiran yang
mengarahkan penelitian menuju perolehan makna tentang soal yang dikaji.
Memperoleh makna berarti memahami hakekat eksistensi fakta dan kejadian yang
terkandung dalam persoalan tersebut sebagai suatu kausalitas. Sesuatu tidak dapat eksis
tanpa sebab (asas kausalitas) dan sebab selalu mendahului akibat (hukum kausalitas).
Filsafat penelitian bersifat universal. Artinya, tidak ada filsafat penelitian khusus untuk
disiplin masing-masing. Penelitian menghasilkan pengetahuan dan ilmu. Pengetahuan
ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas tentang kebenaran
atau fakta. Ilmu ialah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib,
membentuk suatu sistem pengetahuan berdasarkan rujukan kepada kebenaran atau hukum.
Evidence Based Research
Evidence Based Research, merupakan istilah yang sangat penting artinya dalam
memahami dasar-dasar penelitian gizi dan kesehatan, dimana penelitian harus dilandasi
data empiris yang merujuk dan menuju kepada kebenaran. Permasalahan gizi dan kesehatan
akhir-akhir ini merupakan masalah penelitian yang menantang setiap orang untuk mencari
jalan keluar / pemecahannya. Sepintas pertanyaan di bawah ini menjadi kawasan mereka
yang akan melakukan suatu penelitian bidang gizi dan kesehatan. Landasan teori yang
mendasari suatu penelitian merupakan modal awal bagi mereka yang akan mendalami
permasalahan gizi dan kesehatan. Baik secara induktif maupun secara deduktif,
pemahaman teori tentang gizi dan kesehatan sangat penting artinya dalam memasuki ranah
penelitian gizi dan kesehatan di Indonesia, khususnya.
Bagaimana kedudukan asumsi, model, teori serta aplikasi kesimpulan
riset dalam paradigma penelitian gizi dan kesehatan ?
Kedudukan asumsi, model, teori serta aplikasi kesimpulan riset sangat berkaitan erat satu
dengan lainnya. Berikut ini akan dijelaskan kaitan diantara mereka. Kedudukan teori dalam
suatu penelitian empirik, dapat diibaratkan sebagai jaring /yang dipakai untuk menangkap
ikan. Jaring memiliki simpul-simpul dan tali penghubung antar mereka. Demikian pula
teori memiliki proposisi-proposisi dan pernyataan-pernyataan penghubung antar mereka.
Peneliti bidang gizi dan kesehatan yang membangun teori empirik dunianya dengan pusat
dan kitaran (boundaries) yang dipilih perlu memahami dan memilih teori atau rangkaian
teori sebagai alat pengamatan atau eksperimentasi. Karl Popper (1965) dalam Suyata
(hlm.3) 9 mengatakan, bahwa teori-teori itu merupakan jaring-jaring yang digunakan untuk
menangkap ‘dunia’ yang telah kita pilih dengan merasionalisasikannya, menjelaskannya,
dan menguasainya dan seterusnya mengusahakan agar hal-hal yang kelihatannya
simpangsiur menjadi semakin kelihatan bertambah bagus. Fenomena dan hubungan antara
fenomena dalam bidang gizi dan kesehatan yang awalnya tidak jelas dan nampak bercerai
berai, atau secara kuantitatif fenomena dan kemungkinan tata hubungannya sangat banyak,
maka peneliti perlu menatanya melalui konseptualisasi tata hubungan (organik dan logik),
sehingga mudah dipahami.
Lebih lanjut Kerlinger10 mendefinisikan teori sebagai seperangkat konsep, definisi
dan proposisi yang saling berhubungan yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik
atas fenomena dengan menjabarkan hubungan-hubungan dengan tujuan menjelaskan dan
meramalkan fenomena tersebut. Fungsi/peran teori sebagai alat dari suatu ilmu
9 Suyata.1996. Penyusunan Kerangka Teoretik Penelitian. Yogyakarta: PPS-IKIP
pengetahuan ada empat, seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (hlm.19) 11,
yaitu: (1) Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; (2)
Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari fakta-fakta yang
dikumpulkan dalam penelitian; (3) Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan
terjadi, dan (4) Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan kita tentang gejala-gejala
yang telah atau sedang terjadi.
Model merupakan salah satu komponen teori yang diartikan sebagai suatu kreasi mental
tentang suatu objek yang dapat berupa benda, proses psikologik, proses sosial dan lain-lain
lewat miniaturisasi dan penyederhanaan kompleksitas yang ada dengan maksud
memperoleh gambaran keseluruhan yang utuh secara lebih mudah. Dengan demikian
model menjadi bagian dari suatu teori, membantu peneliti dalam konseptualisasi dan
generalisasi suatu fenomena sosial dengan cara melepaskan sejumlah hal yang rinci dan
memperluas terapan sifat yang diangkat dari hal-hal yang sifatnya khusus. Artinya, model
akan memberi pembatasan terhadap teori yang dikembangkan, memberi ketentuan
asumsi-asumsi yang digunakan, dan akibat lebih lanjut akan berpengaruh terhadap corak hipotesis
dan hukum-hukum yang disimpulkannya. Secara singkat Black & Champion (hlm.60) 12
mengatakan, bahwa model-model tidal lebih dari konseptualisasi sistematik yang
disederhanakan tentang unsur-unsur yang saling terkait dalam bentuk skema. Lebih lanjut
dikatakan bahwa penggunaan model memiliki kelebihan karena: (1) Menampilkan
gambaran dari teori; (2) Memperlihatkan lebih jelas batas-batas konseptual dari teori; dan
(3) Memungkinkan kita memahami arah dari kaitan-kaitan di antara beberapa variabel.
