ANALISIS
WILLINGNESS TO PAY
(WTP) PETERNAK
TERHADAP PENGADAAN INSTALASI BIOGAS
PADA PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT
(Kasus : Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor)
LINDA AFIATI SALAMAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Willingness To Pay
(WTP) Peternak Terhadap Pengadaan Instalasi Biogas Pada Pengelolaan Limbah
Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor adalah
karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2011
ABSTRACT
LINDA AFIATI SALAMAH. Analysis of Willingness to Pay (WTP) Farmers Procurement of Installation on Biogas In Traditional Dairy Farm Waste Management (Case: Sub-District Cisarua Bogor). Supervised by AKHMAD ARIF AMIN and SRI MULATSIH.
One of the common problems of the traditional dairy farm is the wastes. Livestock waste, if not managed properly, can cause a decline in environmental quality. Biogas technology is one solution to waste treatment, which also generate economic benefits. Based on that fact, in the year 2007-2008, the government ran a biogas installation providing program, free of charge, to the traditional dairy farmers in sub-district Cisarua, Bogor. However, from a total of 98 farmers in the area, only 39 of them got the installation and the programs apparently had been stopped. Therefore, the procurement of biogas installations for the rest of the farmers, relies on the economic participation of the farmers. Farmers' willingness to pay provision of biogas installations will be exchanged for better environmental quality and economic benefits from the biogas. Based on the results of the study just as much as 46.4% of farmers who are willing to pay for the procurement of biogas installations.
Keywords: Willingness to Pay, Installation Biogas, Traditional Dairy Farm
RINGKASAN
LINDA AFIATI SALAMAH. Analisis Willingness to Pay (WTP) Peternak Terhadap Pengadaan Instalasi Biogas Pada Pengelolaan Limbah Peternakan Sapi Perah Rakyat (kasus:Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh
AKHMAD ARIF AMIN dan SRI MULATSIH.
Salah satu permasalahan umum pada peternakan sapi perah rakyat adalah
pada pengelolaan limbah ternaknya. Limbah peternakan, jika tidak dikelola
dengan baik, dapat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan. Teknologi biogas
merupakan salah satu solusi pengolahan limbah, disamping juga membawa
manfaat secara ekonomi. Berdasar pada fakta itu, pada tahun 2007-2008,
pemerintah mengadakan program bantuan instalasi biogas secara cuma-cuma pada
peternak sapi perah rakyat di Kecamatan Cisarua-Bogor sebanyak 37 unit dengan
digester 5 m3 dan 2 unit dengan digester 7 m3, namun program bantuan tersebut sudah tidak berjalan lagi. Oleh karena itu, pengadaan instalasi biogas bergantung
pada peternak tersebut untuk berinvestasi. Biaya investasi dalam pengadaan
instalasi biogas yang dikeluarkan oleh peternak tergantung dari kesediaan
membayar peternak dalam pengadaan instalasi biogas. Besaran kesediaan
membayar (Willingness to Pay) sangat dipengaruhi oleh aspek demografi yang
mencakup pendidikan, tingkat pendapatan, umur dan jenis kelamin dan preferensi
individu atas barang/jasa yang ditawarkan (Day et al, 2000). Selain itu mau atau
tidaknya masyarakat membayar juga akan sangat ditentukan oleh ada atau
tidaknya manfaat yang akan mereka peroleh jika mereka diminta membayar
sejumlah uang.
Berdasarkan hasil penelitian peternak sapi perah rakyat di Kecamatan
Cisarua-Kabupaten Bogor 68% termasuk ke dalam kategori berumur produktif
yaitu 40 tahun sampai 55 tahun, sebesar 64 % tingkat pendidikannya rendah
hanya sampai SD, dan sebagian besar memiliki pendapatan dari usaha ternak per
bulan sebesar Rp 1.600.000-Rp 2.000.000 dan sebesar 32,14% responden
peternak memiliki pendapatan selain dari usaha ternak. Hanya sebanyak 46,4%
peternak yang bersedia membayar pengadaan instalasi biogas, faktor-faktor yang
mempengaruhi pilihan peternak bersedia membayar dalam pengadaan instalasi
faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya WTP peternak dalam pengadaan instalasi
biogas untuk pengolahan limbah ternak adalah pendidikan, pendapatan selain
usaha ternak, jumlah ternak induk dan nilai tawar. Berdasarkan nilai estimasi
rerata WTP dapat dikatakan bahwa peternak tidak dapat ikut berpartisipasi secara
finansial dalam pengadaan instalasi biogas, oleh karena itu dibutuhkan intervensi
pemerintah dalam hal pengadaan instalasi biogas.
Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial usaha biogas limbah
peternakan dari tiga bahan digester: plastik, semen dan fiber glass dan dua
skenario yaitu pada skenario pertama biaya pengadaan instalasi biogas dari hibah
Pemerintah Pusat dan skenario kedua instalasi biogas, peternak membeli kredit
dari dana bergulir. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa pada skenario pertama dan
kedua menunjukkan pengusahaan biogas limbah peternakan layak untuk
dilaksanakan, hal ini dilihat dari nilai NPV, IRR dan Net B/C dari tiga bahan
digester. Dilihat dari bahan digesternya, pada skenario pertama instalasi biogas
dengan digester berbahan fiber glass sangat layak dilaksanakan karena memiliki
nilai NPV, IRR dan Net B/C lebih tinggi dibandingkan digester berbahan plastik
dan semen yaitu NPV Rp 15.910.786; IRR 44% dan Net B/C 3,06. Sedangkan
pada skenario kedua digester berbahan plastik sangat layak dilaksanakan karena
memiliki nilai NPV, IRR dan Net B/C lebih tinggi dibandingkan digester
berbahan semen dan fiber glass yaitu NPV Rp 9.813.189; IRR 27% dan Net B/C
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ANALISIS
WILLINGNESS TO PAY
(WTP) PETERNAK
TERHADAP PENGADAAN INSTALASI BIOGAS
PADA PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT
(Kasus : Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor)
LINDA AFIATI SALAMAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Analisis Willingness to Pay (WTP) Peternak Terhadap Pengadaan Instalasi Biogas Pada Pengelolaan Limbah Peternakan Sapi Perah Rakyat (kasus:Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor)
Nama : Linda Afiati Salamah
NRP : P052090191
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. drh. Akhmad Arif Amin Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Agr.
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :
UCAPAN
TERIMA
KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor.
Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. drh. Akhmad Arif Amin dan
Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Agr selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas
curahan waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan kepada
penulis selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana,
M.S dan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Program S2
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah
Pascasarjana IPB.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ir. Harsono dan Ir. Sri Adriati
sebagai pakde dan bude terbaik yang memberikan kesempatan kepada saya untuk
melanjutkan Sekolah Pascasarjana IPB, Fatwi Zandos dan Pak Eko, penyuluh
peternakan di Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor atas bantuannya, dan juga
rekan-rekan Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB Angkatan Tahun 2009
serta semua pihak yang telah membantu penelitian ini.
Akhirnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada suamiku
tersayang Umar Mukhtar Kusumanegara dan buah hati kami, Haafidz atas
pengorbanan dan pengertiannya sehingga seluruh rangkaian tugas-tugas akhir
jenjang Magister Sains ini dapat diselesaikan. Kepada Ibu dan Bapak (alm)
tercinta, serta Ibu dan Bapak mertua, diucapkan terima kasih atas dukungan dan
semangat yang diberikan. Khususnya untuk Ibu mertua yang selalu setia
menemani ke kampus dan menjaga buah hati kami pada saat bimbingan maupun
ujian.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Tesis berjudul “Analisis Willingness to Pay (WTP) Peternak Terhadap
Pengadaan Instalasi Biogas Pada Pengelolaan Limbah Peternakan Sapi Perah
Rakyat (kasus:Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor)” ini menguraikan tentang
karakteristik peternak di Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor, dan juga
mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi WTP Peternak dalam pengadaan
instalasi biogas untuk pengolahan limbah ternak.
Akhirnya, disadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang konstruktif
untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga hasil-hasil penelitian yang
dituangkan dalam tesis ini dapat dimanfaatkan.
