• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode dan Teknik Tradisional Dalam Arsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Metode dan Teknik Tradisional Dalam Arsi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Metode dan Teknik Tradisional Dalam Arsitektur Jepang

Antariksa

Awal dari perkembangan arsitektur Budhis di Jepang telah mengalami satu proses yang evolusioner. Munculnya sekte-sekte baru dalam agama Budha, berakibat pula pada pembangunan bangunan baru, perubahan kekuasaan, perkembangan teknologi, dan kesemua hal tersebut dapat memberikan sumbangan yang beragam, terutama pada detail-detail bangunanya. Perkembangan desain dari kuil-kuil Budhis yang terdapat di China dan Jepang, merupakan produk yang sangat kompleks meskipun melalui sebuah proses perubahan yang lambat. Dari hasil proses tersebut, akhirnya memberikan adanya perpaduan di antaranya, pengaruh-silang (cross-influences), percampuran (hybridization), perubahan (alteration), dan keunikan (idiosyncrasies). Dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, akhirnya mereka membuat kodifikasi dan standarisasi, terutama yang berkaitan dengan skala dan proporsi. Di China sendiri, desain bangunan pertama kali dikodifikasi pada abad ke-12 melalui publikasi yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah berupa standarisasi bangunan, yang tujuannya adalah untuk menggantikan pedoman yang telah ada yang dikeluarkan sekitar abad ke-8.

(2)

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai desain yang dinamis dari penempatan proporsi dan ukuran bangunan kuil-kuil dan komposisi bangunannya. Seberapa besar peran dari metode kiwari dan teknik kiku, yang digunakan sebagai dasar standard ukuran untuk menentukan ukuran dari keseluruhan rangka bangunan, proyeksi dari lengkungan atap, tinggi atap, dan lain sebagainya. Munculnya perubahan modul struktur ke modul spasial dalam desain ruangan yang memposisikan kolom menurut dimensi dan aransemen dari tatami. Bagaimana penerapan proporsi dalam bangunan rumah tinggal dan tokonoma yang menjadi standar ukuran di Jepang sampai saat ini.

PENGGUNAAN PROPORSI DAN UKURAN PADA KUIL-KUIL BUDHA

Pada tahun 552 AD, Budhisme masuk ke Jepang melalui Korea (melalui kerajaan Paekche), dan kemudian berkembang pesat terutama di kota Nara. Tipe-tipe bangunan yang ada pada waktu itu merupakan hasil sentuhan para tukang bangunan/kayu yang berasal dari Korea. Pada awal periode tersebut, ada dua tipe bangunan, yaitu pagoda (to) untuk menempatkan peninggalan-peninggalan Budha, dan golden hall/main hall (kondo) untuk menempatkan lukisan-lukisan atau patung-patung Budha. Bangunan-bangunan tersebut di kelilingi oleh koridor beratap (kairo) dengan sebuah gerbang (mon) yang sangat menonjol, dan juga terdapat beberapa bangunan-bangunan pendukungnya. Kuil-kuil yang paling awal adalah Asuka-dera dan Shitenno-ji, keduanya mengikuti pola simetris dan kaku, serta prototip dari Chinadan Korea. Di dalam bangunannya terdapat berbagai macam detail, namun pada komposisinya lebih tegas, yaitu dengan adanya pagoda yang menjulang tinggi, hal ini dinyatakan bahwa peninggalan-peninggalan Budha adalah betul-betul lebih dipertimbangkan dari patung-patung yang ditempatkan di dalam bangunan kondo. Denah bangunan-bangunan kuil relatif sederhana, hal ini disebabkan, karena keterbatasan di dalam menentukan sistem struktur pada balok dan kolom (post and lintel). Panjangnya kemungkinan berubah walaupun lebarnya terbatas, tergantung pada jarak balok melintang yang dapat menjangkau tanpa diberikan tambahan.

Kuil yang paling terkemuka adalah Horyu-ji, di Nara, didirikan pada tahun 607 AD oleh pangeran Shotoku. Pada halaman tengah dari kuil ini terdapat bangunan dengan struktur kayu yang paling tua di dunia, yang dibangun kembali setelah mengalami kebakaran. Desain yang dinamis dari bangunan kuil ini telah ditampilkan dengan baik sekali, akan tetapi prinsip pola simetris yang sama persis seperti dari negara asalnya sama sekali tidak ambil dengan bebasnya oleh para tukang bangunan/kayu di Jepang. (Gambar 1)

Gambar 1. Pola penataan bangunan pada komplek kuil Horyu-ji di kota Nara Jepang. (Suzuki, 1980)

(3)

