• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Adaptasi Arsitektur Masjid di L

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Adaptasi Arsitektur Masjid di L"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI ADAPTASI ARSITEKTUR MASJID DI LINGKUNGAN MINORITAS

Studi Kasus: Masjid-Masjid di Kota Denpasar Dan Kabupaten Badung,

Provinsi Bali.

Andika Saputra Mahasiswa S-2 Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada Sleman, Yogyakarta, Indonesia

e-mail: andikasapoetra87@yahoo.com

Muhammad Rochis Alumni Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Warmadewa Denpasar, Bali, Indonesia

e-mail: muhammadrochis_90@yahoo.com

Abstract

Mosque for Muslims living in the Province of Bali in the middle of minority neighborhoods not only serves as a symbolic marker for the presence of the Islamic community, but also have a central role because it is the only gathering place for fellow Muslims. In contemporary times, Muslims in the province of Bali is facing various challenges that encourage adaptation strategies of mosque architecture for the existence of mosque in the neighborhood can be accepted by large society. This early study aims to acknowledging the adaptation strategies of mosque architecture undertaken Muslims in the province of Bali along with the factors that encourage adaptation. Studies conducted using qualitative inductive method. Locus studies are in the Kota Denpasar and Kabupaten Badung which is the center of activity and concentration of Muslims living in the province of Bali with a different background neighborhood. Object of study used a large mosques that are the main base of Muslims activity. The findings showed that there were three types of mosque architecture adaptation strategies undertaken namely (1) the external factor are responded with apply the dominant Balinese style architectural elements, (2) awareness of the self to apply Balinese style architectural elements, and (3) the desire of the self to apply the mosque architecture typical of the Middle East-style is considered to represent an ideal identity as Muslims.

Keywords: adaptation strategies, mosque architecture, minority neighborhood

Abstrak

Masjid bagi umat Islam di Provinsi Bali yang hidup di tengah lingkungan minoritas tidak saja berfungsi simbolis sebagai penanda keberadaan komunitas Islam namun juga memiliki peran sentral karena merupakan satu-satunya tempat berkumpul bagi sesama umat Islam. Di masa kekinian, umat Islam di Provinsi Bali tengah menghadapi berbagai tantangan yang mendorong dilakukannya strategi adaptasi arsitektur masjid agar keberadaan masjid di lingkungannya dapat diterima oleh masyarakat luas. Kajian awal ini bertujuan untuk mengetahui strategi adaptasi arsitektur masjid yang dilakukan umat Islam di Provinsi Bali beserta dengan faktor-faktor yang mendorong dilakukannya adaptasi. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif induktif. Lokus kajian berada di Kota Denpasar dan Kabupaten badung yang merupakan pusat kegiatan dan konsentrasi kehidupan umat Islam di Provinsi Bali dengan latar belakang lingkungan yang berbeda. Obyek kajian yang digunakan merupakan masjid-masjid besar yang merupakan basis utama kegiatan umat Islam. Hasil kajian menunjukkan bahwa terjadi tiga tipe strategi adaptasi arsitektur masjid yang dilakukan yaitu (1) tuntutan dari luar yang ditanggapi dengan dominan menerapkan unsur arsitektur gaya Bali; (2) kesadaran dari dalam diri untuk menerapkan unsur arsitektur gaya Bali; dan (3) keinginan dari dalam untuk menerapkan ciri khas arsitektur masjid gaya Timur Tengah yang dianggap ideal merepresentasikan identitasnya sebagai umat Islam. Kata kunci: strategi adaptasi, arsitektur masjid, lingkungan minoritas

Pendahuluan

Jumlah umat Islam di Provinsi Bali pada tahun 20101 tercatat sebanyak 323.853 jiwa yang menempati posisi kedua setelah umat Hindu yang berjumlah lebih dari 2,7 juta jiwa dengan jumlah keseluruhan penduduk Provinsi Bali mencapai 3,2

(2)

ibukota Provinsi Bali dan Kabupaten Badung yang merupakan tujuan pariwisata utama di Provinsi Bali di mana kedua kabupaten tersebut merupakan pusat kegiatan ekonomi di Provinsi Bali.

Hidup di lingkungan minoritas tidak menjadikan umat Islam di Provinsi Bali tidak menunjukkan syiar-syiar Islam. Salah satu syiar-syiar Islam adalah masjid, sebagaimana pernyataan Syaikh Khairuddin Wanili2, Masjid merupakan syiar Islam. Jika tidak adaadzan, tidak ada shalat, dan tidak ada shalat berjama ah, maka di daerah itu tidak ada Islam dan tidak ada kamu Muslimin .

Syaikh Huri Yasin Husain3 menyatakan bahwa masjid memiliki peranan yang penting sepanjang sejarah umat Islam yang mendapatkan prioritas utama dan perhatian yang mendalam dari pemimpin umat Islam dan seluruh kaum Muslimin. Karenanya kebudayaan umat Islam terlahir dari masjid yang bergantung pada fungsi masjid4.

