• Tidak ada hasil yang ditemukan

CONTOH PROPOSAL EKSPERIMEN Pendidikan Pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CONTOH PROPOSAL EKSPERIMEN Pendidikan Pe"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

CONTOH PROPOSAL EKSPERIMEN (Pendidikan) Pengaruh

Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar

Matematika

CONTOH PROPOSAL EKSPERIMEN (Pendidikan)

Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi

Belajar Matematika

A. JUDUL PENELITIAN

Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan budaya. Sementara itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini tidak lepas dari peran pendidikan, dan pendidikan merupakan bagian hakiki dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masalah pendidikan seringkali menjadi topik perbincangan yang menarik dan hangat, di kalangan masyarakat luas, dan lebih-lebih lagi pakar pendidikan. Hal ini merupakan hal yang wajar karena semua orang berkepentingan dan ikut terlibat dalam proses pendidikan.

(2)

memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan termasuk kesenian.

Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi pengukuran dan geometri, serta aljabar dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa yang dapat berupa model matematika, kalimat matematika, diagram, grafik atau tabel (Depdiknas, 2005). Matematika sebagai salah satu ilmu dasar merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan pada semua jenjang pendidikan, baik sekolah dasar, sekolah menengah mupun perguruan tinggi. Cornelius mengatakan bahwa ada banyak alasan tentang perlunya siswa belajar matematika, yaitu: 1) merupakan sarana berpikir yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan masalah kehidupan sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman; 4) sarana mengembangkan kreativitas; dan 5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya (dalam Abdurrahman, 1999).

Begitu pentingnya peranan matematika seperti yang diuraikan di atas, seharusnya membuat matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang menyenangkan dan digemari oleh siswa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mata pelajaran matematika masih merupakan pelajaran yang dianggap sulit, membosankan dan sering menimbulkan masalah dalam belajar. Kondisi ini mengakibatkan mata pelajaran matematika tidak disenangi, tidak diperdulikan dan bahkan diabaikan. Hal ini tentunya menimbulkan kesenjangan yang cukup besar antara apa yang diharapkan dari belajar matematika dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Di satu sisi matematika mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan daya nalar, berpikir logis, sistematis dan kreatif. Di sisi lain banyak siswa yang tidak menyenangi mata pelajaran matematika.

(3)

mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah sampai kepada perguruan tinggi masih belum meningkat secara signifikan.

Upaya meningkatkan prestasi belajar matematika rupanya harus dilakukan dengan kerja keras serta harus menghadapi berbagai hambatan, antara lain: 1) pelajaran matematika masih menjadi mata pelajaran yang “menakutkan” bagi siswa, sehingga siswa atau masyarakat umum beranggapan bahwa mata pelajaran matematika itu adalah mata pelajaran yang hanya berkutat pada angka-angka saja; 2) sering terdengar nada-nada miring yang tersebar di masyarakat terkait dengan diberikannya pelajaran matematika di sekolah, di mana mereka beranggapan bahwa mata pelajaran matematika tidak ada manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu, seperti termuat pada harian Kompas edisi 28 Maret 2002 dapat diperoleh gambaran sikap siswa terhadap mata pelajaran ini. Disebutkan bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang tidak menarik bagi para siswa SD sampai SMA serta bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Sikap antipati ini disebabkan karena siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit dan hanya merupakan ilmu murni yang kerjanya bergulat dengan angka-angka saja.

Salah satu patokan yang sering digunakan untuk menggambarkan kurang berhasilnya pendidikan matematika di semua jenjang pendidikan adalah nilai hasil ujian akhir nasional (NUAN), karena NUAN merupakan indikator yang mudah dilihat oleh masyarakat luas untuk digunakan sebagai acuan tentang keberhasilan pendidikan, khususnya pendidikan

matematika. Kenyataan menunjukkan bahwa secara nasional rata-rata NUAN matematika siswa SMP pada lima tahun terakhir ini berkisar antara 4,00 sampai 5,50 (Sumadi dkk, 2004). Sementara itu, khusus di SMP DHARMA LAKSANA, rata-rata NUAM untuk mata pelajaran matematika masih sulit beranjak dari urutan terbawah dan bahkan diklasifikasikan C. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1 Rata-rata NUAM Siswa SMP DHARMA LAKSANA Dua Tahun Terakhir

Tahun Pelajaran

Mata Pelajaran

PPKn B. Indo B. Ing Mat. IPA IPS

2003/2004 7,55 6,05 6,04 5,70 6,49 6,19

Kalsifikasi A C C C C C

2004/2005 - 7,17 6,16 5,62 -

-Klasifikasi - B B C -

(4)

Hasil observasi di SMP DHARMA LAKSANA menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas proses belajar-mengajar masih didominasi oleh guru, di mana guru sebagai sumber utama pengetahuan. Hal ini dilakukan oleh guru karena guru mengejar target kurikulum untuk menghabiskan materi pembelajaran atau bahan ajar dalam kurun waktu tertentu. Guru juga lebih menekankan pada siswa untuk menghapal konsep-konsep, terutama rumus-rumus praktis, yang nantinya bisa digunakan oleh siswa dalam menjawab soal ulangan harian, ulangan umum atau pun UAN tanpa melihat secara nyata manfaat materi yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami. Akibatnya siswa selalu memandang matematika sebagai pelajaran yang “menakutkan” bahkan yang lebih ekstrim lagi siswa mengangap matematika itu sebagai “musuh”. Semua itu pada akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang diperoleh siswa dalam pelajaran matematika.

(5)

Dominasi metode ceramah dalam pembelajaran matematika cenderung berorientasi pada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks, serta jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat guru menjelaskan materi, siswa cenderung diam serta mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru, siswa tidak bisa berargumentasi jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan terkait dengan materi yang ada di buku.

Sebagai salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan, kegiatan belajar mengajar (KBM) perlu diubah atau direvisi agar mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, apalagi pemerintah dalam hal ini Depdiknas merencanakan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada tahun ajaran 2004/2005 secara nasional. Prambudi (2004) menyebutkan bahwa salah satu alasan diberlakukannya kurikulum terbaru (kurikulum berbasis kompetensi) adalah karena rendahnya kualitas pembelajaran, termasuk kualitas pembelajaran matematika. Dalam rangka menyongsong KBK, maka guru perlu merancang suatu pembelajaran yang menunjang rencana tersebut. Guru harus mampu mengupayakan membuat penyajian materi pelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan.

Landasan berpikir KBK adalah konstruktivis yang esensinya adalah siswa harus menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan di benak mereka sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Pelajaran akan bermakna bila dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang dapat mengaitkan konten kurikulum yang dipelajari siswa dengan konteks kehidupan nyata. Dengan demikian pembelajaran yang sesuai dengan nafas KBK adalah pembelajaran kontekstual.