Bogor, Desember 2011
Linda Afiati Salamah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 1984. Penulis
merupakan anak tunggal dari ayah Priyandanu (alm.) dan Ibu Siti Amiroh. Tahun
2002 penulis lulus dari SMA Negeri 66 Jakarta Selatan dan pada tahun yang sama
penulis melanjutkan pendidikan pada Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran di Jatinangor. Tahun 2007 penulis
bekerja di CV. Puri Bunga Seruni sebagai Supervisor Managerial Rental
Tanaman Hias. Tahun 2008 penulis aktif di Yayasan Bina Bangsa Indonesia
sebagai volunteer kegiatan perbaikan lingkungan, dan menjadi penyuluh
pemanfaatan sampah rumah tangga menjadi kompos. Tahun 2009 penulis
meneruskan pendidikan di Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu
DAFTAR ISI
2.3 Sejarah Perkembangan Biogas ... 11
2.3.1 Pengertian Biogas ... 12
2.3.2 Model Digester ... 14
2.3.3 Teknik Pembuatan Biogas ... 16
2.4 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan ... 18
2.4.1 Metode Valuasi ... 20
2.4.2 CVM ... 21
2.4.3 Teori Manfaat dan Biaya ... 23
2.5 Teori Analisis Regresi ... 24
2.6 Penelitian Sebelumnya ... 26
III. METODE PENELITAN ... 29
3.1 Lokasi dan Waktu penelitian ... 29
3.2 Teknik Pengambilan Sampel ... 29
3.3 Pengumpulan Data ... 29
3.5 Analisis Kelayakan Finansial ... 33
IV. GAMBARAN UMUM ... 37
4.1 Keadaan Umum ... 37
4.2 Kegiatan Peternakan ... 38
4.3 Manajemen Usaha Sapi Perah ... 39
4.3.1 Pakan ... 39
4.3.2 Produktivitas Sapi Perah ... 41
4.3.2.1 Kegiatan Pemerahan ... 42
4.3.2.2 Pencegahan Penyakit ... 42
4.3.2.3 Perkawinan ... 43
4.3.3 Teknik Pembuatan Kandang ... 43
4.4 Potensi Limbah ... 44
4.4.1 Pengelolaan Limbah ... 45
4.4.2 Teknologi Instalasi Biogas ... 48
4.4.3 Teknik Operasional Biogas ... 51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55
5.1 Karakteristik Peternak ... 55
5.2 Analisis Kesediaan Membayar Peternak ... 57
5.3 Estimasi Nilai Rerata WTP ... 60
5.4 Simulasi Kebijakan ... 64
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
6.1. Kesimpulan ... 70
6.2. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perbandingan Bobot, Produksi Kotoran dan Bahan Kering Pada
Limbah Peternakan ... 9
2 Perbandingan Nilai Kalori Biogas dari Limbah Masyarakat ... 10
3 Komposisi Biogas (%) pada Kotoran Sapid an Campuran Kotoran Ternak serta Sisa Pertanian ... 13
4 Nilai Kesetaraan Biogas dan Energi yang Dihasilkan ... 13
5 Perbandingan Biogas 1 m3 Dibandingkan dengan Bahan Bakar Lain ... 14
6 Penentuan Valuasi Ekonomi dari barang dan Jasa ... 19
7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 38
8 Jenis Ternak yang Terdapat di Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007 ... 38
9 Jumlah Anggota dan Populasi Sapi Perah KUD Giri Tani Desember Tahun 2010 ... 39
10 Pemberian Susu/hari/pedet ... 41
11 Jumlah Satuan Ternak dan Potensi Limbah Peternakan di Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor ... 45
12 Komposisi Responden yang Sudah dan Belum Memiliki Instalasi Biogas ... 47
13 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Biogas ... 51
14 Komposisi Biogas dari Proses Biologi ... 53
15 Karakteristik Peternak ... 55
16 Jumlah Responden Peternak yang Bersedia dan Tidak Bersedia Membayar dalam Pengadaan Instalasi Biogas ... 58
17 Koefisien Peubah Berpengaruh Terhadap Kesediaan Membayar ... 59
18 Komposisi Peternak yang Bersedia Membayar Versus Pendapatan Selain Usaha Ternak ... 59
19 Koefisien Peubah Berpengaruh Terhadap WTP ... 60
20 Komposisi Responden Peternak yang Bersedia Membayar Versus Nilai Tawar ... 62
21 Estimasi WTP ... 63
22 Penerimaan Hasil Biogas dan Sludge Tahun I ... 65
24 Total Penyusutan dari Barang Investasi Tiap Digester ... 66
25 Rekapitulasi Reinvestasi ... 67
26 Biaya Operasional Tahun I yang Dikeluarkan pada Pengusahaan
Biogas Limbah Peternakan ... 67
27 Hasil Kriteria Kelayakan Investasi Skenario I Tiap Digester ... 68
28 Hasil Kriteria Kelayakan Investasi Skenario 2 Tiap Digester ... 68
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian. ... 6
2 Model Reaktor Batch Fedding ... 13
3 Model Reaktor Floating ... 14
4 Model Reaktor Fixed ... 15
5 Bagan Reaktor Biogas Sederhana ... 17
6 Kandang Sapi ... 37
7 Cara Pengelolaan Limbah Peternakan Sapi Perah ... 43
8 Instalasi Biogas dan Kompor Gas ... 45
9 Kurva Estimasi WTP ... 58
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuisioner Penelitian ... 76
2 Data Karakteristik ... 92
3 Variabel yang dipergunakan dalam Regresi Logistik ... 93
4 Regresi Logistik Biner ... 94
5 Variabel yang dipergunakan dalam Regresi Linier ... 95
6 Regresi Linier Berganda ... 96
7 Proyeksi Laba Rugi Pengusahaan Biogas Digester Plastik ... 97
8 Proyeksi Laba Rugi Pengusahaan Biogas Digester Semen ... 98
9 Proyeksi Laba Rugi Pengusahaan Biogas Digester Fiber glass ... 99
10 Cash Flow Usaha Biogas Digester Plastik (Hibah) ... 100
11 Cash Flow Usaha Biogas Digester Semen (Hibah) ... 101
12 Cash Flow Usaha Biogas Digester Fiber glass (HIbah) ... 102
13 Cash Flow Usaha Biogas Digester Plastik (Dana Bergulir) ... 103
14 Cash Flow Usaha Biogas Digester Semen (Dana Bergulir) ... 104
15 Cash Flow Usaha Biogas Digester Fiber glass (Dana Bergulir) ... 105
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha peternakan
tradisional yang didominasi oleh peternak rakyat dengan skala relatif kecil.
Produksi susu dalam negeri masih tergantung dari peternakan sapi perah rakyat
dengan sekitar 110 ribu peternak dengan 377 ribu sapi (Ditjen Peternakan, 2008),
dan rata-rata produksi harian 1185 ton susu segar yang dipasarkan ke Industri
Pengolahan Susu (IPS) melalui koperasi (Sulistiyanto, 2008). Produksi susu
dalam negeri masih jauh dari harapan. Konsumsi susu perkapita Indonesia pada
tahun 2007 sekitar 7,12 kg/tahun yang berarti total konsumsi 200 juta rakyat
Indonesia adalah 3.955 ton/hari(Badan Pusat Statistik, 2008). Hal ini akan terus
mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya populasi manusia. Badan
Pusat Statistik menyatakan bahwa penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah
235 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,2 persen per tahun sejak tahun 2000.
Kabupaten Bogor berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan susu nasional
melalui pengembangan usaha peternakan sapi perah. Beberapa wilayah di
Kabupaten Bogor memiliki agroklimat dan perilaku sosial budaya yang sesuai
untuk peternakan sapi perah, diantaranya adalah Kecamatan Cisarua dan
Megamendung yang terletak pada ketinggian antara 600-1.100 m diatas
permukaan laut dengan suhu berkisar antara 17,85o-23,91oC (rata-rata 20oC). Usaha peternakan sapi perah didaerah tersebut memiliki peluang pasar yang
cukup besar karena didukung oleh keberadaan PT. Cisarua Mountain Dairy
(Cimory) yang menampung susu segar produksi peternak rakyat untuk diolah
menjadi susu cair olahan. Pada tahun 2009 kedua kecamatan ini memberikan
kontribusi sebesar 28,76 persen dari keseluruhan populasi sapi perah di
Kabupaten Bogor sebesar 7.131 ekor (Disnakkan Kab. Bogor, 2009).
Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi merupakan daerah target
program pengembangan usaha sapi perah yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah Kabupaten Bogor. Jumlah populasi sapi perah pada tahun 2013 diharapkan
Meningkatnya populasi sapi perah berbanding lurus dengan peningkatan
limbah yang dihasilkan. Limbah ternak yang tidak ditangani dengan baik dapat
menimbulkan masalah pencemaran lingkungan dan mengurangi nilai estetika dan
kesehatan lingkungan. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk mulai
memikirkan pengelolaan limbah yang efektif dan efisien bagi peternak.
Salah satu alternatif teknologi pengelolaan limbah yang efektif adalah
teknologi biogas. Selain dapat mengurangi masalah lingkungan, peternak juga
mendapatkan hasil berupa biogas yang bisa digunakan sebagai pengganti bahan
bakar minyak dan lumpur buangan (sludge) yang dapat dijadikan pupuk.
Tingginya konsumsi energi dunia mengakibatkan harga minyak dunia semakin
tinggi. Melalui PP No. 5 Tahun 2006 perihal kebijakan Energi Nasional,
pemerintah Indonesia mulai mengembangkan sumber energi alternatif terbarukan,
salah satunya yaitu pengembangan biogas. Usaha peternakan sapi perah
berpotensi tinggi untuk memproduksi biogas.
Pada tahun 2007-2008 Kecamatan Cisarua telah mendapatkan bantuan
instalasi biogas dari Kementerian Lingkungan Hidup sebanyak 37 unit dengan
digester 5 m3 dan 2 unit dengan digester 7 m3. Jumlah instalasi biogas tersebut masih jauh dari cukup untuk menampung limbah sapi perah di Kecamatan Cisarua
mengingat populasi sapi perah yang akan terus bertambah. Bantuan dari
Kementerian Lingkungan Hidup tidak berlanjut sehingga dibutuhkannya investasi
dalam pengadaan instalasi biogas untuk pengolahan limbah ternak oleh peternak
itu sendiri.
Selama ini instalasi biogas diberikan oleh Pemerintah secara hibah sehingga
biaya investasi dalam pengadaan instalasi biogas yang dikeluarkan oleh peternak
tergantung dari kesediaan membayar peternak dalam pengadaan instalasi biogas.
Oleh sebab itu dibutuhkan penelitian yang mengkaji kesediaan membayar
peternak dalam pengadaan instalasi biogas pada pengelolaan limbah peternakan.
Menurut Jesdapipat; Duberstein et al, 2003 kesediaan membayar (Willingness To
Pay) adalah besaran uang yang bersedia dibayarkan oleh seseorang/individu untuk
mendapatkan barang/jasa layanan. Besaran WTP sangat dipengaruhi oleh aspek
demografi yang mencakup pendidikan, tingkat pendapatan, umur dan jenis
2000). Selain itu mau atau tidaknya masyarakat membayar juga akan sangat
ditentukan oleh ada atau tidaknya manfaat yang akan mereka peroleh jika mereka
diminta membayar sejumlah uang.
1.2Kerangka Pemikiran
Usaha peternakan sapi perah rakyat disamping memberikan dampak positif
yaitu sebagai sumber penghasilan, peternakan juga berpeluang untuk mencemari
lingkungan sebagai dampak negatif. Penanganan limbah yang kurang baik dapat
menimbulkan masalah lingkungan. Pemilihan sistem penanganan limbah ternak
tergantung kepada beberapa faktor seperti biaya, potensinya untuk mencemari air
dan udara, keperluan tenaga kerja, pertimbangan lokasi, pertimbangan area
pembuangan dan selera operator (Vanderholm, 1979). Penanganan limbah ternak
yang baik akan menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat.
Seekor sapi laktasi yang mempunyai bobot badan 450 kg menghasilkan
limbah berupa kotoran dan urine kurang lebih sebanyak 30 kg per ekor per hari
(Sudono, et al.,2003). Menurut Maksudi (1993) limbah ternak dalam arti sempit
dapat dikatakan sebagai kotoran atau tinja dan urine ternak, yang biasa disebut
manure. Feces sapi perah dapat dimanfaatkan sebagai pupuk (fertilizer) dan
penghasil biogas atau bio fuel.
.Limbah peternakan berpotensi mencemari air dan udara. Menurut Haryati
(2003) yang melakukan pengamatan di sentra sapi perah Kebon Pedes Kota Bogor
menyatakan bahwa dampak lingkungan hidup akibat dari adanya kegiatan
peternakan sapi perah adalah terdapat gangguan bau, kebisingan, kesehatan,
sanitasi lingkungan dan kenyamanan lingkungan.
Limbah peternakan berupa feces dan urine dari proses pencernaan ternak
ruminansia menghasilkan gas methan (CH4) yang cukup tinggi. Gas methan ini
adalah salah satu gas yang ikut berperan terhadap pemanasan global dan
perusakan ozon (Forster et al, 2007). Disisi lain gas methan sangat berpotensi
untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi pengganti bahan bakar fosil.
Pengelolaan limbah dengan menggunakan instalasi biogas akan memberikan
keuntungan bagi peternak yaitu berupa biogas yang dapat digunakan sebagai
sapi perah sisa dari proses biogas lebih baik dibandingkan dengan feces sapi perah
yang langsung dialirkan ke kebun rumput. Teknologi biogas dapat meningkatkan
nilai manfaat dari limbah, namun pembangunan instalasi biogas membutuhkan
investasi dari peternak.
Menurut Zahid (1997) yang melakukan pengamatan tentang perilaku peternak
sapi perah terhadap pengelolaan limbah pada anggota KPS Bogor, menyebutkan
bahwa kesadaran tentang pengelolaan limbah telah ada dan bernilai positif, faktor
pengetahuan memberikan respon yang terbesar dibandingkan dengan kebutuhan
terhadap limbah, pembinaan, pengalaman berusaha dan umur, namun secara
keseluruhan tindakan nyata responden dalam pengelolaan limbah ternak tergolong
buruk sampai sedang, hal ini diduga karena tidak adanya arahan dan tekanan
sosial dari masyarakat, selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud tekanan
sosial adalah kesadaran keseluruhan masyarakat di sekitar peternakan baik itu
peternak maupun masyarakat lainnya untuk melakukan tekanan agar pengelolaan
limbah dapat dilakukan dengan baik.
Pengelolaan limbah peternakan sapi perah menjadi biogas diharapkan dapat
menjadi energi alternatif di pedesaan. Menurut Mulyani (2008) proyek
pengembangan instalasi biogas sebagai energi alternatif berbasis individu maupun
kelompok layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan. Namun pengadaan
instalasi biogas membutuhkan investasi dari peternak. Selama ini instalasi biogas
diberikan oleh Pemerintah secara hibah sehingga biaya investasi dalam pengadaan
instalasi biogas yang dikeluarkan oleh peternak tergantung dari kesediaan
membayar peternak dalam pengadaan instalasi biogas. Berdasarkan latar belakang
tersebut diperlukan penelitian tentang Analisis Willingness To Pay (WTP)
peternak terhadap pengadaan instalasi biogas dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Skema kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
1.3Perumusan Masalah
Permasalahan pengembangan peternakan sapi perah rakyat yaitu pada
pengelolaan limbah ternaknya. Teknologi biogas merupakan teknologi yang dapat
meningkatkan nilai dari limbah menjadi biogas dan sludge selain itu juga limbah
keuntungan diantaranya yaitu mengurangi bau, mengurangi emisi methan,
mengurangi bibit kuman, dan mengurangi pathogen. Tahun 2007-2008
Kecamatan Cisarua telah mendapatkan bantuan instalasi biogas dari Pemerintah,
namun bantuan tersebut tidak berlanjut sedangkan populasi ternak semakin
bertambah, apalagi Kecamatan Cisarua merupakan daerah target program
pengembangan usaha sapi perah oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, pada tahun
2013 populasi sapi perah diharapkan berjumlah 6000 ekor. Oleh karena itu
pengadaan instalasi biogas bergantung pada peternak itu sendiri.
