• Tidak ada hasil yang ditemukan

92051084 Kumpulan bahan kuliah Metpen 1 Maret 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "92051084 Kumpulan bahan kuliah Metpen 1 Maret 2008"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas utama seorang pemimpinBelajar kepemimpinan dari Konosuke Matsushita May 10

Gaya kepemimpinan, Tipologi

kepemimp-inan

Dasar dasar kepemimpinan (leadership)Add comments

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seo-rang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Al Hujurat:13)

Kepemimpinan adalah suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang-orang lain untuk menunaikan suatu misi, tugas, atau tujuan dan mengarahkan organisasi yang membuatnya lebih kohesif dan koheren. Mereka yang memegang ja-batan sebagai pemimpin menerapkan seluruh atribut kepemimpinannya (keyakinan, nilai-nilai, etika, karakter, pengetahuan, dan keterampilan).

Menurut beberapa kelompok sarjana (dalam Kartono, 2003), tipologi kepemimpinan antara lain sebagai berikut :

1.Tipe Kharismatis

(2)

berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik me-mancarkan pengaruh dan daya tarik yang amat besar.

2. Tipe Paternalistis/Maternalistik

Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang keba-pakan dengan sifat-sifat sebagai berikut: (1) mereka menganggap bawahannya seba-gai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, (2) mereka bersikap terlalu melindungi, (3) mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri, (4) mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif, (5) mereka memberikan atau hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri, (6) selalu bersikap maha tahu dan maha benar. Tipe kepemimpinan maternalistik tidak jauh beda dengan kepemimpinan paternalistik, yang membedakan adalah dalam kepemimpinan mater-nalistik terdapat sikap over-protective atau terlalu melindungi yang sangat menonjol disertai kasih sayang yang berlebihan.

3.Tipe Militeristik

Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter. Adapun sifat-sifat dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih banyak menggunakan sistem perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan ser-ingkali kurang bijaksana, (2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3) san-gat menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang berlebihan, (4) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya, (5) tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi hanya berlangsung searah.

4. Tipe Otokratis (Outhoritative, Dominator)

Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: (1) mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal, (3) berambisi untuk merajai situasi, (4) setiap perintah dan kebijakan selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap eksklusivisme, (8) selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku, (10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka patuh.

5. Tipe Laissez Faire

(3)

harus dilakukan oleh bawahannya sendiri. Pemimpin hanya berfungsi sebagai simbol, tidak memiliki keterampilan teknis, tidak mempunyai wibawa, tidak bisa mengontrol anak buah, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, tidak mampu menciptakan suasana kerja yang kooperatif. Kedudukan sebagai pemimpin biasanya diperoleh den-gan cara penyogokan, suapan atau karena sistem nepotisme. Oleh karena itu orden-gan- organ-isasi yang dipimpinnya biasanya morat marit dan kacau balau.

6. Tipe Populistis

Kepemimpinan populis berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisonal, tidak mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang luar negeri. Kepemimp-inan jenis ini mengutamakan penghidupan kembali sikap nasionalisme.

7.Tipe Administratif/Eksekutif

Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyeleng-garakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokrat-teknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan di-namika modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu dapat tercipta sistem adminis-trasi dan birokrasi yang efisien dalam pemerintahan. Pada tipe kepemimpinan ini di-harapkan adanya perkembangan teknis yaitu teknologi, indutri, manajemen modern dan perkembangan sosial ditengah masyarakat.

8. Tipe Demokratis

Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik. kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada pemimpinnya akan tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok. Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.

Kesimpulan: Pada dasarnya gaya kepemimpinan ini bukan suatu hal yang mutlak un-tuk diterapkan, karena pada dasarnya semua jenis gaya kepemimpinan itu memiliki keunggulan masing-masing. Pada situasi atau keadaan tertentu dibutuhkan gaya kepemimpinan yang otoriter, walaupun pada umumnya gaya kepemimpinan yang demokratis lebih bermanfaat. Oleh karena itu dalam aplikasinya, tinggal bagaimana kita menyesuaikan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan dalam keluarga, organ-isasi/perusahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang menuntut diterapkannnya gaya kepemimpinan tertentu untuk mendapatkan manfaat.

(4)

Perkembangan Paradigma

Kepemimpinan : Gaya, Tipologi, Model

dan Teori Kepemimpinan

Jenis, gaya, dan ciri yang menandai perkembangan kepemimpinan masa lalu dapat dilihat dari pengetahuan atau pun teori kepemimpinan yang berkembang dalam

ku-run waktu tersebut.

Abad 20 baru saja berlalu. Kita dapat mencatat sejarah kemanusiaan yang penuh di-namika perubahan di abad itu; termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tak terkecuali perkembangan pengetahuan tentang paradigma kepemimp-inan yang dapat meliputi gaya kepemimpkepemimp-inan, tipologi kepemimpkepemimp-inan, model-model kepemimpinan, dan teori-teori kepemimpinan.

Sekalipun secara konseptual pada ketiganya terdapat perbedaan, namun sebagai telaan mengenai substansi yang sama akan terdapat korelasi bahkan interdependensi antar ketiganya.

a. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwuju-dan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk ter-tentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.

Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.

(5)

Teori Sosial.

Jika teori pertama di atas adalah teori yang

ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan

ek-strim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah

bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu

dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini

meru-pakan kebalikan inti teori genetika.

Para

penganut teori ini

mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa

se-tiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan

pen-didikan dan pengalaman yang cukup.

Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebe-naran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengala-man yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini meng-gabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.

Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s).

Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempen-garuhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organ-isasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.

(6)

peri-laku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.

a. Tipologi Kepemimpinan

Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).

Tipe Otokratis.Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kri-teria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan se-bagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu ter-gantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.

Tipe Militeristis. Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seo-rang pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seoseo-rang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.

Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang pater-nalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.

(7)

powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.

Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini ter-jadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan ke-pentingan dan tujuan organisasi dengan keke-pentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tu-juan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat ke-salahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat keke-salahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.

Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.

a. Model Kepemimpinan.

Model kepemimpinan didasarkan pada pendekatan yang mengacu kepada hakikat kepemimpinan yang berlandaskan pada perilaku dan keterampilan seseorang yang berbaur kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa model yang menganut pendekatan ini, di antaranya adalah sebagai berikut.

(8)

Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi den-gan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha menguta-makan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini ter-buka bagi diskusi dan keputusan kelompok.

Namun, kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan memi-liki kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi demokratis yang berorien-tasi pada hubungan. (Lihat Gambar 1).

Model Kepemimpinan Ohio. Dalam penelitiannya, Universitas Ohio melahirkan teori dua faktor tentang gaya kepemimpinan yaitu struktur inisiasi dan konsiderasi (Hersey dan Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada perilaku pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota kelompok kerja dalam up-aya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi, dan metode atau prosedur yang ditetapkan dengan baik. Adapun konsiderasi mengacu kepada perilaku yang menun-jukkan persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya (bawahan). Adapun contoh dari faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan waktu untuk menyimak anggota kelompok, pemimpin mau mengadakan perubahan, dan pemimpin bersikap bersaha-bat dan dapat didekati. Sedangkan contoh untuk faktor struktur inisiasi misalnya pemimpin menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok, pemimpin meminta anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar, dan pemimpin mem-beritahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan dari mereka. Kedua fak-tor dalam model kepemimpinan Ohio tersebut dalam implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model kepemimpinan yang rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b) model kepemimpinan yang tinggi konsiderasi maupun struk-tur inisiasinya, (c) model kepemimpinan yang tinggi konsiderasinya tetapi rendah struktur inisiasinya, dan (d) model kepemimpinan yang rendah konsiderasinya tetapi tinggi struktur inisiasinya. (Lihat Gambar 2)

Model Kepemimpinan Likert (Likert’s Management System). Likert dalam Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam model kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam empat sistem, yaitu sistem otoriter, otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan partisi-patif. Penjelasan dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang disajikan pada bagian berikut ini.