Masjid bagi umat Islam di Provinsi Bali tidak saja berfungsi simbolis sebagai penanda keberadaan komunitas umat Islam di daerah tersebut, namun juga memiliki peran sentral sebagai pusat kegiataan bagi umat Islam, mengingat hidup di tengah lingkungan minoritas menjadikan masjid merupakan satu-satunya tempat berkumpul bagi sesama umat Islam.

Di masa kini, umat Islam di Provinsi Bali menghadapi berbagai tantangan di berbagai bidang kehidupan untuk dapat beradaptasi guna membaur dengan kebudayaan warga mayoritas. Terlebih pasca peristiwa Bom Bali pada tahun 2002 yang menimbulkan sikap kecurigaan yang berlebihan terhadap umat Islam di Provinsi Bali pada umumnya, dan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung pada khususnya yang merupakan lokasi peristiwa Bom Bali. Hamdan Basyar berdasarkan hasil penelitiannya di Provinsi Bali pada tahun 20105 mengungkapkan, walaupun di permukaan terlihat hubungan yang harmonis, namun umat Islam di Provinsi Bali hidup di bawah tekanan akibat dominasi warga Hindu dalam kehidupan keagamaan, sosial, ekonomi, dan budaya, yang salah satunya berdampak pada kesulitan untuk mendapatkan izin pendirian masjid dan perda yang bernuansa nilai agama Hindu.

Hidup di tengah lingkungan minoritas dengan berbagai tantangan kekinian yang harus dihadapi, mendorong umat Islam di Provinsi Bali memaksimalkan fungsi masjid-masjid yang telah ada untuk mewadahi aspirasi dan kegiatan umat. Di satu sisi umat Islam ingin menunjukkan identitas keagamaannya melalui bentuk arsitektur masjid yang dianggap ideal, namun di sisi lain terdapat tuntutan menerapkan ciri khas arsitektur gaya Bali yang telah disahkan dalam perda serta tuntutan untuk menjaga kerukunan antar umat beragama karena adanya kekhawatiran dengan menunjukkan identitas Islam

dapat memicu terjadinya konflik horizontal antar umat beragama.

Penelitian ini merupakan kajian awal yang bertujuan untuk mengetahui strategi adaptasi arsitektur masjid yang dilakukan umat Islam di Provinsi Bali beserta dengan faktor-faktor yang mendorong untuk dilakukannya adaptasi. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam dua aspek. Pertama, bagi praktik arsitektur hasil kajian ini dapat menjadi panduan dalam kegiatan perancangan arsitektur masjid di Provinsi Bali. Kedua, bagi umat Islam hasil kajian ini dapat memberikan informasi perihal strategi adaptasi dalam bidang arsitektur masjid yang dilakukan umat Islam di Provinsi Bali sebagai upaya mempertahankan keberadaan masjid yang merupakan syiar Islam di tengah lingkungan minoritas.

Dengan diketahuinya strategi adaptasi yang dilakukan, dapat memberikan gambaran mengenai identitas umat Islam di Provinsi Bali, sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof. Syaom Barliana6 bahwa masjid merupakan representasi dari umat Islam yang melahirkan dan memakmurkannya, yang hadir dari segenap kemampuan yang dimiliki masyarakatnya.

Metode Penelitian

Kajian awal ini menerapkan metode kualitatif induktif, dengan pemilihan lokus dan obyek kajian secara purposive. Dipilihnya lokus kajian di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dikarenakan dua kabupaten tersebut merupakan konsentrasi kehidupan dan pusat kegiatan umat Islam di Provinsi Bali dengan latar belakang lingkungan yang berbeda di mana Kota Denpasar ketat dalam penerapan nilai budaya lokal karena merupakan ibukota provinsi sedangkan Kabupaten Badung lebih longgar dalam penerapan nilai budaya lokal karena merupakan tujuan wisata utama di Provinsi Bali dengan latar belakang budaya masyarakat yang lebih heterogen.

Obyek kajian yang digunakan adalah masjid-masjid besar di kedua kabupaten yang merupakan basis utama kegiatan umat Islam yaitu Mushola al-Qomar dan Masjid Agung Sudirman di Kota Denpasar serta Masjid Nurul Huda dan Masjid Asasuttaqwa di Kabupaten Badung.

Di masa mendatang kajian akan dilanjutkan dengan menambah kuantitas obyek kajian yang berada di lokasi dengan latar belakang lingkungan yang lebih beragam sehingga akan didapatkan hasil penelitian yang lebih komprehensif mengenai strategi adaptasi arsitektur masjid yang dilakukan umat Islam di Provinsi Bali.

(3)

kajian yang bersifat pendahuluan, sehingga di masa mendatang dimungkinkan dilakukannya penambahan variabel kajian.