Asumsi merupakan bahan pokok dari suatu teori. Asumsi digunakan sebagai pengikat
serangkaian model untuk sejumlah kepentingan. Asumsi juga berfungsi sebagai
penghubung model atau teori dunia empirik, sehingga memungkinkan suatu model atau
suatu teori dites dan juga modifikasi model atau teori dilakukan. Asumsi dapat dinyatakan
11 Koentjaraningrat.1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.Gramedia.
12 Black,James A. dan Champion, Dean J.1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial (terjemahan).
secara implisit dan eksplisit. Pernyataan asumsi secara eksplisit memungkinkan asumsi
dites. Formalisasi teori penelitian juga memberi peluang lebih besar bagi pengujian asumsi.
Penegasan asumsi memberi arah yang jelas menafsirkan hasil-hasil suatu studi penelitian.
Demikianlah kedudukan asumsi, model, teori serta aplikasi kesimpulan riset sangat
berkaitan erat satu dengan lainnya.
Selanjutnya mengapa terjadi kontroversi sekitar upaya mengangkat
derajat riset sosial bidang gizi dan kesehatan masyarakat dengan
menerapkan riset-riset ilmu-ilmu alamiah ?
Dalam bidang keilmuan terdapat dua perspektif (paradigma) utama (Mulyana,
hlm.11)13, yakni perspektif ilmu alam dan perspektif ilmu sosial (mencakup juga ilmu-ilmu
kemanusiaan-humaniora). Persyaratan yang harus dipenuhi oleh perspektif ilmu alam dan
perspektif ilmu sosial berbeda untuk disebut ilmiah. Sementara ilmu alam harus
menjelaskan ciri-ciri realitas fisik yang diamati dan hubungan diantara berbagai aspek
realitas tersebut, sedangkan ilmu sosial harus menjelaskan bukan hanya ciri-ciri dan
tindakan-tindakan manusia yang diamati, namun juga makna karakteristik dan tindakan
tersebut bagi individu. Artinya, ilmu tentang manusia harus memperhitungkan fakta bahwa
manusia sekaligus menafsirkan diri mereka sendiri dan ilmu yang bermaksud menerangkan
mereka; Sementara benda-benda, seperti air, batu, udara, cuaca dll, tidak melakukan hal
tersebut. Tidak mengherankan bahwa terdapat lebih banyak perbedaan dalam menjelaskan
ciri dan perilaku manusia dalam ilmu sosial daripada menjelaskan ciri dan perilaku benda
dalam fisika atau ilmu alamiah.
Bagi sebagian ilmuwan sosial keistimewaan ilmu sosial justeru keanekaragaman
perspektifnya. Objek ilmu-ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas), memang
berbeda dengan objek ilmu sosial, yakni manusia yang mempunyai jiwa dan kemauan
bebas. Artinya, bahwa upaya mengangkat derajat riset sosial bidang gizi dan kesehatan
13 Mulyana, Deddy.2004. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komuniukasi dan Ilmu
dengan menerapkan riset-riset ilmu-ilmu alamiah akan mengalami kesulitan dalam upaya
menjelaskan fenomena dan realitas kehidupan manusia. Meskipun demikian, perlu diingat
bahwa tidak satu perspektif pun dapat menangkap keseluruhan realitas yang diamati.
Perspektif (paradigma) dalam bidang keilmuan akan mempengaruhi definisi, model atau
teori yang pada gilirannya akan mempengaruhi cara kita melakukan penelitian.
Perspektif menjelaskan asumsi-asumsinya yang spesifik mengenai bagaimana
penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan. Selanjutnya perspektif
menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan bagi penelitian dan metode yang
sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena. Oleh karena itu, keragaman
paradigma berguna dalam memberikan perspektif mengenai fenomena yang sama. Yang
jelas, suatu paradigma berkembang sepanjang terus memungkinkan kita berhasil mengatasi
problem dan menjelaskan fenomena yang diteliti.
Masalah Gizi
Latar Belakang
Akhir-akhir ini pemberitaan tentang istilah busung lapar, terkesan menjadi
bermakna keadaan gizi buruk saja. Hal ini tentunya wajar-wajar saja, namun lebih manusia
lagi bila upaya penanggulangan gizi buruk, nyata dilakukan dan terpantau untuk
masing-masing anak penderita gizi buruk. Gizi buruk yang tidak ditanggulangi akan berakibat
timbulnya (berdasarkan tanda-tanda klinis) apa yang disebut marasmus dan kwashiorkor
atau tipe gabungan marasmus-kwashiorkor. Anak penderita marasmus atau kwashiorkor
telah mengalami kekurangan zat-zat gizi, baik zat gizi makro (Energi dan Protein) dan zat
gizi mikro (Vitamin dan Mineral), dalam jangka waktu lama dan terus menerus (kronis).