(9)

harus dijalankan oleh bawahan. Dalam menjalankan pekerjaannya, pimpinan cen-derung menerapkan ancaman dan hukuman. Oleh karena itu, hubungan antara pimp-inan dan bawahan dalam sistem adalah saling curiga satu dengan lainnya.

Sistem Otoriter Bijak (Otokratis Paternalistik). Perbedaan dengan sistem sebelumnya adalah terletak kepada adanya fleksibilitas pimpinan dalam menetapkan standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada bawahan. Selain itu, pimpinan dalam sis-tem ini juga sering memberikan pujian dan bahkan hadiah ketika bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun demikian, pada sistem inipun, sikap pemimpin yang se-lalu memerintah tetap dominan.

Sistem Konsultatif. Kondisi lingkungan kerja pada sistem ini dicirikan adanya pola komunikasi dua arah antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dalam menerapkan kepemimpinannya cenderung lebih bersifat menudukung. Selain itu sistem kepemimpinan ini juga tergambar pada pola penetapan target atau sasaran organisasi yang cenderung bersifat konsultatif dan memungkinkan diberikannya wewenang pada bawahan pada tingkatan tertentu.

Sistem Partisipatif. Pada sistem ini, pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada kerja kelompok sampai di tingkat bawah. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan keterbukaan dan memberikan keper-cayaan yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan target pemimpin selalu melibatkan bawahan. Dalam sistem inipun, pola komunikasi yang terjadi adalah pola dua arah dengan memberikan kebebasan kepada bawahan untuk mengungkapkan seluruh ide ataupun permasalahannya yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan.

Dengan demikian, model kepemimpinan yang disampaikan oleh Likert ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari model-model yang dikembangkan oleh Uni-versitasi Ohio, yaitu dari sudut pandang struktur inisasi dan konsiderasi.

(10)

yang ekstrim dan satu kecenderungan yang terletak di tengah-tengah keempat gaya ekstrim tersebut. Gaya kepemimpinan tersebut adalah : (Lihat Gambar 3)

Grid 1.1 disebut Impoverished leadership (Model Kepemimpinan yang Tandus), dalam kepemimpinan ini si pemimpin selalu menghidar dari segala bentuk tanggung jawab dan perhatian terhadap bawahannya.

Grid 9.9 disebut Team leadership (Model Kepemimpinan Tim), pimpinan menaruh perhatian besar terhadap hasil maupun hubungan kerja, sehingga mendorong bawa-han untuk berfikir dan bekerja (bertugas) serta terciptanya hubungan yang serasi an-tara pimpinan dan bawahan.

Grid 1.9 disebut Country Club leadership (Model Kepemimpinan Perkumpulan), pimpinan lebih mementingkan hubungan kerja atau kepentingan bawahan, sehingga hasil/tugas kurang diperhatikan.

Grid 9.1 disebut Task leadership (Model Kepemimpinan Tugas), kepemimpinan ini bersifat otoriter karena sangat mementingkan tugas/hasil dan bawahan dianggap tidak penting karena sewaktu-waktu dapat diganti.

Grid 5.5 disebut Middle of the road (Model Kepemimpinan Jalan Tengah), di mana si pemimpin cukup memperhatikan dan mempertahankan serta menyeimbangkan antara moral bawahan dengan keharusan penyelesaian pekerjaan pada tingkat yang memuaskan, di mana hubungan antara pimpinan dan bawahan bersifat kebapakan. Berdasakan uraian di atas, pada dasarnya model kepemimpinan manajerial grid ini re-latif lebih rinci dalam menggambarkan kecenderungan kepemimpinan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya model ini merupakan pandangan yang berawal dari pemikiran yang relatif sama dengan model sebelumnya, yaitu seberapa otokratis dan demokratisnya kepemimpinan dari sudut pandang perhatiannya pada orang dan tugas.

Model Kepemimpinan Kontingensi. Model kepemimpinan kontingensi dikembang-kan oleh Fielder. Fielder dalam Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1995) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bagi sebuah organisasi bergantung pada situasi di mana pemimpin bekerja. Menurut model kepemimpinan ini, terdapat tiga variabel utama yang cenderung menentukan apakah situasi menguntukang bagi pemimpin atau tidak. Ketiga variabel utama tersebut adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota kelompok (hubungan pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas); dan kekuasaan dan kewenangan posisi yang dimiliki (kuasa posisi).

(11)

pemimpin yang berorientasi pada hubungan cenderung berprestasi terbaik dalam situ-asi-situasi yang cukup menguntungkan.

Dari kesimpulan model kepemimpinan tersebut, pendapat Fiedler cenderung kembali pada konsep kontinum perilaku pemimpin. Namun perbedaannya di sini adalah bahwa situasi yang cenderung menguntungkan dan yang cenderung tidak mengun-tungkan dipisahkan dalam dua kontinum yang berbeda. (Lihat Gambar 4).

Model Kepemimpinan Tiga Dimensi. Model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Redin. Model tiga dimensi ini, pada dasarnya merupakan pengembangan dari model yang dikembangkan oleh Universitas Ohio dan model Managerial Grid. Perbedaan utama dari dua model ini adalah adanya penambahan satu dimensi pada model tiga dimensi, yaitu dimensi efektivitas, sedangkan dua dimensi lainnya yaitu dimensi peri-laku hubungan dan dimensi periperi-laku tugas tetap sama.

Intisari dari model ini terletak pada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan kombi-nasi perilaku hubungan dan perilaku tugas dapat saja sama, namun hal tersebut tidak menjamin memiliki efektivitas yang sama pula. Hal ini terjadi karena perbedaan kon-disi lingkungan yang terjadi dan dihadapi oleh sosok pemimpin dengan kombinasi perilaku hubungan dan tugas yang sama tersebut memiliki perbedaan. Secara umum, dimensi efektivitas lingkungan terdiri dari dua bagian, yaitu dimensi lingkungan yang tidak efektif dan efektif. Masing-masing bagian dimensi lingkungan ini memiliki skala yang sama 1 sampai dengan 4, dimana untuk lingkungan tidak efektif skalanya bertanda negatif dan untuk lingkungan yang efektif skalanya bertanda positif. (Lihat

Gambar 5).

a. Teori Kepemimpinan.

Salah satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi kepemimpinan modern adalah perkembangan dari teori peran (role theory). Dikemukakan, setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu, demikian juga halnya dengan individu diharapkan memainkan peran tertentu. Dengan demikian kepemimpinan dapat dipan-dang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti bahwa kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan anggota kelom-poknya.

(12)

Dalam sejarah peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan. Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya bertang-gungjawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi, mereka juga bertanggungjawab terhadap masalah-masalah internal organisasi termasuk di-dalamnya tanggungjawab terhadap pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal, para pemimpin memiliki tanggungjawab sosial ke-masyarakatan atau akuntabilitas publik.

Dari sisi teori kepemimpinan, pada dasarnya teori-teori kepemimpinan mencoba men-erangkan dua hal yaitu, faktor-faktor yang terlibat dalam pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari kepemimpinan. Penelitian tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada teorinya itu sendiri. Namun bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup menarik, karena teori banyak membantu dalam mendefinisikan dan menentukan masalah-masalah penelitian. Dari penelusuran literatur tentang kepemimpinan, teori kepemimpinn banyak dipengaruhi oleh penelitian Galton (1879) tentang latar belakang dari orang-orang terkemuka yang mencoba men-erangkan kepemimpinan berdasarkan warisan. Beberapa penelitian lanjutan, menge-mukakan individu-individu dalam setiap masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda dalam inteligensi, energi, dan kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh indi-vidu yang benar-benar superior.

Perkembangan selanjutnya, beberapa ahli teori mengembangkan pandangan kemu-nculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat. Dua hipote-sis yang dikembangkan tentang kepemimpinan, yaitu ; (1) kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung kepada situasi kelompok, dan (2), kualitas individu dalam mengatasi situasi sesaat merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi situasi yang sama (Hocking & Boggardus, 1994).