Gambar 1. Peta Lokasi Obyek Kajian (Sumber: survey, 2013)

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara semi terstruktur dengan pemilihan narasumber secara purposive dengan kriteria narasumber yang memiliki otoritas terhadap objek kajian, yaitu sebagai berikut:

1. Suhaeri, selaku Ketua Yayasan dan Ketua Takmir Mushola al-Qomar.

2. Tri Sudirman, selaku Wakil Ketua Takmir Masjid Agung Sudirman.

3. H. Abdul Malik, selaku Ketua Takmir Masjid Nurul Huda.

4. Priyatno Adi, selaku sesepuh jama ah Masjid Nurul Huda.

5. H. Hanafi, selaku Sekretaris Umum Takmir Masjid Asasuttaqwa.

Data non fisik yang didapatkan dalam kajian awal ini belum mencapai taraf jenuh karena keterbatasan waktu dalam pengumpulan data maupun keterbatasan pihak narasumber yang dapat ditemui sehingga di masa mendatang pencarian data dapat dilanjutkan dengan menerapkan teknik snowball sampling untuk memperdalam kualitas data sekaligus triangulasi data.

Profil Obyek

1. Mushola al-Qomar, Denpasar.

Obyek penelitian berlokasi di Jl. Pura Demak, Teuku Umar Barat, Kecamatan Denpasar Barat. Mushola al-Qomar dibangun pada tahun 1980-an yang digagas oleh para sesepuh lingkungan setempat yang pada awal dibangunnya hanya merupakan bangunan yang sangat sederhana. Seiring waktu, Mushola al-Qomar mengalami dua kali renovasi, yaitu pada tahun 1995 dan tahun 2001, sehingga menjadi bentuk bangunannya yang sekarang dengan luas bangunan 400 m2.

Gambar 2. Tampak Depan Mushola al-Qomar (Sumber: survey, 2013)

2. Masjid Agung Sudirman, Denpasar.

Obyek penelitian berlokasi di Jl. Slamet Riyadi, Kecamatan Denpasar Timur, di lingkungan Kodam Udayana. Pendirian masjid dikarenakan kebutuhan ruang untuk beribadah bagi umat Islam di lingkungan Kodam Udayana yang jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun.

Gambar 3. Tampak Depan Masjid Agung Sudirman (Sumber: survey, 2013)

(4)

Mat Nur, dkk, yang merupakan anggota TNI yang sedang ditugaskan di Kota Denpasar.

Dari sejak didirikannya, Masjid Agung Sudirman telah beberapa kali mengalami renovasi yaitu pada tahun 1979 untuk memperbaiki bangunannya yang telah rusak, dan pada tahun 1994 untuk memperluas bangunannya sekaligus merubah keseluruhan bentuk bangunannya atas usulan dari dewan pengurus masjid. Renovasi selesai pada tahun 2000 sehingga menjadi bentuk bangunannya yang sekarang dengan luas bangunan 900m2.

3. Masjid Nurul Huda, Badung.

Obyek penelitian berlokasi di Jl. Sentani, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, di lingkungan Bandara Ngurah Rai. Masjid Nurul Huda berdiri di atas lahan yang diperuntukkan untuk bangunan peribadatan bagi umat Islam, umat Hindu, dan umat Kristen, oleh karenanya Masjid Nurul Huda bersebelahan dengan bangunan pura di sebelah timur dan bangunan gereja di sebelah selatan.

Masjid Nurul Huda dibangun pada tahun 1970 atas gagasan Ir. Hertoto dan dibangun oleh pihak PT. Angkasa Pura 1. Pada awal dibangunnya, bentuk bangunan masjid sangat sederhana dengan luas bangunan 100m2. Pada tahun 2003, Masjid Nurul Huda mengalami renovasi secara keseluruhan sehingga menjadi bentuk bangunannya yang sekarang dengan luas bangunan 484m2.

Gambar 4. Tampak Depan Masjid Nurul Huda (Sumber: survey, 2013)

4. Masjid Asasuttaqwa, Badung.

Obyek penelitian berlokasi di Jl. Ngurah Rai, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Masjid Asasuttaqwa telah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda di atas tanah pemberian dari pihak Kerajaan Pamecutan sebagai balas jasa terhadap bantuan umat Islam melawan penjajah di daerah kekuasaan Kerajaan Pamecutan di masa kelampauan.

Sejak didirikan, Masjid Asasuttaqwa telah mengalami empat kali renovasi. Renovasi terakhir dilakukan pada awal tahun 1990 sehingga menjadi bentuk bangunannya yang sekarang dengan luas bangunan 529m2. Renovasi dapat diselesaikan dalam

jangka waktu setahun dan berjalan dengan lancar dikarenakan kuatnya dukungan materi dan non materi dari umat Islam di sekitar lingkungan masjid maupun umat Islam dari kalangan pejabat pemerintahan.

Gambar 5. Tampak Depan Masjid Asasuttaqwa (Sumber: survey, 2013)

Analisis

1. Mushola al-Qomar, Denpasar.

Pada kegiatan renovasi terakhir yang dilakukan tahun 2001 dilakukan perubahan secara keseluruhan bentuk bangunan Mushola al-Qomar dengan menerapkan unsur khas arsitektur gaya Bali. Dari aspek bentuknya, bangunan obyek kajian menerapkan pembagian kaki-badan-kepala yang identik dengan konseptri anggapada arsitektur gaya Bali. Bagian kaki bangunan identik dengan unsur

bebaturanpada arsitektur gaya Bali, yang menopang bagian badan bangunan yang terkesan masif disebabkan karakteristik bahan yang digunakan.