Berdasarkan publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations, July 1996,
How Nutrition Improves), penyebab gizi buruk atau busung lapar dapat ditinjau dari
masalahnya. Penyebab langsung merupakan faktor yang langsung berhubungan dengan
kejadian gizi buruk, yakni konsumsi makanan (asupan gizi) yang tidak adekuat dan
penyakit yang diderita anak. Asupan gizi dan penyakit yang diderita anak akan bersinergi
dan menguatkan untuk memperburuk status gizi anak – bahkan dapat berakibat fatal
(kematian) dini bagi anak-anak.
Penyebab tidak langsung merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyebab langsung, seperti akses mendapatkan pangan yang kurang, perawatan dan pola
asuh anak, pelayanan kesehatan serta lingkungan buruk yang tidak mendukung kesehatan
anak balita. Akar masalah terjadinya gizi buruk terdiri dari dua hal, yakni faktor
sumberdaya potensial dan faktor sumberdaya manusia (pengawasan, ekonomi dan
organisasi). Pengelolaan sumberdaya potensial sangat erat kaitannya dengan politik dan
ideologi, suprastruktur dan struktur ekonomi. Sedangkan faktor sumberdaya manusia erat
kaitannya dengan pendidikan, sehingga pemberdayaan rakyat melalui pendidikan sangat
penting artinya untuk mengatasi penyebab tidak langsung gizi buruk.
Status gizi merupakan cerminan kuantitas (jumlahnya) dan kualitas (ragamnya)
pasokan zat gizi makanan yang dikonsumsi dan kemampuan tubuh untuk memanfaatkan
secara optimal. Dengan demikian beberapa kemungkinan berkaitan dengan pasokan gizi
bagi tubuh. Pertama, pasokan gizi tidak memenuhi kuantitas dan kualitas sehingga tubuh
menderita kekurangan gizi, termasuk terjadinya gizi buruk dan busung lapar; Kedua,
pasokan gizi terpenuhi tetapi tubuh tidak mampu memanfaatkannya secara optimal (karena
menderita penyakit tertentu seperti cacingan, tuberkulosis, diare, campak dll).; Ketiga,
pasokan gizi berlebih, berakibat menumpuknya zat gizi dalam tubuh dan terjadi kegemukan
dan obesitas. Kegemukan dan obesitas bila tidak dikendalikan dapat berakibat timbulnya
penyakit, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, kencing manis, hipertensi dll).
Masalah kegemukan dan obesitas juga telah mencapai titik kritis, karena penderitanya
semakin hari semakin meningkat tajam; Keempat, merupakan peluang yang menghantarkan
sehat bergizi prima dan produktif, karena memperoleh pasokan gizi seimbang, baik
kuantitas maupun kualitasnya.
Hak Asasi Manusia
Butir pertama dari World Declaration on Nutrition di Roma pada bulan Desember
1992, berbunyi: “Menyatakan kebulatan tekad untuk menghapuskan kelaparan dan
menurunkan berbagai bentuk gizi salah. Kelaparan dan gizi salah tidak layak ada di muka
bumi ini yang memiliki pengetahuan dan sumberdaya untuk melenyapkan bencana besar
bagi manusia. Akses untuk memperoleh gizi seimbang dan makanan yang sehat adalah hak
setiap manusia”. Demikian pula Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No.7
Tahun 1997 tentang Pangan, secara tegas menyatakan bahwa: “Pangan sebagai kebutuhan
dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus
senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga
yang terjangkau oleh daya beli masyarakat”.
Semakin jelas, bahwa terjadinya busung lapar dan tingginya kejadian gizi buruk
pada anak-anak, tentunya merupakan tragedi kemanusiaan karena tidak terpenuhinya
pangan dan gizi sebagai hak asasi manusia yang mendasar bagi generasi penerus bangsa.
Apalagi terjadinya busung lapar dan gizi buruk, seiring semakin terbongkarnya kasus-kasus
korupsi mulai ‘kelas teri’ hingga ‘kelas kakap’ di negeri ini. Tentunya upaya mengatasi
busung lapar dan gizi buruk, tidak sebatas lumbung padi. Namun dilakukan dengan upaya
sungguh-sungguh agar setiap orang dari 200 juta lebih rakyat Indonesia, terpenuhi pangan
dan kecukupan gizinya, secara adil dan merata di seluruh persada Tanah Air.
Rangkaian penyebab gizi buruk dan busung lapar yang teruntai dalam model
tingkatan, bukanlah konsep/teori semata. Namun yang terpenting adalah bagaimana
meracik sebuah sistem yang kondusif, agar semua faktor terkait mendapat perhatian sesuai
dengan porsinya masing-masing. Dominasi salah satu sektor/program (misalnya Kesehatan,
Pertanian atau Pemda/Depdagri) yang terjadi selama ini, maka tidak menutup kemungkinan
bertambahnya anak-anak yang menderita gizi buruk dari waktu ke waktu, merupakan
pertanda bahwa tidak ada upaya yang berarti bagi kesejahteraan anak. Badan atau lembaga
ketahanan pangan dan gizi nasional dan daerah, hendaknya lebih diaktifkan dan
dioptimalkan fungsinya dalam mengatasi ketersediaan pangan. Daerah yang surplus pangan
dapat menutupi daerah defisit pangan, sesuai dengan keadaan agroklimat masing-masing
pangan di daerah.
Pada skala mikro, upaya mengatasi gizi buruk sebaiknya ‘memberi kail bukan ikan’.
