• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja 19 (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja 19 (1)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Diplomatik Indonesia-Kamboja (1950-1979)

Oleh: Muhamad Mulki Mulyadi Noor

Abstrak

(2)

A. Pendahuluan

Dalam sejarahnya, hubungan antara kepulauan Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara daratan (Indocina) telah terjalin selama berabad-abad bahkan sebelum lahirnya kolonialisasi wilayah ini. Wilayah Asia Tenggara sendiri memiliki daya tarik yang sangat besar karena disamping tanahnya yang subur dan alamnya yang eksotik, hawa dan musimnya pun selalu stabil sehingga mengakibatkan perdagangan dunia selama ribuan tahun seakan tiada putus-putusnya di kawasan ini. Selain pertanian, perdagangan adalah kegiatan ekonomi yang paling vital bagi daerah-daerah di kawasan Asia tenggara. Zaman keemasan Asia tenggara sebagai pusat perdagangan dunia adalah pada awal abad kelima belas hingga akhir abad ke tujuh belas ketika agama Islam telah memapankan kehadirannya dengan pembentukan masyarakat dagang yang substansif di wilayah-wilayah pelabuhan di utara Sumatera, timur Jawa, Champa, dan pesisir timur semenanjung Malaya.1

Masa itu merupakan puncak dari kejayaan dan kemandirian kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara, Anthony Reid, menyebutnya sebagai zaman perdagangan sedangkan K.N Chaudhuri menggambarkannya sebagai periode jaringan perdagangan jarak jauh di zona Samudera Hindia yang telah membangun sistem kapitalisme perdagangan yang kuat di Asia.2 Jalur-jalur perdagangan terkenal yang melewati Asia Tenggara pada masa itu ada tiga yaitu jalur sutera, jalur keramik dan jalur rempah-rempah. Jalur perdagangan ini setidaknya telah ada sejak abad kedua sebelum masehi.3

Ramainya perdagangan di Asia Tenggara memberi andil besar dalam terbentuknya kota-kota pesisir yang mendominasi perdagangan pada masa kejayaan jalur rempah-rempah seperti Malaka, Aceh, Banten, Campa, Bangkok, Cirebon, Makassar, Ternate dan lain-lain. Hubungan ekonomi dan politik antara negara-negara Asia Tenggara otomatis terputus pada masa kolonialisme. Pada tahun 1900 kecuali Kerajaan Siam, semua pusat-pusat pemerintahan Asia Tenggara telah tunduk kepada pemerintahan Kolonial Eropa meskipun di wilayah pinggiran yang

1 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia tenggara, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, h. 60

2 Drs Ahmad Syahid MA Dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia tenggara, Jilid V, Bachtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002, h. 271

(3)

masih merdeka aksi pasifikasi telah diberlangsungkan oleh pemerintah Hindia Belanda hingga tahun 1906.4

Kerajaan Kamboja sendiri telah menjadi protektorat perancis sejak tahun 1864 bersama Vietnam dan Laos. Situasi perpolitikan di Kerajaan Kamboja itu sejak awal abad ke-17 sudah semakin melemah karena menjadi wilayah proxy antara dua kekuatan besar masa itu yang saling bersaing memperebutkan pengaruh di wilayah Indocina yaitu Siam dan Vietnam. Kelemahan Kamboja juga disebabkan oleh faktor ekonomi serta konflik internal pihak kerajaan yang memungkinkan kedua kerajaan tetangganya mengintervensi Kamboja secara ekonomi, politik dan budaya. Pada tahun 1834 Kamboja secara resmi berada di bawah kepemimpinan Kerajaan Vietnam namun kemudian pada tahun 1847 Kamboja berhasil mendapatkan kemerdekaan dan kedamaian di bawah Raja Duang (1848-1860) yang merupakan gabungan antara kepemimpinan Siam dan Vietnam sebelum akhirnya ketiga negara tersebut menjadi protektorat Perancis.

Berbeda dengan Vietnam dan Laos yang tidak mampu mempertahankan kepemimpinan tradisionalnya, di Kamboja kepemimpinan Monarki tetap langgeng berkat bantuan Perancis. Raja Kamboja berkontribusi penting dalam menciptakan persatuan, loyalitas dan kedamaian dalam negeri meskipun dalam tekanan penjajahan. Pada awalnya Perancis membantu Raja Norodom untuk memadamkan pemberontakan berdarah yang ditujukan kepada keluarga kerajaan pada tahun-tahun antara perjanjian pertama (1863) dan perjanjian kedua (1884), dalam hal ini Perancis mendapatkan posisi tawar yang kuat dalam pemerintahan Monarki, namun situasi berbalik ketika pemberontakan rakyat ditujukan kepada pemerintahan Perancis. Posisi Raja Norodom semakin kuat sehingga mampu untuk bekerjasama dengan Perancis untuk memulihkan ketertiban umum.5

Posisi Monarki Kamboja yang tetap memainkan peranan politik penting di wilayah ini berlangsung hingga terjadinya perang dunia kedua dimana Kamboja diduduki oleh Jepang. Setelah Jepang menyerah dan sekutu kembali menduduki Indocina, pihak Inggris yang telah lemah tidak dapat mencegah Perancis untuk datang kembali ke Kamboja tanpa perlawanan yang berarti. Raja Kamboja yang berkuasa ketika itu, Pangeran Norodom Sihanouk untuk sementara dapat mempertahankan kepentingan politik Kamboja dengan menyesuaikan posisinya di mata

4 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680, Pustaka Obor, Jakarta, 2011, h. xvii, Lihat juga: M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, Komunitas Bambu, Depok, 2013, h. 383

(4)

Perancis yang menahan pengaruh dari saingan Raja, seorang pemimpin Nasionalis yang bernama Son Ngoch Thanh. Kamboja kemudian tetap berstatus sebagai Monarki konstitusional akan tetapi tanpa kedaulatan penuh terhadap hubungan luar negeri bahkan terhadap tentaranya sendiri, keduanya tetap berada di bawah komando Perancis.6

