• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Hubungan Internasional dan Str

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paradigma Hubungan Internasional dan Str"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Paradigma HI dan Strategi Kontraterorisme Anggalia Putri Permatasari

I. Pengantar

Sejak peristiwa 11 September 2001, kekhawatiran dunia akan terorisme internasional terus meningkat. Apa yang oleh Lesser dkk. (1999) disebut sebagai ‘terorisme baru’ ini terus menjadi catchphrase dalam studi Hubungan Internasional kontemporer meskipun sebenarnya fenomena terorisme itu sendiri telah ada sejak lama. Terorisme internasional telah ‘mempermalukan’ negara yang secara tradisional menempati posisi terhormat sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Kelompok teroris menyerang aspek fisik negara (teritori dan penduduknya) sekaligus non-fisik (legitimasi politik dan monopoli akan penggunaan kekerasan yang sedianya hanya dimiliki oleh negara).

Pasca-9/11, pemerintahan Bush melancarkan ‘Perang Global melawan Teror’ (GWOT) yang kemudian dinyatakan sebagai ‘new master strategic narrative’ yang menggantikan konteks strategis Perang Dingin (Gray 2007: 119). GWOT telah mempengaruhi seluruh negara di dunia karena Bush Jr. memaksudkannya seperti itu, sebagaimana tercermin dalam pernyataannya: “either you are with us or against us.” (Musarrat 2009: 175). GWOT telah mengundang banyak kritik, terutama dari pihak-pihak yang tidak setuju bahwa terorisme dan kontraterorisme harus dipandang sebagai perang dalam artian non-metaforis. Berbagai pandangan yang bertentangan tentang respon yang tepat terhadap terorisme ini sering dikelompokkan ke dalam dua perspektif besar, yaitu respon statist yang menekankan peran negara dan instrumen represif, termasuk kekuatan militer, dan respon communitarian yang menekankan respon legal dan kerja sama internasional (Shimko 2005: 293).

Upaya mengkaji terorisme dalam studi Hubungan Internasional tidak dapat dilakukan tanpa mengkaji berbagai paradigma utama dalam HI. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji perspektif yang ditawarkan berbagai paradigma arus-utama dalam HI terhadap karakter terorisme, jejaring terorisme, dan strategi anti/kontraterorisme. Paradigma-paradigma yang akan diulas dalam makalah ini adalah realisme, liberalisme, strukturalisme, dan konstruktivisme. Sebagaimana akan kita lihat, paradigma yang berbeda akan memandang terorisme sebagai sesuatu yang berbeda pula dan hal ini akan mengarah pada perbedaan dalam hal preskripsi penanggulangan terorisme. Tentunya berbagai paradigma ini tidak pernah diterapkan secara mutually exclusive di dunia nyata. Untuk menggambarkan kompleksitas konsepsi dan penanggulangan terorisme dalam dunia nyata, makalah ini akan mencontohkan strategi anti/kontraterorisme pada masa pemerintahan Bush Jr.

1.1 Definisi Terorisme

(2)

seperti Nassar mendefinisikan terorisme sebagai “a political label given to people who are perceived to be planning or carrying out acts of violence for political ojectives.” Definisi ini menekankan sifat pendefinisian terorisme yang secara inheren bersifat politis dan merupakan pelabelan peyoratif. Menurutnya, terorisme tidak selalu dilakukan oleh individu atau kelompok di bawah negara, tetapi juga oleh pemerintah dan agen pemerintah (Nassar 2010: 18). Makalah ini akan memfokuskan diri pada aksi teror yang dilakukan oleh individu dan kelompok non-negara sesuai dengan pandangan sebagian besar paradigma arus-utama yang dibahas dalam makalah ini.

1.2 Antiterorisme dan Kontraterorisme

Istilah antiterorisme dan kontraterorisme seringkali dipertukarkan, meskipun sebenarnya tidak sama. Pemaknaannya pun berbeda-beda dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Antiterorisme adalah istilah resmi AS untuk menyebut langkah-langkah defensif melawan terorisme, misalnya perlindungan ‘keamanan fisik’ ketika terjadi serangan teroris, sedangkan kontraterorisme berkaitan dengan upaya-upaya yang lebih proaktif dengan jangkauan yang lebih luas untuk mengendalikan dan mengurangi insiden teroris (Pillar 2001: 10).