Memberdayakan setiap keluarga / rumahtangga, yakni melalui penyediaan lapangan kerja
merupakan keharusan sehingga daya beli meningkat. Keluarga harus secara mandiri dapat
mengelola konsumsi pangan bagi anak-anak secara berkelanjutan, khususnya bagi anak
yang menderita gizi buruk.
Pengetahuan gizi keluarga (ibu) perlu ditingkatkan melalui pelatihan ketrampilan
pengolahan makanan yang disediakan bagi anggota keluarga. Misalnya ibu-ibu diajarkan
bagaimana membuat kue-kue yang berbahan dasar nonberas (jagung, singkong, ubi, dan
kacang-kacangan) yang memang diproduksi setempat. Dengan demikian, keluarga lebih
diberdayakan bagaimana mengelola sumberdaya yang dimilikinya untuk memenuhi
kebutuhan gizi bagi anak-anak. Niscaya dengan modal kesungguhan hati, di masa
mendatang bukan saja kita dapat mengatasi anak-anak yang menderita gizi buruk, namun
mencegahnya dan menciptakan gizi baik pada anak-anak di negeri ini.
Kompas, 10/12/2005; Kompas, 7/6/2005; Kompas, 30/9/1997; Undang-undang Republik
Indonesia No.7 Tahun 1997 tentang Pangan United Nations, 1996; How Nutrition
Improves; World Declaration on Nutrition di Roma pada bulan Desember 1992
KECENDERUNGAN MASALAH GIZI DAN
Oleh: Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH (Dirjen Bina Kesmas Depkes)
A. Pendahuluan
Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun sumber daya
manusia yang bekualitas yang sehat, cerdas, dan produktif. Pencapaian pembangunan
manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum menunjukkan hasil
yang menggembirakan dalam tiga dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia
masih rendah yaitu berada pada peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah dari negara-negara
tetangga. Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status
kesehatan penduduk, hal ini antara lain terlihat dari masih tingginya angka kematian bayi
sebesar 35 per seribu kelahiran hidup dan angka kematian balita sebesar 58 per seribu
kelahiran hidup serta angka kematian ibu 307 per seratus ribu kelahiran hidup. Lebih dari
separuh kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh buruknya status gizi anak balita.
Kemiskinan dan kurang gizi merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh
karena itu meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat kaitannya dengan upaya
peningkatan ekonomi. Beberapa penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa proporsi
bayi dengan BBLR berkurang seiring dengan peningkatan pendapatan nasional suatu negara.
Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi sebagai dampak dari berkurangnya
kurang gizi dapat dilihat dari dua sisi, pertama berkurangnya biaya berkaitan dengan
kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan produktivitas. Paling kurang
manfaat ekonomi yang diperoleh sebagai dampak dari perbaikan status gizi adalah:
berkurangnya kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya perawatan untuk
neonatus, bayi dan balita, produktivitas meningkat karena berkurangnya anak yang
biaya karena penyakit kronis serta meningkatnya manfaat "intergenerasi" melalui peningkatan
kualitas kesehatan.
Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu
kelompok umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan
berikutnya (intergenerational impact). Masa kehamilan merupakan periode yang sangat
menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan
oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan
kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja
atau usia sekolah.
' Disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar
United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan
upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus kehidupan.
Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu mendapat perhatian pada upaya
perbaikan gizi.
Kekurangan gizi biasanya terjadi secara tersembunyi dan sering luput dari
pengamatan biasa. Tidaklah mudah untuk mengetahui seorang ibu hamil yang menderita
kekurangan zat gizi besi (anemia), atau seorang bayi yang terganggu pertumbuhannya atau
seorang anak sekolah yang lemah tidak mampu mengikuti proses belajar karena
kekurangan zat gizi tertentu seperti iodium atau zat besi. Sebagian besar penduduk
Indonesia atau sekitar 50% dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat dan
kondisi ini tergolong kekurangan gizi. Kekurang gizi secara perlahan akan berdampak
terhadap tingginya kematian anak, kematian ibu dan menurunnya produktivitas kerja.
Kondisi ini secara langsung menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara,
oleh karena itu upaya perbaikan gizi masyarakat merupakan bagian dari investasi
sumber daya manusia untuk pembangunan suatu bangsa.
Upaya perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak tiga
puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan difokuskan untuk mengatasi masalah gizi
utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi
(AGB) dan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY). Upaya tersebut telah berhasil
menurunkan keempat masalah gizi utama namun penurunannya dinilai kurang cepat.
Dengan terjadinya transisi demografi, epidemiologi dan perubahan gaya hidup telah
terjadi peningkatan masalah gizi lebih dan penyakit degeneratif. Keadaan ini menyebabkan
Indonesia mengalami beban ganda masalah gizi yaitu gizi kurang belum sepenuhnya
diatasi, gizi lebih sudah menunjukkan peningkatan.
Masalah gizi disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi
dan tidak cukupnya asupan gizi secara kuantitas maupun kualitas, sedangkan secara
tidak langsung dipengaruhi oleh jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Sebagai pokok masalah di masyarakat adalah
rendahnya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan serta tingkat pendapatan
masyarakat. Untuk lebih jelas mengetahui faktor penyebab masalah gizi seperti
digambarkan pada Lampiran 1 Bagan 2 (Unicef, 1998), menunjukkan secara sistimatis
determinan yang berpengaruh pada masalah gizi yang dapat terjadi pada masyarakat,
sehingga untuk mengatasi masalah gizi diperlukan penanganan faktor-faktor tersebut
secara terintegrasi, sinergi dan memerlukan dukungan lintas sektor, masyarakat, LSM dan
swasta.
