• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Pendidikan Anak Anak terlanta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penanganan Pendidikan Anak Anak terlanta"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGANAN PENDIDIKAN ANAK-ANAK TERLANTAR

Oleh : Ali Rohmad

Jurusan Pendidikan Agama Islam – Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan (FTIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

A. Pendahuluan

Tidak dapat diingkari lagi, bahwa bagi kehidupan setiap bangsa,

pendidikan memiliki peran yang amat penting dalam menopang

kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan bangsa tersebut menuju

pencapaian cita-citanya. Untuk itu, di Indonesia, setelah situasi dan

kondisi ketahanan nasional dalam pemerintahan orde baru dipandang

memungkinkan, sejak tanggal 2 Mei 1984 pemerintah mencanangkan

gerakan wajib belajar enam tahun pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan

Sekolah Dasar (SD) atau yang sederajat bagi anak usia sekolah (7-12

tahun), dan dalam jangka waktu sepuluh tahun kemudian terhitung sejak

tanggal 2 Mei 1994 pemerintah memperpanjang gerakan wajib belajar itu

menjadi sembilan tahun dengan memasukkan Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama (SLTP) yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah

Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajad ke dalam jenjang

pendidikan dasar.

Wajib belajar enam tahun yang selama ini dinilai sangat sukses

menggiring anak-anak usia sekolah untuk menempuh pendidikan pada

sekolah dasar yang menurut pidato kenegaraan presiden Republik

Indonesia Soeharto di depan sidang Dewan Perewakilan Rakyat Indonesia

tanggal 16 Agustus 1991, bahwa tahun 1990-1991 partisipasi murni dari

26.013.400 penduduk usia 7-12 tahun mencapai 99.6%; terbukti belum

tuntas benar menggiring seluruh anak usia sekolah untuk bersekolah pada

sekolah dasar. Artinya, masih ada 0.4% anak-anak usia sekolah yang

tercatat oleh petugas pendataan/sensus penduduk yang tidak bersekolah

pada sekolah dasar, itu belum termasuk sejumlah anak terlantar yakni

anak-anak usia sekolah yang kehidupannya serba tidak berkecukupan,

(2)

oleh rekaman petugas sensus penduduk atau petugas catatan sipil, sebagai

contoh yang menonjol adalah anak-anak yang hidup menjadi gelandangan

(Jawa : gelandangan cilik) yang lazim juga menjadi pengemis. Menurut

Menteri Sosial dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 periode

2009-2014M, Salim Segaf Al Jufri, bahwa “anak terlantar di Indonesia yang

usianya dibawah 18 tahun terus bertambah dan kini jumlahnya telah

mencapai 5,4 juta orang”.1

Rekaman wartawan “Jawa Pos” terhadap sejumlah gelandangan

cilik yang biasa mangkal di sekitar stasiun kereta api Gubeng, Semut,

Pasar Turi di kotamadya Surabaya memperlihatkan bahwa mereka

melewati hidupnya sehari-hari secara berkelompok di tempat-tempat

tertentu, setiap kelompok bergabung antara empat hingga enam anak,

umurnya sekitar 7-16 tahun, kelompok itu tanpa ikatan apa-apa kecuali

ikatan rasa solidaritas yang terus menyala.2 Hampir dapat dipastikan,

bahwa gelandangan cilik seperti inipun terdapat di kota-kota lain dalam

wilayah Republik Indonesia bahkan juga di negara-negara lain sebagai

negara berkembang maupun negara maju.

Di tengah-tengah kehidupan gelandangan cilik yang penuh ketidak

pastian pakaian, makanan, tempat tinggal tersebut; penulis berkeyakinan

bahwa dalam diri mereka masih terdapat cita-cita untuk bersekolah demi

mempersiapkan masa depan yang lebih cemerlang. Namun karena untuk

dapat bertahan hidup sehari-hari saja begitu sulit, maka keinginan mereka

itupun kandas dan berantakan sebelum diupayakan realisasinya. Terkait

dengan ini, dalam catatan Forester dinyatakan, bahwa “Masalah paling

mendasar yang dialami oleh anak terlantar adalah kecilnya kemungkinan

untuk mendapatkan kesempatan dibidang pendidikan yang layak”.3

(3)

Setelah mencermati gerakan wajib belajar yang telah dicanangkan

oleh pemerintah Republik Indonesia, dan mencermati pula kehidupan

komunitas gelandangan cilik; penulis merasa termotivasi untuk mengkaji

secara akademis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penanganan

pendidikan anak-anak terlantar di Indonesia. Apalagi perjalanan era

reformasi sejak 1998 M telah memperlihatkan membawa

perbaikan-perbaikan tertentu, termasuk di bidang pendidikan.