Gambar 2. Denah, tampak depan, dan potongan dari kondo (golden hall/main hall) kuil Horyu-ji. (Kidder, 1972)

Dalam mendirikan pagoda, tukang bangunan/kayu memakai modul dengan ukuran .75 koma-jaku. Trave di tengah dari lantai pertama mempunyai ukuran lebar 10 unit; dua sisi trave masing-masing adalah 7 unit, total luas menjadi 24 unit, atau 18 koma-jaku (kurang lebih 6.4 m). Untuk bagian atas lebar total dari rangka masing-masing lantai berkurang dengan 3 unit modul. Pada lantai ke dua trave di tengah ukurannya 9 unit; dua sisi trave masing-masing 6 unit, pada lantai ke tiga berturut-turut adalah 6 unit dan 5 unit; pada lantai ke empat adalah 4 unit dan 7 unit; lantai ke lima lebarnya adalah 2 trave, masing-masing trave menjadi 6 unit. Dari permukaan bidang masing-masing lantai berkurang, seperti satu naik ke atas, akan tetapi ukuran sistem penyangga dan kayu sedikit berubah, dan rangka kayunya menjadi lebih tidak teratur. Hal ini, disebabkan dengan ketidakteraturan pada lantai ke lima yang terbagi 2 trave, dan resolusinya adalah, detail-detail menjadi tidak seimbang. Pertimbangan diberikan dengan sungguh-sungguh adalah adanya keseimbangan menyeluruh pada strukturnya, dan hal ini merupakan salah satu karakteristik arsitektur periode T’angdari China di abad ke-8. (Gambar 3)

Gambar 3. Tampak depan dan potongan gojo no to (pagoda lima lantai) pada kuil Horyu-ji. (Nishi & Hozumi,1986)

Tipe-tipe konstruksi dan teknik dasar yang digunakan semenjak periode Nara (646~793), dilanjutkan pada periode Heian (794~1185), dan akhirnya sampai pada periode medieval. Skala dari sebuah bangunan dinyatakan dalam ken, atau jumlah bay (trave), dan men atau jumlah hishashi. (Parent, 1985:11) Istilah bay atau trave menandakan jarak antara dua kolom (hashira) yang teratur dari tengah kolom ke kolom berikutnya. (Suzuki, 1980:22)

(4)

yang tercipta membentuk semacam gang, dan dalam bahasa Jepangnya dinamakan hisashi. Sebagai pusat ruang, adalah inti dari bangunan yang dinamakan moya. Untuk menjelaskan sebuah bangunan yang hishasinya telah ditambah dengan memberikan jumlah dari trave pada moya, maka jumlah dari hishasi menjadi bertambah. Dengan demikian, 3 trave, 4 sisi berarti moya dengan panjang 3 trave dengan hishashi bertambah di sekeliling moya. (Suzuki, 1980:22)

Gambar 4. Denah struktur bangunan. Bangunan dengan trave 3 x 2. (Suzuki, 1980)

(5)

Gambar 5. Denah, potongan dan detail bracket complex (kumimono) pada pagoda tiga lantai (sanju no to) di bagian timur dari kompleks kuil Yakushi-ji. (Hirotaro, 1992; Brown, 1989)

Gambar 6. Diagram proporsi pada kompleks kuil Yakushi-ji. Lingkaran-lingkaran menunjukkan faktor utama yang sangat menentukan, adalah 120 shakuatau dalam ukuran “feet” (jarak dari pondasi sampai ke finial pagoda

yang di sebelah timur). (Brown, 1989)

METODE KIWARI DAN TEKNIK KIKU

(6)

Dalam praktek tradisional, konstruksi dari bangunan tidak didasarkan pada gambar-gambar detail arsitektur yang ditentukan oleh teori-teori tertulis, tetapi pada modul-modul mendasar di dalam praktek tradisional (Coldrake, 1990:24).

Gambar 7. Ilustrasi dari buku proporsi (kiwarisho). (Nishi & Hozumi,1986)

Bagaimana pun juga, kiwari tidak dapat eksis secara bebas, tetapi harus mempunyai hubungan dengan konstruksi. Rangka bangunan harus dipotong dalam dimensi-dimensi yang cukup untuk dapat mengambil beban yang ditetapkan dan mendukung kekuatan lateral. Untuk itu, hal yang penting adalah, bahwa tukang bangunan/kayu harus mempunyai pengalaman untuk mampu menentukan ukuran kerangka bangunan yang berhubungan dengan struktur. Sebagai tambahan mereka harus mempunyai pengetahuan mengenai sistem proporsi. Ada beberapa sistem standard dari kiwari, berdasar pada: 1) diameter dari kolom; 2) jarak dari trave antara kolom ke kolom; dan 3) jarak antara as usuk (rafters, shi) ke as usuk berikutnya, atau jarak bagian tepi dari satu usuk sampai ke tepi bagian usuk yang sama berikutnya.