Pada tahun 1953 melalui perjanjian Jenewa, Perancis memberikan kemerdekaan bagi Kamboja dan mengakhiri status perang Indocina pertama. Dengan deklarasi tersebut semua tentara asing harus hengkang dari Indocina dengan meninggalkan Kamboja sebagai negara merdeka dengan status netral. Dengan demikian posisi Monarki menjadi semakin tidak tergoyahkan dalam mengkonsolidasikan kekuasaan eksekutifnya di dalam negeri. Maka, dimulailah era baru bagi Kerajaan Kamboja untuk menentukan sendiri nasib negaranya serta hubungan internasionalnya dengan negara-negara di dunia dan negara-negara ASEAN, khususnya dalam konteks hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia yang saat itu juga belum lama menerima pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Hubungan diplomatik antara kedua negara yang baru merdeka tersebut menarik untuk dikaji dalam pembahasan selanjutnya. Pembahasan ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian awal yang dapat menjadi diskusi menarik tentang sejarah hubungan Indonesia dan Kamboja baik pada masa damai maupun pada masa konflik.

B. Rezim Sihanouk: Kesamaan Arah Politik

Awal hubungan Indonesia-Kamboja sangat dipengaruhi oleh adanya persamaan sikap dan pandangan dalam politik luar negeri. Indonesia-Kamboja sama-sama tidak memihak dan menolak campur tangan asing dalam urusan dalam negeri tiap-tiap negara. Indonesia yang baru merdeka sangat anti penjajahan dan neo-imperialisme yang direpresentasikan oleh kekuatan Amerika dan Uni Soviet. Prinsip-prinsip ini yang dipegang kedua negara dalam menciptakan kedamaian serta menghormati kemerdekaan dan kedaulatan negara lain.7 Situasi genting pada masa Revolusi Cina, Perang Korea, dan kekalahan Perancis di Indocina membuat sekutu ingin memperkuat jaringan militernya di Asia Tenggara dengan mendirikan SEATO8 untuk

6 M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, h. 567-569

7 Nazaruddin nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, KBRI Pnom Penh Cambodia, Jakarta, 2012, h. 10

(5)

menghambat pergerakan Uni Soviet dan perkembangan Komunisme di Asia Tenggara. Meskipun begitu Kamboja di bawah Pangeran Shihanouk tetap meneguhkan netralitas Kamboja di tengah ancaman dan perang dingin dari kedua kubu.

Sihanouk pada awalnya ingin bergabung dengan SEATO namun karena banyak pertimbangan seperti ancaman Vietnam Utara dan perlindungan Vietnam Selatan terhadap oposisi Kerajaan, ia akhirnya mengurungkan niatnya. Pangeran Shihanouk menolak keanggotaan di SEATO namun tetap mempertahankan keanggotaan Kamboja di PBB demi meraih dukungan Internasional serta mengusahakan bantuan persenjataan dari Amerika Serikat, di samping itu untuk mempertahankan keseimbangan politik Sihanouk juga tetap membuka hubungan diplomatik dengan Cina dan Uni Soviet serta menandatangani perjanjian dagang dan ekonomi dengan keduanya.

Sikap Indonesia sendiri sangat mendukung netralitas Pangeran Sihanouk dalam menghadapi baik ancaman Komunisme maupun ancaman Barat karena Indonesia melihat bahwa Kamboja merupakan wilayah yang strategis dalam membendung pengaruh SEATO serta menghadapi perang dingin di Asia Tenggara. Indonesia bersama negara-negara non-blok lainnya seperti India, Birma dan Yugoslavia berhasil membujuk Kamboja agar tidak merubah haluan politiknya. Bagi Indonesia netralitas Kamboja berarti memperluas zona aman dan perdamaian di daratan Asia Tenggara.9

Pada tahun 1955, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika diadakan di Bandung. Konferensi Asia Afrika diinisiasi oleh beberapa negara yaitu Indonesia, Myanmar, Sri lanka, India dan Pakistan yang bertujuan mempersatukan negara-negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka dalam menentang ideologi neo-imperialisme negara-negara Barat Konferensi ini diawali dengan usulan Perdana Menteri Ali Sostroamijojo tentang perlunya kerjasana negara-negara di Asia dan Afrika dalam perdamaian dunia, selanjutnya diadakan pertemuan di dua kota yaitu Kolombo dan Bogor untuk merumuskan bagaimana bentuk konferensi yang akan digelar.

KTT Asia Afrika dihadiri oleh 29 negara termasuk Kerajaan Kamboja yang diwakili oleh Pangeran Sihanouk. Keikutsertaan Kamboja dalam KTT Asia Afrika didukung penuh oleh Presiden Soekarno, Perdana Menteri India Jawahral Nehru, dan Pemimpin Cina Zhou Enlai. Saat

(6)

itu pertama kalinya sang Pangeran bertemu dengan Presiden Soekarno, yang datang untuk menegaskan netralitas Kamboja namun masih berhati-hati terhadap negara tetangganya yang Komunis.10 Secara keseluruhan pertemuan itu menimbulkan kesan yang baik bagi Pangeran Norodom karena mengetahui bahwa Presiden Soekarno sangat piawai dalam berpidato dan berbahasa asing. Hubungan ini berjalan baik dan Pangeran sendiri sangat mengagumi Soekarno dan bertekad untuk meniru Ideologi NASAKOM besutan sang Presiden untuk diterapkan di Kamboja.

Prestasi-prestasi Pangeran Sihanouk dalam kurun waktu sepuluh tahun (1950-1960) dalam memperkuat kontrol pemerintah terhadap politik dalam negeri dan kesuksesan membina hubungan luar negeri ternyata menimbulkan ketidakpuasaan dari kalangan oposisi yang tidak setuju dengan kebijakannya. Menyusul dengan terjadinya konflik perbatasan dengan Thailand pada tahun 1961, Kamboja memutuskan hubungan diplomatik dengan Thailand. Beberapa tahun kemudian pada tahun 1965 Kamboja juga memutuskan program bantuan militer dari Amerika sekaligus hubungan diplomatiknya keputusan tersebut kemudian membawa kejatuhan bagi rezim Sihanouk pada tahun 1970.