B. Asal Usul

Tidak terlalu sulit menelusuri secara mendalam untuk menemukan

hal-hal yang menyebabkan seorang anak hidup menjadi gelandangan. Dari

penelusuran ini akan ditemukan beraneka ragam penyebab. Selanjutnya,

tentu tidak mudah menemukan mana penyebab terdominan yang

memunculkan hidup anak menjadi gelandangan dalam masyarakat.

Apabila diperhatikan dari asal usulnya, menurut hemat penulis,

keberaneka-ragaman penyebab timbulnya gelandangan cilik itu dapat

dibedakan menjadi dua macam saja. Pertama, karena keturunan

(hereditas), bahwa gelandangan cilik itu dilahirkan dari rahim seorang

wanita gelandangan yang secara naluriah memeliharanya sejak anak

tersebut masih berada dalam kandungan. Ini memperlihatkan, bahwa status

sosial sebagai gelandangan secara langsung dia dapatkan sejak sebelum

dilahirkan ke alam dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, tentu saja

secara sosial dia akan amat kesulitan membebaskan dan melepaskan diri

dari kungkungan predikat sebagai gelandangan cilik dan dari status anak

gelandangan, lebih-lebih dia berpenampilan jembel, dan tidak mampu

mempersamai serta tidak mampu mendekati anak-anak non-gelandangan

dalam pergaulan sehari-hari. Kedua, karena lingkungan pergaulan antar

sesama manusia. Diakui atau tidak, terkadang pergaulan antar sesama

manusia itu dapat menjadi kejam, dapat menyengsarakan pihak-pihak

tertentu yang mungkin saja belum dapat dipastikan kuantitas dan kualitas

kesalahan yang dilakukannya. Maka dapat dimaklumi, bilamana sebagian

gelandangan cilik yang biasa terdapat di kota-kota besar selama ini adalah

(4)

tangga bersama bapak, ibu, dan saudara-saudaranya; tetapi kemudian dia

meninggalkan (baca : minggat dari) rumahnya setelah ada sebab-sebab

tertentu yang secara langsung atau tidak langsung memaksanya.

Gelandangan cilik yang berasal dari rahim wanita non-gelandangan ini

tentu tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dirinya akan

menjalani hidup yang demikian. Ada anak yang meninggalkan rumahnya

kemudian menjadi gelandangan cilik, karena diusir oleh orang tuanya

setelah kenakalannya dianggap keterlaluan dan memalukan keluarga suatu

misal menghabiskan uang hasil iuran di sekolah, karena merasa tidak tahan

dengan perlakuan ayah/ibu tiri yang dianggap kejam, karena hanyut oleh

rayuan manis orang lain seperti oknum penculik yang bermaksud

mentelantarkannya.4

C. Deskripsi Kehidupan

Gelandangan cilik bisa dikatakan sebagai anak terlantar, terasing,

lagi terisolir dari kehidupan khalayak ramai yang harus dikasihani dan

dinaikkan taraf kehidupannya. Lebih dari itu, gelandangan cilik menjalani

hidup dengan selalu mengembara/berkelana, berpindah-pindah dari satu

tempat ke tempat lain, tidak memiliki tempat tinggal yang tetap,

pakaiannya compang-camping dan lusuh, tidak ada yang bisa dimakan

melainkan sisa-sisa makanan yang tertinggal/terbuang di tempat-tempat

tertentu atau dari meminta-minta. Hal ini secara asosiatif dapat

menimbulkan kesan, bahwa gelandangan cilik itu tidur di tempat-tempat

kumuh dan jorok, mengorek-ngorek tempat sampah atau meminta-minta

guna mendapatkan makanan, tidak mendapatkan bimbingan dari orang

tuanya, tidak berpendidikan formal. Gelandangan cilik telah terbiasa

dengan ketidak disiplinan, terbiasa hidup dengan keinginan sendiri,

terbiasa hidup tanpa mengindahkan kaidah-kaidah normatif yang berlaku

umum dalam masyarakat.

