MP-03
PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG MEMANFAATKAN KONFLIK KOGNISI
Gregorius Sebo Bito
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende
Email: sebobito@uniflor.ac.id
Abstrak
Konflik kognisi merupakan sebuah konsep yang penting dalam pembelajaran matematika. Konsep ini tidak dapat dipisahkan dari teori belajar konstruktivisme dimana salah satu prinsip dasarnya adalah bahwa siswa membangun pengetahuan dengan melakukan berbagai aktivitas dan merefleksikan berbagai aktivitas yang telah dilakukannya. Dalam proses refleksi ini, guru dapat menciptakan keadaan yang dapat memunculkan konflik kognisi sehingga dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan pengetahuan siswa sebagaimana tujuan dari aktivitas belajar yang telah direncanakan. Makalah ini memaparkan bagaimana menciptakan suatu konflik kognisi yang dapat digunakan oleh guru sebagai sebuah tantangan untuk mendapatkan respon awal siswa terhadap situasi dan gagasan atau konsep matematika yang akan dipelajari.
Kata kunci: pembelajaran matematika, konflik kognisi
PENDAHULUAN
Sudah menjadi anggapan yang berlaku umum di masyarakat bahwa matematika
merupakan salah satu bidang yang paling sulit untuk dipelajari. Untuk menghapus anggapan ini,
proses pembelajaran matematika hendaknya dilaksanakan dan dikemas secara lebih menarik dan
berkualitas. Pembelajaran matematika dikatakan berkualitas jika pembelajaran dapat
memfasilitasi siswa untuk mengakuisisi konsep-konsep matematika secara bermakna (Suh,
2005:1). Siswa akan belajar matematika secara bermakna jika proses pembelajaran berhasil
membawa mereka menghubungkan pengalaman atau pengetahuan informal dengan pengetahuan
formal berupa konsep-konsep matematika yang abstrak. Pengetahuan informal merupakan
pengetahuan yang siswa peroleh dari melihat, mendengar, merasakan dan yang mereka alami
dalam keseharian siswa. Ketika proses pembelajaran berhasil membawa siswa untuk dapat
menciptakan makna dari pengetahuan matematika informal untuk membentuk matematika formal
maka proses inilah yang disebut pembelajaran matematika yang bermakna.
Siswa adalah individu yang senantiasa berkembang baik fisik maupun kognisinya. Secara
konseptual, perkembangan kognisi terus berjalan dalam seluruh level perkembangan pemikiran
seseorang dari lahir hingga dewasa (Suparno, 1997:h.34). Ini berarti, setiap siswa pada level usia
yang sama akan memiliki perkembangan yang relatif berbeda sehingga berimplikasi pada
Menurut Piaget, salah satu pengaruh utama pada perkembangan kognisi anak adalah apa
yang diistilahkannya sebagai maturation (Muijs & Reynolds, 2008:h.23) yang merupakan
perubahan biologis yang terbentang dimulai ketika seorang anak dilahirkan. Dalam rentang
perkembangan atau perubahan biologis ini, pengalaman anak akan terus terakumulasi dan akan
berkembang menjadi pengetahuan yang makin lengkap. Akumulasi pengetahuan menjadi
pengetahuan yang makin lengkap akan terus terjadi jika anak aktif mengkonstruksi
pengetahuannya. Menurut Von Glasersfeld (Suparno, 1997:h.18), pemerolehan pengetahuan
tidak menuruti serangkaian observasi yang sederhana (realitas) yang mereka peroleh lewat panca
indera atau aktivitas fisik. Namun umumnya, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan.
pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognisi kenyataan melalui kegiatan
seseorang (Suparno, 1997:h.18).
Berdasarkan pendapat Glasersfeld dan Suparno di atas dapat dipahami bahwa
pengalaman anak menjadi tidak berguna jika tidak dimanfaatkan untuk untuk kegiatan yang
berkaitan dengan aktivitas kognisi terutama dalam proses pembelajaran matematika di kelas.
Dalam setiap aktivitas kognisi tersebut, seseorang akan membentuk skema, kategori, konsep dan
struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt dalam Suparno, 1997:h.1).
Pembelajaran matematika yang ideal adalah pembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa untuk
berpikir dan hendaknya dirancang dengan senantiasa merujuk pada pengalaman pengalaman anak
sebelumnya. Hal ini berarti pengalaman anak seharusnya dapat dijadikan peluang untuk
memfasilitasi anak agar dapat belajar matematika secara bermakna. .