Di samping itu kejatuhan Sihanouk juga tidak lepas dari hubungannya yang erat dengan pihak komunis karena diam-diam pada tahun 1966 Sihanouk telah membuat kesepakatan dengan Vietnam Utara dan menyediakan tempat berlindung bagi pasukan Viet-Cong di wilayah territorial Kamboja.11 Kebijakan inilah yang menimbulkan penentangan tajam di pihak oposisi nasionalis dan anti-komunis yang menamakan diri Khmer Serei (Free Khmer) di bawah pimpinan Song Ngoch Tanh. Kelompok pemberontak ini utamanya beroperasi di wilayah perbatasan Vietnam Selatan dan Thailand pada tahun 1950an. Mereka menentang Raja dan sejak tahun 1960an telah merekrut sebanyak mungkin anggota dan menjadi salah satu milisi yang disegani. Tujuan mereka kemudian adalah menjatuhkan kekuasaan Pangeran Norodom.12 Posisi kekuatan Khmer Serei dibandingkan dengan mayoritas Khmer merah yang komunis ternyata tidak menjadi tantangan serius bagi Kerajaan, pemberontakan Khmer Serei tidak berhasil

10 Michael Leifer, Cambodia: The Search for Security, Frederick A. Preager, USA, 1967, h. 62

11 M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, h. 584

(7)

menjadi kenyataan sehingga organisasi tersebut secara formal dibubarkan oleh Tanh pada tahun 1969 dan kemudian menyatakan dukungan terhadap rezim Lon Nol.13

C. Awal Hubungan Diplomatik dan Budaya

Hubungan Indonesia-Kamboja berlanjut setelah KTT Asia Afrika dengan saling kunjung-mengunjungi antara kedua kepada negara. Pangeran Sihanouk kemudian secara resmi berkunjung untuk yang pertama kalinya ke Jakarta pada tahun 1959, kunjungannya tersebut bertujuan agar Kamboja-Indonesia semakin mempererat kerjasama dengan mengadakan perjanjian persahabatan sesuai dengan isi Dasasila Bandung yang dihasilkan dalam KTT Asia Afrika. Dalam kunjungan itu Pangeran mengunjungi Kota Bandung dan Candi Borobudur, selanjutnya diadakan pembicaraan dengan pemerintah RI yang diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian persahabatan (Treaty of Amity) dan Deklarasi Bersama (Joint Declaration) yang menegaskan komitmen kedua negara mengamalkan prinsip-prinsip Dasasila Bandung dalam menjaga serta memelihara perdamaian dunia.

Peristiwa tersebut menandai dibukanya hubungan Bilateral Indonesia-Kamboja yang disahkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960, dengan demikian akan dibuka perwakilan diplomatik pada masing-masing negara. Dengan dibukanya perwakilan diplomatik, Indonesia mengirimkan Duta Besarnya yang pertama yaitu Abdul Karim Rasyid (1962-1965) yang berkedudukan di Phnom Penh. Pada Maret 1962, Abdul karim resmi menjabat sebagai Duta Besar hingga tahun 1965 yang kemudian digantikan oleh Boediardjo hingga tahun 1968. Sebaliknya Kamboja mengirimkan Duta Besar pertamanya yang bernama Mr. Koun Wick yang dilanjutkan oleh Mr. Hem Phanrasy yang bertugas hingga tahun 1969.14

Setelah kunjungan Pangeran Sihanouk yang pertama, Presiden Soekarno kemudian mengadakan kunjungan balasan resmi pertamanya ke Kamboja pada Juni 1959. Kunjungan ini disambut secara meriah oleh rakyat Kamboja, Pangeran Sihanouk dan parlemen Kamboja. Milton Osborn mencatat bahwa ketika Soekarno berkunjung, Pangerang Sihanouk memperlihatkan kebolehannya dalam berpidato menerjemahkan pidato berapi-api Presiden Soekarno yang

13 Ben Kiernan. How Pol Pot Came to Power: Colonialism, Nationalism, and Communism in Cambodia, 1930-1975, New Haven, Yale University Press, 1985, h. 47

(8)

menggunakan bhasa inggris ke dalam bahasa Khmer, penampilan impresif ini membuat kagum banyak orang.15

Kunjungan ini juga bertujuan membagi pandangan dan sikap yang sama antara Soekarno dan Sihanouk mengenai isu-isu internasional khususnya Asia Tenggara. Sihanouk dan Soekarno sama-sama anti kolonialisme dan imperialisme dan juga sama-sama menghadapi situasi dalam negeri yang genting terkait dengan komunisme. Sikap kedua pemimpin ini sama-sama berakibat keduanya dijatuhkan oleh angkatan perang masing-masing. Selain kesamaan pandangan dan sikap, keduanya juga memiliki kesamaan dalam cita rasa musik, nyanyian, cerita rakyat dan lukisan. Karena itu Soekarno sangat menyukai Kamboja dan berkunjung kesana sebanyak lima kali antara tahun 1959-1965. Ketika Pangeran Sihanouk berkunjung kembali ke Indonesia dalam beberapa kunjungan resmi maupun tak resmi, ia bersama Soekarno sering bersama-sama mengunjungi beberapa kepulauan Nusantara seperti Sumatera dan Bali.

Hubungan dalam bidang politik tersebut segera dilanjutkan dengan hubungan kebudayaan. Selama berada di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta dan Solo Pangeran Sihanouk menyaksikan berbagai pertunjukan tarian klasik Indonesia begitu pula dengan tim seni tari dari Kamboja juga menampilkan berbagai seni tari klasik Kamboja. Dalam salah satu pagelaran kebudayaan putri Sihanouk yang bernama Bopha Devi berhasil menarikan salah satu tarian Indonesia hanya dalam beberapa jam setelah mempelajarinya. Hubungan lewat kebudayaan ini terbukti mampu mempererat hubungan kedua negara berdasarkan kesamaan kultural.16 Selain itu Pangeran Norodom Sihanouk juga sangat terkesan dengan Presiden Soekarno yang dianggapnya berwawasan luas dan sangat mencintai seni dan budaya, terlebih lagi antara kesenian Indonesia dan Kamboja memiliki kesamaan karena berakar dari hubungan yang erat di masa lalu, karena itu pula Pangeran Sihanouk sangat menyukai tarian-tarian asli Indonesia yang memiliki kemiripan dengan tarian Kamboja. 17