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang berupaya mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengalaman siswa. Pembelajaran kontekstual tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan di benak siswa sendiri (Depdiknas, 2002). Dalam pembelajaran ini siswa didorong membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran kontekstual berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan trasfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif).

(6)

matematika dimungkinkan karena topik-topik matematika yang diajarkan di SMP umumnya sebagian besar masih dapat dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Piaget walaupun siswa SMP sudah berada pada tahap operasional formal, namun perubahan dari tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal tidak berlangsung secara mendadak tetapi secara bertahap, sehingga siswa SMP yaitu pada usia 12-16 tahun proses berpikirnya belum sepenuhnya bersifat abstrak, sehingga masih membutuhkan benda-benda nyata dalam pembelajarannya (Depdiknas, 2005).

Gaya berpikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Klasifikasi gaya berpikir siswa dibagi menjadi dua, yaitu gaya berpikir konvergen dan gaya berpikir divergen. Gaya berpikir divergen adalah respon individu yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan, sedangkan gaya berpikir divergen adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan.

Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya, perolehan informasi dan merespon permasalahan yang diberikan. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif) (Depdiknas, 2005). Sedangkan pembelajaran matematika yang menggunakan pembelajaran konvensional cenderung mengarahkan siswa untuk memberi respon yang tunggal terhadap permasalahan yang diberikan. Siswa diharuskan menjawab “benar” untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mencoba menerapkan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan melaksanakan penelitian berjudul

Pengaruh Pendekatan Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar

Matematika”.

C. IDENTIFIKASI MASALAH

(7)

4) apakah pendekatan kontekstual mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa?; 5) manakah yang lebih baik dalam pembelajaran matematika apakah pendekatan kontekstual atau pendekatan konvensional?; 6) bagaimanakah gaya berfikir siswa SMP DHARMA LAKSANA?; 7) bagaimanakah prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen?; 8) bagaimanakah prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya berfikir divergen? 9) apakah pendekatan pembelajaran dalam matematika sebaiknya mempertimbangkan gaya berfikir siswa?

D. PEMBATASAN MASALAH

Idealnya semua masalah yang diidentifikasi harus dikaji agar diperoleh peningkatan prestasi belajar matematika yang optimal. Mengingat kompleknya permasalahan seperti yang telah diungkapkan pada identifikasi masalah di atas serta terbatasnya dana, waktu, alat, dan kemampuan maka pengkajian pada penelitian ini hanya terbatas pada prestasi belajar matematika, sebagai akibat dari pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran matematika dan gaya berfikir yang dimiliki siswa.

E. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.

1. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional?

2. Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, apakah prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional?

3. Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, apakah prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual?

4. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.

F. TUJUAN PENELITIAN

(8)

1. Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

2. Pada siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

3. Pada siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

4. Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.

G. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi guru

Penelitian ini akan memberikan pengalaman yang bermanfaat dalam merancang pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi pembelajaran. Dari pengalaman tersebut diharapkan guru dapat mengembangkan model pembelajaran, LKS dan sumber belajar sejenis pada pokok bahasan yang lain dan dapat mengimplementasikannya dalam kelas. 2. Bagi siswa

Penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara tidak langsung mereka terbantu dalam diajar konsep-konsep matematika yang sangat memberi peluang bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan teman-temanya dan materi yang dipelajari dirancang terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa menjadi lebih tertarik belajar matematika.

3. Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi pembelajaran yang mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari (konteks). Hasil penelitian ini akan memberikan informasi yang rinci tentang keunggulan dan kelemahan pendekatan pembelajaran kontekstual yang teruji secara eksperimen.

H. KAJIAN TEORI

1. Hakikat Pembelajaran Matematika

(9)

Beberapa definisi atau ungkapan pengertian matematika hanya dikemukakan terutama berfokus pada tinjauan pembuat definisi itu. Misalnya ada ahli matematika yang sangat tertarik dengan perilaku bilangan, ia akan melihat matematika itu dari sudut pandang bilangan. Tokoh lain lebih mencurahkan pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari sudut pandang struktur-struktur itu. Seperti kata Abraham S Lunchins dan Edith N Luchins (dalam Suherman, 1993) apakah matematika itu, dapat dijawab secara berbeda-beda tergantung pada kapan pertanyaan itu dijawab, di mana dijawab, dan siapa yang menjawabnya. Jadi tidak terdapat suatu definisi tentang matematika yang tunggal dan disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika.

(10)

Ausebel (dalam Winata Putra dan Suherman, 1993) menyatakan bahwa, dalam belajar matematika siswa tidak hanya menerima dan menghafalkannya tetapi harus belajar secara bermakna. Belajar bermakna adalah proses belajar yang menghubungkan informasi atau pengetahuan baru dengan informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian dalam suatu pembelajaran akan terjadi proses belajar yang bermakna bagi siswa, apabila konsep yang dipelajari siswa disajikan dalam bentuk masalah yang kontekstual (Depdiknas, 2005). Masalah kontekstual adalah masalah yang terkait dengan dunia nyata siswa atau paling tidak mendekati kondisi dunia nyata. Lebih jauh Ausebel (dalam Winata Putra dan Suherman, 1993) menyatakan bahwa belajar akan bermakna bagi siswa jika dalam belajar materinya dihubungkan dengan hal-hal yang telah diketahui siswa, telah dialami siswa dan kegunaanya di kemudian hari. Jadi dalam belajar bermakna konsep-konsep atau sifat-sifat matematika tidak disajikan dalam bentuk jadi tetapi harus ditemukan sendiri oleh siswa secara induktif, kemudian dibuktikan secara deduktif sehingga siswa betul-betul mengerti akan konsep tersebut.

Membawa situasi-situasi dunia nyata ke dalam matematika sekolah adalah perlu meskipun belum cukup, untuk menumbuhkembangkan sikap positif terhadap matematika, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk memahami dan menginterprestasi realitas dan sebagai aktivitas berpikir yang menarik. Tujuan matematika yang seperti itu dapat dicapai bila guru berhasil membawa siswa menggunakan matematika ke dalam situasi yang pernah dialami siswa atau kehidupan sehari-hari.

(11)

Masih banyak lagi definisi-definisi tentang belajar matematika, tetapi tidak satu pun perumusan yang tepat diterima oleh umum, atau sekurang-kurangnya dapat diterima dari berbagi sudut pandang. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pembelajaran matematika adalah teori yang dungkapkan oleh Hudoyo (2003), yaitu belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar konsep-konsep dan struktur-struktur matematika tersebut.