Menurut Ganor (2007), antiterorisme mencakup upaya-upaya untuk mengeliminasi teror, mulai dari mengatasi akar masalah, motivasi kelompok radikal, hingga mewujudkan Carthaginian Peace dengan menghancurkan semua teroris, namun mencakup juga upaya untuk mengendalikan kerusakan akibat insiden teroris seperti perlindungan fasilitas-fasilitas strategis dan pencegahan metode teror baru. Sementara itu, kontraterorisme mencakup upaya-upaya untuk mengendalikan eskalasi teror dengan cara mengendalikan konflik dan jejaring teror.

(3)

II. Paradigma Realisme dalam Hubungan Internasional

Realisme adalah paradigma yang dominan dalam HI meskipun saat ini banyak ditantang oleh paradigma-paradigma yang lebih baru. Realisme memiliki empat asumsi utama, yaitu: 1) negara adalah aktor dan unit analisis utama dalam studi HI. Aktor-aktor non-negara dipandang kurang penting dibandingkan negara. Dengan demikian, realisme bersifat state-centric dan berfokus pada hubungan antarnegara 2) negara adalah aktor yang manunggal (unitary) di mana seluruh perbedaan di dalam negara dianggap sudah selesai dan negara memiliki satu suara resmi, 3) negara adalah aktor yang rasional dalam artian mengejar tujuan-tujuannya dengan mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada dan kapabilitas yang dimilikinya, dan 4) politik internasional dikarakteristikkan oleh pengejaran power dan power politics di antara negara-negara sehingga isu keamanan (high politics) menempati prioritas tertinggi dalam agenda negara (Viotti dan Kauppi 1999: 55-7).

III. Paradigma Liberalisme dalam Hubungan Internasional

Liberalisme dapat dikatakan sebagai ‘personal nemesis’ dan alternatif historis dari realisme (Dunne 2008: 110). Tidak seperti realisme yang menekankan anarki, liberalisme berupaya memproyeksikan nilai-nilai domestik seperti kebebasan, keadilan, toleransi, dan tatanan ke dalam sistem internasional (Ibid: 111). Liberalisme berasumsi bahwa: 1) aktor non-negara sama pentingnya dengan negara, 2) negara bukan aktor yang manunggal karena tersusun atas individu dan kelompok di bawah negara yang saling bersaing untuk mempengaruhi negara dan oleh karenanya negara tidak selalu rasional karena keputusannya seringkali merupakan hasil tawar-menawar dan kompromi, 3) agenda politik internasional sangat ekstensif, tidak hanya terfokus pada isu keamanan nasional (Viotti dan Kauppi 1999: 199-200). Liberalisme juga menekankan pentingnya kerja sama antarnegara dan antara negara dan aktor-aktor non-negara serta pentingnya mempromosikan interdependensi ekonomi sebagai langkah untuk mengurangi kecenderungan konflik internasional (Reeson 2006).

IV. Paradigma Strukturalisme dalam Hubungan Internasional

Strukturalisme dalam Hubungan Internasional berasumsi bahwa: 1) untuk memahami politik internasional, kita harus terlebih dahulu memahami konteks struktural-global di mana negara dan entitas-entitas lain berinteraksi, 2) sangat penting menerapkan analisis historis untuk memahami struktur sistem internasional saat ini, 3) terdapat mekanisme dominasi yang menghambat perkembangan negara-negara Dunia Ketiga, dan 4) faktor ekonomi sangat penting dalam menjelaskan perkembangan dan berlangsungnya sistem kapitalis dunia serta subordinasi negara-negara Dunia Ketiga (Viotti dan Kauppi 1999: 341-342).

V. Paradigma Konstrutivisme dalam Hubungan Internasional

(4)

simbol, dan aturan-aturan. Dengan demikian, kaum konstruktivis berpandangan bahwa semua realitas sosial adalah hasil konstruksi (Barnett 2008: 162-3).