Lebih lanjut, teknik kiku memperbolehkan tukang bangunan/kayu untuk merekonstruksi rangka dari garis lengkung atap dan bagian atap dengan tepat. Metode dengan model proporsi dan perhitungan geometris ini berkembang cepat mulai abad ke-12. Sebagai contoh, penggaris berbentuk L (kane-jaku atau sashi-gane) dari bahan baja yang digunakan oleh tukang kayu/bangunan Jepang, adalah merupakan alat yang utama digunakan untuk merancang atap dengan menggunakan teknik kiku (Larsen, 1994:111). Sejak dahulu alat ini telah digunakan di Jepang, dan nama kane-jaku diambil dari dokumen di abad ke-8.

Sistem yang terakhir, telah diperkenalkan pada periode Kamakura (1186~1333), yaitu dengan sistem roku-shi-gake atau sistem “6 dalam 1”, dan erat hubungannya dengan perkembangan dari teknik kiku. (Gambar 8)

(7)

Pada periode Kamakura, usuk (rafters) yang terlihat, adalah usuk pada bagian dasar (jidaruki) dan usuk yang menopang di atasnya (hiendaruki), mempunyai jarak yang sama pada seluruh bagian dari atap. Usuk-usuk tersebut diletakkan dalam satu posisi yang telah ditetapkan sebelumnya yang semuanya berhubungan dengan penempatan kolom. Enam usuk ditata dengan dua usuk, yang masing-masing diposisikan di atas tiga blok bantalan (bearing block atau makito) kecil dari satu bracket complex yang disangga oleh satu blok bantalan yang besar (daito) di atas kolom. Metode untuk membuat jarak dari usuk ini dinamakan dengan sistem roku-shi-gake. Sistem ini pertama diperkenalkan pada konstruksi tiga lantai bangunan pagoda Ichijo-ji di tahun 1171. (Gambar 9) Hal ini, bukanlah suatu kejadian kebetulan, bahwa sistem “6 dalam 1” adalah untuk memberikan jarak usuk yang pertama muncul dalam konstruksi pagoda, tetapi disebabkan bahwa pagoda merupakan tipe bangunan yang paling rumit untuk di desain. Lebih lanjut untuk memperbaiki desain dari pagoda, tukang bangunan/kayu di Jepang pada periode medieval telah memperkenalkan, yaitu jumlah usuk dari atap lantai satu ke atap lantai di atasnya berkurang (gradualupwards-decreasing). Hal ini, digunakan untuk pagoda dengan dua lantai dan lima lantai. Metode ini dinamakan isshi-ochi. Normalnya, sebuah pagoda mempunyai tiga trave, dan pada trave di tengah lebih lebar dibandingkan dua trave di sisi kanan-kirinya. Idealnya, jumlah dari usuk sebaiknya berkurang dengan dua dari lantai satu keberikutnya pada trave di tengah, dan dengan satu usuk setiap trave ke dalam sisi trave-travenya.

Gambar 9. Sistem roku-shi-gake dan isshi-ochi.(Larsen, 1994; Hirotaro, 1992)

Ada beberapa pedoman untuk tukang bangunan/kayu dan dikenal dengan berbagai macam di antaranya seperti, hidensho (“secret hereditary writings”), hinagata-bon (“pattern books”) dan gijutsusho (“technique books”), dan kesemuanya itu bukan pedoman untuk “bagaimana membangun” dalam arti ketrampilan dan keamatiran, namun buku tersebut sampai saat ini digunakan sebagai petunjuk dan sangat familiar. (Coldrake, 1990:38) Pedoman tersebut dikemukakan dalam tulisan dan bentuk-bentuk diagramatis sistem proporsi, atau dikenal dengan kiwari, yang menjadi dasar pekerjaan tradisionil untuk desain bangunan. Pedoman didasarkan pada kearifan dan pengalaman yang terus-menerus dari generasi para tukang bangunan/kayu di dalam mengkonstruksi bangunan. Sebenarnya, pada abad ke-18 dan ke-19 pertimbangan aestetik dari proporsi telah menjadi lebih penting dibandingkan dengan strukturnya.