B. Perkembangan Situasi Gizi di Indonesia 1.
Status Gizi Pada Balita
Masa balita sering dinyatakan sebagai masa kritis dalam rangka mendapatkan sumber
daya manusia yang berkualitas, terlebih pada periode 2 tahun pertama merupakan
masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal. Gambaran
keadaan gizi balita diawali dengan cukup banyaknya bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR). Setiap tahun, diperkirakan ada 350 000 bayi dengan berat lahir rendah di
bawah 2500 gram, sebagai salah satu penyebab utama tingginya kurang gizi pada dan
kematian balita. Tahun 2003 prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 27,5%,
kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1989 yaitu sebesar 37,5%,
atau terjadi penurunan sebesar 10 % ( Susenas 2003).
Meskipun sampai tahun 2000 penurunan gizi kurang cukup berarti, akan tetapi setelah
tahun 2000 gizi kurang meningkat kembali. Gambaran yang terjadi pada gizi buruk
yaitu dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam, lalu cenderung fluktuatif
sampai dengan tahun 2003.
Jumlah balita gizi buruk (BB/U<-3SD) dan gizi kurang (BB/U <-2SD) Susenas 1989-2003
Tahun Total
Penduduk Total Balita Prevalensi (%) JumlahBbalita dengan
Gizi buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang Gizi Buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang 1989 177,614,965 21,313,796 6.3 31.2 37.5 1,342,769 6,643,510 7,986,279 1992 185,323,458 22,238,815 7.2 28.3 35.6 1,607,866 6,302,480 7,910,346 1995 195,860,899 21,544,699 11.6 20.0 31.6 2,490,567 4,313,249 6,803,816 1998 206,398,340 20,639,834 10.5 19.0 29.5 2,169,247 3,921,568 6,090,815 1999 209,910,821 19,941,528 8.1 18.3 26.4 1,617,258 3,639,329 5,256,587 2000 203,456,005 17,904,128 7.5 17.1 24.7 1,348,181 3,066,977 4,415,158 2001 206,070,543 18,134,208 6.3 19.8 26.1 1,142,455 3,590,573 4,733,028 2002 208,749,460 18,369,952 8.0 19.3 27.3 1,469,596 3,545,401 5,014,997 2003 211,463,203 18,608,762 8.3 19.2 27.5 1,544.527 3,572,882 5,117,409
Meskipun secara prevalensi kelihatan menurun namun jika memperhatikan terhadap
jumlah penduduk dan proporsi balita pada tahun yang sama terlihat beban masalah yang
dihadapi cukup besar. Jika dilihat berdasarkan sebaran di propinsi (Susenas 2003),
prevalensi yang terendah masalah gizi buruk dan gizi kurang adalah propinsi Bali
(16,18%) dan yang tertinggi di propinsi Gorontalo (46,11%). Terdapat 14 propinsi
dengan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk masih di atas rata-rata nasional dan 15
propinsi di bawah rata-rata nasional. Peta sebaran prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di
Gambar 1
GIZI KURANO PADA BALITA MENURUT
Masalah gizi lainnya yang dihadapi pada anak usia balita adalah kurang zat gizi mikro
seperti Kurang Vitamin A. Meskipun sejak tahun 1992 Indonesia dinyatakan bebas
dari xeropthalmia, akan tetapi masih dijumpai 50% dari balita mempunyai serum retinol
<20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi balita dengan serum retinol <20 mcg/100 ml ini
menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia dan
menurunnya tingkat kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Keadaan
ini yang mengharuskan pemerintah memberikan kapsul vitamin A dosis tinggi pada anak
balita. Upaya penyadaran gizi kepada masyarakat agar selalu mengkonsumsi sayur dan
buah berwarna menjadi sangat penting, agar tidak selalu tergantung pada kapsul
Vitamin A. Munculnya kasus xeropthalmia sangat mungkin apabila penyuluhan konsumsi
sayur dan buah tidak efektif dan cakupan kapsul Vitamin kurang dari 80%. Hal ini
terbukti dengan laporan dari beberapa propinsi (NTB, Sumsel) pada tahun 2000 lalu yang
masih menemukan kasus xeropthalmia. Ada kemungkinan provinsi lain yang belum
berhasil mencakup >80% kapsul vitamin A akan menemukan kembali kasus
xeropthalmia dan meningkatnya morbiditas pada balita.
Masalah gizi lain pada anak balita adalah anemia gizi besi. Pada tahun 2001 pevalensi
anemia gizi besi sebesar 48.1%, meningkat dibandingkan tahun 1995 yaitu 40% ( SKRT
2001). Prevalensi anemia gizi pada anak di bawah usia 2 tahun lebih tinggi
dibandingkan dengan anak usia di atas 2 tahun, yaitu sekitar 60%. Gambaran ini
mencerminkan masih rendahnya kualitas MP-ASI yang diberikan kepada anak,
sementara itu penanganan anemia secara nasional baru diprioritaskan pada ibu hamil.