1.2 Prestasi Belajar Matematika

Sebagai seorang guru yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses belajar mengajar, salah satu tugas pokoknya adalah mengevaluasi taraf keberhasilan rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Untuk melihat sejauh mana taraf keberhasilan mengajar guru dan belajar siswa secara tepat dan dapat dipercaya diperlukan informasi yang didukung oleh data yang objektif dan memadai tentang indikator-indikator perubahan tingkah laku siswa. Salah satu data yang sering dijadikan acuan untuk menentukan taraf keberhasilan rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar adalah prestasi belajar siswa.

Prestasi belajar merupakan suatu indikator yang dapat menunjukkan tingkat kemampuan dan pemahaman siswa dalam belajar. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu. Menurut Nasution (2001) prestasi belajar adalah penguasaan seseorang terhadap pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata pelajaran, yang lasimnya diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan guru. Berdasarkan pendapat Nasution perstasi belajar dapat dilihat dari nilai transkrip yaitu nilai raport, karena nilai raport merupakan perumusan terakhir dari upaya yang dilakukan pendidik (guru) dalam pemberian penilaian belajar terhadap peserta didik selama satu semester. Nilai raport mempunyai arti dan manfaat yang sangat penting bagi siswa, guru, sekolah dan orang tua siswa, karena nilai ini merupakan terjemahan dari prestasi belajar siswa yang nantinya bisa berguna dalam mengambil keputusan terhadap siswa bersangkutan atau sekolah.

Lebih jauh menurut Woodworth dan Marquis mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan kemampuan aktual yang dapat diukur secara langsung dengan tes. Sedangkan Bloom (1971) mengungkapkan, prestasi belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku yang meliputi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Prestasi belajar bisa juga disebut sebagai abilitas atau kecakapan (Azwar, 1998). Abilitas ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) abilitas aktual (actual ability) yaitu abilitas yang telah diterjemahkan dalam bentuk performansi nyata. Abilitas ini diperoleh siswa setelah mengalami proses belajar mengajar; 2) abilitas potensial (pontensial ability) yaitu suatu kemampuan dasar yang berupa disposisi yang dimiliki oleh individu untuk mencapai prestasi. Abilitas potensial merupakan atribut yang diasumsikan laten (bawaan) yang belum tampak pada performasi. Atribut bawaan ini ini terdapat dalam setiap individu dalam kadar yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan tidak semua orang memilki potensi dan kesempatan yang sama untuk mencapai perfomansi yang sama. Kecakapan aktual dan kecakapan potensial ini dapat dimasukkan ke dalam suatu istilah yang lebih umum yaitu kemampuan (ability).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut dalam

(12)

terdiri atas lingkungan, meliputi: lingkungan alami dan lingkungan sosial, dan instrumental meliputi: kurikulum, program, sarana dan prasarana, serta guru. Faktor dalam terdiri atas faktor fisiologis, meliputi: kondisi fisik secara umum dan kondisi pancaindera, dan faktor psikologis, meliputi: minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan gaya berpikir.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, yang dimaksud dengan prestasi belajar matematika dalam penelitian ini adalah tingkat penguasaan kognitif siswa terhadap materi pelajaran matematika setelah mengalami proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, berupa nilai yang dituangkan dalam bentuk angka yang diperoleh dari hasil menjawab tes prestasi belajar matematika yang diberikan pada akhir penelitian. Prestasi yang dimaksud dalam hal ini adalah kecakapan nyata yang diperoleh siswa setelah belajar, bukan kecakapan potensial, sebab prestasi belajar ini dapat dilihat secara nyata yang berupa nilai setelah mengerjakan suatu tes. Tes yang digunakan untuk menentukan prestasi belajar sering diistilahkan dengan tes prestasi belajar. Sesuai dengan pendapat Bloom seperti yang diungkapakan di atas, maka idealnya pengungkapan prestasi belajar siswa meliputi ketiga ranah tersebut yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Tes prestasi belajar secara luas tentu mencakup ketiga ranah tersebut. Tetapi pada penelitian ini akan dibatasi hanya mengungkap prestasi belajar siswa pada ranah konitif saja dengan penekanan pada tes bentuk tertulis.

2. Hakikat Pembelajaran Kontekstual

2.1 Hakikat Pembelajaran

(13)

(facilitating, empowering, enabling ), untuk membuat siswa belajar secara aktif. Pengertian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran terjadi interaksi antara peserta didik yang belajar dan pendidik yang membantu proses belajar tersebut.

Menurut konsep sosiologi pembelajaran adalah rekayasa sosio-psikologi untuk memelihara kegiatan belajar sehingga tiap individu yang belajar akan belajar secara optimal dalam mencapai tingkat kedewasaan (Suherman, 1994). Dalam arti sempit pembelajaran adalah proses pendidikan dalam lingkup persekolahan, sehingga pembelajaran adalah proses sosialisasi individu dengan lingkungan sekolah seperti: guru, teman sesama siswa, sumber belajar serta sarana dan prasarana. Sedangkan pembelajaran menurut konsep komunikasi adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru serta siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir (Suherman, 1994). Dalam pembelajaran guru berperan sebagai komunikator, siswa sebagai komunikan, dan materi yang dikomunikasikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak arah dalam pembelajaran peran-peran tersebut bisa berubah.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran yang telah diungkapkan di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang bersifat eksternal (datang dari luar pebelajar) serta sengaja dirancang atau didesain (terprogram) sehingga memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar.

2.2 Landaan Pembelajaran Kontekstual

Akhir-akhir ini pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang banyak dibicarakan orang. Ada yang berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang dapat diandalkan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berikut ini akan dijelaskan tentang landasan filisofi, landasan psikologis dan definisi pembelajaran kontekstual.

(14)

pengetahuan tetapi proses pengonstruksian pengetahuan berdasarkan pengalaman. Pengetahuan bukan hasil “transfer” dari satu orang ke orang lain, tetapi pengetahuan merupakan hasil dari proses pengonstruksian yang dilakukan secara individu. Pengetahuan yang bermakna merupakan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengkonstruksian bukan dari transfer atau pemberian dari orang lain.

Pandangan Piaget tentang bagiamana pengetahuan terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat mempengaruhi pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual pengetahuan akan bermakna apabila dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari pemberian orang lain tidak akan bermakna serta akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.

Berdasarkan fisafat konstruktivisme yang mendasarinya, bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif individu, maka dipandang dari sudut psikologis, pembelajaran kontekstual berpijak pada aliran psikologi kognitif. Aliran ini mengatakan bahwa proses belajar terjadi karena pemahaman individu terhadap lingkungannya. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon (S-R). Belajar melibatkan proses mental seperti emosi, minat, motivasi, gaya berpikir, kemampuan dan pemahaman.

Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) pertama kali

diajukan pada awal abad 20 di USA oleh tokoh pendidikan John Dewey. Kata Contextual berasal dari kata Contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana atau keadaan”. Dengan demikian Contextual diartikan “yang berhubungan dengan suasana”, sehingga CTL dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana atau konteks tertentu.