Gambar 6. Bahan Dan Ornamen Pada Bangunan Masjid (Sumber: survey, 2013)

(5)

bagian kaki bangunan terdapat ornamen pepalihan

dan pada bagian badan bangunan terdapat ornamen

pepatrandankekaranganyang distilir sehingga tidak menampakkan bentuk riilnya

Bagian kepala menerapkan bentuk atap limasan dengan atap terbesar mengatapi ruang shalat utama yang berbentuk atap limas tumpang dua yang dilengkapi dengan ornamen kubah pada bagian atasnya. Untuk bahan penutupnya, bagian kepala bangunan menggunakan bahan genting serta terdapat ornamen ikut celedu khas arsitektur gaya Bali di setiap tepi bubungannya.

Nuansa arsitektur gaya Bali semakin kental dengan menerapkan bentuk candi bentar dan unsur

paduraksa lengkap dengan bahan, warna, dan ornamen khas gaya Bali pada bagian pagar masjid. Sebagaimana pada bagian badan bangunan masjid, bentuk ornamen pada pagar masjid mengalami stilisasi sehingga tidak menampakkan bentuk riilnya.

Gambar 7. Pagar Masjid Bernuansa Ciri Khas Arsitektur Gaya Bali

(Sumber: survey, 2013)

Faktor yang menyebabkan Mushola al-Qomar menerapkan arsitektur gaya Bali karena adanya himbauan dari pihak pemerintah Kota Denpasar pada tahun 2001 untuk mematuhi perda yang berkaitan dengan penerapan nilai-nilai arsitektur Bali, tidak terkecuali bagi tempat peribadatan umat Islam. Pada awalnya himbauan untuk menerapkan ciri khas arsitektur Bali ditolak oleh para jama ah Mushola al-Qomar karena dianggap tidak sesuai dengan identitas arsitektur masjid yang diidealkan oleh para jama ah. Namun setelah dilakukan musyawarah dan pendekatan persuasif, maka para jama ah menyetujui untuk merubah bentuk bangunan Mushola al-Qomar dengan menerapkan unsur khas arsitektur gaya Bali. Keputusan diambil dengan pertimbangan lebih mementingkan eksistensi keberadaan Mushola al-Qomar sehingga tetap dapat menjadi wadah beribadah dan berkumpul bagi umat Islam daripada dikhawatirkan di masa yang akan datang terjerat permasalahan hukum maupun permasalahan konflik horizontal dengan umat beragama lain.

Penerapan unsur khas arsitektur gaya Bali pada Mushola al-Qomar mengalami beberapa modifikasi untuk menunjukkan identitasnya sebagai tempat peribadatan umat Islam. Pertama, penerapan ornamen kekarangan yang merupakan ornamen berbentuk fauna distilisasi sehingga tidak terlihat bentuk riilnya karena adanya larangan dalam Islam untuk menerapkan ornamen berbentuk makhluk hidup. Kedua, digunakannya ornamen kubah pada bagian atas atap bangunan masjid dimaksudkan agar fungsinya sebagai masjid mudah dikenali oleh umat Islam.

2. Masjid Agung Sudirman, Denpasar.

Dari awal dibangunnya hingga sebelum mengalami renovasi pada tahun 1994, Masjid Agung Sudirman berbentuk bangunan joglo dengan dinding tertutup. Digunakannya bentuk joglo karena mayoritas umat Islam di lingkungan masjid merupakan pendatang dari Pulau Jawa sehingga memiliki kedekatan dengan bentuk joglo sekaligus untuk menghadirkan rasa dekat dengan kampung halamannya.

Pada renovasi tahun 1994, Masjid Agung Sudirman mengalami perubahan bentuk bangunan dengan menerapkan bentuk wantilan khas Bali. Digunakannya bentuk bangunan wantilah karena adanya kesadaran para pengurus dan jama ahnya untuk menghargai arsitektur gaya Bali dengan maksud ingin menunjukkan keberadaannya sebagai umat Islam yang menghargai nilai-nilai lokal.

Penerapan bentuk bangunan wantilan pada Masjid Agung Sudirman karena adanya kesamaan filosofis sebagai tempat berkumpul di mana bangunan wantilan dalam tradisi umat Hindu berfungsi sebagai ruang berkumpul bersama dalam kegiatan sosial maupun keagamaan sedangkan masjid merupakan ruang berkumpul bersama bagi umat Islam dalam berbagai aspek kehidupannya.

Gambar 8. Suasana Wantilan Khas Bali Dari Ruang Dalam (Sumber: survey, 2013)

(6)

bangunan merupakan ruang terbuka tanpa dinding dan mengunakan kolom yang dilengkapi dengan unsur canggahwang untuk menunjukkan ciri khas wantilan Bali. Bangunan masjid didominasi dengan warna putih dan tanpa menggunakan ornamen yang dimaksudkan Untuk menunjukkan kesan bersih dan suci sebagai tempat ibadah umat Islam serta untuk membedakannya dengan bangunan wantilan yang dimiliki umat Hindu.