2. Keadaan Gizi Anak Sekolah
Tingginya bayi BBLR dan gizi kurang pada balita akan berdampak pada gangguan
pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Lebih dari sepertiga (36.1%) anak
Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah, dan hal ini merupakan indikasi
bertambahnya usia, baik pada anak laki- laki maupun perempuan. Jika dibandingkan antara
tahun 1994 dan 1999, peningkatan status gizi yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dari
39,8 % menjadi 36,1 %.
Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik
dibanding anak di desa. Gambar 2 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut
umur pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun
1994 ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah
keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak
dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit
sekali peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak
yang dikategorikan sangat pendek.
Gambar 3
-5 -4.5 -4 -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
---1994
A
I
x \
//
/\ \
Masalah kurang gizi lainnya yang terjadi pada kelompok ini selain anemia gizi besi,
adalah gangguan akibat kurang yodium (GAKY). Besaran masalah kurang yodium di
Indonesia dipantau berdasarkan survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998 dan 2003.
Terjadi penurunan yang cukup berarti, dimana pada tahun 1980, prevalensi gangguan
akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%. Prevalensi ini
menurun menjadi 27.9% pada tahun 1990, dan selanjutnya menjadi 9,8% pada tahun
1996/1998. Survei tahun 2003 prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11.1%,
Survei tahun 2003 merupakan survei nasional yang mengevaluasi dampak dari intensifikasi
program penanggulangan GAKY setelah dilakukan data dasar tahun 1996/1998. Kegiatan
utama dari program ini adalah mengupayakan peningkatan konsumsi garam beryodium, dan
juga memberikan kapsul yodium terutama pada daerah endemik berat dan sedang yang
dinilai berdasarkan data dasar 1996/1998. Garam beryodium sampai dengan tahun
2003, dikonsumsi oleh 73.2% rumah tangga secara adekuat/cukup. Angka ini cukup
bervariasi antar wilayah kabupaten, mulai dari <40% sampai yang sudah >90% rumah
tangga menkonsumsi garam beryodium. Terjadi peningkatan jumlah kabupaten menjadi 104
pada tahun 2003 yang mana lebih dari 90% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium.
Intervensi pada wilayah endemik berat dan sedang adalah dengan mendistribusikan
kapsul yodium, khususnya pada ibu hamil, wanita usia subur, dan anak usia sekolah.
Pemantauan pemberian kapsul ini masih kurang baik. Survei evaluasi 2003, menemukan
hanya 30% cakupan kapsul yodium ini sampai pada sasaran, sementara pada laporan
program cakupan ini berkisar antara 60-75%.
Masalah GAKY masih cukup serius di Indonesia. Untuk mencapai universal konsumsi
garam beryodium pada tahun 2005 memerlukan strategi yang komprehensif. Dari hasil
analisis survei 1996/1998 dan survei evaluasi 2003 menunjukkan adanya peningkatan
jumlah kabupaten yang dulunya tidak endemik, atau endemik ringan, menjadi daerah
endemik sedang atau berat. Walaupun ada penurunan prevalensi GAKY pada daerah
endemik berat dan sedang, surveilans GAKY ini sangat diperlukan, sehingga daerah yang
Tabel 2
Total Goitre Rate (TGR) Pada 268 Kabupaten Yang Sama Survei Tahun 1996/1998 dan 2003
Klasifikasi kab menurut TGR tahun 2003
Klasifikasi kabupaten menurut TGR tahun 1998 Total kabupaten Non Endemik Endemik Ringan Endemik Sedang Endemik Berat
Non Endemik 86 26 9 1 115
Endemik Ringan 28 52 13 3 96 Endemik Sedang 5 18 7 5 35 Endemik Berat 3 8 6 5 22 Total kabupaten 122 104 28 14 268
Tidak berubah 150 Memburuk 68 Membaik 50
Sumber: National IDD Survey 1998 and National IDD Evaluation Survey 2003
3. Keadaan Gizi Usia Produktif
Anemia gizi besi merupakan masalah gizi yang paling banyak dijumpai pada kelompok ini.
Sekitar sepertiga remaja dan WUS menderita anemia gizi besi dan berlanjut pada masa
kehamilan. Anemia gizi besi dijumpai pada 40 % ibu hamil. Kekurangan Energi Kronis
(KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 tahun yang ditandai dengan proporsi LILA < 23.5
cm, sebesar 24.9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16.7% pada tahun 2003. Pada
umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun),
dan menurun pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS
dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat
pertumbuhan pada anak usia balita.
Gambar 4 Proporsi WUS Risiko KEK dengan LILA < 23.5 cm (1999-2003)
Selain masalah kurang energi kronis atau kurus (Indeks Masa Tubuh < 18.5), masalah
kegemukan (IMT >25) bahkan obesitas (IMT >27) juga dijumpai pada usia poduktif. Hal ini
sebagai dampak dari adanya perubahan gaya hidup yang berkaitan dengan pola makan dan
aktivitas olah raga. Pada survei di 27 ibu kota provinsi tahun 1996/1997, dua masalah gizi ini
Masalah gizi ganda ("double burden") ini juga tidak saja terjadi pada usia produktif di ibu kota
provinsi, akan tetapi di wilayah kumuh perkotaan maupun perdesaan juga sudah mulai
terlihat dan ada kecenderungan meningkat terutama untuk masalah kegemukan. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 5, analisis dari data HKI 1999 dan 2001 yang memisahkan dua
ekstrim prevalensi kurus (IMT<18.5) dan prevalensi obesitas (IMT >30) pada wanita usia
produktif. Pada daerah kumuh perkotaan (Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya), masalah
kurus banyak terjadi pada usia muda, dan masalah obesitas sudah mulai terlihat pada usia 30
tahun ke atas dengan prevalensi >5%. Masalah obesitas pada usia >30 tahun ini meningkat
dari tahun 1999 ke tahun 2001. Di wilayah perdesaan (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Lampung,
Sumbar, Lombok, Sulsel), masalah yang sama sudah mulai tampak, hanya prevalensinya lebih
rendah dari wilayah kumuh perkotaan.