Dalam pembelajaran matematika, konteks yang dimaksud adalah materi pelajaran atau soal matematika yang dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata siswa yang dekat dengan keseharian siswa. Contoh soal yang dekat dengan keseharian siswa adalah: Ani membeli 10 buah buku tulis di Pasar Marga dengan harga 11.500 rupiah, berapakah harga dua buah buku tulis?. Contoh di atas akan mampu dikerjakan oleh siswa, serta situasinya mudah dibayangkan karena dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Di satu sisi ada soal yang mampu dikerjakan oleh siswa tetapi situasinya sulit dibayangkan. Contoh soal yang situasinya sulit dibayangkan oleh siswa adalah: Sebuah satelit terbang dari bumi menuju bulan dengan kecepatan 700 km/jam. Jika jarak bumi dan bulan adalah 21.000 km, berapakah waktu yang diperlukan oleh satelit itu untuk sampai di bulan?

(15)

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, serta lebih menekankan pada belajar bermakna (Depdiknas, 2002). Guru menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajaran dengan cara, seperi: 1) guru berusaha membawa benda-benda riil yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari, kemudian siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan benda-benda riil tersebut sehingga siswa diharapkan menemukan sendiri konsep-konsep matematika yang sedang dipelajarinya, atau sebaliknya 2) guru bercerita tentang sesuatu yang relevan dengan materi yang dipelajari, dari cerita tersebut siswa diharapkan menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari. Menurut Johnson (dalam Nurhadi dan Senduk, 2003), sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan lingkungan pribadinya, sosialnya dan budayanya. Lebih Selanjut Nurhadi dan Senduk menyatakan bahwa pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil (nyata) yang berasosiasi dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa dan selaku pekerja.

Pembelajaran kontekstual mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen dalam pengumpulan data, pemahaman terhadap isu-isu atau pemecahan masalah. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam sehingga siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pembelajaran kontekstual menekankan pada bagaimana belajar di sekolah dikaitkan ke dalam situasi nyata, sehingga hasil belajar dapat lebih diterima dan berguna bagi siswa bilamana mereka meninggalkan sekolah.

(16)

maka proses pembelajaran akan berlangsung secara bermakna. Proses pembelajaran akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan mengalami, bukan “transfer“ pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran. Dalam konteks ini, siswa harus sadar tentang makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Siswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari akan berguna dalam kehidupannya.

2.3 Komponen Pembelajaran Kontekstual

Dalam penerapannya di kelas, pembelajaran kontekstual tetap memperhatikan tujuh komponen pokok pembelajaran yang efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), penilaian autentik (authentic assessment) dan refleksi (reflection) (Depdiknas, 2002). Berikut ini dijelaskan masing-masing komponen pokok pembelajaran kontekstual, seperti diungkapkan di atas.

a. Konstruktivisme (constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Depdiknas, 2002). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam pandangan ini cara memperoleh pengetahuan lebih diutamakan dari pada hasil pengetahuan yang diperoleh oleh siswa. Oleh karena itu tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dan bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa.

Pembelajaran kontekstual pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Sebab pengetahuan hanya akan berfungsi apabila dibangun oleh individu itu sendiri. Pengetahuan yang hanya diberikan oleh orang lain tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Atas dasar asumsi itulah, maka penerapan asas konstruktivisme dalam pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pengalaman nyata.

b. Menemukan (inquiry)

(17)

(Depdiknas, 2002). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa bukan hasil dari mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Untuk itu dalam pembelajaran kontekstual peran guru adalah merancang kegiatan yang dapat memfasilitasi siswa untuk menemukan konsep, prinsip atau ketrampilan yang diinginkan.

Belajar dengan penemuan guru tidak secara langsung memberikan generalisasi, prinsip atau kaidah yang dipelajari siswa, tetapi guru melibatkan siswa dalam proses induktif untuk mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat kesimpulan.

c. Bertanya (questioning)

Bertanya merupakan strategi dalam pembelajaran kontekstual. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan kegiatan guru untuk menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, memfokuskan perhatian siswa. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru atau guru dengan siswa.

Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa menemukan sendiri. Oleh karena itu, peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan konsep-konsep atau kaidah-kaidah yang terdapat dalam materi yang dipelajari (Sanjaya, 2005).

d. Masyarakat Belajar (learningcommunity)

Konsep masyarakat belajar menyarankan agar pengetahuan atau hasil pembelajaran

diperoleh dari kerjasama dengan teman sejawat atau kerjasama dengan teman yang lebih dewasa. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar (kooperatif) secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok dan antar siswa yang tahu ke siswa yang belum tahu.

Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif (Depdiknas, 2002; Sanjaya, 2005). Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang yang anggotanya bersifat heterogen, baik dari segi kemampuan, gaya berpikir, jenis kelamin, motivasi, ras maupun bakat dan minatnya.

e. Pemodelan (modeling)

(18)

model keterampilan atau pengetahuan sangat diperlukan. Model yang dimaksud bisa berupa model proses belajar-mengajar maupun model hasil belajar, seperti misalnya cara mengoprasikan sesuatu, cara mengerjakan sesuatu dan sebagainya. Perlu disadari bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model. Model bisa berasal dari siswa ahli, bisa juga ahli yang didatangkan dari luar. Pada pembelajaran kontekstual guru harus pandai-pandai menjadi model (Depdiknas, 2002).

f. Refleksi (reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang telah dilakukan di masa lalu dan apa yang perlu dilakukan berikutnya. Menurut Sanjaya (2005) refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian pembelajaran yang telah dilalui siswa. Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut mampu memfasilitasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dalam pembelajaran kontekstual, setiap berakhirnya proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Siswa diberikan kebebasan menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga mereka dapat menyimpulkan pengalaman belajarnya.

g. Penilaian Autentik (authentic assessment)

Penilaian autentik menitik beratkan pada penilaian proses dengan tanpa mengesampingkan penilaian hasil. Hal ini didasarkan bahwa sebenarnya pembelajaran seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari materi, tetapi bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir satuan pembelajaran. Ini berarti informasi dikumpulkan oleh siswa selama pembelajaran maupun setelah pembelajaran. Pengumpulan informasi tersebut tidak saja dari guru, tetapi bisa dari teman sejawat atau orang lain yang terlibat dalam pembelajaran.

(19)

Sebuah kelas dikatakan menerapkan pembelajaran kontekstual jika menerapkan ke tujuh komponen tersebut di atas dalam pembelajarannya, yaitu konstruktivis filosofinya, menemukan kegiatan belajarnya, bertanya sebagai strategi, masyarakat belajar dengan pembelajaran kooperatif, model yang bisa ditiru, pengaitan antara pengetahuan sebelumnya dengan dengan pengetahuan yang baru dengan proses refleksi dan penilaian yang sebenarnya dalam kegiatan pembelajaran. Tetapi tidak mutlak setiap kali pertemuan ketujuh komponen tersebut harus diterapkan, mengingat keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki oleh guru. Secara garis besar langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual di kelas adalah sebagai berikut (Sumadi dkk, 2004; Parwati, 2003).