(8)

menjelaskan munekado, sebuah lengkungan pada atap (gable-roof) pada pintu gerbang yang digunakan oleh para aristokrat (bangsawaan) dan para bhiksu, yang mengungkapkan tipikal blok-blok bangunan dan metode desainnya. Sebagai contoh, apa yang secara harafiah tertulis di dalamnya, seperti: lebar dari kedua kolom harus sudah diperhitungkan dengan sun. Kolom-kolom yang digunakan adalah bulat. Balok lintang yang utama dan balok lintang tambahan tingginya adalah, 51/2 bu. Permukaan yang terendah (lebarnya) adalah, 1/3 dari diameter kolom. (Coldrake, 1990:38)

Istilah sun dan bu adalah dikenal sebagai modul blok-blok bangunan, ruang antara kolom betul-betul dipertimbangkan modul lebarnya menjadi 1 shaku, lebar kolomnya menjadi 1/10 dari trave. Oleh karena itu, tukang bangunan/kayu telah mengetahui: “ke dua kolom bulat harus sudah diperhitungkan sebagai 1/10 dari lebar travenya. Tinggi dari balok lintang utama dan tambahan adalah 0.55 dari diameter kolom utama, dan lebarnya adalah 0.34 dari diameter kolom”.

Di Jepang, modul utama dari kolom dan balok adalah trave, kemudian dibagi ke dalam 6 unit bagian yang dinamakan shaku (feet), lebih lanjut masing-masing dibagi ke dalam 10 sun (inches). Masing-masing sun terdiri dari 10 bu, dan masing-masing bu terdiri dari 10 rin. Shaku ukuran yang ditandai dengan unit sun dan bu aslinya masih tersimpan di Shosho-in, di kota Nara. Panjang 29.6 cm, lebar 3.53 cm dan tebalnya 1 cm. (Kidder, 1972) (Gambar 10)

Oleh karena itu, sebuah kolom lebarnya barangkali 1 shaku, atau 1/6 dari lebar trave, pada beberapa bangunan panjangnya mungkin berbeda, tergantung dari tradisi bengkel, fungsi bangunan, atau ukuran dan ketersediaan jenis kayunya. (Coldrake, 1990:25) Instruksi untuk pedoman bagi para tukang bangunan/kayu di dalam menetapkan lengkungan dari atap, tertulis sebagai berikut: untuk membuat lengkungan atap, membagi panjang dari lengkungan ke dalam 10 unit (bu), seperti terlihat dalam diagram. Membagi lebar dari list plank (barge board) ke dalam 8 unit bagian di bagian tengah, kemudian naik 10 unit ke ujung tepi dari unit 1... kemudian turunkan lengkungan menjadi 5 unit pada ujung unit ke-5. (Shoke Hinagata, 1856) (Gambar 11) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pintu gerbang adalah di desain menggunakan dua proporsi yang berhubungan dengan modul, lebar dari trave dan diameter dari kedua kolom. Umumnya, di dalam praktek ukuran-ukuran yang pasti sangat bervariasi menurut strukturnya.

Gambar 10. Ukuran shaku pada saat ini. (Brown, 1989)

(9)

TATAMI SEBAGAI MODUL UNTUK MENDESAIN RUANG

Salah satu yang terkenal dalam arsitektur Jepang adalah, adanya unit yang disebut ken, yang sama dengan 6 ft, dan disajikan sebagai dasar ukuran. Beberapa ahli menyatakan, bahwa asal mula ukuran ken dimulai pada awal abad ke-6, ketika ibukota kekaisaran didirikan di kota Nara. (Harada, 1985:48) Sangatlah jelas bahwa pada awal sejarahnya, ken (ma) menunjukkan adanya jarak antara dua kolom dalam sebuah bangunan walaupun banyak macamnya. Dengan beberapa modifikasi, hasil akhirnya ditunjukkan dengan ukuran yang tertentu di akhir abad ke-15, dan tatami (kata tatami berasal dari kata kerja tatamu, yang berarti melipat atau menumpuk) pada waktu itu sangat umum digunakan. (Harada, 1985:48).

Tatami menjadi modul desain kedua yang penting di abad ke-16 dan abad ke-17. Keseluruhan lantai ruangan tertutup dengan tatami, kolom adalah diposisikan menurut dimensi dan aransemen dari tatami. Kebalikan dari prosedur sebelumnya, adalah meletakkan tatami di antara kolom-kolom yang ada. Area dari ruang umumnya diekspresikan dalam hubungan dari jumlah tatami. Hal ini, menandai adanya satu perubahan dari modul struktur ke modul spasial dalam desain di Jepang. Pendapat tersebut diperjelas oleh Nishi & Hozumi, (1986:77), bahwa modul lain yang menyumbang interval harmoni adalah tatami, mempunyai bentuk empat persegi panjang dengan ukuran sekitar satu kali dua meter yang menutup lantai rumah tinggal dalam bangunan shoin (style dari rumah tinggal yang berkembang pada akhir abad ke-16)