(13)

pandangannya tidak hanya pada masalah situasi yang ada, tetapi juga dilihat interaksi antar individu maupun antar pimpinan dengan kelompoknya. Teori kepemimpinan yang dikembangkan mengikuti tiga teori diatas, adalah Teori Interaksi Harapan. Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan dengan menggunakan tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan sentimen. Asumsinya, bahwa pen-ingkatan frekuensi interaksi dan partisipasi sangat berkaitan dengan penpen-ingkatan sen-timen atau perasaan senang dan kejelasan dari norma kelompok. Semakin tinggi ke-dudukan individu dalam kelompok, maka aktivitasnya semakin sesuai dengan norma kelompok, interaksinya semakin meluas, dan banyak anggota kelompok yang berhasil diajak berinteraksi.

Pada tahun 1957 Stogdill mengembangkan Teori Harapan-Reinforcement untuk men-capai peran. Dikemukakan, interaksi antar anggota dalam pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama yang dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang di-lakukan. Kemudian dikemukakan, inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha anggota untuk merubah motivasi anggota lain agar perilakunya ikut berubah. Motivasi dirubah dengan melalui perubahan harapan tentang hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang terjadi, dimaksudkan untuk mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan demikian, nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau hadiah.

(14)

kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001). Teori kepemimpinan lain, yang perlu dikemukakan adalah Teori Perilaku Kepemimp-inan. Teori ini menekankan pada apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Dike-mukakan, terdapat perilaku yang membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin. Jika suatu penelitian berhasil menemukan perilaku khas yang menunjukkan keber-hasilan seorang pemimpin, maka implikasinya ialah seseorang pada dasarnya dapat dididik dan dilatih untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus menjawab pendapat, pemimpin itu ada bukan hanya dilahirkan untuk menjadi pemimpin tetapi juga dapat muncul sebagai hasil dari suatu proses belajar.

Selain teori-teori kepemimpinan yang telah dikemukakan, dalam perkembangan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para pakar maupun praktisi adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan pengikut yaitu pola kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kedua pola kepemimpinan tersebut, adalah berdasarkan pendapat seorang ilmuwan di bidang politik yang bernama James Mc-Gregor Burns (1978) dalam bukunya yang berjudul “Leadership”. Selanjutnya Bass (1985) meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai kedua pola kepemimpinan dan kemudian mengumumkan secara resmi sebagai teori, lengkap dengan model dan pen-gukurannya.

3. Kompetensi Kepemimpinan

Suatu persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin (kepemimp-inan) dan manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun tanggung jawabnya masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982) yang didefinisikan kompe-tensi sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan mem-berikan hasil yang diinginkan”. Secara historis perkembangan kompetensi dapat dili-hat dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu ke waktu yang dikem-bangkan oleh Burgoyne (1988), Woodruffe (1990), Spencer dan kawan-kawan (1990), Furnham (1990) dan Murphy (1993).

(15)

Beberapa pandangan di atas mengindikasikan bahwa kompetensi merupakan karak-teristik atau kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mem-pengaruhi kinerja seseorang. Selain traits dari Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept (Spencer, 1993), knowledge, dan skill ( Spencer, 1993; Rothwell and Kazanas, 1993). Menurut review Asropi (2002), berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut : Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan seseo-rang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Amstrong, 1990). Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseo-rang siapa dirinya. Knowledge adalah informasi yang dimilki seseoseseo-rang dalam suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik.

Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat action. Menurut Spencer (1993), skill menjelma se-bagai perilaku yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowl-edge.

Dalam pada itu, menurut Spencer (1993) dan Kazanas (1993) terdapat kompetensi kepemimpinan secara umum yang dapat berlaku atau dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa : result orientation, influence, initiative, flexi-bility, concern for quality, technical expertise, analytical thinking, conceptual think-ing, team work, service orientation, interpersonal awareness, relationship buildthink-ing, cross cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building or-ganizational commitment, dan empowering others, develiping others. Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupakan Kompetensi-kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampir dalam semua posisi manajerial.

(16)

felexibilty, relatiuonship building, result (achievement) orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.

Dalam hubungan ini Kouzes dan Posner 1995) meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa barang atau pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki kualitas prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan manajerial adalah suatu cara hidup yang dihasilkan dari “mutu pribadi total” ditam-bah “kendali mutu total” ditambah “mutu kepemimpinan”. Berdasarkan penelitian-nya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertin-dak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi bawa-han.

Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknikal maupun manajerial. Sedan-gkan Burwash (1996) dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer mengemukakan, kunci dari kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimp-inan yang memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpkepemimp-inan yang terbaik. Dinyatakan, pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan “status quo” dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria kuali-tas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai pendidik atau guru bagi bawahan-nya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.

Dalam pada itu, Warren Bennis (1991) juga mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah “empowering the collective effort of the organization toward meaningful goals” dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : People feel impor-tant; Learning and competence are reinforced; People feel they part of the organiza-tion; dan Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable. Sementara itu, Soetjipto Wirosardjono (1993) menandai kualifikasi kepemimpinan berikut, “kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang secara sejati me-mancarkan wibawa, karena memiliki komitmen, kredibilitas, dan integritas”.

(17)

pur-veyors of hope, optimism and a psychological resilience that expects success (lihat Karol Kennedy, 1998; p.32).

Bagi Rossbeth Moss Kanter (1994), dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks dan akan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompe-tensi kepemimpinan berupa conception yang tepat, competency yang cukup, connec-tion yang luas, dan confidence.

Tokoh lainnya adalah Ken Shelton (ed, 1997) mengidentikasi kompetensi dalam nu-ansa lain., menurut hubungan pemimpin dan pengikut, dan jiwa kepemimpinan. Dalam hubungan pemimpin dan pengikut, ia menekankan bagaimana keduanya se-baiknya berinterkasi. Fenomena ini menurut Pace memerlukan kualitas kepemimp-inan yang tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi dari proses yang sama. Dalam hubungan jiwa kepemimp-inan, sejumlah pengamat memasuki wilayah “spiritual”. Rangkaian kualitas lain yang mewarnainya antara lain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah intelektual atau pengenalan, melainkan masalah emosional. Sedangkan Bell berpikiran bahwa pembimbing yang benar tidak sela-manya merupakan mahluk rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api.

Sumber :

http://aparaturnegara.bappenas.go.id/data/Kajian/Kajian-2003/Dimensi%

Tipe-tipe (Tipologi) Pemimpin (Leader)

Ditulis oleh Benidiktus Sihotang Jumat, 22 Januari 2010 17:28

Hiburan dan Sekilas Info - Opini dan Ulasan

Cara Mudah Membangun Usaha Tour & Travel

Pemimpin dalam Kehidupan Sosial

Di dalam kehidupan masyarakat, selalu dapat ditemukan adanya pemimpin (leader) dan pengikut (pengikut), adanya kepemimpinan (leadership) dan kepengikutan (fol-lowership). Sehubungan dengan itu dapat dikatakan bahwa pemimpin dan kepemimp-inan adalah gejala sosial (social/group phenomenon). Sejarah manusia dari abad ke abad membuktikan bahwa kehidupan setiap kelompok sosial tidak terlepas dari manusia-manusia besar yang memimpinnya.

(18)

pengikut. Pemimpin dan pengikut adalah dwitunggal yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.

Setiap individu memiliki kedua status tersebut, artinya dalam situasi tertentu seseo-rang dapat berstatus sebagai pemimpin, dan pada situasi lain berstatus hanya sebagai pengikut. Masalah pemimpin dan dan kepemimpinan, tidak terlepas dari pribadi pemimpin, peranan pengikut dan situasi sosial yang melingkunginya.