Selama ini instalasi biogas diberikan oleh Pemerintah secara hibah sehingga
biaya investasi dalam pengadaan instalasi biogas yang dikeluarkan oleh peternak
tergantung dari kesediaan membayar (Willingness To Pay) peternak dalam
pengadaan instalasi biogas. Besaran WTP sangat dipengaruhi oleh aspek
demografi yang mencakup pendidikan, tingkat pendapatan, umur dan jenis
kelamin dan preferensi individu atas barang/jasa yang ditawarkan (Day et al,
2000). Selain itu mau atau tidaknya masyarakat membayar juga akan sangat
ditentukan oleh ada atau tidaknya manfaat yang akan mereka peroleh jika mereka
diminta membayar sejumlah uang. Sehingga penelitian ini merumuskan beberapa
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik peternak di peternakan sapi perah rakyat
Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesediaan membayar (WTP)
peternak dalam pengadaan instalasi biogas untuk pengolahan limbah?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTP peternak dalam
pengadaan instalasi biogas untuk pengolahan limbah?
4. Bagaimana kelayakan pengusahaan biogas limbah peternakan dengan
menggunakan asumsi?
1.4Tujuan Penelitian
1. Mengkaji karakteristik peternak di peternakan sapi perah rakyat
Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor.
2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan bersedia membayar
3. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar (WTP)
peternak dalam pengadaan instalasi biogas untuk pengolahan limbah.
4. Mengkaji kelayakan pengusahaan biogas limbah peternakan dengan
menggunakan asumsi.
1.5Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi tentang kesediaan membayar (WTP) peternak
terhadap pengadaan instalasi biogas untuk pengolahan limbah ternak di
peternakan sapi perah rakyat Kecamatan Cisarua-Kabupaten Bogor.
2. Sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam
Kegiatan
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat
Usaha peternakan merupakan suatu usaha produksi yang didasarkan pada proses biologis dari pertumbuhan ternak. Dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia, maka manusia ikut campur tangan langsung untuk mengendalikan dan menguasai pertumbuhan hewan ternak. Berdasarkan pola pemeliharaan usaha ternak, diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu peternak rakyat, peternak semi komersil dan peternak komersil.
Dibandingkan dengan usaha peternakan hewan lainnya, beberapa keuntungan usaha peternakan sapi perah adalah peternakan sapi perah merupakan usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein hewani dan kalori, memiliki jaminan pendapatan yang tetap, tenaga kerja yang tetap, pakan yang relatif mudah dan murah, kesuburan tanah dapat dipertahankan, menghasilkan pedet yang bisa dijual jika jantan atau betina yang dapat
menghasilkan susu (Sudono, et al., 2003).
Menurut Baqa (2003), perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu (1) iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu; (2) masih rendahnya skala usaha pemilikan sapi oleh peternak, dimana rata-rata hanya 2-4 ekor; (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang rendah; (4) manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang juga rendah; (5) kesulitan bahan pakan ternak berkualitas; (6) masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat; (7) masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan; (8) kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi; dan (9) masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor.
2.2Limbah Ternak
Menurut Gaur (1983) limbah merupakan bahan yang terbuang atau dibuang
memiliki nilai ekonomis. Limbah merupakan komponen penyebab pencemaran
yang terdiri dari zat yang tidak mempunyai manfaat lagi bagi masyarakat, untuk
mencegah pencemaran atau untuk pemanfaatan kembali diperlukan biaya dan
teknologi. Sedangkan menurut Soeharji et al (1989), limbah adalah semua
buangan yang bersifat padat, cair maupun gas, sejalan dengan definisi tersebut
maka limbah peternakan adalah semua buangan dari usaha peternakan yang
bersifat padat, cair maupun gas.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari spesies ternak, besar
usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Limbah ternak yang terdiri dari feces dan
urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan oleh ternak ruminansia
seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang
dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feces) dan setiap
kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg limbah padat (feces) (Sihombing,
2000). Menurut Taiganides (1977) sapi perah mengeluarkan feces sebesar 9,4%
dari bobot hidup. Peternakan sapi perah mempunyai potensi limbah yang sangat
besar dibandingkan dengan peternakan lainnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan Bobot, Produksi Feces , dan Bahan Kering pada Peternakan
Jenis ternak Bobot ternak (kg)
Sumber : Wahyuni (2009)
Berdasarkan laporan ADB-GEF-UNDP (1998) satu ekor sapi perah
mengeluarkan emisi gas methan sebanyak 56 kg/ekor/tahun, sedangkan sapi
pedaging sebanyak 44 kg, kerbau 55 kg, kambing 8 kg, domba 5 kg, dan kuda 18
kg. Sedangkan menurut IPCC (1994) emisi methan (kg CH4/ekor/tahun) dari
pengelolaan feces untuk masing-masing ternak adalah sapi perah 27; sapi
pedaging 2; babi 7; kerbau 3; kambing 0,37; domba 0,23; kuda 2,77; dan unggas
(ayam dan bebek) 0,157. Data ini diasumsikan bahwa feces tersebut dikelola
Feces ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus
yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi
untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh
karena itu pada feces ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan
selulosa yang cukup tinggi. Sapi perah merupakan ternak ruminansia yang sangat
potensial dalam menghasilkan biogas. Potensi limbah sapi perah dalam
menghasilkan biogas memiliki nilai kalori yang sangat tinggi dibandingkan
dengan limbah lainnya. Perbandingan nilai kalori biogas yang dihasilkan dari
limbah dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan Nilai Kalori Biogas dari Limbah Masyarakat
Bahan Isian Nilai Kalori Biogas yang Dihasilkan (Kilo Joule)
Kotoran Sapi* 6513
Feces Sapi 5500-6000
Sampah Kota + Urea 5400-5500
Tinja Manusia 5000
Sampah dan Tinja Manusia 5450
Keterangan : * Kotoran Sapi yaitu seluruh limbah yang dihasilkan oleh sapi baik tinja, urine, darah, air mandi, kuku dan sebagainya.
Sumber : Wahyuni (2009)
2.2.1Pengolahan Limbah
Pengolahan limbah adalah suatu upaya pengurangan volume, konsentrasi dan
tingkat bahaya limbah dengan jalan pengolahan fisik, kimia, hayati atau gabungan
antara ketiganya. Kegiatan pengolahan limbah merupakan salah atu cara untuk
mengendalikan pencemaran limbah, namun kegiatan untuk mengurangi jumlah
limbah yang keluar juga merupakan salah satu langkah yang akan membantu
menurunkan beban pencemaran.
Menurut Soehardji et al (1989), cara-cara pengolahan limbah yang dapat
dilakukan terdiri dari :
1. Reduksi limbah pada sumberdaya yaitu upaya preventif mereduksi volume,
konsentrasi atau tingkat bahaya limbah yang dihasilkan dengan cara
memperbaiki proses produksi, operasi dan pemeliharaan.
• Penggunaan kembali (reuse) yaitu pemanfaatan limbah yang mengalami
pengolahan atau perubahan bentuk, digunakan kembali untuk penggunaan
yang sama atau fungsi yang sama. Penggunaan kembali dapat dilakukan
oleh tempat usaha bersangkutan.
• Daur ulang (recycle) yaitu pemanfaatan kembali melalui proses fisika atau kimiawi. Daur ulang dapat melalui dua cara yaitu kembali ke proses
semula menghasilkan produk lain.
2.3Sejarah Perkembangan Biogas
Penelitian tentang biogas menggunakan feces hewan sudah dilakukan sejak
tahun 1884. Negara Cina adalah negara yang menggunakan biogas sebagai bahan
bakar utama, tahun 1975 instalasi biogas diperkenalkan di Cina. Tahun 1992,
sekitar lima juta rumah tangga menggunakan instalasi biogas model sumur
tembok dengan bahan baku feces dan manusia serta limbah pertanian. India mulai
mengembangkan biogas sejak tahun 1981, pengembangan dilakukan oleh
Departemen Sumber Energi non-Konvensional melalui program “The National
Project on Biogas Development” dengan melakukan riset terhadap pengembangan
model instalasi biogas. Reaktor biogas yang dikembangkan di Cina yaitu
menggunakan model sumur tembok dan drum dengan bahan baku feces dan
limbah pertanian. Tahun 1999 sekitar tiga juta rumah tangga di India
menggunakan instalasi biogas.
Teknologi biogas mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1970 an. Pada
awalnya teknik pengolahan limbah dengan instalasi biogas dikembangkan di
wilayah pedesaan, tetapi saat ini teknologi ini sudah mulai diterapkan di wilayah
perkotaan. Pada tahun 1981, pengembangan instalasi biogas di Indonesia
dikembangkan melalui proyek pengembangan biogas dengan dukungan dana dari
Food and Agriculture Organization (FAO) dengan dibangun contoh instalasi
biogas di beberapa provinsi (Ditjen PPHP Deptan, 2008).