1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.

2. Laksanakan sebanyak mungkin kegiatan menemukan (inkuri) untuk semua topik. 3. Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya.

4. Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok) 5. Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran.

6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.

7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

Pembelajaran matematika yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah seperti yang disebutkan di atas, akan membantu siswa belajar secara bermakna. Konsep-konsep materi yang dipelajari akan lebih tahan lama ada di benak siswa, karena mereka belajar melalui bekerja dan menemukan sendiri. Dalam pembelajaran kontekstual guru tidak secara langsung memberikan generalisasi suatu konsep atau prinsip yang dipelajari siswa, tetapi guru melibatkan siswa dalam proses mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat kesimpulan. Proses pembelajaran kontekstual mengikuti sintaks pembelajaran seperti yang disajikan pada Tabel 1.2 sintaks pembelajaran yang disajikan berikut ini dimodifikasi dari Depdiknas 2005.

Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Kontekstual

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

1. Orientasi Siswa Pada Masalah

a. Memotivasi siswa (memfokuskan perhatian siswa) dengan cara tanya

(20)

jawab berkaitan dengan materi dalam kehidupan sehari-hari atau cerita yang relevan

b. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan logistik yang diperlukan

Siswa mempersiapkan logistik yang diperlukan

Siswa mepresentasikan hasil kerja kelompoknya

(PR) Siswa mencatat pekerjaan rumah (PR)yang diberikan

2.4 Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika

(21)

matematika merupakan mata pelajaran yang paling sulit, padahal semua orang harus mempelajari matematika karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini di sekolah adalah pembelajaran konvensional yang bersifat teoritik dan mekanistik serta jarang mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Tentunya pembelajaran yang demikian membuat siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami. Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit dengan melakukan proses abstraksi dari benda-benda nyata. Oleh karena itu, proses pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah dipikirkan siswa. Pembelajaran yang dapat menghubungkan ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata adalah pemelajaran kontekstual. Pada rambu-rambu kurikulum mata pelajaran matematika disebutkan bahwa untuk mengajarkan konsep matematika dapat dimulai dengan masalah sesuai dengan situasi nyata atau contextual problem (Depdiknas, 2005). Kurikulum ini tampak memberikan kesempatan atau memberikan roh pada penggunaan dan penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika.

Pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk membangun dan mengembangkan pemahaman konsep matematika secara mendalam, khususnya membangun kompetensi matematika siswa dalam: 1) memecahkan masalah matematika, 2) berargumentasi dan berkomunikasi secara matematis, 3) melakukan penemuan kembali, dan 4) berpikir kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, penemuan dan generalisasi melalui pemikiran divergen (Sudiarta, 2005).

(22)

matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari dan menghubungkan konsep matematikia dengan ilmu lainnya.

Bedasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi-materi atau konsep-konsep matematika yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

3. Hakikat Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pada pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar lebih sering diarahkan pada “aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru ke siswa. Konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari “apa kata guru”. Siswa terlatih seperti “burung beo” yang hanya pintar meniru tapi sulit sekali menciptakan sendiri. Dalam pembelajaran konvensional siswa terlatih berpikir konvergen (mencari satu jawaban benar) dan kurang sekali dibina berpikir divergen (mencari berbagai alternatif jawaban terhadap satu soal). Dominasi soal pilihan ganda dalam ulangan harian, ulangan umum atau EBTANAS yang selama ini diterapkan di sekolah memperkuat cara (gaya) berpikir konvergen siswa (http://www.pendidikan-damai.org/files/Panduan). Siswa hanya diarahkan untuk menjawab “benar” untuk setiap jawaban benar.

Guru menganggap belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Proses pembelajaran cenderung hanya mengantarkan siswa untuk mencapai tujuan untuk mengejar target kurikulum, sehingga proses pembelajaran di kelas memiliki ciri-ciri 1) guru aktif, tetapi siswa pasif, 2) pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented), 3) transfer pengetahuan dari guru pada siswa dan 4) pembelajaran bersifat mekanistik.

Akibat dari pembelajaran tersebut siswa menjadi terbiasa menerima apa saja yang diberikan oleh guru tanpa mau berusaha menemukan sendiri konsep-konsep yang sedang dipelajari. Guru akan merasa bangga ketika anak didiknya mampu menyebutkan kemabali secara lisan (verbal) sebagaian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diberikan oleh guru. Penekanan pembelajaran adalah diperolehnya kemampuan mengingat (memorizing) dan bukan kemampuan memahami (understanding).

(23)

yang tugasnya hanya mendengarkan, mencatat dan menghafal, serta hanya melakukan respon terhadap stimulus yang datang dari luar (stimulus-response). Siswa akan belajar apabila dilakukan pembelajaran oleh guru secara sengaja, teratur dan berkelanjutan. Tanpa upaya pembelajaran yang disengaja dan berkelanjutan maka siswa tidak mungkin melakukan kegiatan belajar (Sudjana, 2005). Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang muncul sebagai respon individu terhadap stimulus yang datang dari luar (lingkungan). Siswa di dalam belajar supaya disongsong dan dipersiapkan untuk dapat menerima bentukan dari luar. Semua siswa dianggap individu yang sama, sehingga bila siswa diberikan stimulus maka respon yang diberikan akan sama.

Dalam pembelajaran konvensional, pola pembelajaran atau urutan sajian materi khususnya dalam pembelajaran matematika adalah (1) pembelajaran diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, (2) pemberian contoh soal dan (3) diakhiri dengan latihan soal. Dalam fase latihan soal, siswa diberi kesempatan untuk melakukan pelatihan dan pemberian umpan balik terhadap keberhasilan siswa. Pada fase ini pula, guru jarang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya yang dipelajarinya ke dalam situasi kehidupan nyata. Dalam pembelajaran konvensional metode ceramah merupakan pilihan utama sebagai metode pembelajaran.

Dengan pola pembelajaran seperti di atas, guru akan mengontrol secara penuh materi pelajaran serta metode penyampaiannya. Akibatnya, proses pembelajaran di kelas menjadi proses mengikuti langkah-langkah, aturan-aturan serta contoh-contoh yang diberikan oleh guru. Di bidang penilaian, seorang siswa dinilai telah menguasai materi pelajaran jika mampu mengingat dan mengaplikasikan langkah-langkah, aturan-aturan serta contoh-contoh yang telah diberikan oleh gurunya.