Dalam teori konstruktivisme, terdapat dua ahli yang cukup berpengaruh yaitu Piaget dan
Vygotsky. Jean Piaget memusatkan perhatian pada aktivitas kognisi yaitu bagaimana seorang
individu menggunakan berbagai gagasan secara reflektif untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman baru (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5). Berbeda dengan gagasan Piaget, Vygotsky
menekankan pada interaksi sosial sebagai komponen utama dalam pengembangan pengetahuan
(Van de Walle & Lovin, 2006:p.5).
Vygotsky yang meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak secara
psikologis memaparkan adanya konsep yang bersifat ilmiah (scientific concept) dan konsep yang
bersifat spontan (spontaneous concept) (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5; Suparno, 1997:h.45).
Gagasan-gagasan telah diformulasikan dengan baik yang berasal dari luar diri siswa (Van de
Walle & Lovin, 2006:p.5) atau pengetahuan yang diperoleh di kelas (Fosnot dalam Suparno,
1997:h.45) dinamakan konsep ilmiah. Pemahaman yang dikembangkan oleh siswa sendiri (Van
de Walle & Lovin, 2006:p.5) atau pemahaman yang didapatkan anak dari pengalaman sehari-hari
Gambar 1:ZPD adalah tempat dimana gagasan-gagasan baru yang diterima dari luar dengan mengunakan gagasan gagasan yang telah ada (Diadaptasi dari Van de Walle & Lovin, 2006,p.5).
Dalam pembelajaran di sekolah, konsep ilmiah diturunkan dari guru sehingga cenderung
memaksakan cara berpikir guru pada siswa, sedangkan konsep spontan diperoleh sedikit demi
sedikit sebagai hasil dari aktivitas aktivitas yang bersifat reflektif. Dalam ZPD (zona of proximal
development), siswa dapat bekerja dengan konsep ilmiah dari luar. Dalam proses ini, pemahaman
konseptual siswa akan cukup meningkat dimulai dengan mengambil berbagai gagasan yang ada
sebelumnya. Konsep yang bersifat spontan dari siswa perlu dieksplorasi untuk menghasilkan
konflik kognisi yang berguna bagi pemerolehan konsep matematika yang baru.
Makalah ini memaparkan bagaimana guru menciptakan konflik kognisi yang dapat
digunakan sebagai sebuah tantangan untuk mendapatkan respon awal siswa terhadap situasi dan
gagasan atau konsep matematika yang akan dipelajari.
PEMBAHASAN
A.Konflik Kognisi
Konflik kognisi merupakan sebuah konsep yang penting dalam proses pemerolehan
pengetahuan termasuk pemerolehan pengetahuan matematika. Konsep ini tidak dapat dipisahkan
dari teori belajar konstruktivisme dimana salah satu prinsip dasarnya adalah bahwa siswa
membangun pengetahuan secara mandiri dengan melakukan berbagai aktivitas lalu
merefleksikan berbagai aktivitas yang telah dilakukannya.
Haylock & Thangata (2007:p.23) menyatakan bahwa konflik kognisi dapat terjadi ketika
siswa menghadapi ketidaksesuaian antara sebuah gagasan baru yang akan dipelajari dengan apa
yang telah yang telah diketahui atau diprediksikan oleh siswa. Dengan kata lain, terjadinya
konflik kognisi diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara hal baru yang ditemui dengan
pengetahuan siswa yang telah ada sebelumnya. Pirie dan Kieran (1992) seperti yang dikutip oleh
Haylock dan Thangata (2007:p.23) menjelaskan bahwa perkembangan pemahaman merupakan
proses pengorganisasian kembali secara dinamis. Hal ini berarti, pemahaman tidak merupakan
sesuatu yang tetap. Akan tetapi ketika individu membangun pemahaman baru sangat bergantung
pada kesempurnaan menghubungkan konsep-konsep yang akan dipelajari dengan
ZPD Konsep ilmiah
gagasan-gagasan yang telah mereka miliki. Siswa akan membangun pemahaman terhadap sebuah
konsep melalui sebuah proses aktif menggunakan pengetahuan yang telah ada sebelumnya
dengan situasi belajar yang terus berubah dan proses refleksi.