2.3.1Pengertian Biogas
Biogas adalah campuran gas terutama methan yang mencakup 60-70% dan
sisanya berupa CO2 dan lain-lain. Gas methan menjadi bagian terpenting dari
biogas. Biogas terjadi dari hasil perombakan/fermentasi bahan organik dalam
diproses sangat mempengaruhi produktivitas sistem biogas disamping
parameter-parameter lain seperti temperatur digester, pH, tekanan dan kelembaban udara.
Pada prinsipnya semua bahan organik dapat digunakan sebagai bahan penghasil
biogas, seperti sisa-sisa buangan (sampah) organik, sisa hasil pertanian seperti
kulit singkong, kulit kelapa sawit, batang pisang, jerami, tumbuhan air seperti
enceng gondok dan feces dari hewan maupun manusia, namun demikian hanya
bahan organik (padat, cair) homogeny seperti feces dan urine hewan ternak yang
cocok untuk sistem biogas sederhana. Proses fermentasi atau proses methanisasi
menghasilkan gas methan dan sludge. Gas methan dapat digunakan untuk
berbagai sistem pembangkit energi sedangkan sludge dapat digunakan sebagai
kompos (Hambali, 2007).
Proses untuk mendapatkan biogas diawali dengan perombakan (degradasi)
bahan organik yang berlangsung secara anaerobik sebagian besar akan
menghasilkan gas methan (yang memiliki sifat mudah terbakar) dan
karbondioksida (Simamora et al, 2006). Gas yang dihasilkan dan terkumpul pada
digester akan diuraikan melalui dua tahap dengan bantuan dua jenis bakteri.
Tahap pertama, material organik akan didegradasikan menjadi asam lemah
dengan bantuan bakteri pembentuk asam. Bakteri ini akan menguraikan sampah
pada tingkat hidrolisis dan asidifikasi. Hidrolisis adalah penguraian senyawa
kompleks atau senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, karbohidrat menjadi
senyawa sederhana. Sedangkan asidifikasi yaitu pembentukan asam dari senyawa
sederhana. Setelah material organik berubah menjadi asam, maka tahap kedua dari
bakteri pembentuk metana seperti maethanococcus, methanosarcina, dan methano
bacterium (Prihandana & Hendroko, 2008). Produksi gas methan dari reaktor
tersebut mempunyai nilai kalor sekitar 6500 Kj/Nm3 (Hambali, 2007). Tabel 3 dapat dilihat kisaran komposisi biogas pada feces sapi dan campuran feces
Tabel 3. Komposisi Biogas (%) Pada Feces Sapi dan Campuran Feces serta Sisa Pertanian
Jenis gas
Biogas (%)
Feces Sapi Campuran Feces dan Sisa Pertanian
Methan (CH4) 65,7 54-70
Karbondioksida (CO2) 27 45-27
Nitrogen (N2) 2,3 0,5-3
Karbon monoksida (CO) 0 0,1
Oksigen (O2) 0,1 6
Propena (C3H8) 0,7 0
Hidrogen sulfida (H2S) 0 Sedikit
Sumber : Simamora et al. (2009)
Produksi biogas dapat digunakan untuk penerangan, memasak, penggantian
bahan bakar dan juga pembangkit listrik. Pada tabel 4 nilai kesetaraan biogas
untuk setiap 1 m3 diaplikasikan untuk penggunaan biogas. Tabel 4. Nilai Kesetaraan Biogas dan Energi yang Dihasilkan
Aplikasi 1 m3 Biogas Setara Dengan
Penerangan 60-100 watt lampu bohlam selama enam jam
Memasak Dapat memasak tiga jenis masakan untuk
keluarga (5-6 orang)
Pengganti bahan bakar tenaga kuda 0,7 kg minyak tanah dapat menjalankan satu motor tenaga kuda selama dua jam
Pembangkit tenaga listrik Dapat menghasilkan 1,25 kwh listrik
Sumber : Kristoterson dan Bakalders 1991 dalam Hambali (2007)
Selain diaplikasikan untuk penerangan, memasak, penggantian bahan bakar
dan pembangkit tenaga listrik, perbandingan biogas sebanyak 1 m3 juga dapat dikonversikan pada bahan bakar lainnya. Menurut Wahyuni (2009) proses
fermentasi anaerob akan menghasilkan biogas yang nilainya dapat dibandingkan
dengan bahan bakar lain dalam setiap meter kubiknya. Pada tabel 5 dapat dilihat
Tabel 5. Perbandingan Biogas 1 m3 Dibandingkan dengan Bahan Bakar Lain Keterangan Bahan Bakar Lain
1 m3 Biogas
Elpiji 0,46 kg
Minyak Tanah 0,62 liter Minyak Solar 0,52 liter Bensin 0,80 liter Gas Kota 1,50 m3 Kayu Bakar 3,50 kg
Sumber : Wahyuni (2009)
2.3.2 Model Digester
Feces yang ditumpuk atau dikumpulkan dalam waktu tertentu akan
menghasilkan gas methan, jika gas tidak ditampung maka akan hilang menguap
ke udara. Bermacam konstruksi yang dibuat khusus penampung gas. Berdasarkan
cara pengisiannya ada dua jenis reaktor (pengolahan gas) yaitu batch fedding dan
continous fedding (Simamora et al, 2006).
1. Batch fedding adalah jenis reaktor yang pengisian bahan organik (campuran
feces dan air) dilakukan sekali sampai penuh, kemudian ditunggu sampai
biogas dihasilkan. Setelah biogas tidak berproduksi lagi atau produksinya
sangat rendah, isian digesternya dibongkar lalu diisi kembali dengan bahan
organik baru. Gambar 2 merupakan model reaktor batch fedding.
Gambar 2. Model Reaktor Batch Fedding
2. Continous fedding adalah jenis reaktor yang pengisian bahan baku organiknya
dilakukan setiap hari dalam jumlah tertentu setelah biogas mulai berproduksi.
Pengisian awal reaktor diisi penuh, lalu ditunggu sampai biogas berproduksi.
Setelah berproduksi, pengisian bahan organik dilakukan secara kontinu setiap
tetap (fixed) dan model terapung (floating). Perbedaan model ini adalah
pengumpulan biogas yang dihasilkan.
a. Model floating, pengumpul gasnya terapung diatas sumur pencerna
sehingga kapasitasnya akan naik turun sesuai dengan produksi gas yang
dihasilkan dan pemanfaatan gas untuk memasak. Reaktor model floating
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Model Reaktor Floating
b. Model fixed disebut juga reaktor Cina karena reaktor ini dibuat pertama
kali di Cina sekitar tahun 1930. Reaktor ini memiliki dua bagian yaitu
digester sebagai tempat pencerna material biogas dan kubah sebagai
rumah bagi bakteri pembentuk asam maupun bakteri pembentuk gas
metana. Bagian pertama yaitu digester dapat dibuat dengan kedalaman
tertentu menggunakan batu, batu bata atau beton, plastik atau fiber glass.
Struktur yang digunakan harus kuat karena digunakan untuk menahan gas
agar tidak terjadi kebocoran. Bagian kedua adalah kubah tetap mempunyai
fungsi sebagai tempat mengumpul gas yang tidak bergerak. Model
permanen ini memang membutuhkan modal yang lebih besar tetapi usia
ekonominya lebih lama dengan perawatan yang mudah dan pengoperasian
yang sederhana. Reaktor model fixed yang terbuat dari bahan fiber glass.
memiliki keuntungan yaitu desain yang sederhana dalam hal perawatan
dan konstruksi operasional, lebih ringan, tahan bocor, mudah diperbaiki,
mudah dipindahkan dan aman. Reaktor model fixed terbuat dari fiber
Gambar 4. Model Reaktor fixed
2.3.3 Teknik Pembuatan Biogas
Prinsip pembuatan biogas adalah adanya dekomposisi bahan organik secara
anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan gas. Proses
pembentukan biogas dalam reaktor berbahan semen model tetap kontinu akan
memulai beberapa tahapan sebagai berikut (Wahyuni, 2009) :
1. Menampung feces sapi di bak penampungan sementara
Feces sapi yang bercampur dengan air cucian kandang ditampung didalam bak
penampung sementara. Bak penampung sementara ini berfungsi untuk
menghomogenkan bahan masukan.