Perbedaan Pemimpin (leader) dan Kepemimpinan (leadership) dengan Pimpinan (Manager) dan Kepimpinan (Management)

Dalam kehidupan sehari-hari, tiada jarang istilah pemimpin dan kepemimpinan disamakan dengan istilah pimpinan dan kepimpinan. Praktek yang sedemikian sebe-narnya kurang tepat, oleh karena antara kedua istilah itu ada perbedaannya, yaitu se-bagai berikut:

1) Dalam bahasa asing, untuk pemimpin biasanya dipergunakan istilah leader, sedan-gkan untuk pimpinan digunakan istilah manager, eksekutif atau administrator. Kegiatan pimpinan itu biasanya disebut management yang diterjemahkan oleh beber-apa pihak dengan kepimpinan, sedangkan kegiatan pemimpin disebut leadership atau kepemimpinan.

2) Lebih mudah menjadi pimpinan daripada menjadi pemimpin, karena pimpinan di-angkat oleh atasan (titular leader), sedangkan pemimpin tumbuh dan muncul dari bawah (real leader). Secara intrinsik, supervision, management dan administration berhubungan dengan tingkat-tingkat di dalam organisasi, sedangkan leadership dapat dilakukan oleh siapa saja sesuai dengan situasi, yang menentukan jenis leadership yang dibutuhkan.

3) Management merupakan fungsi status atau wewenang (authority, power, perintah, paksaan, force, dan bersifat resmi), sedangkan leadership merupakan kualitas hubun-gan atau interaksi antara pemimpin dan pengikut (persuasi, pengaruh, wibawa, dan tidak resmi) dalam situasi tertentu.

4) Management selalu diarahkan kepada pencapaian tujuan organisasi, sedangkan leadership dapat diarahkan untuk mewujudkan keinginan pemimpin.

5) Management mempergunakan input berupa logika, rasio, finansial, bersifat imper-sonal, analitis dan kwantitatif, sedangkan leadership merupakan faktor-faktor pemimpin, pengikut dan situasi.

(19)

untuk mendorong orang lain guna melakukan sesuatu yang diinginkan. Ia terutama bertanggung jawab pada orang-orang yang mendukungnya, yaitu para pengikutnya.

Tipe-tipe Pemimpin

Setiap penulis mengemukakan tipe-tipe (tipologi) pemimpin yang berbeda. Beraneka ragam tipe-tipe itu timbul karena sudut tinjauannya berbeda, meskipun yang dipela-jari proses yang sama.

Dalam hubungan ini, hendaknya dimaklumi bahwa istilah tipe mengandung penger-tian yang tidak fixed dan definitif, tetapi lebih bersifat arbitrair, oleh karena garis batas antara tipe-tipe itu tidak jelas. Tipe-tipe itu tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan tidak selalu mutually exclusive, artinya tipe-tipe itu mengandung ciri-ciri yang tidak seluruhnya berlainan. Ciri-ciri tertentu yang yang terkandung di dalam su-atu tipe mungkin juga terdapat pada tipe-tipe yang lain, meskipun dalam rangkainan ciri-ciri lain yang berbeda.

Cara bertindak seorang pemimpin, dapat didorong oleh kecenderungan pribadi oleh keinginannya untuk menguasai situasi yang dihadapi. Dalam hal tindakan seorang pemimpin didorong oleh kecenderungan pribadi, maka yang dibicarakan adalah tipe. Tetapi apabila itu didorong oleh keinginannya untuk mengatasi dan menguasai situasi yang dihadapi, maka tindakan itu menunjuk kepada metode kepemimpinan yang dipergunakan. Dalam hal ini kadang-kadang harus melawan kecenderungan prib-adinya.

Setiap pemimpin mempunyai kecenderungan untuk mempergunakan jenis kepemimp-inan tertentu. Penonjolan ini dapat dilihat dengan jelas pada saat ia mempergunakan jenis kepemimpinan yang tidak tepat pada situasi tertentu. Itupun telah dilakukan tanpa melawan dengan kecenderungan pribadi. Misalnya dalam keadaan darurat ia mempergunakan kepemimpinan yang demokratis. Dalam hubungan ini jenis kepemimpinan yang diterapkan itu dikatakan tidak tepat, oleh karena pada hematnya yang penting untuk saat itu ialah usaha-usaha untuk menguasai situasi dan untuk itu dibutuhkan ciri-ciri atau kepemimpinan yang dapat menjamin penguasaan situasi. Namun, demikian para pemimpin pada umumnya mempergunakan pendekatan yang berlainan terhadap situasi yang berbeda, dengan pengharapan akan dapat mengatasi dan menguasai situasi yang dihadapi. Dengan kata lain mereka mereka berusaha mempergunakan metode yang berbeda-beda sesuai dengan perubahan kondisi.

Tipe-tipe Berdasarkan Sikap Pemimpin

Ter-hadap Kekuasaan atau Organisasi

(20)

1) Climbers, ialah tipe pemimpin yang selalu haus akan kekuasaan, prastige dan ke-majuan diri, berusaha maju terus menerus dengan kekuasaan sendiri, oportunistis, agresif, suka dan mendorong perubahan dan perkembangan dan berusaha berombak terus menerus.

2) Conservers, ialah tipe pemimpin yang mementingkan jaminan dan keenakan, mempertahankan statusquo memperkuat posisi yang telah dicapai, menolak peruba-han, defensifda statis. Tipe ini biasanya terdapat pada middle management atau dimi-liki oleh parapejabat yang sudah lanjut usia.

3) Zealots, ialah tipe pemimpin yang bersemangat untuk memperbaiki organisasi, mengutamakan tercapainya tujuan, mempunyai visi, menyendiri aktif, agresif, berse-dia menghadapi segala permusuhan dan pertentangan, tegas, mempunyai dorongan yang keras untuk maju, tidak sabaran untuk mengadakan perbaikan dan menentukan sesuatu yang baru, mementingkan kepekaan daripada human relations.

4) Advocates, ialah tipe pemimpin yang ingin mengadakan perbaikan organisasi, terutama bagiannya sendiri, mementingkan kepentingan keseluruhan organisasi dari-pada kepentingan diri sendiri, pejuang yang gigih dan bersemangat untuk kepentingan orang-orang dan programnya, bersedia menghadapi pertentangan apabila mendapat dukungan dari kolega-koleganya, sangat responsif terhadap ide-ide dan pengaruh orang lain, keluar bersedia mempertahankan kelompok dengan tindakan partisan, ke dalam bersikap jujur dan tidak menyebelah.

5) Statesmen, ialah tipe pemimpin yang mementingkan tujuan organisasi secara ke-seluruhan dan misi organisasi, berusaha berdiri di atas kepentingan-kepentingan, tidak menyukai pertentangan yang merugikan pihak-pihak yang bersangkutan, berusaha mempertemukan pertentangan.

Tipe-tipe Berdasarkan Kekuasaan

Dalam hubungannya dengan kekuasaan, tipe pemimpin dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Autoraic leader, ialah tipe pemimpin yang menggantungkan terutama pada kekuasaan formalnya, organisasi dipandang sebagai milik pribadi, mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, hak dan wewenang adalah milik pribadi. Leadership adalah hak pribadi, bawahan adalah alat, ia harus mengikuti saja, tidak memberi kesempatan kepada bawahan untuk ikut mengambil bagian dalam pengam-bilan keputusan, tidak mau menerima kritik, saran atau pendapat, tidak mau berund-ing dengan bawahan, keputusan diambil sendiri, memusatkan kekuasaan untuk mengambil keputusan, mempergunakan intimidasi, paksaan atau kekuatan dan men-gagungkan diri.

