Penerapan Kearifan lokal
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
Di Sulawesi Selatan
(‘Patorani’)
I. Latar belakang
“Konsep Nusantara” yang diluncurkan pada Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957, menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah yang terdiri dari daratan dan lautan sebagai sebuah kesatuan,Dalam
Konvensi hukum laut Persatuan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982 Indonesia juga mendapatkan pengakuan yang menunjukkan bahwa wilayah lautan lebih dominan dibandingkan dengan daratan. Berdasarkan
kesepakatan internasional mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), wilayah yang dapat dikelola oleh negara terdiri dari 75% lautan 25% daratan. Berdasarkan hal tersebut tidak salah bila Indonesia kemudian dijuluki sebagai “Negara Maritim” yang tentu saja konsekuensi logisnya berimbas pada tata kelola perekonomian dan sosial kemasyarakatan yang berbasis pada “budaya maritim/budaya bahari” (Nugroho;2010).
Negara maritim adalah negara yang memafaatkan laut secara maksimal untuk pemenuhan kebutuhan hidup dalam berbagai aspek,
pemanfaatan kekayaan laut tersebut berupa sumber daya hayati dan sumber daya non hayati. Indonesia di karunia kekayaan alam yang berlimpah salah satunya adalah sumber daya alam yang terdapat di lautan. Sumber daya alam terdiri dari sumber daya hayati berupa Ekosistem tumbuhan dan hewan laut, serta sumber daya non hayati berupa air laut, bahan tambang dan mineral, tinggalan budaya (arkeologi) bawah air dan sebagainya yang kesemuanya bila dimanfaatkan secara baik dan maksimal dapat
1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, ternyata menjadi ambivalensi dan tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lainnya. Arah pembangunan yang ditujukan pada peningkatan ekonomi perkapita,
menyebabkan pemihakan oleh pihak investor melalui Negara cq pemerintah yang menghalalkan pengeksploitasian lingkungan dan memarjinalisasikan masyarakat lokal. Sementara masyarakat lokal sendiri mempunyai
kepentingan masalah ekonomi, mereka banyak yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam tersebut.
Dari sekian luas wilayah laut Indonesia, salah satu yang strategis dan memiliki potensi besar adalah wilayah perairan Sulawesi Selatan. Yaitu wilayah yang meliputi selat Makassar dan perairan teluk Bone. Perairan yang memisahkan antara Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan, dan
menjadi penghubung antara laut Sulawesi di bagian Utara dengan laut Jawa di bagian Selatan. Sedangkan perairan teluk Bone adalah perairan di bagian timur provinsi Sulawesi Selatan yang memisahkan provinsi ini dengan provinsi Sulawesi Tenggara.
Gambar; peta Indonesia (koleksi Andriany)
Semetara itu dengan keadaan geografis seperti itu, propvinsi
sulawesi selatan memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar pula. Adapun beberapa potensi yang dimiliki berdasarkan kategori diatas adalah:
1) sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) seperti perikanan, rumput laut, hutan bakau, tambak udang, dan sebagainya
2) sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) seperti sumberdaya minyak dan gas bumi serta tambang pasir besi dan
3) jasa lingkungan, seperti pariwisata bahari, industri kapal, dan transportasi (wordpres.com).
kepercayaan lama yang bersifat imanensi dan bersumber dari dalam. Kedua, yang dilahirkan oleh ilmu pengetahuan atau dengan penggunaan keterangan-keterangan ilmiah yang kebanyakan bersumber dari luar, masuk kedalam masyarakat melalui kontak dengan dunia luar.
Dewasa ini, ketika pembangunan berorintasi pada pertumbuhan ekonomi, laut dengan sumber dayanya ikut tereksploitasi, tanpa
memperhitungkan kerusakan lingkungan dan kelestarian sumber dayanya, kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan kemudian membawa perubahan-perubahan pada sumber daya alam. Perubahan-perubahan tersebut membawa pengaruh pada kualitas lingkungan hidup. Oleh karena itu dalam pengelolaan wilayah laut harus memperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pengelolaan itu sendiri, agar dicapai suatu lingkungan hidup yang berkelanjutan.Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya kelautan perlu memperhatikan metode tradisional yang arif dengan menggunakan teknologi lokal yang ramah lingkungan, karena kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat dapat mengatasi kerusakan lingkungan yang berdampak pada pendapatan masyarakat nelayan.