Berdasarkan hasil observasi proses belajar mengajar di SMP DHARMA LAKSANA, peneliti menyusun sintaks pembelajaran konvensional seperti disajikan pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Sintaks Pembelajaran Konvensional

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

Menyampaikan pokok bahasan atau materi yang akan diberikan

(24)

Mendemontrasikan ketrampilan atau

Memberikan pekerjaan rumah (PR) Mencatat pekerjaan rumah (PR)

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah suatu konsep belajar yang digunakan guru dalam membahas suatu pokok bahasan yang telah biasa digunakan dalam pembelajaran matematika serta lebih diarahkan pada “aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru ke siswa. Langkah-langkah pembelajaran diawali dengan penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, pemberian contoh soal dan diakhiri dengan latihan soal.

4. Perbandingan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Konvensinal

Dalam prakteknya di lapangan, pola pembelajaran kontekstual sangatlah berbeda dengan pembelajaran konvensional yang selama ini diterapkan. Secara garis besar perbedaan antara pola pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional yang dimodifikasi dari Depdiknas (2002) dan Nurhadi dan Senduk (2003) dapat dilihat di bawah ini.

Tabel 1.4 Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional

Pendekatan Kontekstual Pendekatan Konvensional

Menyandarkan pada paradigma siswa belajar

Menyandarkan pada paradigma guru mengajar

Pembelajaran dikaitkan dengan konteks nyata keseharian siswa (nyata)

Pembelajaran teoritis, abstrak dan kurang mengaitkan dengan kehidupan

kebutuhan individu siswa Pemilihan informasi ditentukan olehguru

(25)

Siswa menggunakan kemampuan berfikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan ikut bertanggung jawab atas terjadinya pembelajaran yang efektif

berbagai cara dan sumber Kemajuan belajar diukur dengan tes Pembelajaran bisa terjadi di berbagai

tempat Pembelajaran lebih cendrung di dalamkelas

Menerapkan penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah

Penilaian hasil belajar hanya melalui hafalan akademik berupa ulangan atau ujian

Perbedaan pola pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional seperti yang dikemukakan di atas memberikan kesan bahwa pembelajaran kontekstual tampil dengan sejumlah keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional yang dilakukan selama ini. Perbedaan tersebut juga menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kontekstual menekankan kegiatan pembelajaran pada konsep student center.

Dengan melihat keunggulan-keunggulan dan karakteristik pembelajaran kontekstual, maka dalam penerapannya di kelas diharapkan siswa dapat mempelajari materi pelajaran yang disajikan oleh guru melalui konteks kehidupan mereka dan mereka dapat menemukan arti di dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi lebih berarti dan menyenangkan bagi siswa. Di samping itu siswa akan merasakan manfaat langsung dari materi yang sedang dipelajari. Dengan demikian diharapkan hasil belajar siswa akan lebih baik dan lebih siap menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya nanti.

5. Hakikat Gaya Berfikir

(26)

sintesis, mengetahui sesuatu secara intuitif, elaborasi serta dimensi humanistik mistik (Clark dalam Semiawan, 1997).

Berikut ini disajikan Tabel dikotomi fungsi belahan otak kiri dan otak kanan. Teori ini, walaupun didukung oleh bukti-bukti empiris, namun masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk keabsahannya (Dacey, 1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002).

Tabel 2.4 Dikotomi Belahan Otak

Belahan Otak Kiri Belahan Otak Kanan

Konvergen Divergen

Intelektual Emosinal

Horizontal Vertikal

Diarahkan Bebas

Objektif Subjektif

Abstrak Kongkrit

Verbal Nonverbal

Analitis Sintesis

Eksplisit Implisit

(Sumber Dacey, 1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002)

Belajar menurut logika neurologis adalah: pertama, menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kanan terutama sejak janin dalam kandungan sampai usia 5 tahun, diteruskan sampai usia 16 tahun. Kedua, menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kiri. Ketiga, kombinasi antara fungsi-fungsi belahan otak kiri dan kanan (http://www.pendidikan-damai.org/files/Panduan). Sementara itu, yang dilakukan guru di sekolah adalah membalik logika belajar neurologi ini. Sejak anak masuk SD yang ditekankan justru pelajaran bahasa (fungsi verbal), kemampuan membaca, menulis, dan berhitung atau matematika (fungsi intelektual dan fungsi logika) yang semuanya itu lebih menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kiri.

(27)

diberikan, dengan penekanan pada pencapaian jawaban tunggal yang paling tepat, atau satu-satunya jawaban yang benar. Contoh: 2 + 5 = 7; 5 – 1 = 4; 2 x 4 = 8; 6 : 2 = 3. Sedangkan berpikir divergen adalah memberikan bermacam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan, dengan penekanan pada keragaman kuantitas dan kesesuaian. Contoh: benda-benda apa saja yang berbentuk lingkaran? Model Struktur Intelek dari Guilford sangat berpengaruh dalam mengidentifikasi anak yang berkemampuan unggul khusus dalam bidang tertentu. Senada dengan Guilford, Munandar (2002) mengatakan bahwa berpikir divergen adalah menjajaki macam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan, sedangkan berpikir konvergen menuju pada satu jawaban yang paling mungkin terhadap suatu persoalan.

Pada tahun enam puluhan Koestler juga meneliti fungsi otak dan menemukan teori berpikir bisosiatif atau berpikir kreatif (dalam Semiawan, 1997). Sama seperti Clark, Koestler berpendapat bahwa belahan otak kanan lebih bersifat lateral (ke samping) dan divergen (jamak) sedangkan belahan otak kiri bersifat vertikal (ke atas) dan konvergen (tunggal). Koestler mengatakan berfungsinya belahan otak kanan ditandai oleh banyaknya (lebih dari satu) kemungkinan jawaban (fungsi divergen) dan belahan otak kiri ditandai oleh kemungkinan satu jawaban (fungsi konvergen).

Menurut Fathoni (http://www.penulislepas.com/more.php?id=2041 0_1_0_M) proses melahirkan ide dengan cara berpikir divergen berarti membiarkan pikiran kita untuk bergerak ke mana-mana secara simultan. Kita dituntut untuk mengeluarkan apa pun yang muncul di otak kita. Munculnya satu ide akan dapat memicu timbulnya ide yang lain. Kunci utama dalam metode berpikir divergen adalah menghilangkan penilaian. Karena jika penilaian masih menghantui kita, maka akan sulit untuk dapat menjalankan proses berpikir divergen secara efektif. Berpikir divergen adalah membiarkan otak kita bebas bergerak ke segala arah untuk mencari ide-ide yang nantinya kita tampung. Hal ini sesuai dengan fungsi pada otak kanan. Sedangkan berpikir secara konvergen adalah mempersempit ide dengan menyeleksi ide-ide mana yang terbaik, dan hal ini sesuai dengan fungsi dari otak kiri. Dengan kata lain berpikir divergen dan konvergen adalah bagaimana cara kita untuk menggunakan otak kiri dan otak kanan secara seimbang.