Tipikal layout rumah Jepang terdiri dari tiga bagian yang berbeda: area yang ditinggikan letaknya di atas tanah dan ditutup dengan tatami, termasuk semua ruangan; bagian yang ditinggikan dan menggunakan lantai dari papan kayu, termasuk koridor, veranda, dan dapur; dan sebagian kecil bagian yang rendah dan hampir sama ketinggiannya dengan permukaan tanah, termasuk kamar mandi, bagian dari dapur, dan entrance hall. (Boger, 1964:152) Ukuran dari ruangan atau beberapa bagian lain dari rumah yang menggunakan tatami, demikian juga bagian yang menggunakan lantai papan kayu atau lantai yang ketinggiannya sama dengan permukaan tanah, adalah didasarkan pada ukuran tatami sebagai unit ukuran.

Seperti halnya ken, bagaimana pun ukuran tidak terstandarisasi sampai dengan munculnya tiga dasar ukuran tatami di abad ke-18. Di antaranya, adalah kyoma (1.970 mm x 909 mm) yang telah digunakan di Kyoto dan yang terbesar ukurannya. Inakama (1.880 mm x 909 mm) sebagian besar terdapat di wilayah Kanto(sekarang Tokyo), sementara Edo-tatami (1.757 mm x 879 mm) berhubungan dengan Edo, kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan shogun Tokugawa di abad ke-17. (Coldrake, 1990:25) Pada kenyataannya, ukuran kyoma tetap seragam, dan ruangan-ruangan dibuat untuk mengakomodasi jumlah dari tatami, agar tatami menjadi dapat dipertukarkan dengan yang terdapat di ruangan lain. Untuk Edo-ma, tatami dibuat untuk masing-masing ruang yang khusus dan sangat ramping dalam dimensinya, tetapi masing-masing ukuran kira-kira sekitar 6 ft dengan 3 ft. (Harada, 1985:48)

(10)

Meskipun dimensi dari tatami agak berbeda di beberapa tempat, akan tetapi selalu tetap untuk keseluruhan ruang dalam satu struktur tunggal, dan hal itu berhubungan dengan trave antar kolom yang secara efektif memberikan satu unit proporsi. Area dalam ruangan umumnya diekspresikan dengan persyaratan jumlah isi dari tatami. Ukuran dari ruangan adalah dinyatakan dengan jumlah tatami yang menutup ruang lantai keseluruhan, ukuran yang umum dari ruangan yang dikehendaki berturut-turut, 4½, 6, 8, 10, 12, dan 12½ tatami. Dua tatami diletakkan pada sisi memanjang membentuk 6 ft persegi, adalah 1 tsubo merupakan unit dari ukuran untuk permukaan (Harada, 1985:48). Hal ini pun dipertegas oleh Boger, (1964:152), bahwa ukuran sebuah tatami adalah 3 ft X 6 ft. Keseluruhan area dari sebuah rumah, adalah selalu diberikan dengan istilah tsubo, terdiri dari 6 X 6 ft. Gagasan demensi dari tatami sedikit berbeda di beberapa tempat di Jepang, tetapi hal itu selalu konstan untuk keseluruhan ruangan dalam struktur tunggal, dan berhubungan dengan span antar kolom yang efektif memberi kesatuan proporsi untuk keseluruhan. (Nishi & Hozumi, 1986:77)

PENERAPAN KIWARIJUTSU DALAM PROPORSI DESAIN YANG MATEMATIS

Proporsi juga digunakan pada konstruksi dan ukuran dari tokonoma (ceruk di dalam ruangan utama tempat meletakkan gambar atau ornamen lainnya), rak bertingkat (staggered shelves) dan almari dinding(closets) pada toko-waki selalu dipertimbangkan secara hati-hati (Harada, 1985:50). Tokonoma, merupakan ciri penting dari bangunan rumah tinggal di Jepang, dan barangkali mempunyai kelebihan dibanding bagian lain dari konstruksi yang ditentukan oleh penetapan proporsi. Pada umumnya, 1 atau 1½ ken (6 atau 9 ft) panjang dan satu setengah atau seperempat dari ken ke dalam ukuran umum ruangan (Harada, 1985:50).