Kearifan lokal berasal dari dua kata yang berbeda yakni kearifan dan
lokal.Kearifan (wisdom) bermakna pengetahuan yang berkenaan dengan penyelesaian suatu masalah untuk mewujudkan keseimbangan lingkungan dan keserasian sosial. Sedangkan istilah lokal berarti setempat (kawasan provinsi, kabupaten, atau desa).
Kearifan lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Said dalam Masruddin; 2010). Selanjutnya Tang dalam
behavior)masyarakat nelayan dalam pengelolaan lingkungan laut secara berkelanjutan atau lestari.
Berdasarkan kedua konsep tersebut, kearifan lokal adalah
pengetahuan budaya yang mencakup nilai-nlai, norma, dan kepercayaan yang melandasi perilaku masyarakat dan dijadikan sebagai pandangan hidup dalam pengambilan keputusan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kearifan lokal berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya karena bersumber dari pengetahuan budaya masyarakat lokal yang dipraktekkan secara turun temurun. Menurut Mitchell, dkk (op.cit) bahwa sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Kearifan lingkungan, merupakan pengetahuan lokal (folk knowledge) yang diperoleh dari pengalaman adaptasi secara aktif pada lingkungannya yang diwariskan secara turun temurun serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi lingkungan dan mencipatakan keserasian sosial. Kearifan lokal masyarakat pada umumnya dilakukanuntuk menjaga kelestarian lingkungan berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal.
Orang Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis, Makassar dan Mandar, sejak dahulu kala dikenal sebagai pelaut dengan etos bahari yang tinggi. Adanya kebudayaan maritim di daerah ini tidak hanya dikenal dengan adanya folklore atau kisah tentang pelayaran di kalangan suku Bugis dan Makassar, atau adanya kepandaian orang-orang Makassar membuat perahu layar sejak dahulu kala, tetapi juga oleh adanya lontarak-lontarak tentang pelayaran dan terutama dengan adanya Undang-undang Hukum Pelayaran dan Perdagangan yang dibuat oleh salah seorang pujangga Bugis, Amanna Gappa pada abad ke XVII atau sekitar tahun 1667 (Mattulada, 1997). Dengan catatan sejarah tersebut, terungkap jelas bahwa masyarakat nelayan suku Bugis-Makassar telah mengembangkan kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial
dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam kehidupan masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan. Dalam perkembangannya, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) modern dibidang perikanan telah memberi kesempatan yang luas pada masyarakat pesisir dalam mengeksploitasi sumberdaya hayati laut
semaksimal mungkin. Namun manfaat teknologi yang terperagakan tersebut mulai pula dipertanyakan akibat merosotnya kualitas dan kuantitas
sumberdaya hayati perairan serta kualitas lingkungan (keraf, 2002). Oleh karena itu, dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) maka pendekatan secara non-struktural, melalui peranan pengetahuan lokal penduduk asli dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hayati perairan yang sarat dengan nilai konservasi memiliki peranan penting dan strategis. Sementara pendekatan secara struktural, pemerintah harus mengenal dan mendorong sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan masyarakat dalam melestarikan aktifitas-aktifitas secara tradisional yang tetap dipertahankan yang mendukung pemanfaatan sumberdaya hayati perairan secara berkelanjutan (Arief;2008).
II. Pembahasan (analisis fakta dan Teori)
Pemanfaatan lingkungan alam laut sesungguhnya merupakan serangkaian upaya yang dilakukan oleh individu maupun kelompok
disamping perbedaan sistem ekonomi dan sistem kepercayaan (religion) yang dianut (Naping; 2013). .
Kegiatan pengelolaan sumber daya laut yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan teknologi modern seperti bom, potassium sianida untuk meracun dan membius ikan dapat merusak ekosistem perairan/laut. Kerusakan tersebutakan ditanggungoleh masyarakat secara umum bahkan sampai generasi selanjutnya dengan biaya yang tidak sedikit. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom) ini dilakukan oleh
masyarakat karena memberikan keuntingan ekonomi dalam jangka waktu yang cepat tetapi dapat membahayakan masyarakat yang menggunakan alat tangkap tersebut, selai itu juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekosistem laut dalam jangka waktu yang panjang seperti kerusakan terumbu karang, ikan-ikan mati dalam jumlah yang sangat besar bahkan yang tidak layak untuk dikonsumsi, rusaknya rumput laut dan berbagai biota laut lainnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selain
berdampak positif juga berdampak negatif yang imbasnya tentu kembalikepada masyarakat itu sendiri.