(21)

dan memberikan contoh, memperhatikan perasaan pengikut, mensinkronisasikan ke-pentingan dan tujuan organisasi dengan keke-pentingan dan tujuan pribadi pengikut, mengutamakan kepentingan organisasi dan kepentingan pengikut, senang menerima saran, pendapat atau kritik, menerima partisipasi informil dari kelompok, meman-fatkan pendapat-pendapat kelompok, menunggu persetujuan kelompok, menunggu persetujuan kelompok, berunding dengan pengikut, mengutamakan kerja sama, mendesentralisasikan wewenang, memberikan kebebasan untuk bawahan untuk bertindak, menstimulir inisiatif, mendorong partisipasi pengikut dalam pengambilan keputusan, memberikan informasi yang luas kepada pengikut, membuat pengikut lebih sukses.

3) Free rein leader, disebut juga pemimpin yang liberal, ialah tipe pemimpin yang menghindari kekuasaan, tergantung pada kelompok anggota, kelompok memoti-vasikan diri sendiri, hanya bertindak sebagai perantara dengan dunia luar untuk menyajikan informasi kepada kelompok, tidak berhasil memahami sumbangan man-agement, tidak dapat memahami peranan motivasi yang diberikan dan melakukan pengendalian yang minimal.

Tipe-Tipe Berdasarkan Orientasi Pemimpin

Tipe-tipe berdasarkan orientasi pemimpin, terdiri dari dua golongan pemimpin, yaitu pemimpin yang berorientasi pada pengikut atau pegawai, dan pemimpin yang berori-entasi pada produksi.

Tipe-tipe Berdasarkan Cara Memotivasi

Dalam hal ini, terbagi dalam tipe pemimpin yang positif dan pemimpin yang positif. Pemimpin yang negatif, ialah tipe pemimpin yang menekankan kepada perangsang yang bersifat negatif, misalnya ancaman, hukuman dan lain-lain. Sedangkan tipe pemimpin yang positif, ialah pemimpin yang dalam memotivasikan pengikutnya menekankan pada pemberian hadiah.

Tipe-tipe Berdasarkan Segi Landasan yang

Dipergunakan Untuk Mempengaruhi Pengikut

Dari segi landasan yang dipergunakan oleh pemimpin untuk mempengaruhi pengikut, dapat diklasifikasikan pemimpin dalam 3 kategori sebagai berikut:

1) Pemimpin tradisional, berusaha mempengaruhi pengikutnya berdasarkan tradisi yang ada.

(22)

3) Pemimpin rasional, kadang-kadang disebut pemimpin birokratis oleh karena pemimpin tipe ini biasanya terdapat di dalam organisasi birokratis, mempergunakan rasio untuk mempengaruhi pengikutnya.

Tipe-tipe Pemimpin Berdasarkan

Kepribadian-nya

Tipe-tipe pemimpin berdasarkan kepribadiannya terdiri dari 6 macam sebagai berikut: 1) Tipe ekonomis, tipe yang perhatiannya dicurahkan kepada segala sesuatu yang bermanfaat dan praktis.

2) Tipe aesthetis, yaitu tipe yang berpendapat bahwa nilai yang tertinggi terletak pada harmoni dan individualitas.

3) Tipe teoritis, yaitu tipe yang perhatian utamanya ialah menemukan kebenaran hanya untuk mencapai kebenaran, perbedaan dan rasionalitas.

4) Tipe sosial, yakni tipe pecinta orang lain, tujuan akhirnya adalah orang lain. Berhubungan dengan sifatnya yang ramah tamah, simpatik, dan tidak mementingkan diri sendiri.

5) Tipe politis, yaitu tipe yang perhatian utamanya diarahkan kepada kekuasaan, menginginkan kekuasaan perseorangan, pengaruh dan reputasi.

6) Tipe religious, yaitu tipe yang berpendapat bahwa bahwa nilai yang tertinggi ialah pengalaman yang memberikan kepuasan tertinggi dalam kehidupan spritual dan bersi-fat mutlak.

(23)
(24)

Kumpulan bahan kuliah

Metodologi Penelitian

DAFTAR ISI

Modul 1:

PENGANTAR:

APAKAH PENELITIAN

ITU?

Modul 2:

RAGAM PENELITIAN

Modul 3:

UNSUR-UNSUR

(25)

Modul 4:

PERUMUSAN

PERMASALAHAN

Modul 5:

PENULISAN

(26)

1

Modul 1:

APAKAH PENELITIAN ITU?

Kata penelitian atau riset dipergunakan dalam pembicaraan sehari-hari untuk melingkup spektrum arti yang luas, yang dapat membuat bingung maha-siswa—terutama mahasiswa pascasarjana—yang harus mempelajari arti kata tersebut dengan tanda-tanda atau petunjuk yang jelas untuk membedakan yang satu dengan yang lain. Dapat saja, sesuatu yang dulunya dikenali sebagai penelitian ternyata bukan, dan beberapa konsep yang salah tentunya harus dibuang dan diganti konsep yang benar.

Pada dasarnya, manusia selalu ingin tahu dan ini mendorong manusia untuk bertanya dan mencari jawaban atas pertanyaan itu. Salah satu cara untuk mencari jawaban adalah dengan mengadakan penelitian. Cara lain yang lebih mudah, tentunya, adalah dengan bertanya pada seseorang atau “bertanya” pada buku—tapi kita tidak selalu dapat mendapat jawaban, atau kita mungkin menda-patkan jawaban tapi tidak meyakinkan.

Pengertian penelitian sering dicampuradukkan dengan: pengumpulan data atau informasi, studi pustaka, kajian dokumentasi, penulisan makalah, pe-rubahan kecil pada suatu produk, dan sebagainya. Kata penelitian atau riset ser-ing dikonotasikan dengan bekerja secara eksklusif menyendiri di laboratorium, di perpustakaan, dan lepas dari kehidupan sehari-hari.

Menjadi tujuan bab ini untuk menjelaskan pengertian penelitian dan mem-bedakannya dengan hal-hal yang bukan penelitian. Pengertian penelitian yang disarankan oleh Leedy (1997: 3) sebagai berikut: Penelitian (riset) adalah proses yang sistematis meliputi pengumpulan dan analisis informasi (data) dalam rangka meningkatkan pengertian kita tentang fenomena yang kita minati atau menjadi perhatian kita.

Mirip dengan pengertian di atas, Dane (1990: 4) menyarankan definisi se-bagai berikut: Penelitian merupakan proses kritis untuk mengajukan pertanyaan dan berupaya untuk menjawab pertanyaan tentang fakta dunia. Seperti dise-butkan di atas, mungkin di masa lalu, kita mendapatkan banyak konsep (penger-tian) tentang penelitian, yang sebagian daripadanya merupakan konsep yang salah. Untuk memperjelas hal tersebut, di bawah ini dikaji pengertian yang “salah” tentang penelitian (menurut kita—kaum akademisi).

Pengertian yang salah tentang Penelitian

Secara umum, berdasar konsep-konsep yang “salah” tentang penelitian, maka perlu digarisbawahi empat pengertian sebagai berikut:

(1) Penelitian bukan hanya mengumpulkan informasi (data)

(2) Penelitian bukan hanya memindahkan fakta dari suatu tempat ke tempat lain (3) Penelitian bukan hanya membongkar-bongkar mencari informasi

(4) Penelitian bukan suatu kata besar untuk menarik perhatian.

Lebih lanjut kesalahan pengertian tersebut dijelaskan di bawah ini.

1. Penelitian bukan hanya mengumpulkan informasi (data)

(27)

Pernah suatu ketika, seorang mahasiswa mengajukan usul (proposal) peneli-tian untuk “meneliti” sudut kemiringan sebuah menara pemancar TV di kota-nya. Ia mengusulkan untuk menggunakan peralatan canggih dari bidang ke-teknikan untuk mengukur kemiringan menara tersebut. Meskipun peralatan-nya canggih, tetapi yang ia lakukan sebenarperalatan-nya haperalatan-nyalah suatu survei (pen-gumpulan data/informasi) saja, yaitu mengukur kemiringan menara tersebut, dan survei itu bukan penelitian (tapi bagian dari suatu penelitian). Para siswa suatu SD kelas 4 diajak gurunya untuk melakukan “penelitian” di perpusta-kaan. Salah seorang siswa mempelajari tentang Columbus dari beberapa buku. Sewaktu pulang ke rumah, ia melapor kepada ibunya bahwa ia baru saja melakukan penelitian tentang Columbus. Sebenarnya, yang ia lakukan hanya sekedar mengumpulkan informasi, bukan penelitian. Mungkin gurunya bermaksud untuk mengajarkan keahlian mencari informasi dari pustaka (refe-rence skills).