(28)

ciri-cirinya. Model Koestler ini bersandar terutama pada gaya berpikir, yaitu fungsi konvergen dan divergen. Gaya berpikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan.

Berpikir divergen sering diartikan sebagai berpikir kreatif (memberi banyak gagasan), sedangkan berpikir konvergen sering diartikan sebagai berpikir kritis (memilih gagasan yang terbaik) (Munandar, 2002). Menurut Cropley (dalam Munandar, 2002), Harsanto (2005), Wahyudin (http://www.litagama.org/Jurnal/ Edisi5/StrategiPemb.htm) dan Taylor (dalam Sujana, 2002), bahwa ciri-ciri individu yang berpikir konvergen adalah a) vertikal, artinya bergerak secara bertahap, b) konvergen, terfokus menuju pada satu jawaban yang paling benar, c) sistematis-terstruktur, d) berpikir logis, e) dependen, f) pengetahuan faktual, g) cenderung kurang bertanggung jawab, h) kurang percaya diri dalam menyelesaikan tugas-tugas dibebankan kepadanya, dan i) teramalkan (predictable). Sedangkan ciri-ciri individu yang berpikir divergen adalah a) lateral, artinya memandang persoalan dari beberapa sisi, b) divergen, menyebar ke berbagai arah untuk menemukan jawaban, c) holistik-sistemik, bersifat menyeluruh atau global, (d) intuitif – imajinatif, e) independen (mandiri), dan f) pengetahuan konseptual, g) bertanggung jawab, h) percaya diri serta menyukai tantangan, dan i) tidak teramalkan (unpredictable).

(29)

Pendidikan formal di Indonesia terutama menekankan pada pemikiran konvergen (Munandar, 2002). Siswa jarang dirangsang untuk melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang atau memberikan berbagai alternatif penyelesaian suatu masalah. Siswa tumbuh menjadi kurang toleran atau kurang terbuka terhadap pendapat yang divergen, yang menyimpang dari yang konvensional. Siswa yang berpikir konvergen merasa lebih nyaman dan cenderung terikat pada apa yang telah ada. Sesuatu yang baru tidak disenangi oleh siswa karena tidak biasa dan tidak dikenal.

Dengan demikian yang dimaksud dengan gaya berpikir konvergen adalah respon individu yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Berpikir konvergen adalah pola pikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya belahan otak kiri, berfikir vertikal, sistematik dan terfokus serta cenderung mengelaborasi atau meningkatkan pengetahuan yang sudah ada. Berfikir konvergen merupakan cara berpikir yang menuju ke satu arah, untuk memberikan jawaban atau penarikan kesimpulan yang logis dari informasi yang diberikan dengan penekanan pada pencapaian jawaban tunggal yang paling tepat. Berpikir konvergen berkaitan dengan berpikir logis, sistematis, linier dan dapat diramalkan. Sementara itu, berpikir divergen adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Bepikir divergen adalah pola berpikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya belahan otak kanan, berfikir lateral, holistik-sistemik dan menyebar serta menyangkut pemikiran sekitar atau yang menyimpang dari pusat persoalan. Berpikir divergen adalah berpikir kreatif, berpikir untuk memberikan bermacam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada kuantitas, keragaman, originalitas jawaban. Gaya berpikir divergen menunjuk pada pola berpikir yang menuju ke berbagai arah dengan ditandai adanya kelancaran, kelenturan, dan orisinilitas.

(30)

cenderung secara konvergen. Siswa dikategorikan cenderung divergen, apabila dalam menghadap suatu persoalan (tugas) cenderung melihatnya dari berbagai segi, mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Sebaliknya dikategorikan sebagai cenderung konvergen, apabila dalam menghadapi suatu persoalan selalu memandangnya dari satu sisi, respon yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Jadi setiap orang sebenarnya memiliki kedua cara berpikir itu, hanya tingkat dominasinya yang berbeda.

I. KAJIAN EMPIRIK

Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Diantaranya adalah yang

dilakukan oleh Sumadi (2004) dan Gita (2004). Hasil penelitian Sumadi (2004) terhadap siswa kelas II SMP di Kota Singaraja diperoleh hasil bahwa hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran kontekstual lebih baik daripada hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Hasil serupa ditemukan oleh Gita (2004) yang juga mengkaji tentang pendekatan kontekstual di SMP. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Hasil penelitian Mahendra (2004) mengungkapkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional. Senada dengan Mahendra, Parta (2004) juga mengungkapkan keunggulan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika. Pada hasil penelitiannya dikatakan bahwa pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional. Selain berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika dan pemahaman konsep matematika, pendekatan kontekstual juga berpengaruh terhadap penalaran dan komonikasi matematika serta koneksi matematika (Sastrini, 2004 dan Suarsana 2004).

Sementara itu, penelitian Arifin (2002) tentang gaya berfikir siswa menunjukkan bahwa penerapan model mengajar synectics dalam pembelajaran IPS-Ekonomi, dapat

meningkatkan kemampuan berfikir divergen siswa

(31)

J. KERANGKA BERFIKIR

a. Hubungan antara pendekatan pembelajaran dengan prestasi belajar matematika siswa Matematika adalah suatu cabang ilmu yang berhubungan atau menelah bentuk-bentuk atau struktur yang abstrak, dan hubungan diantara struktur-struktur tersebut. Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar konsep-konsep dan struktur matematika tersebut. Untuk dapat memahami hubungan antara struktur-struktur yang abtrak tersebut diperlukan pemahaman konsep-konsep yang terdapat di dalam matematika itu sendiri.

Belajar matematika tidak hanya sekadar belajar tentang konsep-konsep tetapi belajar secara bermakana. Bermakna dalam hal ini siswa tahu tujuan mereka belajar matematika. Siswa belajar bermakna jika materi dalam pembelajarannya dikaitkan dengan kehidupan nyata yang dekat dengan keseharian siswa. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang mampu mengaitkan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan mereka sehari-hari. Pendekatan pembelajaran yang bisa mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa adalah pendekatan kontekstual.

Salah satu tujuan belajar matematika adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola fikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehubungan dengan itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kehidupan praktis dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu agar siswa mampu memahami bidang studi lain, berfikir logis, kritis (berfikir konvergen), rasional, praktis serta bersifat positif dan kreatif (berfikir divergen). Hal ini jelas merupakan tuntutan yang sangat tinggi yang tidak bisa dicapai hanya dengan menilai hafalan, latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran biasa (konvensional).