D. Rezim Lon Nol dan Pengaruh Amerika

Keterlibatan Amerika di Vietnam dan eskalasi yang memuncak terhadap Vietnam Utara berimbas pada kondisi perpolitikan di Kamboja, sedangkan bagi gerakan resistensi Vietnam, netralitas

15 Milton E. Osborne, Prince Sihanouk: Prince of Light, Prince of Darkness, University of Hawaii Press, Hawaii, 1994, h. 4

16 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 25-32

(9)

Kamboja sangat menguntungkan demi memberikan perlindungan bagi gerakan perlawanan tersebut. Pemutusan hubungan diplomatik dengan Amerika pada 1961 berimbas pada kemerosotan ekonomi dan militer negara itu sebab sepertiga dari anggaran kepolisian dan militer kamboja berasal bari bantuan Amerika Serikat. Pada pertengahan 60-an Amerika semakin aktif di Vietnam sehingga dengan mudah memberikan bantuan kepada gerakan oposisi kanan di Kamboja.

Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Lon Nol dan Sirik Matak, Kamboja kembali menjalin hubungan dengan Amerika Serikat. Golongan Pro-Amerika berhasil menguasai perpolitikan negara dan menjadikan pemerintah beserta pegawainya menjadi pengikut sayap kanan sedangkan golongan kiri memilih menyingkir ke desa-desa dan pegunungan demi melakukan perlawanan bersenjata. Karena itu antara tahun 1967-1968 terjadi pemberotakan petani yang ditindas secara kasar oleh pemerintah, pemberontakan ini menyebabkan meluasnya pengaruh gerakan Khmer Merah di kalangan rakyat utamanya petani yang nantinya akan berimbas pada jatuhnya rezim Lon Nol. Pada tahun 1969, hubungan diplomatik baru dengan Amerika dimulai dan bantuan ekonomi Amerika mulai digulirkan kembali namun dibalik itu Amerika memerlukan tentara Kamboja untuk ikut serta dalam perang Vietnam sehingga kebijakan netral Pangeran Sihanouk menjadi ganjalan bagi Amerika dalam menjalankan kepentingannya tersebut.18

Maka, pada 18 Maret 1969 Pangeran Sihanouk dikudeta oleh militer Kamboja yang pro Amerika yang dipimpin oleh Jenderal Lon Nol. Pangeran Sihanouk kemudian mengasingkan diri ke Beijing dan melakukan gerakan oposisi. Kemudian sistem Kerajaan segera dihapuskan dengan dibentuknya Republik Khmer. Dibalik jatuhnya Sihanouk terdapat aspek-aspek pertentangan politik dan ideologi seperti yang terjadi di Indonesia. Di Kamboja terjadi pertentangan antara kaum sosialis-komunis, kaum Monarki yang menginginkan hubungan bebas serta netralitas negara, dan golongan sayap kanan yang di dukung oleh Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri tiga golongan tersebut berupa Partai Komunis, Golongan Sukarnois (termasuk Angkatan Udara) dan Angkatan Darat (ABRI). Angkatan bersenjata Kamboja yang telah diinfiltrasi oleh golongan pro-Amerika berhasil menjatuhkan Sihanouk dari kekuasaannya, mendirikan Republik Khmer dan ikut serta dalam perang Vietnam.

(10)

Pemerintahan Lon Nol bertekad untuk bersikap lebih tegas terhadap komunis Vietnam dan Kamboja. Ia memulai serangkaian kampanye militer melawan kedua musuh ini meski secara umum usahanya tidak berhasil. Pemboman di pedesaan oleh Amerika Serikat menimbulkan kemarahan rakyat yang menyebar luas terhadap pemerintah. Sihanouk sendiri pasca kudeta memimpin pemerintahan oposisi yang dibekingi oleh kelompok komunis. Peran Sihanouk ini pula yang menyebabkan bangkitnya Khmer Merah dan kekalahan rezim Lon Nol.19

Keikutsertaan dalam perang yang dikenal sebagai perang Indocina kedua ini sangat merugikan bagi Kamboja. Sedikitnya sepuluh persen dari populasi menjadi korban (sekitar dua juta) dan masifnya pemboman di wilayah pedesaan menjadikan kota-kota menjadi penuh dengan pengungsi. Karena sistem transportasi dan industri kecil negara yang hancur lebur, produksi tekstil, pangan dan kebutuhan pokok di Kamboja juga menurun lebih dari setengah dibandingkan tahun sebelumnya dan sekitar 75 % dari industri peternakan telah hancur di negara itu.20

Pemerintahan Lon Nol terbukti lemah dengan hancurnya ekonomi dan korupsi yang merajalela di kalangan pejabat administratif pemerintahannya. Ekonomi Kamboja hanya mengandalkan bantuan dari Amerika Serikat dan perdagangan di pasar gelap. Semakin bertambahnya dukungan bagi Khmer Merah serta pengaruh Pangeran Sihanouk yang juga tetap kuat di pengasingan membuktikan bahwa pemerintahan Lon Nol telah gagal menghadapi oposisi yang terjadi di dalam dan luar negeri bahkan di internal pemerintahan pun tidak terlalu solid. Keterlibatan Kamboja dalam perang Indocina malah membuat posisi Kamboja semakin sulit dan rakyat makin menderita. Perundingan-perundingan dengan pihak Khmer Merah tidak juga membuahkan hasil termasuk sebuah pertemuan di Bangkok yang diinisiasi oleh ASEAN, perundingan itu gagal setelah pihak Sihanouk dan Khmer Merah menolak menghadiri perundingan tersebut.21 Kesempatan ini yang diambil oleh Khmer Merah untuk menyusun strategi agar dapat mengalahkan Pnom Penh dan terbukti bahwa pada awalnya dengan dukungan Pangeran Sihanouk, Khmer Merah dapat merebut kota Pnom Penh hanya dengan sedikit perlawanan dari rezim Lon Nol.