Bagian kepala bangunan masjid menerapkan bentuk atap limas tumpang dua untuk memperkuat ciri khas bangunan wantilan Bali. Bahan penutup atap menggunakan genting dengan ornamen ikut celedu pada bagian ujung bubungannya yang merupakan ornamen khas arsitektur gaya Bali. Untuk menunjukkan identitasnya sebagai masjid agar mudah dikenali oleh umat Islam, terkhusus bagi para wisatawan Muslim mengingat lokasi Masjid Agung Sudirman yang berada di pusat Kota Denpasar, maka pada bagian atas atap bangunan masjid menggunakan ornamen lafadz Allah.

Gambar 9. Atap Limas Tumpang Dua Khas Wantilan Bali (Sumber: survey, 2013)

Strategi adaptasi yang ditempuh selain secara arsitektural melalui penerapan bentuk bangunan wantilan khas Bali, juga diterapkan strategi adaptasi secara non arsitektural yaitu dengan memberikan kebebasan kepada warga non Muslim untuk menggunakan bangunan penunjang yang berada di lingkungan Masjid Agung Sudirman. Hal ini sebagai upaya mengakrabkan hubungan sosial antara umat Islam dengan umat beragama lain sehingga keberadaan Masjid Agung Sudirman dapat diterima secara luas oleh masyarakat.

Gambar 10. Bangunan Penunjang Yang Dapat Digunakan Warga Non Muslim

(Sumber: survey, 2013)

3. Masjid Nurul Huda, Badung.

Pada awal dibangun, Masjid Nurul Huda memiliki bentuk bangunan yang sederhana dengan atap limas dan dilengkapi dengan ornamen kubah pada bagian atas atapnya. Barulah pada tahun 2003 memiliki bentuk bangunan yang sekarang setelah dilakukan renovasi secara keseluruhan bangunannya dengan menerapkan bentuk arsitektur masjid gaya Timur Tengah atas beberapa pertimbangan. Pertama, bentuk arsitektur masjid gaya Timur Tengah merupakan identitas masjid yang dianggap ideal oleh para jama ahnya karena mudah dikenali, terutama bagi para wisatawan Muslim, mengingat Masjid Nurul Huda berada di area Bandara Ngurah Rai. Kedua, bentuk arsitektur masjid gaya Timur Tengah oleh dewan pengurus masjid dirasakan memiliki kesan ruang yang luas dan terbuka sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi jama ah yang beribadah.

Bagian badan bangunan utama yang berfungsi sebagai ruang shalat utama merupakan ruang terbuka sedangkan massa bangunan di samping kiri dan kanan merupakan ruang tertutup yang terkesan masif dikarenakan fungsinya sebagai kantor. Bentuk-bentuk lengkung yang digunakan berfungsi sebagai ornamen sekaligus berfungsi struktural untuk menguatkan ciri khas arsitektur masjid bergaya Timur Tengah.

Gambar 11. Massa Bangunan Masif Di Samping Kiri Dan Kanan Bangunan Utama Masjid

(Sumber: survey, 2013)

Dari aspek warnanya, Masjid Nurul Huda didominasi warna krem yang dimaksudkan untuk memberikan kesan sejuk dan tenang, berkaitan dengan fungsi masjid sebagai tempat beribadah yang dapat memberikan ketenangan dan kesejukan bathin bagi umat Islam.

Bagian kepala bangunan Masjid Nurul Huda menerapkan bentuk atap datar yang dikombinasikan dengan atap kubah. Atap kubah terbesar mengatapi ruang shalat yang berada di bagian tengah bangunan masjid, sedangkan atap kubah yang berukuran kecil mengatapi massa bangunan kantor.

(7)

mendorong para pengurus dan jama ahnya melakukan adaptasi-adaptasi secara arsitektural dan non arsitektural untuk menghindari terjadinya konflik horizontal antar umat beragama, terlebih di sebelah timur masjid terdapat pura dan di sebelah selatan masjid terdapat gereja. Strategi pertama adalah dengan meletakkan bangunan kantor yang terkesan masif di bagian kiri dan kanan bangunan utama masjid serta memasifkan dan meninggikan bentuk pagar masjid dengan tujuan agar peribadatan yang dilakukan umat Islam tidak mengganggu kekhusyukan ibadah umat Hindu dan umat Kristen.

Gambar 12. Pagar Masif Dan Tinggi Untuk Memberikan Kenyamanan Jama ah Yang Beribadah

(Sumber: survey, 2013)

Sebelum dilakukannya renovasi pada tahun 2003, bentuk pagar Masjid Nurul Huda menyerupai bentuk pagar gereja yang terbuka sehingga ketika umat Islam beribadah di dalam masjid dapat terlihat oleh umat Hindu dan umat Kristen dari arah luar masjid yang menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi umat Islam sendiri maupun bagi umat Hindu dan umat Kristen yang melihatnya. Belajar dari pengalaman tersebut, maka pada renovasi tahun 2003 dilakukan perubahan bentuk pagar masjid menjadi pagar yang masif dan tinggi.

