Dimuat Harian Bhirawa, 3 Juni 2014
Menyoal Keberpihakan Media dalam Pemilu
Oleh Nurudin
Dalam sebuah perkuliahan, saya pernah ditanya seorang mahasiswa, Pak, apakah edia saat-saat Pemilu itu bisa independen? Sebab, saya lihat berita media ikut berpihak pada
kasus-kasus politik terte tu? . Menanggapi pertanyaan mahasiswa itu saya juga ikut merenung. Akhirnya saya juga ikut bertanya juga; apakah independensi media itu memang ada?
Sandaran Objektivitas
Asumsi yang dikedepankan dalam tulisan ini adalah bahwa independensi media itu sangat
susah dilakukan, untuk tak mengatakan omong kosong. Untuk melihat independensi kita perlu
mengetahaui terlebih dahulu sandaran objektivitas media.
Sandaran objektivitas media itu sebenarnya ada pada fakta. Sementara sesuatu bisa
dikatakan fakta itu karena adanya penilaian seseorang. Bahkan Van Peursen (1990) pernah
e gataka jika fakta diasalka dari pe ilaia . Arti ya, fakta itu ada karena dinilai oleh seseorang.
Kalau sudah begini apakah memang tidak ada objektivitas karena penilaian
masing-masing orang berbeda? Mari kita lihat bersama-sama kenyataan yang mengitari adanya fakta
sebagai sandaran objektivitas.
Sesuatu dikatakan fakta karena ada orang yang menilai. Misalnya ada yang mengatakan
ahwa KPK itu sudah tidak i depe de . Kali at itu se uah fakta ya g diu apka oleh
seseorang. Bahwa ada orang yang mengatakan bahwa KPK sudah tidak independen itu
Dimuat Harian Bhirawa, 3 Juni 2014
Contoh lain, orang mengatakan Itu kursi empuk . Sementara orang lain mengatakan
Kursi itu tidak begitu empuk berdasar pengalamannya. Maka kedua-duanya itu fakta (yang sudah dinilai oleh seseoang).
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Fakta itu bisa digolongkan menjadi dua; (1) fakta
berdasar indera dan (2) fakta berdasarkan penilaian. Misalnya, ketika seseorang melihat bahwa
ada ibu yang dijambret (fakta atau realitas pertama berdasar indera), lalu ia mengatakan pada
orang lain bahwa ada ibu yang berdandan menor dijambret (fakta atau realitas kedua berdasar
penilaian atas realitas pertama).
Bagaimana dengan wartawan? Wartawan yang meliput sebuah kejadian tentu akan
melihat (realitas pertama), kemudian dikonstruksi ulang dalam otaknya untuk dibuat berita
(realitas kedua/penilaian). Atas kenyataan fakta kedua ini, antara wartawan satu dengan
wartawan lain tentu beda realitasnya. Bisa jadi wartawan A menulis sudut pandang X,
sementara wartawan B menulis sudut pandang Y dengan fakta sama.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan fakta media massa? Fakta yang sudah
mendapat penilaian wartawan itu (realitas kedua) kemudian mendapat penilaian lembaga
bernama media massa. Masing-masing media massa tentu mempunyai realitas berbeda. Apa
saja realitas yang melingkupti media massa? Realitas media massa bisa dipengaruhi antara lain
oleh; (a) news value (nilai berita), (b) format penulisan, (c) etika, dan (d) undang-undang
(Nurudin, 2009).
Nilai berita masing-masing media massa berbeda. Koran hiburan tentu akan tertarik
untuk meliput kegiatan konser seorang artis, sementara koran umum belum tentu. Koran
umum mungkin akan memilih angel berita korban banjir, sementara koran hiburan akan
memilih artis yang ikut bakti sosialnya. Fakta sama, nilai beritanya bisa berbeda-berbeda.
Tak terkecuali dengan liputan berita-berita politik. Ada media yang getol menyuarakan
partai X sementara yang lain tidak. Media yang memihak partai X itu jelas tidak independen, sementara media yang tidak memihak partai X barangkali cenderung memihak partai Y atau
Dimuat Harian Bhirawa, 3 Juni 2014
Sehubungan dengan format penulisan juga berbeda. Ada media yang menulis berita
kasus politik hanya dengan straight news saja, ada juga yang meliputnya secara mendalam
(depth reporting). Pilihan atas format pemberitaan ini jelas penilaian atas sebuah kejadian.
Penilaian itu jelas subjektif.
Etika sendiri, berhubungan dengan pantas dan tidak pantas untuk menyiarkan informasi.
Seorang yang belum diketahui bersalah atau tidak, sementara media massa sudah
e gadili ya aka itu ter asuk ela ggar etika. Dala ilmu jurnalistik sering disebut trial
by the press (media mengadili seseorang sebelum pengadilan memutuskan ia bersalah atau
tidak). Kode etik jurnalistik juga menekankan tidak boleh menampilkan atau perlu
menyamarkan wajah korban perkosaan (misalnya) untuk melindungi nama baiknya. Bukan
persoalan media tidak ikut menyelesaikan kasus itu, tetapi ini menyangkut etika.
Sementara itu, undang-undang menjadi rambu-rambu agar media berada dalam wilayah
semestinya menurut semangat dan muatan dimana media massa itu ada. Artinya,
undang-undang pokok pers di Amerika Serikat (AS) jelas akan berbeda dengan undang-undang-undang-undang di
Indonesia. Media Indonesia memakai tolok ukur UU Pokok Pers no. 40/99 dan bukan UU di AS
itu.
Pemihakan Media
Sebenarnya tidak ada berita yang objektif. Dengan demikian, tidak ada media massa yang
seratus persen itu bisa independen. Jika media itu menjaga jarak dengan politik apakah
dikatakan independen? Ia disebut independen atas berita politik, tetapi ia memihak selain
berita politik. Apakah media yang tidak independen itu salah? Tidak. Media harus tetap
memihak. Media sebisa mungkin memihak pada kebenaran dan itu berkaitan dengan fungsi
berita.
Menurut Kovac dan Rosentiel (2003) fungsi berita adalah menandai suatu peristiwa atau
membuat orang sadar akan sesuatu hal. Semangatnya, membuat orang sadar atas sebuah
kejadian. Perkara beritanya punya dampak yang bagaimana itu soal lain. Tugas media membuat
Dimuat Harian Bhirawa, 3 Juni 2014
Karenanya, kebenaran yang diungkap adalah kebenaran fungsional yang terus ditambah dan
dikurangi hari demi hari sesuai dengan fakta lain yang ditemukan.
Kita jadi bertanya, berarti tidak ada berita yang objektif? Fakta berita itu objektif, tetapi
kalau sudah masuk konstruksi pikiran seseorang, apalagi lembaga media massa, menjadi
subjektif. Singkatnya sebut saja objektivitas yang subjektif.
Mengamati berita-berita dan informasi dari media massa, terutama saat-saat Pemilu
2014, itu perlu berasumsi bahwa media tetap punya kepentingan-kepentingan tertentu.
Pilihannya cuma dua, perbanyak referensi sumber media massa atau enyahkan media di
hadapan Anda.
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).