19 M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, h. 585

20 Report of A Finnish Inquiry Commision, Kampuchea in The Seventies, h. 11-12

21 “Perundingan Damai Khmer di Bangkok”, Warta Berita Antara, 8 April 1975. Lihat dalam: Dirga Fawakih,

(11)

Posisi Indonesia sendiri dalam menyikapi rezim Lon Nol adalah dengan membuat kebijakan satu Kamboja, dengan itu pemerintah mendukung negara Kamboja yang berdaulat dan bukan pemerintah di dalamnya. Bantuan-bantuan diplomatik Indonesia terhadap pemerintahan Lon Nol dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Menlu RI, Adam Malik pada 6 April 1970 yang menyatakan dukungan Indonesia terhadap pemerintahan Lon Nol dan menghendaki semua pasukan asing agar keluar dari Kamboja, selain itu pemerintah RI akan berupaya menjaga agar kamboja tetap netral agar tidak terjadi perang saudara di negara itu. Kemudian akan dilakukan pertemuan antara Menlu Indonesia dengan Menlu Thailand untuk membahas mengenai jalan keluar mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemerintahan Lon Nol. Dukungan tersebut kembali ditegaskan Menlu Adam Malik dalam pertemuan di Manila pada 11 April 1970 mengenai keharusan Kamboja mengambil sikap netral dan perlunya Komisi Pengawasan Internasional dalam upaya mengeluarkan pasukan-pasukan asing dari Kamboja.22

2. Indonesia juga segera mengadakan Konferensi Jakarta pada 16 Mei 1970 atas prakarsa presiden Soeharto, konferensi ini membahas permasalahan Kamboja dan menghasilkan komunike bersama yaitu mengupayakan terjaganya netralitas Kamboja dan penghentian permusuhan di dalam negeri serta menunjuk Menlu Indonesia, Malaysia dan Jepang untuk mencari cara agar mengaktifkan kembali Komisi Pengawasan Internasional dengan tujuan menggelar sebuah konferensi Internasional yang akan membahas masalah Kamboja hingga ke PBB sehingga dunia Internasional dapat membuka diri dalam memecahkan masalah Kamboja secara damai sesuai dengan Piagam PBB dan Konferensi Jenewa.

3. Bantuan juga diberikan oleh pemerintah Indonesia melalui Duta Besar RI di Mesir, Dr. Soeharnoko A. Harbani untuk mengurusi kepentingan pemerintah Kamboja rezim Lon Noldi Mesir yang memutuskan hubungan diplomatik dengan rezim Lon Nol karena mendukung Pangeran Sihanouk.

4. Sebagai jawaban atas surat Lon Nol kepada Presiden Soeharto yang meminta bantuan satu tim ahli dari Indonesia untuk mempelajari kemungkinan dilakukannya mobilisasi umum dan menyelamatkan Kamboja dari bahaya Komunisme, maka pada 16 Juli 1970 pemerintah RI mengirim satu tim survey dari Departemen Pertahanan Keamanan

(12)

Indonesia bersama KBRI di Bangkok ke Pnom Penh untuk meninjau situasi di Kamboja. Sebagai balasannya Menteri Luar Negeri Kamboja memberikan tanda penghargaan tertinggi “Grand officer de Sahametrei” kepada Duta Besar RI di Bangkok.

5. Menlu Adam Malik menegaskan bahwa diterimanya pemerintahan pelarian Sihanouk ke dalam Konferensi Non Blok di Guyana pada tahun 1972 merupakan sebuah pelanggaran dalam praktek pengambilan keputusan dengan musyawarah yang selama ini dihormati oleh negara-negara non-blok karena sebelumnya pada pertemuan di Lusaka pada tahun 1970, telah diputuskan bahwa kursi Kamboja tidak perlu diisi guna menghindari bentrokan antara kedua pemerintahan.23

Sebagai bentuk apresiasi terhadap bantuan Indonesia dalam usahanya mencari jalan keluar bagi pemerintahan Lon Nol. Lon Nol mengirim surat khusus kepada Presiden Soeharto yang berisi ucapan terimakasih atas dukungan Indonesia di forum Internasional, selain juga memberikan penghargaan tertinggi Kamboja kepada Duta Besar Indonesia di Bangkok dan Duta Besar Indonesia untuk PBB atas bantuan yang diberikan oleh pihak RI.

Ketika pemerintahan Lon Nol telah mendekati titik kritisnya, pihak Indonesia bersikap tetap akan mendukung siapapun yang memerintah di Kamboja. Pertemuan tertutup antara Presiden Soeharto dengan PM Lon Nol di Bali dijelaskan oleh Menlu Adam Malik bukanlah sebuah perundingan namun hanya pertemuan biasa. Pihak Indonesia telah menyadari bahwa pemerintahan Lon Nol telah terdesak oleh pihak Komunis sehingga pemerintah telah memperhitungkan bahwa Lon Nol sudah tidak bisa lagi kembali ke Kamboja dengan peralihan kekuasaan yang hanya tinggal menunggu waktu saja. Sikap pemerintah Indonesia yang menerima kunjungan Lon Nol merupakan formalitas dimana Lon Nol secara sah masih merupakan kepala pemerintahan di Kamboja. Di pihak lain gerakan oposisi yang diketuai oleh Pangeran Sihanouk yang diresmikan pada 5 Mei 1970 semakin kuat. Inti kekuatan oposisi ini adalah Khmer Merah yang sebelumnya menentang Pangeran Sihanouk sewaktu masih berkuasa. Pemerintah Indonesia dalam pernyataannya hanya dapat membantu penyelesaian damai Kamboja dalam batas-batas kelayakan, formalitas serta kemanusiaan.24

E. Rezim Khmer Merah: Surutnya Hubungan Diplomatik

23 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 46-55

(13)

Naiknya Khmer Merah ke tampuk kekuasaan di Kamboja tidak lepas dari konflik internal dan eksternal yang melanda Kamboja semenjak merdeka dari Perancis. Konflik internal berasal Kebijakan Pangeran Sihanouk untuk netral namun dibarengi dengan godaan untuk mendekat ke blok komunis karena terlampau yakin akan kemenangan pihak Vietnam Utara dalam perang Indocina.25 Layaknya Soekarno, Sihanouk seperti bermain api diantara dua ideologi yang saling berebut kekuasaan. Di satu sisi golongan kanan pro Amerika tidak ingin Sihanouk mendekat kepada komunis namun di sisi lain pihak komunis juga mendapatkan dukungan rakyat berkat sosok kharismatik Sihanouk.