Gambar 13. Lokasi Masjid Nurul Huda yang Berdekatan Dengan Pura Dan Gereja

(Sumber: survey, 2013)

Strategi kedua yang dilakukan oleh pihak pengurus dan para jama ah Masjid Nurul Huda adalah turut aktif membantu mengamankan acara

peribadatan umat Hindu dan umat Kristen. Strategi ini diupayakan menjadi kesadaran sosial seluruh umat beragama di lingkungan Masjid Nurul Huda agar tidak terjadinya konflik horizontal yang diakibatkan oleh salah paham maupun kecemburuan antar umat beragama.

4. Masjid Asasuttaqwa, Badung.

Pada awal dibangun, bentuk bangunan Masjid Asasuttaqwa masih sangat sederhana yang menggunakan dinding tanah liat dengan luas bangunannya 12m2. Pada kegiatan renovasi tahun 1960 dilakukan penggantian bahan dinding bangunan dengan menggunakan bahan bata, dan pada tahun 1965 dilakukan perluasan bangunan masjid untuk yang pertama kalinya namun dengan bentuk bangunan yang tidak berbeda dengan bentuk bangunan awalnya. Barulah pada tahun 1990 dilakukan renovasi secara keseluruhan bangunan masjid sehingga memiliki bentuknya yang sekarang.

Pengurus takmir masjid terinspirasi oleh Masjid Istiqlal di Jakarta yang dianggap merepresentasikan bentuk masjid yang ideal di Indonesia yang

mencerminkan kemegahan dan bentuknya

monumental, sehingga pihak takmir memutuskan untuk menerapkan bentuk masjid gaya Timur Tengah, terlebih posisinya yang berada di sisi Jl. Ngurah Rai yang merupakan pintu masuk menuju Bandara Ngurah Rai, agar mudah dikenali dari kejauhan oleh umat Islam dan wisatawan Muslim pada khususnya.

Gambar 14. Bagian Badan Bangunan Ditutupi Bidang Transparan Untuk Memberikan Kesan Keterbukaan

(Sumber: survey, 2013)

(8)

transparan yang digunakan. Dan digunakannya unsur-unsur pelengkung dimaksudkan untuk menguatkan ciri khas arsitektur masjid bergaya Timur Tengah.

Bagian kepala bangunan masjid menerapkan atap berbentuk kubah yang mengatapi ruang shalat. Digunakannya atap kubah dimaksudkan untuk dapat menghadirkan ruang shalat yang luas tanpa kolom, untuk memberikan kesan kemegahan tempat ibadah umat Islam, dan untuk menegaskan ciri khas bangunannya yang menerapkan arsitektur masjid bergaya Timur Tengah, sehingga fungsinya sebagai masjid mudah dikenali oleh umat Islam maupun umat beragama lain.

Di salah satu sisi bangunan masjid terdapat

minaret yang menjulang tinggi, serta dua buah

minaretyang lebih kecil di atas atap bangunan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan monumental sehingga dari arah kejauhan dapat dikenali fungsinya sebagai masjid. Terlebih di tengah lingkungan minoritas di mana jumlah masjid sangat terbatas, penanda yang dapat dilihat dari arah kejauhan dipandang penting untuk memudahkan umat Islam menemukan keberadaan Masjid Asasuttaqwa.

Gambar 15. Minaret Yang Menjulang Sebagai Penanda Keberadaan Masjid Dari Kejauhan

(Sumber: survey, 2013)

Pada awal tahun 2000, pihak pengurus Masjid Asasuttaqwa dihimbau oleh pemerintah daerah setempat untuk menerapkan ciri khas arsitektur gaya Bali sebagai bentuk melestarikan tradisi arsitektur lokal. Di satu sisi, pihak pengurus dan para jama ah Masjid Asasuttaqwa ingin tetap mempertahankan bentuk bangunan masjidnya yang dianggap ideal merepresentasikan tempat beribadah bagi umat Islam, namun di sisi lain terdapat tuntutan dari pihak pemerintah untuk menerapkan ciri khas arsitektur gaya Bali.

Upaya penerapan ciri khas arsitektur gaya Bali terlihat dalam bentuk pagar masjid yang menggunakan unsurpaduraksadi setiap sisinya. Pada bagian badan pagar menggunakan bahan batu bata gosok dan batu paras, serta ornamenpepalihanyang

dimaksudkan untuk semakin menonjolkan ciri khas arsitektur bergaya Bali.

Unsur berciri khas arsitektur lokal yang digunakan tidak serta merta diterapkan dengan bulat, namun dilakukan upaya modifikasi melalui perpaduan dengan unsur berciri khas arsitektur masjid gaya Timur Tengah pada bagian kepala gerbang yang menggunakan unsur berbentuk kubah. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga ciri khas bangunan masjid yang ingin ditampilkan oleh pihak pengurus dan para jama ah Masjid Asasuttaqwa.