Dalam 15 tahun terakhir telah terjadi transisi epidemiologi ( SKRT, 1986-2001), yang
ditandai oleh adanya pergeseran proporsi kematian yang tinggi dari kelompok usia muda
(<4 tahun) ke kelompok umur umur tua (>55 tahun), pergeseran perubahan penyakit
penyebab kematian, proporsi kematian karena penyakit infeksi menurun, proporsi kematian
karena penyakit degeneratif dan pembuluh darah, neoplasma serta endokrin meningkat 2-3 kali
lipat.
Kegemukan dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit
degeneratif sebagai akibat dari perubahan gaya hidup, perubahan pola makan ke arah tinggi
karbohidrat, lemak dan garam serta rendah serat serta rendahnya aktivitas fisik yang dilakukan
sehari-hari.
C. Kecenderungan Masalah Gizi kedepan
Dari uraian di atas dan berdasarkan situasi terakhir 2003, target global seperti World
tergantung banyak faktor, dukungan sumber daya serta peningkatan kualitas manajemen
teknis dan operasional. Beberapa faktor mendasar yang perlu dipertimbangkan serius
apabila kita ingin memperbaiki kualitas SDM melalui upaya perbaikan gizi adalah:
1. Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang belum mencukupi. Hasil kajian
pemantauan konsumsi makanaan yang dilaksanakan tahun 1995 sampai 1998
menyimpulkan 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari 1500
Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gr per orang per hari atau
mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan (Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi, 2000). Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan
kemiskinan, di mana proporsi penduduk miskin 18.2% atau sekitar 38 juta penduduk
(BPS, 2002) serta sebaran penduduk miskin yang bervariasi, masih ada 15% kabupaten
dengan persen penduduk miskin >30%. Hal ini juga berkaitan dengan rata-rata tingkat
pendidikan yang masih rendah.
2. Adanya ketidakseimbangan antar wilayah baik kecamatan maupun kabupaten
berdasarkan prevalensi masalah gizi, kesehatan dan kemiskinan. Masih ada 75%
kabupaten di Indonesia dengan prevalensi gizi kurang pada balita >20%.
3. Masih tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi,
lingkungan, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan
cakupan program yang belum maksimal.
4. Pemberian ASI terutama ASI eksklusif sampai usia 6 bulan masih rendah, serta
MP-ASI untuk bayi di atas 6 bulan yang belum baik dalam hal jumlah dan mutu,
waktu pemberian yang tidak tepat, masalah dalam pengolahan makanan,
memberi dampak pada gangguan pertumbuhan dan munculnya beberapa
penyakit infeksi. Hal ini berkaitan dengan kurang baiknya pola pengasuhan anak,
5. Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di
Indonesia merupakan masalah kronis yang berkaitan dengan kemiskinan,
rendahnya pendidikan dan kurang memadainya pelayanan dan kesehatan
lingkungan.
6. Masih rendahnya dukungan pembiayaan kesehatan dan gizi dari sektor
pemerintah dan non-pemerintah (Tahun 2000 Rp 147,00/kapita/tahun), demikian
juga pembiayaan untuk gizi (Tahun 2003 Rp 200,00/kapita/tahun). Berdasarkan besaran
masalah gizi yang dikemukakan diatas serta faktor- faktor yang berpengaruh diperkirakan
kecendrungan masalah gizi seperti berikut:
1. Proyeksi Prevalensi Gizi Kurang Pada Balita
Dengan penurunan prevalensi gizi kurang 2% per tahun (kajian Susenas 1989
sampai 2003), serta berbagai intervensi yang dilakukan melalui pelayanan gizi yang dilakukan
di berbagai sarana pelayanan kesehatan dan posyandu serta adanya peningkatan upaya
penyadaran gizi masyarakat yang didukung dengan perbaikan tingkat kesejahteraan
masyarakat diharapkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang minimal sama dengan
tahun-tahun sebelumnya atau sebesar 30%. Dengan asumsi penurunan 30% pada tahun 2015,
prevalensi gizi kurang menjadi 13,7% dan prevalensi gizi buruk menjadi 5.7%
2. Proyeksi Prevalensi Gizi Kurang (Stunting/pendek) Pada Anak Baru Masuk Sekolah
Analisis yang dilakukan pada survei TBABS menunjukkan penurunan prevalensi gizi
kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah tahun 1994-1999 sebesar 3.7%. Stunting atau
pendek merupakan masalah gizi kronis dan pada umumnya penurunan sangat lambat.
Pengalaman kenaikan tinggi badan rata-rata dari generasi ke generasi pada negara sedang
3,7% dalam kurun waktu 5 tahun, serta menggunakan asumsi yang sama dengan penurunan
prevalensi gizi kurang pada balita, pada tahun 2015 prevalensi stunting pada anak baru
masuk sekolah diasumsikan akan menjadi 24%.