Kasus lain dapat dilihat pada perencanan bangunan ruangan tamu (guest hall) Kojo-in pada kuil Onjo-ji yang ditemukan di dalam buku shomei, yang isinya mengenai koleksi rahasia dari tukang bangunan/kayu. Ilustrasi ini, adalah milik dari keluarga Heinouchi Yoshimasa, ahli bangunan/kayu untuk shogun Tokugawa. Ilustrasi tersebut, dinamakan “Illustration of an old six-by seven by shuden” yang dibuat pada tahun 1608. (Nishi & Hozumi, 1986:76) Shomei, adalah pedoman yang paling kuno dan dilengkapi dengan desain, dan tatanan proporsi (kiwarijutsu). Dalam buku tersebut, Heinouchi menuliskan, bahwa tukang bangunan/kayu yang ideal, adalah seorang ahli, tidak hanya pandai menggambar di atas kertas, tetapi juga mempunyai pendapat visual(visual estimation) dan terampil. Buku tersebut berisi lima bagian, mencakup beberapa hal di antaranya, pintu gerbang (gate), kuil-kuil shinto, pagoda-pagoda, kuil-kuil-kuil-kuil Budha, dan rumah tinggal, dan di bagian akhir dari buku tersebut terdapat shudenplan. (Nishi & Hozumi, 1986:76-77)

(11)

Selain itu, mereka membolehkan untuk sedapat mungkin lebar dari sebuah decorative alcove mungkin tertentu pada 1 L, 1½ L, 2 L, atau lebih, tergantung pada persyaratan desain dari ruangan. (Gambar 12)

Gambar 12. Proporsi untuk ruang dalam (interior) dan veranda (teras). (Nishi & Hozumi, 1986)

PROPORSI DAN UKURAN YANG DIGUNAKAN DALAM RUMAH TINGGAL

Untuk keperluan konstruksi dan proporsi rumah tinggal di Jepang, ditunjukkan dengan suatu standard yang pasti dalam sebuah konstruksi. Sebagai contoh, untuk rumah kelas menengah, ukuran-ukuran standard adalah sebagai berikut: 2.2 ft dari dasar balok yang bersandar di atas pondasi batu sampai pada bagian atas tatami, 5.8 ft dari permukaan balok lantai dengan tatami sampai pada bagian atas di bawah sisi bagian balok, adalah sekitar 2 inch tingginya di bawah uchinori nageshi dengan 4.5 inch tingginya. Kemudian dinding bagian atas yang pendek dengan atau tanpa ranma (ornamen yang berukir terbuka dan sebagai ventilasi) dengan 3.4 ft, dan di atasnya adalah tenjo nageshi (balok langit-langit) 3⅜ inch tingginya, di atasnya tenjo mawaribuchi mempunyai tinggi 2¾ inch yang letaknya bersandar pada langit-langit, umumnya papan tersebut mempunyai ketebalan kurang dari 0.5 inch. Tinggi langit-langit dari lantai tatami sedikit di atas 10 ft. Standard ukuran dari pintu sorong (sliding screens) yang memisahkan satu ruangan dengan ruangan yang lain atau koridor, dan dimungkinkan untuk dipindah-pindahkan agar ruangan menjadi lebih luas, adalah 5.8 ft x 3 ft, sedangkan partisi antar kolom adalah, 9 ft, 15 ft terkadang 12 ft, dan pada umumnya dibuat empat pintu dengan lebar dari pintu bervariasi. (Harada, 1985:49-50)

(12)

Gambar 13. Organisasi serta tipikal rumah tinggal di Jepang. (Harada, 1985)

PENUTUP

Pada periode Asuka, Nara dan Heian, para tukang bangunan/kayu menggunakan teknik kiku yang berbeda untuk menentukan lengkungan dan pertemuan dari rangka atap. Bentuk sempurna dari bangunan secara pasti hampir tepat, bila menggunakan metode kiwari dan teknik kiku digunakan di dalam desain aslinya. Lebih lanjut, teknik kiku memperbolehkan tukang bangunan/kayu untuk merekonstruksi rangka dari garis lengkung atap dan bagian atap dengan tepat. Metode dari model proporsi dan perhitungan geometris ini berkembang cepat mulai abad ke-12.

Istilah kiwari untuk sistim proporsi arsitektur Jepang telah diperkenalkan sejak periode Momoyama (1574~1614), ki mempunyai arti kayu, dan wari berarti membelah atau membagi. Kiwari, adalah sebagai pengertian dasar mengenai ukuran standard tukang bangunan/kayu untuk dapat menentukan ukuran dari keseluruhan rangka bangunan, proyeksi lengkungan atap, tinggi atap, dan lain sebagainya. Pedoman tersebut dibuat dalam tulisan dan dalam bentuk-bentuk diagramatis sistem proporsi, yang merupakan dasar pekerjaan tradisionil desain bangunan. Pedoman didasarkan pada kearifan dan pengalaman terus-menerus dari generasi para tukang bangunan/kayu di dalam mengkonstruksi bangunan.