Sedangkan penyebab eksternal adalah intervensinya Amerika dan Vietnam ke dalam perpolitikan Kamboja disertai pengkhianatan angkatan darat sayap kanan yang berujung lengsernya Sihanouk dan naiknya Lon Nol. Kudeta militer ini menjadi momen penting dalam kebangkitan komunisme di Kamboja. Karena Sihanouk dari pengasingannya mendirikan Pemerintahan Kerajaan Persatuan nasional Kamboja (GRUNK) dan butuh pendukung yang dapat mengembalikan kekuasaannya, adapun Khmer Merah berniat memanfaatkan dukungan dari sang Pangeran serta kebencian rakyat pada Amerika sebagai tameng untuk mengambil keuntungan politik.

Kota Pnom Penh jatuh pada 17 April 1975 dan pasukan Revolusioner memasuki kota dengan kemenangan gemilang. Rezim Republik Khmer pun berakhir dengan tragis di tangan tentara Khmer Merah yang dikenal kejam. Pada awalnya tentara Revolusioner bersikap seakan-akan ingin mengembalikan Sihanouk kepada kekuasaannya, faktanya Pangeran tiba di Pnom Penh dan kembali menjadi Kepala Negara hanya sebagai boneka Khmer Merah, maka setelah Sihanouk mengundurkan diri dari pemerintahan, ia malah menjadi tahanan di istananya sendiri bahkan beberapa anak dan cucunya menjadi korban pembunuhan. Khmer Merah kemudian mendirikan Demokratik Kampuchea (DK) sebagai ganti dari Republik Khmer sementara Lon Nol sendiri melarikan diri ke Amerika setelah sebelumnya berada di Indonesia selama dua minggu.

Kisah menarik datang dari catatan KBRI di Pnom Penh sebulan sebelum kota itu jatuh. Seorang perwira dari Brigade Islam datang melaporkan bahwa Brigade Budhis yang bertempur di sisi yang bersebelahan telah kalah sehingga Brigade Islam semakin terkepung. Ia menyarankan pada KBRI agar meninggalkan Pnom Penh sebab ditakutkan bahwa pasukan Khmer menyerang KBRI karena aktivitas yang pro rezim Lon Nol. Kemudian pada 6 Maret Kedubes Indonesia yang baru,

(14)

Ishak Djuarsa mengadakan kunjungan kehormatan untuk menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Menlu Kamboja, namun dua hari sebelum itu telah diadakan pertemuan para Duta Besar ASEAN untuk membicarakan situasi Kamboja termasuk Evakuasi keluarga-keluarga Kedutaan ASEAN di Pnom Penh. Dalam pembicaraan tersebut Thailand bersedia menyediakan pesawat untuk keperluan evakuasi. Pada tanggal 18 Maret pihak KBRI mulai mengambil langkah-langkah evakuasi secara bertahap dan akhirnya pada 15 April 1975 KBRI Pnom Penh di tutup dan dipindahkan ke Bangkok.26

Rezim Komunis Khmer Merah di bawah Pol Pot memerintah secara sadis dan di luar perkiraan, mereka mengubah Kamboja menjadi tanah horror dan terror dan tak ada bandingnya dalam sejarah dunia. Penduduk kota Pnom Penh dipaksa keluar dari kota menuju pedalaman dan desa-desa, meninggalkan keadaan kota yang kosong dan hancur. Demi merubah tatanan sosial sesuai dengan ajaran Komunisme, Pol Pot menghabisi siapa pun yang dulu menjadi saingannya. Tidak diketahui secara pasti berapa korban jiwa selama masa pemerintahan Pol Pot.

Osborn menyebut bahwa kisaran korban eksekusi oleh Rezim Pol Pot mencapai dua ratus ribu jiwa dan jumlah rakyat yang tewas selama tahun 1975-1979 antara lima ratus ribu hingga satu juta jiwa rakyat Kamboja. Sebelumnya total penduduk Kamboja pada tahun 1975 sekitar 7,3 juta jiwa mestinya dengan pertumbuhan sebesar 2,8 persen per tahun, rakyat Kamboja seharusnya berjumlah 8,3 juta jiwa pada tahun 1981, namun setelah disensus pada tahun 1982 hanya tinggal 6,7 juta saja itu pun belum termasuk 300 ribu pengungsi di Thailand, lebih dari 100 ribu pengungsi yang pindah ke negara-negara Barat, dan 250 ribu pengungsi yang menetap di Vietnam setelah tahun 1975, sehingga total sekitar 7,4 juta jiwa jika semua penduduk Kamboja dikumpulkan.27 Haing Ngor, seorang Dokter Kamboja menceritakan mengenai situasi ketika Khmer Merah menaklukkan kota Pnom Penh:

Aku berjalan menembus lautan manusia dan tabir asap api yang memenuhi jalan besar itu, kembali ke arah pusat kota. Tidak mungkin bisa berjalan lurus, tapi berbelok-belok, melangkahhi tubuh-tubuh manusia yang berkaparan tidur di atas aspal. Lampu-lampu jalan masih menyala, mungkin karena pihak Khmer Merah tidak tahu bagaimana cara memadamkannya. Serangga terbang berkerumum di bawah bola-bola lampu yang bersinar terang. Di timur laut muncul cahaya berwarna jingga di kaki langit.