2. Mengalirkan feces sapi ke reaktor
Lumpur feces dialirkan ke reaktor melalui lubang pemasukan. Pada pengisian
pertama, kran pengeluaran gas yang ada dipuncak kubah sebaiknya tidak
disambungkan dulu ke pipa. Kran tersebut dibuka agar udara dalam reaktor
terdesak keluar sehingga proses pemasukan lumpur feces lebih mudah.
3. Menambahkan starter
Pada pemasukan pertama diperlukan lumpur feces dalam jumlah banyak
sampai lubang reaktor terisi penuh. Untuk membangkitkan proses fermentasi
segar dari rumah potong hewan (RPH) sebanyak lima karung untuk kapasitas
digester 3,5-5 m3.
4. Membuang gas yang pertama dihasilkan
Hingga hari kedelapan, kran yang ada diatas kubah dibuka dan gasnya
dibuang. Pembuangan ini disebabkan gas awal yang terbentuk didominasi CO2.
Pada hari ke-10 hingga hari ke-14 pembentukan gas CH4 54% dan CO2 27% maka
biogas akan menyala. Selanjutnya, biogas dapat dimanfaatkan untuk menyalakan
kompor gas di dapur.
5. Memanfaatkan biogas yang sudah jadi
Pada hari ke-14, gas sudah mulai terbentuk dan bisa digunakan untuk
menghidupkan nyala api pada kompor. Mulai hari ke-14 kita sudah bisa
menghasilkan energi biogas yang selalu terbarukan. Biogas ini tidak berbau
seperti feces . Selanjutnya, reaktor terus diisi lumpur feces secara kontinu
sehingga dihasilkan biogas yang optimal. Proses pembuatan biogas juga
menghasilkan sisa buangan lumpur yang digunakan sebagai pupuk organik.
Komponen pada biodigester sangat bervariasi tergantung pada biodigester
yang digunakan. Secara umum biodigester terdiri dari komponen-komponen
utama sebagai berikut :
1. Saluran masuk fese segar
Saluran ini digunakan untuk memasukkan campuran feces dan air ke dalam
reaktor utama. Pencampuran ini berfungsi untuk memaksimalkan potensi biogas,
memudahkan pengaliran, serta menghindari terbentuknya endapan pada saluran
masuk.
2. Saluran keluar residu
Saluran ini digunakan untuk mengeluarkan feces yang telah difermentasi oleh
bakteri. Saluran ini bekerja berdasarkan prinsip kesetimbangan tekanan
hidrostatik. Residu yang keluar pertama kali merupakan campuran feces dan air
(sludge) masukan yang pertama setelah waktu retensi. Sludge yang keluar sangat
baik untuk pupuk karena mengandung kadar nutrisi yang tinggi.
3. Katup pengamanan tekanan (control valve)
Katup pengaman ini digunakan sebagai pengatur tekanan gas dalam
dalam saluran gas lebih tinggi dari kolom air, maka gas akan keluar melalui pipa
T, sehingga tekanan dalam biodigester akan turun.
4. Sistem pengaduk
Pengadukan dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pengadukan mekanis,
sirkulasi substrat biodigester, atau sirkulasi ulang produksi biogas ke atas
biodigester menggunakan pompa. Pengadukan ini bertujuan untuk mengurangi
pengendapan dan meningkatkan produktifitas biodigester karena kondisi substrat
seragam.
5. Saluran gas
Saluran gas ini disarankan terbuat dari bahan polimer untuk menghindari
korosi. Untuk pembakaran gas pada tungku, pada ujung saluran pipa bisa
disambung dengan pipa baja antikarat.
6. Tangki penyimpan gas
Terdapat dua jenis tangki penyimpan gas, yaitu tangki bersatu dengan unit
reaktor (floating dome) dan terpisah dengan reaktor (fixed dome), untuk tangki
terpisah, konstruksi dibuat khusus sehingga tidak bocor dan tekanan dalam tangki
seragam, serta dilengkapi H2S removal untuk mencegah korosi.
Gambar 5. Bagan Reaktor Biogas Sederhana
2.4Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Valuasi ekonomi adalah valuasi dalam bentuk nilai uang yang dimaksudkan
untuk penyesuaian (justification) pengukuran penambahan (gains) dan kehilangan
(loss) dari kegunaan lingkungan atau kesejahteraan (Pearce dan Turner, 1990).
Lebih lanjut diuraikan bahwa penentuannya didasarkan pada nilai hakiki dari sifat
alamiah kegunaan lingkungan, yaitu kegunaan aktual dan potensial. Berdasarkan
konsep tersebut Manungsihe (1993) secara eksplisit memformulasikan konsep
NET = NG + BNG
atau NET = [NGL + NGTL + NGO] + [BNG]
Secara konseptual Nilai Ekonomi Total (NET) dari sumberdaya terdiri dari
Nilai Guna (NG) dan Bukan Nilai Guna (BNG). NG dapat diurai menjadi :Nilai
Guna Langsung (NGL), Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL) dan Nilai Guna
Opsi (NGO).
Valuasi ekonomi terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan yang berwawasan
lingkungan menjadi sangat penting terutama kalau dikaitkan dengan opsi
kebijakan dimana pertimbangan ekonomi menjadi dasar utama. Hal ini bisa
dimengerti mengingat kajian ekonomi untuk mengukur tingkat kesejahteraan
didasarkan pada harga pasar yang berlaku, sementara faktor lingkungan tidak
memiliki pasar.
Salah satu pendekatan valuasi ekonomi adalah analisis biaya-manfaat.
Analisis biaya manfaat adalah suatu alat ekonomi yang memandu pengambil
keputusan bagaimana mengalokasikan sumberdaya masyarakat dengan cara yang
paling efisien (Chutubtim, 2001), yakni yang didasarkan hasil estimasi perubahan
kesejahteraan masyarakat dalam bentuk nilai uang. Dampak suatu kegiatan selalu
dapat dinyatakan oleh kekuatan pasar, maka agar nilai uang dari dampak dapat
merefleksikan secara akurat harga ekonominya perlu teknik valuasi yang cocok.
Secara garis besar penentuan harga yang cocok untuk menilai dampak kegiatan
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Penentuan Valuasi Ekonomi dari Barang dan Jasa
Tidak Terdistorsi Terdistorsi (dengan Intervensi
Pemerintah) Pasar Bersaing Sempurna Harga Pasar Harga bayangan Bukan Pasar Bersaing Harga Bayangan Harga bayangan Tanpa Kehadiran Pasar Pendekatan Revealed atau State Preference Sumber : Chutubtim (2001)
Harga keseimbangan pasar bersaing sempurna yang mengindikasikan biaya
sosial marjinal dan manfaat sosial marjinal dari proses produksi, harga pasar
mampu merefleksikan secara akurat harga ekonomi dari sumberdaya yang
dipakai, dan apabila terjadi pada pasar terdistorsi (market failure) harga pasar
tidak mencerminkan secara akurat dari biaya dan manfaat marjinal serta
modifikasi harga suatu barang dan jasa apabila sumberdaya yang dipergunakan
mendapat subsidi atau dikenakan pajak.
2.4.1 Metode Valuasi
Pearce dan Turner (1990) mengatakan untuk mengukur kerusakan lingkungan
dapat diuraikan beberapa metode valuasi yaitu 1) valuasi langsung dan tidak
langsung, 2) pendekatan harga hedonic (Hedonic Price Approach = HPA), 3)
metode valuasi kontingensi (Contingent Valuation Method = CVM), 4) model
biaya perjalanan (Travel Cost Models = TCM) dan 5) pendekatan kemauan
membayar (Willingness to Pay = WTP) dan kemauan untuk menerima
(Willingness to Accept). Ada beberapa metode valuasi ekonomi sumberdaya alam
dan lingkungan yang telah dikembangkan oleh para ahli. Secara umum dibedakan
menjadi (Pearce dan Turner, 1990) :
1. Valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan berdasarkan manfaat
(Benefit Based Valuation)
a. Effect on Production (EOP) / Pendekatan Produktivitas
b. Loss of Earning (LOE) / Human Capital Approach (HCA)
c. Travel Cost
d. Property Value
e. Wage Differential
f. Contingent Valuation Methode (CVM)
2. Valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan berdasarkan biaya (Cost
Based Valuation)
a. Replacement Cost
b. Preventive Expenditure
c. Relocation Cost
d. Contingent Valuation Cost (CVM)
3. Alternatif Lain Metode Valuasi
a. Benefit Transfer
b. Analisis Input Output
2.4.2 CVM (Contingent Valuation Method)
Metode contingent valuation merupakan metode yang paling populer (Yakin,
(Willingness to Pay) dengan mengeksplore preferensi dari konsumen. Pendekatan
ini digunakan pada saat tidak ada pasar yang relevan terhadap barang dan jasa
lingkungan. CVM menggunakan teknik survey untuk mengestimasi kesediaan
membayar (WTP) atau kesediaan menerima atau Willingness to Accept (WTA)
dalam kondisi pasar tertentu (hipotesis), dimana kemudian responden diminta
untuk menawar (Mogas et al, 2006). Metode ini mengasumsikan bahwa
masyarakat bisa mentransformasikan preferensi akan kualitas lingkungan ke
dalam nilai moneter (Hoevenagel, 1994). Berdasarkan asumsi ini, responden
ditanya tentang :
1. Berapa jumlah uang maksimum yang bersedia anda/keluarga anda bayar
(WTP) untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan?