VI. Realisme dan Pandangan tentang Terorisme 6.1 Realisme dan Karakter Terorisme

Bagaimana sebuah paradigma memandang karakter terorisme akan menentukan strategi anti/kontraterorisme yang disarankannya. Paradigma realis secara tradisional tidak ‘melirik’ isu terorisme yang dilakukan oleh aktor non-negara karena ia menekankan hubungan antarnegara. Salah satu tokoh (neo)realis, John Mearsheimer, ketika ditanya apa yang dapat ditawarkan oleh perspektif realis terhadap isu terorisme, bahkan menjawab “not a whole heck of a lot” (Kreisler 2002). Meskipun demikian, menurut Mearsheimer, terorisme adalah sebuah fenomena yang berlangsung dalam konteks sistem internasional dan arena negara sehingga logika realisme mengenai perilaku negara akan berdampak signifikan terhadap bagaimana ‘perang terhadap terorisme’ dijalankan (Ibid.). Mengenai karakter terorisme, realisme memandangnya sebagai ‘perang’ dalam artian non-metaforis. Dalam konteks ini, Carr (2002) menyatakan terorisme sebagai ‘warfare’ terhadap penduduk sipil dan berpandangan bahwa kelompok teror “mengorganisasi diri mereka seperti halnya pasukan tentara.” Dengan demikian, aksi teroris dikonsepsikan sebagai ancaman terhadap negara dan keamanan nasional dan oleh karenanya harus diperlakukan sebagai perang asimetris. Selain itu, kaum realis juga memandang terorisme internasional sebagai semacam ‘proxy war’ yang merupakan jalan negara-negara untuk mengejar power dan mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai alternatif dari perang konvensional. (Reeson 2006: 1). Dengan demikian, terorisme internasional dipandang sebagai kepanjangan tangan negara dalam upaya struggle for power.

6.2 Realisme dan Jejaring Terorisme

Realisme memandang jejaring teror sebagai sesuatu yang tidak hanya meliputi kelompok teroris yang terdiri dari sel-sel individual yang saling berhubungan, tetapi turut mencakup negara-negara yang mensponsori mereka. Jadi, realisme selalu melihat teroris internasional sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari negara berdaulat sebagaimana dinyatakan oleh Netanyahu, “There is no international terrorism without the support of sovereign states.” (Netanyahu 2001: xiii). Berdasarkan pandangan ini, jejaring teroris internasional didasarkan bukan pada kelompok teroris itu sendiri, melainkan pada rezim-rezim pemerintahan yang ‘mempromosikannya,’ seperti_menurut Netanyahu_Iran pasca-Revolusi 1979, Irak, Suriah, Taliban-Afghanistan, Otoritas Palestina, dan rezim-rezim Arab lain seperti Sudan (Ibid., h. xiv). Oleh karena itu, kaum realis akan selalu memandang Al-Qaeda sebagai bagian yang terpisahkan dari Taliban-Afghanistan, Hizbullah dari wilayah Libanon yang dikontrol oleh Suriah, serta Hamas, Palestine Islamic Jihad, dan Tanzim dari Otoritas Palestina. Organisasi dan negara ‘teroris’ ini bersama-sama membentuk jejaring teror yang saling mendukung baik secara operasional maupun secara politis (Ibid.)

(5)