26 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 62-64

(15)

Kemudian di arah lain, abu beterbangan di atas kepala. Kabarnya Khmer Merah membakari pasar-pasar, pusat sistem yang mereka sebut Kapitalis dan laknat; padahal bagi kami, pasar-pasar selama itu merupakan pusat kehidupan sehari-hari, tempat kami membeli bahan pangan segar dan dimana kami

bertukar berita dengan para tetangga.”28

Ribuan orang mati kelaparan selama evakuasi tersebut dan ribuan lagi dipaksa pindah ke wilayah pedesaan baru yang tentu saja kekurangan bahan makanan dan obat-obatan. Rakyat Kamboja dipaksa bekerja di sawah, ladang dan peternakan, sebuah pekerjaan yang sama sekali tidak pernah mereka lakukan di kota. Tentu saja pekerjaan ini memberatkan terlebih lagi dengan target yang dicanangkan terlalu tinggi yaitu tiga ton beras per hektar dengan peralatan yang tidak memadai.29 Karena itu bencana kelaparan dan malnutrisi melanda wilayah itu selama tahun-tahun penuh teror tersebut. Rakyat juga disuruh mengenakan pakaian hitam sebagai lambang kesetaraan dan kemudian memisahkan mereka menjadi dua golongan yaitu “orang lama” dan “orang baru”. Mereka yang membangkan atau mempertanyakan keputusan Khmer Merah akan segera dieksekusi.

Konstitusi baru segera disahkan yang menyatakan bahwa Demokratik Kampuchea (DK) adalah negara komunis. Pemerintahan baru ini segera merestrukturisasi masyarakat Kamboja menjadi sebuah masyarakat baru dengan menghancurkan peninggalan bersejarah, literature dan budaya Khmer, serta agama Budha. Singkatnya rezim ini mengontrol setiap aspek kehidupan dan menakut-nakuti rakyat agar patuh kepada pemerintahannya.30 Selain itu Khmer Merah juga mendiskriminasi kelompok-kelompok minoritas terutama agama Islam yang susah dikomuniskan. Kebijakan Eight Point Plan31 diterapkan oleh Khmer Merah untuk menghancurkan semua agama yang ada seperti gereja Katolik yang rata dengan tanah di pusat kota Pnom Penh, para pendeta Budha yang dipaksa kerja di sawah dan umat Islam yang

28 Haing Ngor & Roger Warner, Neraka Kamboja: Awal Mula, M. Syafi’I Anwar (Penj), Gramedia, Jakarta, 1990, h. 202

29 David P. Chadler dkk., Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Documents from Democtratic Kampuchea 1976-1977, Yale University of Southeast Asian Studies, New haven, 1988, h. 37

30 Robert G. Sutter, The Cambodian Crisis & U.S Policy Dilemmas, Westview Special Studies on South and Southeast Asia, Westview Press, USA, 1991, h. 14

(16)

diharuskan menjalankan kebijakan yang bertentangan dengan nilai agama Islam. Para pemimpin agama Islam (Tuon dan Hakem) juga menjadi sasaran pembantaian, terdapat banyak motif diskriminasi atas muslim ini diantaranya adalah motif diskriminasi ras dan loyalis rezim Lon Nol dimana pemimpin militer Kamboja salah satunya ada dari kalangan muslim.32

Kebijakan diskriminasi atas muslim ini tertuang dalam Five Point Plans yang dibuat sebelum konstitusi resmi Khmer merah disahkan. Isinya mengharuskan wanita memotong pendek rambutnya sekaligus melarang mereka berhijab, Al-Qur’an di bakar, babi harus dijadikan binatang peliharaan, dilarang Shalat dan semua masjid ditutup, dan keharusan menikah dengan non-muslim.33 Reaksi umat Islam atas kebijakan ini adalah dengan melakukan pemberontakan pada tahun 1975, selain itu umat Islam juga menolak masuk organisasi Khmer Merah dan mengikuti segala kebijakan pertanian yang dicanangkan oleh rezim. Tragedi kemanusiaan ini berbuntut terjadinya pemberontakan rakyat Kamboja di berbagai wilayah pada Juli 1978.34

Peran dan usaha diplomatik Indonesia untuk membangun hubungan kembali dengan Kamboja di bawah Khmer Merah sama sekali tidak berhasil karena Khmer Merah telah tertutup bagi dunia luar, hanya beberapa penasehat dari Cina dan Korea Utara yang ada di negeri itu. Perdagangan luar negeri sangat terbatas, karena fokus pemerintah adalah swa-sembada pangan. Kebijakan luar negeri rezim Pol Pot adalah kebijakan isolasi (Self Imposed isolation), sebab itu Kamboja memutuskan hubungan dengan hampir semua negara di samping pemerintahan ini tidak di dukung oleh PBB. Kerjasama luar negeri yang ada hanya terbatas kerjasama budaya dan pendidikan dengan negara-negara komunis selain dengan India. Kedutaan Besar yang masih membuka kantornya di Pnom Penh adalah Cina, Korea utara, Viet nam, Laos, Kuba, Yugoslavia, dan Albania.

Dari pihak Indonesia sendiri setelah kepindahan KBRI ke Bangkok, Djundjuman Kusumadihardja menjabat sebagai Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Pnom Penh di Bangkok dari tahun 1976 hingga 1980 setelahnya ia digantikan oleh Jack Said Gaffar hingga tahun 1980. Pada tahun 1978 rombongan pejabat KBRI berangkat ke Pnom Penh untuk melakukan pembicaraan

32 Baca lebih lanjut dalam: Dirga Fawakih, Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah (1975-1979), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015

33 Ysa osman, The Cham Rebbelion Survivors Stories From The Village, Documen Center of Cambodia, Pnom penh, 2006, h. 55

(17)

dengan pejabat Khmer Merah mengenai kemungkinan penempatan staff di kota itu mengingat politik Indonesia yang hanya mengakui negara dan bukan pemerintah. Kunjungan itu mendapat tanggapan yang baik dari Menlu Kamboja. Namun sayang rencana mengaktifkan kembali KBRI di Pnom Penh di bawah rezim Khmer Merah terhadang serbuan Vietnam yang mengambil alih pemerintahan. Akhirnya Departemen Luar negeri RI membekukan semua kegiatan KBRI Pnom Penh dan mengalihkannya kepada KBRI Bangkok.