2. Penelitian bukan hanya memindahkan fakta dari suatu tempat ke tempat lain

Seorang mahasiswa telah menyelesaikan sebuah makalah tugas “penelitian” tentang teknik -teknik pembangunan bangunan tinggi di Jakarta. Ia telah ber-hasil mengumpulkan banyak artikel dari suatu majalah konstruksi bangunan dan secara sistematis melaporkannya dalam makalahnya, dengan disertai teknik acuan yang benar. Ia mengira telah melakukan suatu penelitian dan menyusun makalah penelitian. Sebenarnya, yang ia lakukan hanyalah: men-gumpulkan informasi/data, merakit kutipan-kutipan pustaka dengan teknik pengacuan yang benar. Untuk disebut sebagai penelitian, yang dikerjakannya kurang satu hal, yaitu: interpretasi data. Hal ini dapat dilakukan dengan cara antara lain menambahkan misalnya: “Fakta yang terkumpul menunjukkan in-dikasi bahwa faktor x dan y sangat mempengaruhi cara pembangunan ban-gunan tinggi di Jakarta”. Dengan demikian, ia bukan hanya memindahkan in-formasi/data/fakta dari artikel majalah ke makalahnya, tapi juga menganalis informasi/data/fakta sehingga ia mampu untuk menyusun interpretasi terhad-ap informasi/data/fakta yang terkumpul tersebut.

3. Penelitian bukan hanya membongkar-bongkar mencari informasi

(28)

4. Penelitian bukan suatu kata besar untuk menarik perhatian

Kata “…penelitian” sering dipakai oleh surat kabar, majalah populer, dan iklan untuk menarik perhatian (“mendramatisir”). Misalnya, berita di surat kabar: “Presiden akan melakukan penelitian terhadap Pangdam yang ingin ‘mreteli’ kekuasaan Presiden”. Contoh lain: berita “Semua anggota DPRD tidak perlu lagi menjalani penelitian khusus (litsus)”. Contoh lain lagi: “Produk ini meru-pakan hasil penelitian bertahun-tahun” (padahal hanya dirubah sedikit formu-lanya dan namanya diganti agar konsumen tidak bosan).

Pengertian yang benar tentang Penelitian dan Karakteristik

Pro-ses Penelitian

Pengertian yang benar tentang penelitian sebagai berikut, menurut Leedy (1997: 5): Penelitian adalah suatu proses untuk mencapai (secara sistematis dan didukung oleh data) jawaban terhadap suatu pertanyaan, penyelesaian terhadap permasalahan, atau pemahaman yang dalam terhadap suatu fenomena.

Proses tersebut, yang sering disebut sebagai metodologi penelitian,

mempunyai delapan macam karakteristik:

1) Penelitian dimulai dengan suatu pertanyaan atau permasalahan. 2) Penelitian memerlukan pernyataan yang jelas tentang tujuan. 3) Penelitian mengikuti rancangan prosedur yang spesifik.

4) Penelitian biasanya membagi permasalahan utama menjadi sub-sub masalah yang lebih dapat dikelola.

5) Penelitian diarahkan oleh permasalahan, pertanyaan, atau hipotesis penelitian yang spesifik.

6) Penelitian menerima asumsi kritis tertentu.

7) Penelitian memerlukan pengumpulan dan interpretasi data dalam up-aya untuk mengatasi permasalahan yang mengawali penelitian.

8) Penelitian adalah, secara alamiahnya, berputar secara siklus; atau lebih tepatnya,

seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Macam Tujuan Penelitian

Seperti dijelaskan di atas, penelitian berkaitan dengan pertanyaan atau keinginan tahu manusia (yang tidak ada hentinya) dan upaya (terus menerus) untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian, tujuan terujung suatu penelitian adalah untuk merumuskan pertanyaan-per-tanyaan dan menemukan jawaban-jawaban terhadap perpertanyaan-per-tanyaan penelitian tersebut. Tujuan dapat beranak cabang yang me ndorong penelitian lebih lanjut. Tidak satu orangpun mampu mengajukan semua pertanyaan, dan demikian pula tak seorangpun sanggup menemukan semua jawaban bahkan hanya untuk satu pertanyaan saja. Maka, kita perlu membatasi upaya kita dengan cara membatasi tujuan penelitian. Terdapat bermacam tujuan penelitian, dipandang dari usaha untuk membatasi ini, yaitu:

1) eksplorasi (exploration)

2) deskripsi (description)

3) prediksi (prediction)

(29)

5) aksi (action).

Penjelasan untuk tiap macam tujuan diberikan di bawah ini. Tapi perlu kita ingat bahwa penentuan tujuan, salah satunya, dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengethaun yang terkait dengan permasalahan yang kita hadapi (“state of the art”). Misal, bila masih “samarsamar”, maka kita perlu bertujuan untuk menjela-jahi (eksplorasi) dulu. Bila sudah pernah dijelamenjela-jahi dengan cukup, maka kita coba terangkan (deskripsikan) lebih lanjut.

1. Eksplorasi

Seperti disebutkan di atas, bila kita ingin menjelajahi (mengeksplorasi) suatu topik (permasalahan), atau untuk mulai memahami suatu topik, maka kita lakukan penelitian eksplorasi. Penelitian esplorasi (menjelajah) berkaitan dengan upaya untuk menentukan apakah suatu fenomena ada atau tidak. Penelitian yang mempunyai tujuan seperti ini dip akai untuk menjawab ben-tuk pertanyaan “Apakah X ada/terjadi?”. Contoh penelitian sederhana (dalam ilmu sosial): Apakah laki-laki atau wanita mempunyai kcenderungan duduk di bagian depan kelas atau tidak? Bila salah satu pihak atau keduanya mem-punyai kecend erungan itu, maka kita mendapati suatu fenomena (yang men-dorong penelitian lebih lanjut). Penelitian eksplorasi dapat juga sangat kom-pleks. Umumnya, peneliti memilih tujuan eksplorasi karena tuga macam mak-sud, yaitu: (a) memuaskan keingintahuan awal dan nantinya ingin lebih memahami, (b) menguji kelayakan dalam melakukan penelitian/studi yang lebih mendalam nantinya, dan (c) mengembangkan metode yang akan di-pakai dalam penelitian yang lebih mendalam. Hasil penelitian eksplorasi, ka-rena merupakan penelitian penjelajahan, maka sering dianggap tidak memu-askan. Kekurang-puasan terhadap hasil penelitian ini umumnya terkait deng-an masalah sampling (representativeness)—menurut Babbie 1989: 80. Tapi perlu kita sadari bahwa penjelajahan memang berarti “pembukaan jalan”, se-hingga setelah “pintu terbuka lebar-lebar” maka diperlukan penelitian yang le-bih mendalam dan terfokus pada sebagian dari “ruang di balik pintu yang te-lah terbuka” tadi.

2. Deskripsi

(30)

ha-sil-hasil tersebut kita dapat melihat perkembangan perubahan suatu fenome-na dari masa ke masa.

3. Prediksi

Penelitian prediksi berupaya mengidentifikasi hubungan (keterkaitan) yang memungkinkan kita berspekulasi (menghitung) tentang sesuatu hal (X) dengan mengetahui (berdasar) hal yang lain (Y). Prediksi sering kita pakai sehari-hari, misalnya dalam menerima mahasiswa baru, kita gunakan skor minimal tertentu—yang artinya dengan skor tersebut, mahasiswa mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil dalam studinya (prediksi hubungan antara skor ujian masuk dengan tingkat keberhasilan studi nantinya).