2. Berapa jumlah uang minimum yang bersedia anda/keluarga anda terima
(WTA) untuk menerima penurunan kualitas lingkungan?
Daftar pertanyaan harus didesain sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh
transaksi yang memuaskan (Hoevenagel, 1994). Transaksi memuaskan adalah
sebuah transaksi dimana orang mengetahui sepenuhnya dan dapat
mengidentifikasi keterkaitannya yang terbaik. Transaksi yang memuaskan akan
menghasilkan nilai WTP yang valid dan reliable yang dapat digunakan misalnya
untuk analisis biaya manfaat. (Hoevenagel, 1994). Menurut Fischhoff dan Furby,
1988 dalam Hoevenagel (1994), suatu transaksi yang memuaskan hanya bisa
terjadi jika barang, metode pembayaran dan pasar dapat didefinisikan dengan jelas
dan dapat dimengerti dengan baik oleh individu. Hal ini berarti kuesioner harus
mengandung 3 hal yaitu : 1) deskripsi tentang perubahan kualitas lingkungan, 2)
deskripsi tentang metode pembayaran, 3) deskripsi tentang pasar (hipotesis)
(Hoevenagel, 1994). Pada prinsipnya pelaksanaan metode contingent valuation
terdiri dari tiga komponen utama yaitu: 1) merancang dan membangun instrumen
survei (kuesioner), 2) administrasi survei, dan 3) interpretasi hasil survei.
Menurut Krieger dan Hoehn (1999), keuntungan dari metode ini adalah
apabila kuesioner didesain dengan baik dan jika responden bertanggungjawab dan
bisa bekerjasama dengan baik, metode ini dapat mengungkapkan pilihan terhadap
beberapa aspek kualitas lingkungan. Metode ini juga mempunyai kelemahan
kondisi misalnya : 1) adanya kemungkinan bahwa responden tidak jujur terhadap
pilihan mereka demi keuntungan pribadi, 2) desain kuesioner yang tidak sesuai
dan metode kurang tepat, 3) kurangnya informasi yang dimiliki oleh responden
dan pewawancara dalam masalah lingkungan yang diteliti, dan 4) kemungkinan
adanya perbedaan yang nyata antara kesediaan membayar yang ditunjukkan
responden dalam situasi hipótesis dan dalam situasi nyata.
Willingness to Pay (WTP) adalah jumlah maksimum yang bersedia
dibayarkan oleh seorang individu untuk suatu barang dan jasa tertentu yang
diinginkannya. WTP juga dapat diukur dalam bentuk pertambahan pendapatan
yang membuat seseorang tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan
variabel-variabel eksogen yang ada di luar dirinya. Perubahan-perubahan eksogen terjadi
karena adanya perubahan harga atau perubahan mutu sumberdaya. Akibatnya,
konsep WTP sangat erat dikaitkan dengan konsep variasi mengkompensasi
(compensating variation) dan variasi yang setara (equivalent variation) dalam
teori permintaan. Dengan kata lain, WTP dapat diinterpretasikan sebagai jumlah
maksimum yang bersedia dibayarkan seseorang untuk mencegah pengurangan
dari sesuatu.
Istilah WTP dapat membingungkan dalam sebuah paradigma yang bersifat
non-ekonomi. Pengguna suatu barang atau jasa mungkin tidak suka untuk
membayar suatu tarif tertentu, namun mereka bersedia untuk membayar jumlah
ini daripada tidak dapat memperolehnya. Seseorang mungkin tidak suka untuk
membayar harga gas yang mengalami kenaikan, namun ia terpaksa membayarnya
atau tidak dapat memperoleh gas tersebut. Ada tiga cara untuk mengestimasi
WTP:
1. Mengamati harga yang dibayar orang untuk barang dalam bermacam pasar
(misalnya pedagang air, membeli dari tetangga, membayar pajak setempat).
2. Mengamati pengeluaran individu atas uang, waktu dan tenaga untuk
memperoleh barang-barang atau menghindari kerugian mereka.
3. Menanyakan orang secara langsung apakah mereka bersedia membayar untuk
2.4.3 Teori Manfaat dan Biaya
Analisis biaya manfaat merupakan penerapan ekonomi kesejahteraan modern
dan ditujukan untuk memperbaiki efisiensi ekonomi alokasi sumberdaya. Setiap
proyek, program atau kebijksanaan baru yang diusulkan oleh masyarakat akan
selalu mengarah pada aspek manfaat dan biaya. Dalam menilai manfaat absolute
maupun relatif proyek-proyek, program, kebijaksanaan-kebijaksanaan, kiranya
diperlukan suatu dasar perbandingan. Tolok ukur analisis biaya manfaat perlu
diatasi pada hal-hal yang secara nyata diperjualbelikan (Hufschmidt et al, 1987).
Menurut Suparmoko (1997), manfaat dan biaya suatu proyek dapat dibedakan
menjadi “manfaat dan biaya riil” (real benefits and costs) dan “manfaat dan biaya
semu” (pecuniary benefits and costs). Manfaat riil adalah manfaat yang timbul
bagi pihak lain, sedangkan biaya riil adalah biaya yang sungguh-sungguh ada
dalam masyarakat dan tidak diimbangi oleh pengurangan beban bagi pihak lain.
Manfaat semu adalah manfaat yang timbul dari suatu proyek dan diterima oleh
sekelompok orang tertentu, tetapi ada sekelompok orang lain yang menjadi
menderita karena adanya proyek tersebut. Manfaat semu ini tidak diperhitungkan
dalam perhitungan biaya dan manfaat proyek.
Ada tiga macam perbedaan manfaat dari biaya riil menurut Suparmoko
(1997), yaitu manfaat dan biaya langsung tidak langsung, manfaat dan biaya yang
“tangible” (yang dapat diraba) dan yang “intangible” (yang tidak dapat diraba)
serta manfaat dan biaya “internal” dan “eksternal”.
a. Manfaat dan biaya langsung dan tidak langsung
Manfaat dan biaya langsung (primary benefits and primary cost) adalah
manfaat dan biaya yang dekat hubungannya dengan tujuan utama dari
suatu proyek, sedangkan manfaat dan biaya tidak langsung (secondary
benefits and secondary cost) dari suatu proyek lebih merupakan hasil
sampingan dari proyek tersebut.
b. Manfaat dan biaya yang “tangible” (yang dapat diraba) dan yang
“intangible” (yang tidak dapat diraba)
Istilah dapat diraba diterapkan bagi biaya dan manfaat yang dapat dinilai
di pasar, sedangkan manfaat dan biaya yang tidak dapat dipasarkan adalah
c. Manfaat dan biaya “internal” dan “eksternal”.
Suatu proyek menghasilkan manfaat dan biaya internal bila biaya dan
manfaat tersebut dihasilkan terbatas pada tempat tertentu, sedangkan bila
menghasilkan biaya dan manfaat pada tempat lain disebut manfaat dan
biaya eksternal.