Struktur struktur kognisi yang oleh Skemp (1993:p.139) disebut skema mental (mental
schemas) merujuk pada jaringan dari gagasan-gagasan yang saling berhubungan. Menurut
Skemp, skema memadukan pengetahuan yang telah ada dan tindakan-tindakan sebagai sarana
untuk belajar di masa yang akan datang. Dalam istilah Piaget, struktur kognisi (skema mental)
berubah melalui proses adaptasi yang melibatkan asimilasi dan akomodasi dimana tujuannnya
adalah mencapai equilibrasi. Asimilasi terjadi ketika pengetahuan baru cocok dengan struktur
kognisi (skema) yang telah ada dan terasimilasi kedalam skema siswa tersebut. Artinya,
akomodasi terjadi ketika siswa dapat menyesuaikan skema atau struktur kognisi yang telah ada
untuk menerima pengalaman atau pengetahuan baru.
Menurut Piaget, equilibrasi terjadi jika siswa puas karena ada kecocokan antara gagasan
yang telah ada dan gagasan yang baru. Sebaliknya, ketika siswa menyadari adanya keterbatasan
dalam pemahaman mereka, maka tahap ini disebut disequilibrasi. Pada tahap disequilibrasi
inilah, para siswa berhadapan dengan konflik kognisi. Jika pemahaman terbaik dapat
menggantikan pemahaman (skema) yang lama menggunakan rekonstruksi (istilah yang
digunakan Skemp) atau akomodasi (istilah yang digunakan oleh Piaget) maka akan terjadi
equilibrasi.
B. Pemanfaatan Konflik Kognisi Pada Pembelajaran Matematika
Di Sekolah Dasar dan SMP diajarkan tentang operasi pecahan. Banyak siswa yang
kesulitan dalam melakukan operasi ini. Hal ini dapat terjadi, ternyata dapat diakibatkan oleh
pengetahuan siswa tentang operasi bilangan cacah atau bilangan asli. Post, Behr & Lesh
(Wheeldon, 2008:p.28) menemukan bahwa banyak siswa tidak dapat membedakan antara operasi
bilangan cacah dan operasi bilangan pecahan. Hal ini menurut Liu, Lin & Li (2012) disebabkan
karena sebelum belajar konsep pecahan dan operasinya, pada mereka telah terbentuk pengetahuan
yang mapan tentang bilangan cacah (Sebo Bito & Sugiman, 2013:h.174).
Sebagai contoh, sering terjadi bahwa dalam menjumlahkan pecahan, siswa
menjumlahkan pecahan dengan cara menjumlahkan pembilangnya dan penyebutnya, misalnya
sebagai berikut:
Kasus (1) dan (2) di atas dapat terjadi karena siswa telah memiliki gagasan spontan yaitu
pengetahuan yang mereka miliki sebelumnya tentang penjumlahan bilangan cacah yang telah
diasumsikan sebagai kontribusi penting untuk mengarahkan siswa pada gagasan ilmiah yaitu
penyelesaian operasi pecahan yang benar. Oleh karena itu, pemanfaatan alat peraga dapat
menjadi pilihan untuk menciptakan suatu keadaan dimana siswa menyadari kekeliruan terkait
dengan hasil penjumlahan pecahan seperti hasil (1) dan (2). Dengan menggunakan alat peraga
lingkaran pecahan (fraction circle),
4
1
2
1
+
pada masalah penyelesaian operasi pecahan di atasdapat digambarkan seperti pada Gambar 2 .
Gambar 2. Gambar 3
Dengan menunjukkan Gambar 2 yang tampak seperti di atas, dapat memberikan atau
menciptakan suatu konflik kognisi yang dapat menyadarkan siswa bahwa prosedur penjumlahan
bilangan cacah yang telah mereka kenal ternyata sangat jauh berbeda dengan prosedur
penjumlahan pecahan. Proses pembelajaran yang menggunakan alat peraga dapat membiasakan
siswa untuk berpikir reflektif dengan membandingkan gagasan yang telah mereka miliki terkait
dengan operasi bilangan cacah dengan pengetahuan baru yaitu operasi bilangan pecahan. Tentu
saja, penciptaan konflik kognisi ini dilakukan melalui proses interaktivitas antara guru dan siswa
atau antara siswa dengan siswa.