Tatami menjadi modul desain ke dua yang sangat penting dibandingkan dengan prosedur sebelumnya, yang meletakkan tatami di antara kolom-kolom yang ada. Hal ini menandai adanya satu perubahan dari modul struktur ke modul spasial dalam desain ruangan di Jepang. Meskipun dimensi dari tatami agak berbeda dibeberapa tempat, tetapi selalu tetap bila menempatkan keseluruhan ruang dalam satu struktur tunggal, dan hal itu harus berhubungan dengan trave antar kolom yang secara efektif memberikan satu unit proporsi.

Perencanaan dan layout dari rumah di Jepang telah menghasilkan tidak hanya sebuah pekerjaan dari keindahan arsitektur, tetapi fleksibilitas dalam pelaksanaan, manfaat dari berbagai ruangan bagi pemakainya.

Untuk keperluan konstruksi dan proporsi, telah ditunjukkan dengan suatu standard yang pasti dalam konstruksi rumah di Jepang. Untuk mendapatkan proporsi yang menyenangkan ukuran dari kolom adalah ditentukan oleh panjang dan dimensi dari ruangan yang digunakan.

GLOSSARY

bay(trave) = jarak antara dua kolom

(13)

buke hinagata= pedoman untuk arsitektur rumah tinggal bagi para samurai

daito= satu blok bantalan yang besar diatas kolom

gijutsusho= buku yang berisi mengenai teknik-teknik

gojo no to= pagoda lima lantai

hashira= kolom

hidensho= tulisan berisi rahasia turun-temurun dari tukang bangunan/kayu

hiendaruki= usuk yang menopang di atasnya

hinagata-bon= buku yang berisi mengenai pola-pola

hisashi= ruang yang tercipta membentuk semacam gang dalam bangunan

Inakama= ukuran tatami yang terdapat di wilayah Kanto(sekarang Tokyo)(1.880 mm x 909 mm)

Edo-tatami= ukuran tatami (1.757 mm x 879 mm)

isshi-ochi= jumlah usuk dari atap lantai satu ke atap lantai di atasnya berkurang

jidaruki= usuk pada bagian dasar

jo= unit ukuran tradisional sama dengan 10 shaku, atau kurang lebih 3.03 cm.

kairo= koridor beratap

kamoi= balok pada bagian atas yang berfungsi sebagai rel dari pintu sorong

kane-jaku atau sashi-gane = penggaris berbentuk L dari bahan baja yang digunakan oleh tukang kayu/bangunan di Jepang

ken= unit ukuran tradisional sama dengan 6 shaku, atau kurang lebih 1.82 m.

kiku= teknik desain untuk bagian atap dan penempatan dari usuk

kiwari= sistim proporsi (ki berarti kayu, wari berarti membelah)

kiwari= satu sistim dari proporsi dasar mengenai modul desain.

kiwarijutsu= tatanan proporsi

kiwarisho= buku tentang sistem proporsi

koma-jaku = unit standard ukuran berasal dari kerajaan Koguryo di Korea, kurang lebih sama dengan 35 cm

kondo = bangunan utama dalam sebuah kuil Budha, dan tempat patung Budha dan lukisan-lukisan ditempatkan.

kumimono(bracket complexes) =

Kyoma= ukuran tatami yang digunakan di Kyoto (1.970 mm x 909 mm)

makito= tiga blok bantalan di atas kolom (bearing block)

men= jumlah dari hisashi

mon= gerbang

moya= adalah core dari bangunan

munekado= sebuah gable-roof pada pintu gerbang yang digunakan oleh para aristokrat dan para bhiksu

Nagare-zukuri= salah satu style bangunan dari kuil Shinto

nageshi= balok yang rendah (di bagian bawah)

ranma= ornamen yang berukir terbuka dan sebagai ventilasi

rin= unit ukuran tradisional kurang lebih 0.303 cm atau 1/10 bu.

roku-shi-gake= sistim “6 dalam 1” posisi penempatan jarak dari usuk di atasnya

sanju no to= pagoda tiga lantai

shaku= unit ukuran tradisional sama dengan 10 sun, atau kurang lebih 30.3 cm

shi= usuk

shiki= balok bagian bawah yang berfungsi sebagai rel dari pintu sorong

shomei= merupakan koleksi rahasia dari tukang bangunan/kayu

shudenplan = terdapat di bagian akhir dari buku tersebut

staggered shelves= rak dengan perbedaan ketinggian

(14)

tatami= penutup lantai yang terbuat dari jerami

tenjo mawaribuchi= papan yang letaknya bersandar pada langit-langit

tenjo nageshi= balok langit-langit

to= pagoda

tokonoma (decorative alcove)= ceruk di dalam ruangan utama untuk meletakkan gambar atau ornamen lain

tsubo = unit ukuran tradisional sama dengan area dua tatami yang diletakkan sejajar, atau kurang lebih 3.305 m2.

uchinori nageshi= balok. Kemudian dinding bagian atas yang pendek dengan atau tanpa

UNIT UKURAN TRADISIONAL JEPANG

- shakupada periode Nara (T’ang) = .97 .98, shaku saat ini = 115/8 113/4 inch atau 29.39 -29.70 cm.