4. Eksplanasi

Penelitian eksplanasi mengkaji hubungan sebab-akibat diantara dua fenome-na atau lebih. Penelitian seperti ini dipakai untuk menentukan apakah suatu eksplanasi (keterkaitan sebab-akibat) valid atau tidak, atau menentukan mana yang lebih valid diantara dua (atau lebih) eksplanasi yang saling bersa-ing. Penelitian eksplanasi (menerangkan) juga dapat bertujuan menjelaskan, misalnya, “mengapa” suatu kota tipe tertentu mempunyai tingkat kejahatan lebih tinggi dari kota-kota tipe lainnya. Catatan: dalam penelitian deskriptif ha-nya dijelaskan bahwa tingkat kejahatan di kota tipe tersebut berbeda dengan di kota-kota tipe lainnya, tapi tidak dijelaskan “mengapa” (hubungan sebab-akibat) hal tersebut terjadi.

5. Aksi

Penelitian aksi (tindakan) dapat meneruskan salah satu tujuan di atas den-gan penetapan persyaratan untuk menemukan solusi denden-gan bertindak sesu-atu. Penelitian ini umumnya dilakukan dengan eksperimen tidakan dan mengamati hasilnya; berdasar hasil tersebut disusun persyaratan solusi. Misal, diketahui fenomena bahwa meskipun suhu udara luar sudah lebih din-gin dari suhu ruang, orang tetap memakai AC (tidak mematikannya). Dalam eksperimen penelitian tindakan dibuat berbagai alat bantu mengingatkan orang bahwa udara luar sudah lebih dingin dari udara dalam. Ternyata dari beberapa alat bantu, ada satu yang paling dapat diterima. Dari temuan itu di-susun persyaratan solusi terhadap fenomena di atas.

Hubungan Penelitian dengan Perancangan

Hasil penelitian, antara lain berupa teori, disumbangkan ke khazanah ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu yang ada di khazanah tersebut dimanfaatkan oleh para perancang/perencana/pengembang untuk melakukan kegiatan dalam bi-dang keahliannya.

(31)
(32)

2

Modul 2:

RAGAM PENELITIAN

Penelitian itu bermacam-macam ragamnya. Dalam bab “Pengantar: Apakah Penelitian Itu?” telah dibahas macam penelitian dilihat dari macam tujuannya, maka dalam bab ini ragam (variasi) penelitian dilihat dari:

1) macam bidang ilmu

2) macam pembentukan ilmu 3) macam bentuk data

4) macam paradigma keilmuan yang dianut

5) macam strategi (esensi alamiah data, proses pengumpulan dan pengolahan data)

6) lain-lain.

Selain itu, sebetulnya masih banyak ragam penelitian dilihat dari segi lainnya, tapi dalam bab

ini tidak akan dibahas—karena tidak berkaitan dengan program studi kuliah ini.

Ragam Penelitian menurut Bidang Ilmu

Secara umum, ilmu-ilmu dapat dibedakan antara ilmu-ilmu dasar dan ilmu-ilmu terapan. Termasuk kelompok ilmu dasar, antara lain ilmu-ilmu yang di-kembangkan di fakultas-fakultas MIPA (Mathematika, Fisika, Kimia, Geofosika), Biologi, dan Geografi.

Kelompok ilmu terapan meliputi antara lain: ilmu-ilmu teknik, ilmu kedok-teran, ilmu teknologi pertanian. Ilmu-ilmu dasar dikembangkan lewat penelitian yang biasa disebut sebagai “penelitian dasar” (basic research), sedangkan pene-litian terapan (applied research) menghasilkan ilmu-ilmu terapan. Penelitian te-rapan (misalnya di bidang fisika bangunan) dilakukan dengan memanfaatkan ilmu dasar (misal: fisika). Oleh para perancang teknik, misalnya, ilmu terapan dan ilmu dasar dimanfaatkan untuk membuat rancangan keteknikan (misal: ran-cangan bangunan). Tentu saja, dalam merancang, para ahli teknik bangunan ter-sebut juga mempertimbangkan hal-hal lain, misalnya: keindahan, biaya, dan sen-tuhan budaya. Catatan: Suriasumantri (1978: 29) menamakan penelitian dasar tersebut di atas sebagai “penelitian murni” (penelitian yang berkaitan dengan “ilmu murni”, contohnya: Fisika teori).

Pada perkembangan keilmuan terbaru, sering sulit menngkatagorikan ilmu dasar dibedakan dengan ilmu terapan hanya dilihat dari fakultasnya saja. Misal, di Fakultas Biologi dikembangkan ilmu biologi teknik (biotek), yang mem-punyai ciri-ciri ilmu terapan karena sangat dekat dengan penerapan ilmunya ke praktek nyata (perancangan produk). Demikian juga, dulu Ilmu Farmasi dikatago-rikan sebagai ilmu dasar, tapi kini dimasukkan sebagai ilmu terapan karena dekat dengan terapannya di bidang industri. Karena makin banyaknya hal-hal yang masuk pertimbangan ke proses perancangan/perencanaan, selain ilmu-ilmu da-sar dan terapan, produk-produk perancangan/perencanaan dapat menjadi obyek penelitian. Penelitian seperti ini disebut sebagai penelitian evaluasi (evaluation

(33)

research) karena mengkaji dan mengevaluasi produk-produk tersebut untuk menggali pengetahuan/teori “yang tidak terasa” melekat pada produk-produk ter-sebut (selain ilmu-ilmu dasar dan terapan yang sudah ada sebelumnya).

Bila tidak melihat apakah penelitian dasar atau terapan, maka macam penelitian menurut bidang ilmu dapat dibedakan langsung sesuai macam ilmu. Contoh: pe-nelitian pendidikan, pepe-nelitian keteknikan, pepe-nelitian ruang angkasa, pertanian, perbankan, kedokteran, keolahragaan, dan sebagainya (Arikunto, 1998: 11).

Ragam Penelitian menurut Pembentukan Ilmu

Ilmu dapat dibentuk lewat penelitian induktif atau penelitian deduktif. Dite-rangkan secara sederhana, penelitian induktif adalah penelitian yang menghasil-kan teori atau hipotesis, sedangmenghasil-kan penelitian deduktif merupamenghasil-kan penelitian yang menguji (mengetes) teori atau hipotesis (Buckley dkk., 1976: 21). Penelitian deduktif diarahkan oleh hipotesis yang kemudian teruji atau tidak teruji selama proses penelitian. Penelitian induktif diarahkan oleh keingintahuan ilmiah dan upaya peneliti dikonsentrasikan pada prosedur pencarian dan analisis data (Buckley dkk., 1976: 23). Setelah suatu teori lebih mantap (dengan penelitian de-duktif) manusia secara alamiah ingin tahu lebih banyak lagi atau lebih rinci, maka dilakukan lagi penelitian induktif, dan seterusnya beriterasi sehingga khazanah ilmu pengetahuan semakin bertambah lengkap. Secara lebih jelas, penelitian de-duktif dilakukan berdasar logika dede-duktif, dan penelitian inde-duktif dilaksanakan berdasar penalaran induktif (Leedy, 1997: 94-95). Logika deduktif dimulai dengan premis mayor (teori umum); dan berdasar premis mayor dilakukan pengujian ter-hadap sesuatu (premis minor) yang diduga mengikuti premis mayor tersebut. Mi-sal, dulu kala terdapat premis mayor bahwa bumi berbentuk datar, maka premis minornya misalnya adalah bila kita berlayar terus menerus ke arah barat atau ti-mur maka akan sampai pada tepi bumi. Kelemahan dari logika deduktif adalah bila premis mayornya keliru.

Kebalikan dari logika deduktif adalah penalaran induktif. Penalaran induk-tif dimulai dari observasi empiris (lapangan) yang menghasilkan banyak data (premis minor). Dari banyak data tersebut dicoba dicari makna yang sama (pre-mis mayor)—yang merupakan teori sementara (hipotesis), yang perlu diuji deng-an logika deduktif.