Konsepsi terorisme sebagai ‘perang terhadap negara’ mensyaratkan kontraterorisme dalam konsepsi yang sama, yakni perang asimetris. Hal ini berarti respon realis terhadap terorisme adalah respon yang termiliterisasi (fully-militerised response), bukan sekadar pemanfaatan militer untuk membantu otoritas sipil dalam upaya kontrateror (hal ini yang membedakannya dari respon liberalisme) (Wilkinson 2006: 70). Strategi kontrateror realis tidak ragu untuk menggunakan kekuatan militer untuk mencegah, mengendalikan eskalasi, dan mengeliminasi jejaring teroris (tidak hanya kelompoknya, tetapi juga negara yang mendukungnya) sebagaimana dikemukakan Shimko, “...terrorist attacks as acts of war...might require a forceful response not only against terrorist organizations but also against states that actively support or passively tolerate them (Shimko 2005: 293). Strategi inilah yang diadopsi oleh U.S. Department of Defense, yang mendefinisikan kontraterorisme sebagai ‘langkah-langkah ofensif,’ termasuk di dalamnya pre-emptive dan preventive strike. Hal ini berkaitan erat dengan pandangan realis terhadap jejaring teror yang selalu menghubungkan atau menarik garis lurus antara kelompok teroris dengan negara teroris yang memberikan dukungan dan perlindungan terhadapnya. Realisme meresepkan respon yang ‘kuat’ terhadap teroris, termasuk aksi ofensif terhadap negara lain, karena terorisme dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional (Van Evera 2006: 10), bukan hanya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Negara yang menyatakan perang, seperti ketika Bush menyatakan bahwa Amerika adalah “nation at war” pasca-9/11 (Murray 2004: v), menyiratkan sebuah kondisi ‘supreme emergency,’ suatu kondisi di mana masyarakat/negara menghadapi ancaman penghancuran dahsyat (anihilasi) yang akan datang dengan segera (Fiala 2002). Dalam kondisi ini, negara dapat memberlakukan ‘supreme emergency exemption,’ yaitu pengecualian-pengecualian terhadap kehidupan normal, termasuk pembatasan kebebasan sipil misalnya dalam bentuk langkah-langkah intelijen terhadap warga negaranya sendiri sampai langkah-langkah ekstrim seperti pelarangan aktivitas-aktivitas berkelompok dan pemberlakuan larangan keluar rumah (curfew). (Beyer 2006 ) Semua ini dilakukan karena_seperti dikemukakan oleh Van Evera_“business as usual will not suffice” (Van Evera 2006: 22).

Yang menarik dari realisme adalah kemunculan ‘sayap progresif’ realisme yang menyatakan bahwa kontraterorisme perlu dilakukan dengan menggunakan hard power, tetapi juga harus disertai dengan upaya diplomasi publik (penggunaan soft power) untuk “memenangkan hati dan pikiran” masyarakat dunia, terutama di negara-negara sponsor terorisme itu sendiri (Kreisler 2002; Nye; 2006; Van Evera 2006). Langkah-langkah antiterorisme menurut perspektif ini turut mencakup pemanfaatan media global, program pertukaran, bantuan pembangunan dan bencana, dan kerja sama militer dalam damai. Meskipun demikian, soft power ini hanya dimaksudkan sebagai pelengkap, bukan pengganti hard power.

(6)

terorisme sebagai akibat dari adanya ‘fundamental clash of values’ yang tidak akan pernah dapat dihilangkan (Shimko 2005: 293).

VII. Liberalisme dan Pandangan tentang Terorisme 6.1 Liberalisme dan Karakter Terorisme

Liberalisme termasuk ke dalam perspektif komunitarian yang memandang terorisme sebagai aksi kejahatan terhadap kemanusiaan atau aksi kriminal terhadap penduduk sipil (Shimko 2005: 293; Wilkinson 2006: 49) dalam bentuk kekerasan yang non-diskriminatif. Terorisme, berdasarkan taktik-taktik yang digunakannya (pemboman, penculikan, pembunuhan, pambajakan) dipandang pertama-tama sebagai “aksi kriminal dalam pengertian klasik” (Lesser et al. 1999: 7) meskipun ia memiliki motif politik. Seandainya kaum liberal menerima aksi teroris sebagai ‘act of war’ sekalipun, terorisme akan dipandang sebagai ‘kejahatan perang’ yang tetap jatuh dalam ranah kriminal (Schmid 2010: 22). Liberalisme cenderung melihat terorisme sebagai akibat dari ‘akar penyebab’ tertentu, yaitu represi rezim diktatorial yang mengekang hak-hak sipil dan politik warga negaranya (Ibid., h. 50).

6.2 Liberalisme dan Jejaring Terorisme

Liberalisme tidak serta-merta menarik garis lurus antara individu teroris atau organisasi teroris dengan negara yang dianggap mensponsorinya karena liberalisme mengakui peran independen aktor non-negara (in its own rights). Perspektif liberal secara tradisional memandang konsep ‘jejaring’ sebagai modalitas utama dari aktor-aktor non-negara, termasuk kelompok teroris. Jejaring teror internasional dipandang sebagai kumpulan individu dan organisasi (dalam bentuk sel-sel individual) yang menggunakan metode terorisme untuk mencapai tujuannya, yang berjalin-kelindan dan saling mendukung secara operasional melintasi batas-batas negara. Dengan demikian, liberalisme memandang jejaring teror pertama-tama jejaring transnasional (Beyer 2006) yang memiliki derajat independensi tersendiri dan tidak serta-merta mengaitkannya secara absolut dengan negara sponsor tertentu.