Adanya perubahan sosial pada masyarakat nelayan dalam teknologi modern yang tidak ramah lingkungan mulai mengikis nilai-nilai dan norma yang sudah lama berkembang di masyarakat sehingga lambat laun kearifan lokal masyarakat akan hilang karena penggunaan teknologi modern dalam pengelolaan sumber daya laut memberikan keuntungan secara ekonomis dalam jangka waktu yang relative cepat tetapi menimbulkan kerusakan dalam jangka waktu yang sangat lama. Faktor perubahan sosial yang kemudian berimbas dalam degradasi lingkungan khususnya ekologi maritim (walaupun tidak langsung) adalah :
1. Pertambahan Penduduk. Penduduk yang bertambah terus setiap tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan, sandang dan papan (rumah)”. Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yangpada gilirannya menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara liar
2. Kebijakan Pemerintah. Bebe-rapa kebijakan pemerintah yang berdampak negatif terhadap Lingkungan Hidup.
3. Dampak Industrialisasi.
5. Lemahnya Penegakan Hukum. Sudah banyak peraturan perundangan yang telah dibuat berkenaan dengan pengelolaan lingkungan dan khususnya hutan, namun im-plementasinya di lapangan seakan-akan tidak tampak, karena memang faktanya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada
memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah mele-mahkan proses peradilan atas para penjahat lingkungan, sehingga
mengesankan peradilan masalah lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum sebagai akibat rendah-nya komitmen dan kredibilitas moral aparat penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap semakin ma-raknya perusakan hutan/lingkungan.
6. Kesadaran Masyarakat yang Rendah. Kesadaran sebagian besar warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelestarian lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan
ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang
7. Pencemaran Lingkungan. Pencemaran lingkungan baik pencemaran air, tanah maupun udara(Esaunggul.ac.id).
Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sam-pai sekarang ini, kearifan tersebut merupakan perilaku positif manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan seki-tarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu
komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Contoh kearifan lokal yang diterapkan oleh masyarakt bahari di Sulawesi Selatan adalah Patorani. Nelayan pattorani merupakan salah satu komunitas nelayan di Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya sampai saat ini mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya melalui pegunaan teknologi cara (soft ware technology) maupun teknologi alat (hard ware technology) yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientif yang melembaga serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control) oleh setiap warganya. Patorani adalah penangkapan ikan terbang, alat penangkapan patorani terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder dengan panjang 100 cm – 125 cm dengan diameter berkisar 50 cm – 60 cm, nelayan yang mengoperasikan penangkapan bubu/pakkaja, alat
terapung-apung (ammanyu-manyu). Jumlah pakkaja yang dipergunakan oleh kelompok pattorani sekitar 10-20 buah. Dan setiap pakkaja diletakkan sepotong bambu yang panjangnya kurang lebih 50 cm yang diikat bersama ”gosse” (sejenis rumput laut yang baunya disenangi ikan terbang). Pada bagian dalam pakkaja diikatkan sebuah balla-balla, yaitu tempat bertelurnya ikan terbang, dengan ukuran 2 x 1 meter, selanjutnya, pada bagian luar pakkaja dikaitkan daun kelapa bersama tandanya..
Sistem pengetahuan tentang pelayaran nelayan pattorani meliputi unsur-unsur pengetahuan seperti :
a) Pengetahuan tentang berlayar : adanya kepercayaan terhadap roh-roh yang mendiami satu tempat atau lokasi penagkapan. Untuk menghindari murkanya maka kesemuanya harus diselamati melalui upacara selamatan membuang daun sirih dan tembakau
b) Pengetahuan tentang musim dan hari pemberangkatan : pa’torani
berangkat pada bulan Maret atau bulan April (Musim Timur). Mereka percaya, bahwa kesalahan dalam penentuan waktu pemberangkatan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat menimbulkan hal yang fatal. Oleh karena itu pencatatan waktu pemberangkatan harus diperhitungkan secara cermat dan teliti mungkin. Penentuan hari baik dan hari jelek berdasarkan pada tradisi dan kebiasaan yang sudah lama dipertahankan atau berdasarkan pengalaman yang sudah berlangsung kali teruji kebenarannya, seperti hari pemberangkatan sedapat mungkin hari selasa, rabu, sabtu dan minggu. Selain hari itu merupakan pantangan untuk dijadikan sebagai hari pemberangkatan.