Ragam Penelitian menurut Bentuk data (kuantitatif atau

kuali-tatif)

Macam penelitian dapat pula dibedakan dari “bentuk” datanya, dalam arti data berupa data kuantitatif atau data kualitatif. Data kuantitatif diartikan sebagai data yang berupa angka yang dapat diolah dengan matematika atau statistik, sedangkan data kualitatif adalah sebaliknya (yaitu: datanya bukan berupa angka yang dapat diolah dengan matematika atau statistik). Meskipun demikian, kadang dilakukan upaya kuantifikasi terhadap data kualitatif menjadi data kuanti-tatif. Misal, persepsi dapat diukur dengan membubuhkan angka dari 1 sampai 5.

(34)

rasionalis-me, fnomenologi) yang dibahas di bagian berikut, macam penelitian dapat di-kombinasikan, misal: penelitian rasionalisme kuantitatif, penelitian rasionalisme kualitatif (misal: penelitian yang mengkait pola kota atau pola desain bangunan).

Ragam Penelitian menurut Paradigma Keilmuan

Menurut Muhajir (1990), terdapat tiga macam paradigma keilmuan yang berkaitan dengan penelitian, yaitu: (1) positivisme, (2) rasionalisme, dan (3) feno-menologi. Ketiga macam penelitian ini dapat dibedakan dalam beberapa sudut pandang (a) sumber kebenaran/teori, dan (2) teori yang dihasilkan dari peneliti-an. Dari sudut pandang sumber kebenaran, paradigma positivisme percaya ba-hwa kebenaran hanya bersumber dari empiri sensual, yaitu yang dapat di-tangkap oleh pancaindera, sedangkan paradigma rasionalisme percaya bahwa sumber kebenaran tidak hanya empiri sensual, tapi juga empiri logik (pikiran: ab-straksi, simplifikasi), dan empiri etik (idealisasi realitas). Paradigma fenomenologi menambah semua empiri yang dipercaya sebagai sumber kebenaran oleh rasio-nalisme dengan satu lagi yaitu empiri transcendental (keyakinan; atau yang ber-kaitan dengan Ke-Tuhan-an). Dari pandangan teori yang dihasilkan, penelitian dengan berbasis paradigma positivisme atau rasionalisme, keduanya menghasil-kan sumbangan kepada khazanah ilmu nomotetik (prediksi dan hukum-hukum dari generalisasi). Di lain pihak, penelitian berbasis fenomenologi tidak berupaya membangun ilmu dari generalisasi, tapi ilmu idiografik (khusus berlaku untuk obyek yang diteliti). Sering ditanyakan manfaat dari ilmu yang berlaku local di-bandingkan ilmu yang berlaku umum (general). Keduanya saling melengkapi, ka-rena ilmu lokal menjelaskan kekhasan obyek dibandingkan yang umum. Misal, kini sedang berkembang ilmu tentang ASEAN (ASEAN studies). Manfaat dari ilmu semacam ini dapat dicontohkan sebagai berikut: di negara barat, banyak orang ingin berdagang di ASEAN; agar berhasil baik, mereka perlu mempelajari tatacara/kebiasaan/kultur berdagang di ASEAN, maka mereka mempelajari ilmu lokal yang menjelaskan perbedaan tatacara perdagangan di kawasan tersebut dibanding tatacara perdagangan yang umum di dunia.

(35)

Ragam Penelitian menurut Strategi (Opini, Empiris, Arsip,

Logi-ka internal)

Buckley dkk. (1976: 23) menjelaskan arti metodologi, strategi, domain, teknik, sebagai berikut:

1) Metodologi merupakan kombinasi tertentu yang meliputi strategi, domain, dan teknik yang dipakai untuk mengembangkan teori (induksi) atau menguji teori (deduksi).

2) Strategi terkait dengan sifat alamiah yang esensial dari data dan proses data tersebut dikumpulkan dan diolah.

3) Domain berkaitan dengan sumber data dan lingkungannya.

4) Teknik terkait dengan alat pengumpulan dan pengolahan data. Teknik dibeda-kan dua macam, yaitu:

a) Teknik “formal” merupakan teknik yang diterapkan secara obyektif dan menggunakan data kuantitatif.

b) Teknik “informal” merupakan teknik yang diterapkan secara subyektif dan menggunakan data kualitatif.

(36)

1. Penelitian Opini

Bila peneliti mencari pandangan atau persepsi orang-orang terhadap suatu permasalahan, maka ia melakukan penelitian opini. Orang-orang tersebut da-pat merupakan kelompok atau perorangan (jadi domain-nya dapat berupa kelompok atau individual). Terdapat banyak ragam metode/teknik yang dapat dipakai untuk penelitian opini perorangan, salah satunya yang populer dan formal adalah: metode penelitian survei (survey research)1. Selain itu, penja-ringan persepsi perorangan yang informal dapat dilakukan dengan teknik wawancara. Untuk mengumpulkan opini kelompok, secara formal, dapat dip-akai metode Delphi. Metode ini dilakukan terhadap kelompok pakar, untuk mengembangkan konsensus—atau tidak adanya konsensus—dengan meng-hindari pengaruh opini antar pakar2. Teknik informal untuk menggali opini kelompok dapat dilakukan antara lain dengan curah gagas (brainstorming)3. Cara ini dilakukan dengan (a) menfokuskan pada satu masalah yang jelas, (b) terima semua ide, tanpa disangkal, tanpa melihat layak atau tidak, dan (c) katagorikan ide-ide tersebut.

2. Penelitian Empiris

Empiris terkait dengan observasi atau kejadian yang dialami sendiri oleh peneliti. Penelitian empiris dapat dibedakan dalam tiga macam bentuk, yaitu: studi kasus, studi lapangan, dan studi laboratorium. Ketiga macam penelitian ini dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu: (a) keberadaan rancan-gan eksperimen, dan (b) keberadaan kendali eksperimen—seperti terlihat pada tabel berikut:

Teknik observasi merupakan teknik yang dapat dipakai untuk ketiga macam penelitian empiris di atas. Selain itu, untuk studi lapangan dapat dipakai teknik studi waktu dan gerak (time and motion study), misal dibantu dengan peralatan kamera video, TV sirkuit rertutup, atau alat “penangkap” kejadian (sensor) dan perekam yang lain. Untuk studi laboratorium dapat dilakukan antara lain dengan simulasi (misal dengan komputer).

3. Penelitian Kearsipan

Gambar

gambar di bawah ini.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis regresi menun- jukkan bahwa batas kritis kekurangan hara N untuk parameter panjang sulur, diameter sulur dan jumlah daun ter- letak pada konsentrasi larutan 0,70,

Data juga menunjukkan bahwa sikap untuk ikut memilih dalam pemilu serentak 2019 karena tahu suara responden dapat membuat perubahan lebih baik dan suara yang responden

Data hasil analisis gait memperlihatkan adanya keper- luan untuk meningkatkan respon dinamik pada kaki seperti yang diungkapkan oleh Rebbeca et al (1997) [3] dan lebih lanjut

Hambatan yang saya rasakan seperti minimnya buku paket yang tersedia, sarpras (yang berupa LCD) belum lengkap, serta silabus dan protah belum disediakan dari

PT MNC Sky Vision Tbk (MSKY) akan menambah modal melalui penerbitan saham baru dengan HMETD dengan harga penawaran Rp1.000 per saham dimana total saham yang akan dilepas

Modul Keanekaragaman Hayati dengan Pendekatan Kearifan Lokal dan Budaya memiliki 15 karakteristik, yaitu mengandung unsur: desain sampul mencerminkan topik, bahasa

Dengan demikian pelatihan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Tematik bagi guru kelas mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pemecahan masalah yang dihadapi

Nilai konsistensi di bawah 0,10 yaitu (-0,71340) sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan usaha mikro kecil... Penentuan Usaha Mikro Kecil Prioritas dengan Tujuan