Salah satu cara untuk melihat kelayakan investasi adalah dengan metode cash
flow analysis. Metode ini dilakukan setelah komponen-komponen biaya dan
manfaat tersebut dikelompokkan dan diperoleh nilainya. Komponen-komponen
tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu manfaat atau penerimaan
(benefit:inflow) dan biaya atau pengeluaran (cost:outflow). Selisih antar keduanya
disebut manfaat bersih (net benefit), dan juga menggunakan beberapa penilaian
kriteria kelayakan yaitu : Net Present Value (NPV), internal Rate of Return (IRR),
dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) (Grittinger, 1986)
2.5Teori Analisis Regresi
Analisis regresi adalah teknik statistika yang berguna untuk memeriksa dan
memodelkan hubungan diantara variabel-variabel. Analisis regresi dapat
digunakan untuk dua hal pokok, yaitu :
a. Untuk memperoleh suatu persamaan dari garis yang menunjukkan
persamaan hubungan antara dua variabel. Persamaan dan garis yang
dihasilkan bisa berupa persamaan garis bentuk linier maupun nonlinier.
b. Untuk menaksir suatu varibel yang disebut variabel tidak bebas (terikat)
dengan variabel lain yang disebut variabel bebas berdasarkan hubungan
yang dtunjukkan persamaan regresi tersebut.
Berdasarkan amatan dan analisis data, penyelesaian regresi ini dapat berupa
persamaan linier maupun nonlinier. Oleh karena itu analisis regresi ini terbagi atas
regresi liniier dan regresi non linier, yang termasuk ke dalam regresi linier adalah
regresi linier sederhana, regresi linier berganda dan sebagainya. Sedangkan yang
termasuk regresi non linier adalah regresi model parabola kuadratik, model
parabola kubik, model eksponen, model geometrik, regresi logistik dan
sebagainya. Model regresi merupakan komponen penting dalam beberapa analisis
data dengan menggambarkan hubungan antara variabel respon dan satu atau
menganalisis data dengan variabel respon berupa data kuantitatif, akan tetapi
sering juga ditemui kasus dengan variabel responnya bersifat kualitatif atau
kategori, untuk mengatasi masalah tersebut maka dapat digunakan model regresi
logistik.
Pendekatan model persamaan regresi logistik digunakan karena dapat
menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan peluangnya yang bersifat tidak
linier, ketidaknormalan sebaran dari variabel terikat serta keragaman respon yang
tidak konstan dan tidak dapat dijelaskan oleh model regresi linier biasa (Agresti,
1990). Menurut Hosmer (1989), metode regresi logistik adalah suatu metode
analisis statistika yang mendeskripsikan hubungan antara peubah respon yang
memiliki dua kategori atau lebih dengan satu atau lebih peubah penjelas berskala
kategori atau interval, yang dimaksud dengan peubah kategorik yaitu peubah yang
berupa data nominal dan ordinal.
Menurut Kleinbaum (1994) regresi logistik merupakan pendekatan model
matematika yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara beberapa
variabel predictor X terhadap variabel respon yang bersifat dikotomus atau biner
Y. Model regresi logistik diperlukan pada saat data respon bersifat kategorik
(variabel indicator) karena aka nada beberapa permasalahan yang muncul yang
tidak memungkinkan untuk tetap menggunakan regresi klasik. (Kutner et al,
2004)
Regresi logistik biner adalah salah satu metode statistika yang sering
digunakan untuk mengklasifikasikan sejumlah pengamatan dengan respon biner
ke dalam beberapa kelompok berdasarkan satu atau lebih variabel predictor.
Melalui metode ini akan dihasilkan peluang dari masing-masing kategori respon
yang akan dijadikan sebagai pedoman pengklasifikasian dan suatu pengamatan
akan masuk kedalam respon kategori tertentu berdasarkan nilai peluang yang
terbesar. Pada regresi logistik biner (dikotomus), variabel responnya mempunyai
dua kategori. Fenomena dimana variabel responnya dua (bivariat) dan
masing-masing berkategorikan biner, dapat dianalisis menggunakan regresi logistik biner
Menurut Kuncoro (2001) regresi logistik cukup baik dan sering digunakan.
Hal ini karena regresi logistik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
regresi lainnya, yaitu :
a. Regresi logistik tidak memiliki asumsi normalitas atas variabel bebas yang
digunakan dalam model. Artinya variabel penjelas tidak harus memiliki
distribusi normal, linier, maupun memiliki varian yang sama dalam setiap
grup.
b. Variabel dalam regresi logistik dapat berupa campuran dari variabel
kontinyu, diskrit dan dikotomis.
c. Regresi logistik amat bermanfaat digunakan apabila distribusi respon atas
variabel terikat diharapkan non linier dengan satu atau lebih variabel
bebas.
2.6Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai topik peternakan sudah banyak dilakukan, diantaranya
yaitu Nugraha (2006) dengan topik pengendalian mutu lingkungan, Ridwan
(2006) dengan topik model agribisnis peternakan sapi perah berkelanjutan pada
kawasan pariwisata di Kabupaten Bogor, Maksudi (1993) dengan topik dampak
lingkungan, dan Nadjib (1990) dengan topik performans usaha peternakan sapi
perah rakyat dalam wilayah dataran rendah dan dataran tinggi pada beberapa skala
usaha di Kabupaten Bogor.
Penelitian sebelumnya mengenai perhitungan kelayakan finansial
pengembangan instalasi biogas sudah ada yang melakukan yaitu diantaranya
penelitian yang telah dilakukan oleh Mulyani (2008) dengan topik Analisis
Kelayakan Pengembangan Biogas Sebagai Energi Alternatif Berbasis Individu
dan Kelompok Peternak. Penelitian ini menyebutkan bahwa instalasi pengolahan
limbah (reaktor biogas) terbuat dari semen dan fiber glass, reaktor biogas dari
bahan fiber glass lebih efektif dan produksi gasnya lebih baik. Studi di empat
wilayah baik secara individu maupun kelompok, dengan memanfaatkan pupuk
organik cair maupun padat sangat membantu meningkatkan pendapatan peternak.
Hasil analisis kelayakan finansial dengan kapasitas biodigester 5 m3 dan 17 m3 dengan tingkat suku bunga 17 % menunjukkan proyek pengembangan instalasi
pengembangan usaha adalah: (1) meningkatkan produktivitas, (2) memperluas
jaringan pemasaran, (3) memanfaatkan jasa perbankan untuk pengembangan
usaha, (4) meningkatkan pengetahuan manajemen usaha, (5) mempertahankan dan
menjaga mutu produk yang dihasilkan, (6) penguatan anggota peternak dengan
kelompok, (7) memasyarakatkan biogas sebagai energi alternatif dan (8)
meningkatkan teknologi produksi dan mutu produk.
Riesti (2010) menyatakan bahwa 1) pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan
limbah untuk menghasilkan biogas dilihat dari aspek non finansial layak
diusahakan yaitu dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, dan aspek sosial
lingkungan kecuali dilihat dari aspek manajemen dan hukum tidak layak hal ini
dapat dilihat dari bentuk usaha, struktur organisasi, pembukuan, administrasi dan
izin usaha yang belum dimiliki oleh peternak, 2) pengusahaan sapi perah dan
pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas; pengusahaan sapi perah; dan
pengusahaan biogas dengan pemanfaatan limbah pada pengusahaan sapi perah
dilihat dari aspek finansial pada kondisi normal layak dijalankan. Hal ini sesuai
dengan kriteria dengan NPV masing-masing yaitu Rp 82.401.004,07;Rp
45.497.751,50; dan Rp 36.864.132,91. Sedangkan IRR; Net B/C; dan PP pada
pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas yaitu
23%; 2,20; dan 5 tahun 1 bulan. IRR; Net B/C; dan PP pada pengusahaan sapi
perah yaitu 16%; 1,63; dan 5 tahun 8 bulan. IRR; Net B/C; dan PP pada
pengusahaan biogas dengan pemanfaatan limbah pada pengusahaan sapi perah
yaitu 95%; 9,73; dan 2 tahun 9 bulan. 3) kegiatan pengusahaan sapi perah dan
pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dari jenis resiko yang dihadapi
yaitu produksi susu menghasilkan NPV yang diharapkan sebesar Rp 69.190.067
sedangkan koefisien variasi 1,03.
Penelitian sebelumnya menggunakan CVM diantaranya penelitian yaitu
Syakya (2005) dengan topik Analisis WTP dan Strategi Pengembangan Objek
Wisata Pantai Lampuuk Di Nangroe Aceh Darussalam, Muniarti (2006) dengan
topik Analisis WTP Pengelolaan Sampah Pasar Tradisional Kota Bogor, dan
Hudayanti (2007) dengan topik Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kesediaan (WTP) Pengusahaan Tahu dalam Pembangunan dan Operasional IPAL