Dengan begitu usaha-usaha Indonesia untuk tetap mempererat hubungan diplomatik dengan Kamboja tidak berhenti karena pergantian rezim, mulai dari rezim Sihanouk hingga rezim Pol Pot, Indonesia tetap menghargai Kamboja sebagai sebuah negara yang berdaulat meski pemimpinnya berubah-ubah. Berbeda dengan sorotan media massa yang fokus terhadap kekejaman Khmer Merah dan genosida yang terjadi. Surat kabar yang menyoroti perkembangan Kamboja diantaranya adalah Kompas, The Indonesian Times, Berita Buana, dan Antara.35

Akhirnya setelah lima tahun berkuasa, rezim Pol Pot akhirnya jatuh ditangan pasukan Vietnam Front Pembebasan Nasional Kamboja (KNUFNS) yang dipimpin oleh tiga mantan rekannya sendiri yaitu Heng Samring. Heng Samring, Chea Sim dan Hun Sen. Mereka bertiga adalah mantan komandan militer semasa Pol Pot berkuasa namun disingkirkan oleh Pol Pot dan diburu sehingga mereka menyelamatkan diri ke Vietnam. Pasukan Vietnam menyerang Pnom Penh dengan kekuatan penuh.pada 7 Januari 1979 dan menaklukkan kota itu pada tanggal 10 Januari. Kemudian Vietnam mendirikan People’s Republik of Kampuchea (PRK) dengan Heng Samrin sebagai kepala negara. Pol Pot melarikan diri ke pedalaman hingga kematiannya pada tahun 1998.36

F. Penutup

Kesannya susah untuk mencari sumber-sumber untuk menjelaskan bagaimana hubungan Indonesia-Kamboja secara lebih komprehensif. Sebabnya adalah hubungan antara kedua negara tidak hanya terbatas pada hubungan diplomatik antar pemerintah semata namun juga bidang-bidang lainnya utamanya kebudayaan. Indonesia (Jawa) dan Kamboja merupakan negara yang mempunyai kemiripan budaya karena adanya hubungan di masa lampau. Sebab itu Indonesia selalu mendukung rakyat Kamboja agar keluar dari cengkeraman penjajahan asing. Indonesia

35 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 74-82

(18)

berperan dalam mendukung netralitas Kamboja dan membantu memecahkan persoalan konflik di Kamboja lewat ASEAN dan PBB.

Maka dari itu menarik untuk dilakukan pembahasan selanjutnya mengenai hubungan kedua negara dalam bidang lainnya seperti perdagangan dan pendidikan. Posisi Indonesia setelah invasi Vietnam ke Kamboja dan lengsernya rezim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot adalah sebagai interlocutor bagi terciptanya proses rekonsiliasi Kamboja yang saat itu masih didera perang saudara. Namun juga perlu diperhatikan bahwa hubungan Indonesia-Kamboja mulai kembali normal pada tahun 1993 berkat padanya negosiasi dari Menlu Ali Alatas dan peran PBB dalam mengirimkan Pasukan Perdamaian termasuk Pasukan Garuda dalam menjaga proses perdamaian di Kamboja. Berkat usaha Indonesia tersebut Kamboja akhirnya bergabung ke dalam ASEAN pada 30 April 1999.

G. Daftar Pustaka

“Perundingan Damai Khmer di Bangkok”, Warta Berita Antara, 8 April 1975

“Situasi di Kamboja Gawat lagi”, Merdeka, 13 Juli 1978.

Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia tenggara, Rosdakarya, Bandung, 2006

Chadler, David P. dkk., Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Documents from Democtratic Kampuchea 1976-1977, Yale University of Southeast Asian Studies, New haven, 1988

Fawakih, Dirga, Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah (1975-1979), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015

Haing Ngor & Roger Warner, Neraka Kamboja: Awal Mula, M. Syafi’I Anwar (Penj), Gramedia, Jakarta, 1990, h. 202

Kiernan, Ben, How Pol Pot Came to Power: Colonialism, Nationalism, and Communism in Cambodia, 1930-1975, New Haven, Yale University Press, 1985

Leifer, Michael, Cambodia: The Search for Security, Frederick A. Preager, USA, 1967

(19)

Osman, Ysa, The Cham Rebbelion Survivors Stories From The Village, Documen Center of Cambodia, Pnom penh, 2006

William, Beryl (ed), Smith, R.B, Communist Indochina, Routledge Studies in the Modern Hitory of Asia, Routledge, New York, 2012

Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680, Pustaka Obor, Jakarta, 2011

Report of A Finnish Inquiry Commision, Kampuchea in The Seventies, Tampereen Pikakopio Oy, Tamperee, 1982

Ricklefs, M.C. dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, Komunitas Bambu, Depok, 2013,

Sen, Ta Ta, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Kompas, Jakarta, 2010

So, Farina, The Hijab of Cambodia: Memories of Cham Muslim Women After the Khmer Rogue, Document Center of Cambodia, Pnom Penh, 2011

Sutter, Robert G., The Cambodian Crisis & U.S Policy Dilemmas, Westview Special Studies on South and Southeast Asia, Westview Press, USA, 1991

Syahid, Ahmad Dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia tenggara, jilid V, Bachtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002

Turkoly, Robert L. & Joczik, The Khmer Serei Movement, Asian Affairs, Vol. 15, No. 1, Spring, 1988

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintahan negeeri Belanda menganut sistem monarki konstitusional, dimana pemerintahan didirikan di bawah sistem konstitusional yang mengakui raja (atau kaisar) sebagai

Hasil analisa data menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi enzim papain yang berbeda mempunyai pengaruh yang berbeda nyata (P<5%) terhadap semua parameter

Umur Rencana merupakan jumlah waktu dalam tahun yang dihitung dari sejak jalan tersebut dibuka untuk lalu lintas sampai diperlukan perbaikan berat atau perlu diberi lapis ulang.

a. Memberikan informasi tentang kemajuan hasil belajar siswa secara individual dalam mencapai tujuan belajar sesuai dengan kegiatan belajar yang dilakukannya. Memberikan

Dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan adanya kesulitan yang sangat luar biasa pada Dinas Kebudayaan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah dalam melakukan pengelolaan data serta

Setiap penanggungjawab program menyusun rencana kegatan program berdasarkan hasil evaluasi kegiatan tahun lalu serta masukan dari sasaran atau masyarakat..

fungsionalisasi jabatan tenaga kependidikan. Terfasilitasinya operasionalisasi lembaga penjaminan mutu pendidikan dan lembaga pelayanan masyarakat tani melalui penguatan dan