Gambar 16. Pagar Masjid Perpaduan Antara Unsur Khas Timur Tengah Dengan Unsur Khas Bali

(Sumber: survey, 2013)

Unsur berciri khas arsitektur gaya Bali hanya diterapkan pada pagar masjid yang merupakan unsur pemisah antara masjid dengan lingkungan di luar masjid. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di lingkungan Masjid Asasuttaqwa dalam kehidupan

muamalah bersedia untuk menerapkan unsur-unsur budaya lokal setempat selama tidak bertentangan dengan Islam yang bertujuan untuk menjaga kerukunan hidup dengan umat beragama lain, namun dalam aspek peribadatan tidak bersedia menerapkan unsur-unsur yang berasal dari luar Islam.

Pembahasan

Keempat obyek kajian, yaitu Mushola al-Qomar, Masjid Agung Sudirman, Masjid Nurul Huda, dan Masjid Asasuttaqwa, memiliki strategi adaptasi yang berbeda-beda terkait dengan keberadaannya di lingkungan minoritas, yang dapat ditipologikan ke dalam tiga tipe berikut:

(9)

daerah setempat maupun warga sekitar yang beragama lain.

Tuntutan dari luar yang besar serta keinginan untuk tetap mempertahankan keberadaan masjid ditanggapi dengan menerapkan unsur arsitektur gaya Bali secara dominan pada bangunan masjid dengan melakukan beberapa modifikasi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti menstilisasi ornamen berbentuk makhluk hidup dan penggunaan kubah di ujung atap untuk mencerminkan identitas masjid agar fungsinya mudah dikenali oleh umat Islam.

Tipe kedua yang diterapkan oleh Masjid Agung Sudirman. Adaptasi dilakukan karena adanya faktor dari dalam, yaitu kesadaran dari dalam diri umat Islam untuk menerapkan unsur berciri khas arsitektur gaya Bali dengan tujuan untuk menunjukkan keberadaannya sebagai umat Islam yang menghargai nilai-nilai kearifan lokal.

Faktor dari dalam sebagai pendorong dilakukannya strategi adaptasi tidak menjadikan dilupakannya identitas Islam yang dianut di mana pemilihan unsur-unsur berciri khas arsitektur gaya Bali disesuaikan dengan nilai-nilai Islam seperti dipilihnya bentuk bangunan wantilan dikarenakan memiliki kesamaan falsafah dengan fungsi masjid sebagai tempat berkumpul.

Penerapan unsur berciri khas arsitektur gaya Bali tidak dilakukan secara bulat, namun melalui upaya modifikasi untuk membedakannya dengan unsur arsitektur gaya Bali yang digunakan oleh umat Hindu, seperti penerapan bentuk bangunan wantilan yang tidak memiliki bagian kaki yang didominasi warna putih tanpa menggunakan ornamen untuk memberikan kesan suci dan bersih sebagai bangunan peribadatan umat Islam serta penerapan atap tumpang dua khas bangunan wantilan namun pada bagian atas atap terdapat ornamen berlafadz Allah untuk memperkuat identitas fungsinya sebagai masjid.

Tipe ketiga yang diterapkan oleh Masjid Nurul Huda dan Masjid Asasuttaqwa. Adaptasi dilakukan dengan menonjolkan ciri khas arsitektur masjid yang dianggap ideal oleh para jama ahnya, yaitu arsitektur masjid gaya Timur Tengah, sebagai upaya untuk menunjukkan identitas Islam di tengah lingkungan yang minoritas agar keberadaannya mudah dikenali dan menunjukkan identitas jama ahnya yang tidak ingin berkompromi dalam permasalahan peribadatan.

Diterapkannya arsitektur masjid gaya Timur Tengah di tengah lingkungan minoritas, di sisi lain menimbulkan kekhawatiran adanya kecemburuan oleh umat beragama lain yang dapat mendorong terjadinya konflik horizontal antar umat beragama. Hal ini ditanggapi oleh umat Islam setempat melalui keterbukaan dalam kehidupan muamalah dengan cara saling bantu membantu mengamankan

pelaksanaan ibadah dan acara-acara sosial, seperti acara pernikahan dan kematian.

Adanya tuntutan dari luar untuk menerapkan unsur berciri khas arsitektur gaya Bali diterapkan dalam skala yang kecil pada unsur-unsur penunjang bangunan seperti pagar masjid. Hal ini menunjukkan umat Islam setempat ingin tetap mempertahankan ciri khas arsitektur masjid yang dianggap ideal yang dapat merepresentasikan identitasnya sebagai umat Islam, serta menunjukkan bahwa umat Islam setempat dalam aspek peribadatan tidak bersedia menerapkan unsur-unsur yang berasal dari luar Islam.

Tige tipe strategi adaptasi arsitektur masjid yang terbentuk menunjukkan dua hal. Pertama, bahwa kondisi kehidupan umat Islam di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung tidaklah homogen, sehingga memiliki berbagai ragam strategi adaptasi yang berbeda agar keberadaan masjid di lingkungannya dapat diterima oleh pihak pemerintah daerah maupun masyarakat luas.