(32)

Penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah mampu mengoptimalisasikan interaksi seluruh unsur pembelajaran (Suherman, 2003). Demi peningkatan optimalisasi interaksi dalam pembelajaran matematika, untuk pokok bahasan atau sub pokok bahasan tertentu mungkin dapat dicapai dengan pembelajaran kontekstual. Berdasarkan uraian di atas, maka diduga siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual prestasi belajar matematikanya lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

b. Perbedaan Prestasi Belajar Matematika Siswa yang Memiliki Gaya berfikir konvergen Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran

(33)

yang berfikir konvergen mersa lebih nyaman dan cendrung terikat pada apa yang telah ada. Sesuatu yang baru tidak disenangi oleh siswa karena tidak biasa dan tidak dikenal.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa individu yang berfikir konvergen merespon permasalahan secara tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan, serta memiliki ciri-ciri ingatan baik, berfikir logis, pengetahuan faktual, dan kecermatan. Melihat keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh individu yang berfikir konvergen, maka diduga bahwa pada kelompok siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen, prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional akan lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

c. Perbedaan Prestasi Belajar Matematika Siswa yang Memiliki Gaya berfikir Divergen Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran

Berfikir divergen (kreatif) adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Dikatakan pula bahwa ciri-ciri individu yang berfikir divergen adalah menciptakan gagasan, mengenal kemungkinan alternatif, melihat kombinasi yang tidak terduga, kemampuan orisinil, terbuka, ulet, menonjolkan diri dan sesisitif.

Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan optimal dari kemampuan berfikir divergen (kreatif) berhubungan erat dengan cara mengajar. Jika siswa belajar atas prakarsa sendiri dapat berkembang karena guru menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berfikir dan mengemukakan gagasan baru, dan ketika anak diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya, maka kemampuan berfikir divergen dapat tumbuh subur (Munandar, 2002).

(34)

kontekstual memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya dan perolehan informasi dalam belajar sesuai dengan kebutuhan siswa. Hasil penelitian Gita (2004) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.

Kemampuan berfikir divergen (kreatif) sebagai salah satu aspek psikologis siswa perlu dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa. Pembelajaran berbasis penemuan (inquiry) memusatkan aktivitas belajar pada siswa sebagai objek dan subjek dalam belajar. sehingga pembelajaran berbasis penemuan (inquiry) mempunyai kaitan erat dengan berfiki divergen. Sudjana (1987) mengatakan bahwa metode inkuiri merupakan metode mengajar yang berusaha meletakkan dasar dan mengembangkan berfikir ilmiah. Metode ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, dan mengembangkan kreativitas dalam pemecahan masalah yang diarahkan pada pencapaian tujuan pembelajaran. Pembelajaran berbasis penemuan adalah strategi-startegi pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan kontekstual dan merupakan bagian inti dari pendekatan kontekstual. Oleh karena itu, secara tidak langsung individu yang memiliki gaya berfikir divergen akan belajar lebih baik dengan pendekatan kontekstual.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa individu yang berfikir divergen merespon permasalahan dengan berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Individu yang memiliki gaya berfikir divergen memiliki ciri-ciri seperti: menciptakan gagasan, mengenal kemungkinan alternatif, melihat kombinasi yang tidak terduga, kemampuan orisinil, terbuka, ulet, menonjolkan diri dan sesnsitif. Melihat keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh individu yang berfikir divergen, maka diduga bahwa pada kelompok siswa yang memiliki gaya berfikir divergen, prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual akan lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional

d. Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Gaya berfikir dalam Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar Matematika

(35)

pendekatan kontekstual; dan (2) untuk siswa yang memiliki gaya berfikir dinvergen, prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa bila gaya berfikir dipertimbangkan maka dugaan tentang pengaruh pendekatan pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika akan berlawanan. Pada siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen diduga prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Sebaliknya pada siswa yang memiliki gaya berfikir dinvergen diduga prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

Dengan demikian dapat diduga terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya befikir dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.

K. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan kaitan antara masalah yang dirumuskan dengan teori yang dikemukakan maka dapat disusun suatu hipotesis sebagai berikut :

1. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

2. Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajarankonvensional.

3. Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual.

4. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika

Hipotesis statistiknya adalah :

(36)

2.

3.

4.

L. METODE PENELITIAN 1. Populasi dan Sampel Penelitian 1.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II SMP DHARMA LAKSANA yang dibagi menjadi tujuh kelas yaitu kelas VIIIA, IIB, VIIIC, VIIID, IIE, VIIIF, VIIIG. Informasi yang diperoleh dari Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan bahwa ketujuh kelas terdistribusi ke dalam kelas-kelas yang setara secara akademik. Dikatakan setara, karena dalam pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas tesebut disebar secara merata antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hal ini berarti tidak terdapat kelas unggulan maupun non unggulan.

1.2 Sampel Penelitian

Pemilihan sampel penelitian ini tidak dilakukannya pengacakan individu, karena tidak bisa mengubah kelas yang telah terbentuk sebelumnya. Kelas dipilih sebagaimana telah terbentuk tanpa campur tangan peneliti dan tidak dilakukannya pengacakan individu, kemungkinan pengaruh-pengaruh dari keadaan subjek mengetahui dirinya dilibatkan dalam eksperimen dapat dikurangi sehingga penelitian ini benar-benar menggambarkan pengaruh perlakuan yang diberikan (Sevilla dkk, 1993).

Gambar

Tabel 1.4 Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional
Tabel 2.4 Dikotomi Belahan Otak
Tabel 3.3. Desain Penelitian
Tabel 1.6 Sintaks pembelajaran kontekstual
+3

Referensi

Dokumen terkait

Uji performansi kedua variasi kontrol terhadap kelembaban relatif dalam kabin didapatkan bahwa kontrol digital lebih cepat mencapai setpoint kelembaban dibandingkan

Interview ini di tujukan kepada pengurus Kelompok Usaha Bersama (KUB) Usaha Jaya sekaligus menjadi pendamping life skill, masyarakat yang magang KUB Usaha Jaya

Dari rumusan strategi program yang sudah disepakati masyarakat khususnya kelompok bunga teratai dan juga telah pendamping paparkan pada design , dapat disimpulkan bahwa

Pemanfaatan limbah cair teh hijau yang terfermentasi dengan penambahan starter EM-4 dimaksudkan agar proses fermentasi pembuatan pupuk organik cair berlangsung lebih

Peer to Peer artinya koneksi atau hubungan dari satu komputer langsung terhubung ke komputer lain tanpa menggunakan server, pada jaringan peer to peer semua

Sekitar 95% pengunjung mengatakan bersedia datang untuk berwisata mangrove dan sisanya sebanyak 5% mengatakan tidak bersedia melakukan wisata mangrove di

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan bagaimana menciptakan sebuah alat dalam pembelajaran mata kuliah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah melakukan penelitian tentang “Kajian Uji Hayati Air