- komajaku (shaku Korea digunakan pada awal periode Nara) sama dengan 1.164 - 1.176, shaku saat ini atau 1 foot 23/8 inch - 1 foot 21/8 inch atau 35.27 - 35.64 cm.

- Kamakura shaku = 1.0004 shaku saat ini, 1 foot 1/16 inch atau 30.42 cm.

DAFTAR RUJUKAN

Boger H. Batterson, 1964, The Traditional Arts of Japan, Bonanza Books, New York

Brown S. Asby, 1989, The Genius of Japanese Carpentry, An Account of a Temple’s Construction, Kodansha International, Tokyo and New York

Coaldrake, William H., 1990, The Way of the Carpenter, Tools and Japanese Architecture, Weatherhill, Inc., New York and Tokyo

Harada, Jiro, 1985, The Lesson of Japanese Architecture, Dover Publication, Inc., New York.

Hirotaro, Ota, 1990, Ko Kenchiku Nyumon, Nihon Kenchikuwa do Ukurareteiru ka, Shokokusha, Tokyo

Hirotaro, Ota, 1992, Nara no Tera-dera, Iwanami Shoten, Tokyo.

Kidder J. Edward, 1972, Early Buddhist Japan, Preager Publishers, New York.

Larsen, Knut Einar, 1994, Architectural Preservation in Japan, ICOMOS International Wood Committee, Trondheim, Tapir Publishers, Norway.

Nihon Kenchiku Gakkai, 1980, Nihon Kenchikushi Zushu, Shokokusha, Tokyo.

Nishi, Kazuo and Hozumi, Kazuo, 1983, Nihon Kenchiku no Katachi: seikatsu to Kenchiku-zokei no Rekishi, Shokokusha, Tokyo.

(15)

Suzuki, Kakichi, 1980, Early Buddhist Architecture in Japan, Kodansha International Ltd., Tokyo.

Tulisan di atas pernah disampaikan dalam sebuah makalah dengan judul Proporsi

dan Ukuran dalam Arsitektur Tradisionil Jepang, pada seminar Naskah Arsitektur

Nusantara: Jelajah Reflektif Arsitektural, Simposium Nasional 34 Tahun Jurusan Arsitektur ITS, 9 September 1999. Sedangkan dalam versi artikel telah dipublikasikan dalam MINTAKAT Jurnal Arsitektur, 6 (1): 517-526, tahun 2005, dengan judulMetode dan Teknik Tradisionil Dalam Arsitektur Jepang.

Gambar

Gambar 1. Pola penataan bangunan pada komplek kuil Horyu-ji di kota Nara Jepang. (Suzuki, 1980)
Gambar 2. Denah, tampak depan, dan potongan dari kondo (golden hall/main hall) kuil Horyu-ji
Gambar 4. Denah struktur bangunan. Bangunan dengan trave 3 x 2. (Suzuki, 1980)
Gambar 5. Denah, potongan dan detail bracket complex (kumimono) pada pagoda tiga lantai (sanju no to) dibagian timur dari kompleks kuil Yakushi-ji
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan pengaruh dan kadar optimum pemanfaatan Lumpur Sidoarjo (Lusi) sebagai substitusi agregat halus dengan pemnfaatan batu apung

secara individual mempunyai hubungan yang signifikan atau tidak terhadap Debt to Assets Ratio.. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pengaruh Return On Assets terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model experiential learning merupakan model yang efektif untuk membelajarkan prakarya dan kewirausahaan (PKWU) karena dapat memungkinkan

Telah dibuat suatu aplikasi pengendalian mobil remote control menggunakan ponsel melalui media komunikasi Bluetooth yang mempunyai gerakan belok

Proses pengecekan atau penginputan data penduduk adalah proses untuk mengecek data penduduk yang sudah ada dalam data base data penduduk di Dinas Pencatatan

Esofagitis kronis adalah peradangan di esophagus yang disebabkan oleh luka bakar karena zat kimia  yang bersifat korosif, misalnya berupa asam kuat, basa kuat dan zat

Hal ini disebabkan pada penggorengan pertama vitamin A pada minyak goreng jumlahnya lebih tinggi dari pada minyak yang digunakan pada penggorengan berikutnya (kedua

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini mengangkat judul “Pengaruh Ukuran Perusahaan, Struktur Kepemilikan Manajerial,