Kedua, latar belakang lingkungan yang berbeda antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung menyebabkan keragaman tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam di mana Kota Denpasar lebih ketat dalam penerapan nilai-nilai budaya lokal sehingga faktor dari luar menjadi faktor utama yang menyebabkan dilakukannya strategi adaptasi arsitektur masjid, baik atas dasar kesadaran dari dalam untuk menghargai nilai-nilai kearifan lokal maupun atas kemakluman dengan pertimbangan untuk mempertahankan keberadaan masjid dilingkungannya. Sedangkan di Kabupaten Badung lebih longgar dalam penerapan nilai-nilai budaya lokal karena merupakan kota tujuan wisata utama dengan latar belakang budaya masyarakat yang lebih heterogen sehingga umat Islam dapat menunjukkan ciri khas arsitektur masjid yang dianggap ideal untuk merepresentasikan identitasnya.

Penutup

Strategi adaptasi arsitektur masjid yang dilakukan oleh umat Islam di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung sangat beragam berdasarkan latar belakang lingkungan dan identitas umat Islam di lingkungan tersebut.

Hidup di lingkungan tengah minoritas mendorong umat Islam melakukan beragam strategi adaptasi, baik secara arsitektural maupun non arsitektural, untuk mempertahankan keberadaan masjid di lingkungannya agar dapat diterima oleh masyarakat luas. Dalam penerapan unsur arsitektur lokal pun didasarkan atas pertimbangan nilai-nilai

Islam yang menunjukkan kemantapan

(10)

dominan unsur arsitektur gaya Bali, (2) kesadaran dari dalam diri untuk menerapkan unsur arsitektur gaya Bali guna menunjukkan identitasnya sebagai umat Islam yang menghargai nilai-nilai lokal, dan (3) faktor keinginan dari dalam diri untuk menerapkan ciri khas arsitektur masjid gaya Timur Tengah yang dianggap ideal untuk merepresentasikan identitasnya sebagai umat Islam.

Dapat disimpulkan dalam kajian awal ini bahwa strategi adaptasi arsitektur masjid di tengah lingkungan minoritas tidaklah bersifat homogen dan bukanlah merupakan pekerjaan sekali jadi karena strategi adaptasi akan terus dilakukan seiring dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh umat Islam. Hal ini sekaligus menunjukkan kegigihan umat Islam di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung untuk mempertahankan keberadaan masjidnya karena besarnya peranan masjid yang merupakan satu-satunya tempat berkumpul bagi sesama umat Islam di tengah lingkungan minoritas serta fungsi simbolisnya sebagai penanda keberadaan komunitas Islam di lingkungannya.

Referensi

1 Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Bali Dalam Angka 2010. Denpasar: BPS Provinsi Bali. 2 Khairuddin Wanili. 2008. Ensiklopedia Masjid:

Hukum, Adab, dan Bid ahnya. Jakarta: Darus Sunnah.

3Huri Yasin Husain. 2011. Fikih Masjid. Jakarta: al-Kautsar.

4 Aulia Fikriarini. Masjid: Bentuk Manifestasi Seni

Dan Budaya. UIN Maulana Malik Ibrahim: E-Jurnal El-Harakah Vo. 11 No. 1 Tahun 2009. hal. 1-16.

5 Hamdan Basyar. 2010. Identitas Minoritas di

Indonesia: Kasus Muslim Bali.Laporan Akhir Program Intensif Penelitian Dan Rekayasa LIPI.

6 M. Syaom Barliana. 2010. Tipologi Arsitektur

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Obyek Kajian
Gambar 5. Tampak Depan Masjid Asasuttaqwa(Sumber: survey, 2013)
Gambar 7. Pagar Masjid Bernuansa Ciri Khas ArsitekturGaya Bali
Gambar 9. Atap Limas Tumpang Dua Khas Wantilan Bali(Sumber: survey, 2013)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Pancasila Pendidikan Pancasila Oleh: Oleh: Elok Azkawati Elok Azkawati 163112620120099 163112620120099 FAKULTAS BIOLOGI FAKULTAS BIOLOGI. PROGRAM STUDI BIOMEDIK 

Dalam bab ini akan dijelaskan penggambaran sistem kendali, yang meliputi fungsi alih (transfer function), korelasi antara fungsi alih dengan persamaan ruang

Pada penelitian ini, penulis meneliti dan menitikberatkan pada persepsi Ulama kota Banjarbaru terhadap pasal 18 undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat,

 Buku kode etik perusahaan biasanya mengkodifikasi nilai- nilai etika bisnis & budaya perusahaan (corporate culture) dalam suatu bentuk rumusan tata-tindak tertulis mengenai

Hidupkan mesin kendaraan sebelum dilakukan servis. Prosedur ini diperlukan untuk mengetahui kondisi awal kendaraan. Pemeriksaan minyak pelumas dan air pendingin

Menurut Prajoko (2012) taman di Bali bukan saja melibatkan arsitektural, fungsional, estetika, akan tetapi juga melibatkan filosofi budaya Bali di setiap penempatan komponen

Hasil uji coba program komputer yang dibuat menunjukkan bahwa kontur dapat dimodelkan dengan baik menggunakan grafik interpolasi 2D dan 3D, parameter yang dapat diubah

7 Osnovne trditve: • konfliktne situacije so v podjetjih neizogibne • konfliktne situacije so nujne za delovanje podjetja • na nastanek konfliktov vpliva organizacija sama,