Masalah lain dalam pembelajaran matematika adalah ketika siswa diminta untuk
memisahkan sebuah himpunan bilangan yang diberikan kedalam himpunan-himpunan lain sesuai
dengan aturan keanggotaannya. Misalnya siswa diinstruksikan untuk memisahkan
bilangan-bilangan: 2, 3, 4, 8, 9, 10, 15, 20, 21 ke dalam dua kelompok bilangan. Harapan guru
adalah bahwa proses berpikir siswa akan bermuara pada pembentukan dua kelompok bilangan
dimana Kelompok I adalah kelompok bilangan kelipatan 3 dan Kelompok II adalah kelompok
bilangan genap. seperti Gambar 3.
Untuk menyelesaikan soal seperti ini, beberapa bilangan seperti 6, 12 dan 18 perlu
diperkenalkan sehingga siswa akan berhadapan dengan situasi dimana bilangan-bilangan tersebut
dapat dimasukan kedalam dua himpuna sekaligus yaitu himpunan bilangan yang merupakan
kelipatan 3 (Kelompok I) dan bilangan-bilangan juga tersebut termasuk himpunan bilangan genap
(Kelompok II). Dengan cara memperkenalkan bilangan-bilangan seperti 6,12, dan 18 siswa akan
menyadari bahwa bilangan-bilangan seperti 2, 3, 4, 8, 9, 10, 15, 20, 21 tidak dapat dimasukan
dalam kedua kelompok yang diminta secara bersamaan, misalnya bilangan 15 tidak dapat
2 4
8 10
20
3 15
9
21
2
1 4
dimasukan ke dalam kelompok I dan II secara bersamaan, tetapi 18 dapat masuk dalam kedua
kelompok tersebut. Bilangan 15 merupakan kelipatan 3 dan bukan bilangan genap dan 18 adalah
kelipatan 3 dan merupakan bilangan genap sehingga dapat masuk dalam kedua kelompok
tersebut.Contoh ini menggambarkan sebuah konflik kognisi. Konflik kognisi ini dapat membantu
siswa untuk memisahkan bilangan bilangan: 2, 3, 4, 8, 9, 10, 15, 20, 21 ke dalam dua kelompok
yang diminta seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
SIMPULAN DAN SARAN
Siswa selalu memiliki pengetahuan awal yang telah dimiliki ketika akan mempelajari
pengetahuan baru. Oleh karenanya ketika guru akan memperkenalkan pengetahuan matematika
yang baru, perlu dipikirkan materi sebelumnya yang diprediksi telah diketahui (pengetahuan
awal) siswa. Setiap siswa memiliki pengetahuan awal dan kemampuan penalaran yang berbeda.
Ini berarti kondisi kognisi setiap anak juga berbeda. Dalam pembelajaran matematika, sangat
diperlukan interaktivitas yang memungkinkan siswa saling berbagi pengetahuan satu sama lain.
Selain itu, pada proses interaktivitas, guru perlu memberikan pertanyaan-pertanyaan pancingan
yang tertuju pada konsep matematika yang akan dipelajari. Pada proses interaktivitas inilah akan
memungkinkan terciptanya konflik kognisi.
DAFTAR PUSTAKA
Haylock, D & Thangata, F. (2007). Key Concepts in Teaching Primary Mathematics. London : Sage Publications
Muijs, D. & Reynolds, D. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi. London: Sage Publications. Diterjemahkan oleh Soetjipto, H.P. & Soetjipto, S.M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sebo Bito, G. & Sugiman (2013). Eksplorasi Pembelajaran Operasi Pecahan Siswa Sekolah Dasar Kelas IV di Kabupaten Ngada NTT menurut Teori Gravemeijer. Jurnal Prima Edukasia, Vol 1-No.2, 2013.pp.173-183.
Skemp, R. (1993). The Psychology of Learning Mathematics. 2nd Edition. London: Penguin.
Suh, J.M. (2005).Third Graders’ Mathematics Achievement and Representation Preference Using Virtual and Physical Manipulatives for Adding Fractions and balancing Equations. Dissertation: George Mason University.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Van de Walle, J.A & Lovin, L.H. (2006) Teaching Student-Centered Mathematics Grade 3-5 (The Van de Walle Professional Mathematics Series Volume Two). New York :
Pearson Education, Inc