6.3 Liberalisme dan Strategi Anti dan Kontraterorisme

(7)

Kaum liberal, sesuai dengan pandangannya terhadap ‘akar penyebab’ terorisme, juga menekankan promosi demokrasi (Wilkinson 2006: 51) dan pendekatan diplomasi dan politik (melalui peace process) sebagai strategi antiterorisme jangka panjang, salah satunya dengan mempromosikan penyelesaian konflik Israel-Palestina (Ibid., h. 58).

Sebagian besar upaya kontraterorisme liberal diletakkan di pundak penegak hukum, yaitu polisi (dalam, bentuk intelijen dan agensi khususnya, misalnya Densus 88) untuk mencegah dan mengendalikan eskalasi insiden teror. Meskipun demikian, paradigma liberal juga memungkinkan dimasukannya unsur militer dalam strategi kontraterorisme, yaitu dalam konsep MACP atau military aid to civil power dan bukan dalam bentuk fully-militerised response sebagaimana telah dibahas sebelumnya (Wilkinson 2006: 70). Paradigma liberal juga menekankan peran intelijen dalam kontraterorisme, namun harus tetap berada di bawah otoritas sipil dan dikaji secara periodik oleh parlemen.

Liberalisme tidak akan membenarkan ‘perang melawan teror’ dalam bentuk kampanye militer penuh dengan alasan tingginya resiko jatuhnya korban yang tidak bersalah dan resiko terjadinya full-scale war (Ibid., h. 72) ‘Perang melawan teror’ dalam konteks liberal hanya bersifat metaforis dan harus dilakukan dalam konteks hukum yang berlaku (Fiala 2002).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa paradima liberal memandang terorisme sebagai aksi kriminal dan jejaring teror pertama-tama sebagai kumpulan individu dan organisasi yang melakukan aksi teror (tidak serta-merta mengaitkannya secara absolut terhadap sebuah negara sponsor). Strategi anti dan kontraterorisme dalam paradigma liberal mencakup upaya-upaya diplomatik dan politik untuk menyelesaikan konflik internal dan internasional (peace process), penegakkan hukum melalui aksi polisional, peradilan kriminal (sipil), dan bantuan militer terhadap otoritas sipil (MACP). Dalam jangka panjang, strategi antiteror liberalisme mencakup eliminasi akar penyebab terorisme, yaitu dengan mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia tanpa pemaksaan ataupun kekerasan.

VIII. Strukturalisme dan Pandangan tentang Terorisme 6.1 Karakter Terorisme

(8)

kerangka konseptualisasi teror dari Schmid (2010), terorisme dari paradigma strukturalis dapat dipandang sebagai aktivitas politik untuk mewujudkan tatanan baru yang lebih adil.

6.2 Jejaring Terorisme

Pandangan strukturalisme mengenai jejaring teror dapat dikatakan sama dengan cara liberalisme memandangnya, yaitu terutama sebagai jejaring transnasional. Hal ini terjadi karena strukturalisme dan liberalisme sama-sama mengakui independensi aktor non-negara dan menentang pandangan yang state-centric.

6.3 Strategi Anti dan Kontraterorisme

Karena menekankan akar penyebab terorisme, strategi antiterorisme dari pandangan strukturalis pun difokuskan pada eliminasi faktor-faktor struktural yang menyebabkan terorisme ini, yaitu perubahan kebijakan luar negeri AS di berbagai kawasan di dunia, penghormatan terhadap HAM, bantuan ekonomi, dan demokratisasi tanpa intervensi militer (Beyer 2006), deradikalisasi, serta perbaikan kesejahteraan ekonomi-sosial secara umum. Seperti dalam paradigma liberal, strategi kontraterorisme dari paradigma ini lebih menekankan penggunaan soft power.