3. Proyeksi KEK pada Wanita Usia Subur
Intervensi pada kelompok ini khususnya usia 15-19 tahun selama ini belum menjadi
prioritas program perbaikan gizi. Untuk peningkatan status gizi penduduk, kelompok umur
harus menjadi prioritas untuk masa yang akan datang, dengan menggunakan asumsi
penurunan yang terjadi pada periode 1999-2003 sekitar 5-8% (tergantung pada kelompok
umur), maka pada tahun 2015 proporsi KEK usia 15-19 tahun diharapkan turun menjadi
20%. Dengan asumsi penurunan proporsi KEK pada kelompok WUS 15-19 tahun,
diharapkan dapat meningkatkan kualitas bayi yang dilahirkan dan perbaikan status gizi balita.
4. Proyeksi Masalah Gizi Mikro
Sampai tahun 2003 belum semua masalah zat gizi mikro yang berfungsi penting
untuk peningkatan status gizi diketahui dengan luas seperti kurang asam folat, kurang
Zink (Zn) dan kurang vitamin B1. Informasi yang tersedia baru untuk masalah KVA, GAKY
dan anemia gizi. Beberapa intervensi yang dilakukan melalui penyuluhan, diversifikasi
konsumsi pangan, supplementasi dan fortifikasi yang didukung dengan upaya advokasi,
law enforcement dan social enforcement yang efektif diharapkan prevalensi 50% KVA (sub
klinis) pada balita dapat diturunkan menjadi 25% pada tahun 2015
Di bidang penanggulangan GAKY, melalui penguatan berbagai upaya fortifikasi,
supplementasi yang didukung dengan strategi kampanye dan monitoring garam yang efektif
diharapkan prevalensi TGR pada tahun 2015 dapat diturunkan menjadi kurang dari 5%.
Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada ibu hamil, dan
diprioritaskan kepada ibu hamil saja, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka
menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja. Sampai tahun 2002
intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih belum intensif, diperkirakan penurunan
prevalensi anemia hanya sekitar 30%, apabila prevalensi anemia pada WUS 27.1% (SKRT,
2001) sehingga pada tahun 2015 diperkirakan turun menjadi 20% .
D. Masalah, Tantangan dan Pemikiran Program Perbaikan Gizi pada Masa yang
Akan Datang
Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus
kehidupan dan saling berpengaruhnya masalah gizi kepada siklus kehidupan
(intergenerational impact), maka diperlukan kebijakan dan strategi baru perbaikan gizi di
setiap siklus kehidupan.
Faktor geografis dan demografi. Lebih dari 50% penduduk tinggal di daerah perdesaan
dan daerah sulit. Untuk meningkatkan pelayanan gizi dan pemantauan pertumbuhan pada
masyarakat sasaran yang sulit dijangkau dengan fasilitas pelayanan yang ada seperti
puskesmas dan posyandu, perlu ada upaya khusus untuk mendekatkan pelayanan kepada
kelompok ini.
Dampak krisis ekonomi telah menurunkan kemampuan daya beli masyarakat.
Jumlah penduduk miskin masih 18% atau sekitar 38 juta. Pada masyarakat ini daya beli
terhadap makanan dan pelayanan kesehatan sangat terbatas, oleh karena itu untuk mencegah
kurang gizi, upaya peningkatan daya beli melalui pemberian kredit usaha kecil dan
menegah dan bantuan pemasarannya dan peningkatan keterampilan (income
generating) yang disertai dengan upaya KIE gizi menuju keluarga sadar gizi kepada
Meningkatnya kasus gizi buruk, hal ini menunjukkan rendahnya ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga, untuk mengatasi situasi ini upaya pemenuhan kesehatan dan gizi melalui
program jaring pengaman sosial masih perlu mendapat prioritas, misalnya pemberian
supplementasi gizi yang tepat sasaran, tepat waktu dengan mutu yang baik, perlu mendapat
prioritas.
Melakukan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif untuk jangka
panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar
membutuhkan. Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi
tingkat keluarga dilakukan secara profesional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan
ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal.
Transisi bidang kesehatan dan gizi. Indonesia dan juga negara berkembang lainnya sedang
menghadapi transisi epidemiologi, demografi, dan urbanisasi. Di bidang gizi telah terjadi
perubahan pola makan seperti rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi
garam dan meningkatnya konsumsi makananan yang tinggi lemak serta berkurangnya
aktifitas olah raga pada sebagian masyarakat terutama di perkotaan. Gaya hidup demikian
akan meningkatkan gizi lebih yang merupakan faktor risiko terhadap penyakit tidak
menular dan kematian. Untuk mengatasi masalah gizi ganda diperlukan upaya lebih
komprehensif melalui pemberdayaan keluarga, masyarakat, peningkatan kerjasama lintas
sektor, kemitraan dengan LSM dan swasta dan terintegrasi dengan intervensi diberbagai
bidang seperti konseling kesehatan dan gizi, pencegahan penyakit tidak menular, kebugaran
jasmani, olah raga, pendidikan dll. Oleh karena itu sudah saatnya mengembangkan
strategi nasional gizi, aktifitas fisik dan kesehatan, yang bertujuan untuk mencegah
meningkatnya masalah gizi lebih dan penyakit degeneratif.
Tingkat pendidikan. Meskipun tingkat melek huruf relatif tinggi (90%), akan tetapi