kencang atau badai, bila arah awan gelapnya dari barat akan menuju timur berarti akan datang hujan atau badai.
d) Pengetahuan tentang bintang (mamau) dan Bulan : tanda lain yang sering juga diperhatikan adalah dengan melihat bintang, seperti; bintang porong-porong akan terjadi musim barat, bintang tanra tellu akan terjadi hujan lebat, bintang wettuing menjadi pedoman berlayar, bintang mano dan sebagainya.
e) Pengetahuan tentang petir dan kilat : petir dan kilat dimaknai suatu kekuatan bertujuan untuk mengusir/mengejar setan dilaut yang mengganggu nelayan beraktivitas. Oleh karena itu, setiap ada petir maupun kilat nelayan-nelayan pattorani menghetikan aktivitas sejenak lalu membaca matera doa keselamatan.
f) Pengetahuan tentang gugusan karang (sapa) : pengetahuan mengenai keberadaan gugusan karang (sapa) melalui tanda-tanda seperti; adanya pantulan sinar matahari yang nampak kelihatan bercahaya, keadaan ombak disekitar karang tenang dan tidak
berarus, adanya gerombolan burung yang terbang rendah dengan menukik dan berkicau.
Gambar; alat penangkapan patorani (Arief; 2008)
Cara pengoperaisan unit penangkapan bubu/pakkaja adalah perahu
dihanyutkan dengan tidak menggunakan mesin. Pengontrolan dilakukan 2 -3 kali selama 24 jam dengan cara menarik tali secara bersamaan, bambu terangkat naik dan terlihat alat penangkapan bubu/pakkaja. Jika didalam perangkap terlihat adanya telur ikan terbang/ikan terbang, maka tali yang lainnya ditarik terus sampai alat perangkap dapat naik ke perahu.
Sistem pengetahuan lokal nelayan pattorani sarat dengan pola-pola yang mempraktekkan sistem pengetahuan tradisional yang bersumber dari pengalaman yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bertahannya sistem pengetahuan lokal disebabkan oleh kuatnya kepercayaan bagi nelayan pattorani yang memandang nilai keseimbangan mikro kosmos terhadap makro kosmos sesuatu yang fundamental dalam interaksi manusia dan alam fisik. Pengetahuan lokal nelayan pattorani secara konsisten dapat menunjang kelestarian sumberdaya hayati perairan.
III. Penutup
Pengelolaan sumber daya kelautan yang mempraktekkan kearifan lokal, sistem kepercayaan masyarakat baik bersumber dari ajaran agama maupun tradisi leluhur menjadi sumber nilai dalam pengelolaan sumber daya kelautan yang memungkinkan sumber daya kelautan tetap lestari.
Selain itu penegakan aturan (norma) sebagai suatu kelembagaan lokal dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan merupakan respon positif dari masyarakat dan pemerintah dalam rangka pengendalian kegiatan eksplorasi kelautan yang cenderung merusak ekosistem sehingga dapat memberikan manfaat jangka panjang dan berkelanjutan bagi
masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada sumber daya kelautan.
Secara ekologi fungsi kearifan lokal dapat mengkonservasi sumber daya kelautan seperti terjaganya terumbu karang. Secara ekonomis patorani menguntungkan secara ekonomis karena tidak membutuhkan biaya besar dalam pembuatannya dan bahan yang ramah lingkungan. Perilaku
penerapan kearifan lokal yang mengandung nilai dan norma yang mendasari perilaku budaya masyarakat dalam berinteraksi dengan alam dan sesama masyarakat melalui penangkapan ikan untuk kepentingan sosial akan berjalan sehingga kelembagaan adat dan aparatur negara yang mengontrol sumber daya alam khususnya kelautan akan tetap berjalan.
IV. Daftar Pustaka
2. Masruddin. (2010). Penerapan Kearifan lokal Dalam Pengelolaan Sumber daya Perikanan Wilayah OUU
3. Naping. Hamka,. (2012). Teknologi Dan Pemanfaatan Lingkungan Laut Bagi Nelayan Bagang Rambo Di Sulawesi Selatan. http://unhas.ac.id/2012
4. Nugroho. Irawan Djoko,. (2010). Majapahit, peradaban
Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia.
5. Kapalsulsel.wordpress,com