IX. Konstruktivisme dan Pandangan tentang Terorisme 6.1 Konstruktivisme dan Karakter Terorisme

Konstruktivisme memandang terorisme sebagai produk diskursus (Hülsse dan Spencer 2008: 572), suatu kesepakatan bersama yang diperoleh melalui interaksi dan dialog. Kaum konstruktivis mengkaji bagaimana makna terorisme dikonstruksi secara sosial. Dengan demikian, terorisme dapat dikonstruksikan sebagai apapun: perang, kriminal, aktivitas politik, komunikasi, hingga bentuk ritual agama (Schmid 2010: 2) atau bahkan benturan antarperadaban (Arifin 2001: 134). Menurut Hülsse dan Spencer, pada awalnya terorisme dikonstitusikan sebagai ‘perang,’ namun sejak tahun 2004, metafora yang digunakan di media massa AS mulai bergeser menjadi ‘terorisme sebagai kriminal’ seiring dengan bergesernya kontraterorisme AS dari respon militer menuju respon yudisial (Ibid.).

6.2 Konstruktivisme dan Jejaring Terorisme

Seperti halnya, karakter terorisme, karakter jejaring teror juga merupakan produk diskursus: apakah jejaring tersebut akan difokuskan pada organisasi-organisasi teroris atau organisasi teroris sebagai perpanjangan tangan negara sponsor.

(9)

Strategi anti/kontraterorisme dalam paradigma konstrutivis bergantung pada bagaimana karakter dan jejaring terorisme dikonstruksikan. Pada intinya, strategi anti/kontraterorisme merupakan produk diskursif yang terbentuk melalui interaksi dan dialog yang menciptakan kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak dalam bentuk regulative speech. Strategi kontrateror yang ofensif dan represif, misalnya, merupakan hasil dari proses sekuritisasi yang melibatkan speech act untuk meningkatkan ‘status’ terorisme dari aksi kriminal biasa menjadi ancaman terhadap keamanan nasional. Begitupula sebaliknya, dapat terjadi desekuritisasi yang mengubah makna terorisme dan pada gilirannya mengubah strategi anti/kontrateror untuk menghadapinya.

7. Simpulan

(10)

No Kriteria Pembanding

Realisme Liberalisme Strukturalisme Konstruktivisme

1 Karakter

2 ‘Root Cause’ Fundamental clash of

values

Carthaginian Peace Legislasi, peradilan, pendidikan, promosi

Perbaikan

kesejahteraan

(11)

demokrasi dan HAM ekonomi global,

Tabel 1. Perbandingan Antarparadigma dalam Memandang Terorisme

Tabel 2. Contoh Kasus Strategi Anti/Kontraterorisme AS pada Masa Pemerintahan Bush Jr. (Strategi 4D)

No Prinsip Kebijakan Kontraterorisme AS Elemen Paradigma

1 “Defeat terrorist organizations” (militer dan polisi) (kontraterorisme) Realisme dan liberalisme

2 “Deny further sponsorship, support, and sanctuary” (kontraterorisme) Realisme

3 “Diminish the underlying conditions” (antiterorisme) Liberalisme dan strukturalisme

4 “Defend the United States” (antiterorisme) Realisme dan Liberalisme

5. Penggunaan metafora ‘perang,’ ‘negara sponsor,’ ‘crusade,’ ‘promosi demokrasi,’

dan oposisi biner antara ‘good’ and ‘evil’ serta dehumanisasi teroris dalam diskursus

strategi anti/kontraterorisme Bush Jr. dicirikan sebagai diskursus ‘neo-konservatif

liberal’ atau ‘realisme idealis’

Konstruktivisme

Gambar

Tabel 1. Perbandingan Antarparadigma dalam Memandang Terorisme

Referensi

Dokumen terkait

diibaratkan seperti teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit yang digunakan untuk mendeteksi potensi sumber daya alam di suatu titik lokasi,

Tanpa mengurangi aspek teknis, tulisan ini menyoroti pengurangan kandungan semen di dalam adukan beton dalam jumlah yang cukup besar sampai mencapai 55 %

Bersinergi dan mempererat jaringan relawan, komunitas dan donatur yang tidak mudik lebaran dalam keceriaan lebaran bersama anak yatim, dhuafa dan orang

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali), dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, dimana

Sistem informasi perpustakaan sekarang ini sangatlah penting untuk sekolah, instansi maupun pihak lainnya, dengan menggunakan sistem informasi perpustakaan, proses peminjaman,

Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam

LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) adalah sebuah unit kegiatan yang berfungsi mengelola semua kegiatan penelitian dan pengabdian kepada

Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari bahan gelas