Kalau senantiasa menjadi gelandangan, betapa suram/gelap

kehidupan masa depannya. Di samping itu, karena jumlah gelandangan

4

(5)

cilik itupun sampai saat ini tampak tidak semakin sedikit, maka

kesuraman/kegelapan hari depannya itupun dapat berpengaruh secara

negatif terhadap pelaksanaan pembangunan nasional. Kebuta hurufannya

sebagai akibat tidak berpendidikan formal serta kebiasannya tidak

mematuhi norma-norma yang berlaku umum dalam masyarakat, maka

secara jelas tidak akan mampu mendorong timbulnya partisipasi aktif

terhadap pelaksanaan pembangunan nasional, melainkan justru sebaliknya

secara jelas dapat menghambat pembangunan nasional, dan lebih dari itu

akan menambah beban kerja bagi pemerintah dan masyarakat yang selama

ini dirasakan sudah semakin berat. Ketidak-biasaannya mengendalikan diri

demi pencapaian tujuan nasional, secara jelas akan membutakannya

terhadap urgensi ketertiban, keteraturan, kedisiplinan, dan lain-lain sebagai

syarat utama mulusnya perputaran roda pembangunan nasional.

Karena manusia merupakan makhluq individu sekaligus makhluq

sosial, maka dalam pengembaraannya itu ternyata antar gelandangan cilik

itu dapat beraudensi dan kemudian membentuk kelompok-kelompok sosial

(social groups) berdasarkan rasa solidaritas sesama. Sehingga lingkungan

sosial merekapun bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu lingkungan

sosial primer dan lingkungan sosial sekunder.5 Lingkungan sosial primer

ditandai oleh adanya hubungan yang erat antara anggota satu dengan yang

lain, anggota yang satu saling kenal mengenal dengan yang lain.

Sebaliknya, lingkungan sosial skunder ditandai oleh adanya hubungan

yang longgar antara anggota satu dengan yang lain, anggota yang satu

dengan yang lain kurang/tidak saling kenal mengenal.

Dalam lingkungan sosial primer, bilamana terdapat gelandangan

cilik yang tertimpa musibah seperti sakit fisik yang mengakibatkan ia tidak

mampu pergi ke mana-mana, maka sebagai bukti solidaritas antar sesama

gelandangan cilik, teman-teman sekelompoknyalah yang merawatnya,

mencarikan makanan dan obat-obatan untuknya, bahkan sampai memberi

hiburan bagi yang sedang sakit tersebut.

5

(6)

Kondisi individu yang “serba tidak” di atas dan hidup dalam

lingkungan pergaulan yang secara edukatif tidak menguntungkan tersebut,

ternyata bisa memunculkan ciri-ciri khusus pada gelandangan cilik. Dari

sejumlah gelandangan cilik yang ditampung dan dibina dalam suatu

asrama di daerah rumah sakit Fatmawati Jakarta didapati ciri-ciri psikis

seperti di bawah ini.6

1. Lekas tersinggung perasaannya. Bilamana digoda oleh temannya,

gelandangan cilik lekas marah. Kemarahannya terkadang dilampiaskan

jauh melebihi penyebabnya, tidak proporsional terhadap teman yang

telah menggoda.

2. Lekas putus asa dan cepat mutung. Bilamana menghadapi persoalan,

gelandangan cilik tampak lekas putus ada, kemudian nekat menuruti

kemauan dirinya tanpa dapat dipengaruhi secara mudah oleh pihak lain

yang membantunya.

3. Menginginkan kasih sayang. Sebenarnya gelandangan cilik itu masih

menginginkan kasih sayang dari orang lain. Tetapi karena hampir tidak

pernah memiliki pengalaman mengenai aktualisasi kasih sayang, dia

tampak menjadi liar, merasa tidak terikat oleh siapa saja. Kemudian

dengan caranya sendiri, ternyata dia menunjukkan rasa keterikatannya

pada orang lain yang disenangi.

4. Bilamana diajak bicara, gelandangan cilik itu tidak mau bertatap muka,

tidak mau memandang orang lain secara terbuka, semacam ada rasa

curiga terhadap orang yang dianggap asing.

5. Perkembangan jiwa gelandangan cilik sangat labil. Ini sulit berubah

meskipun dia telah bertambah usia, telah diberi pengalaman dan

ketrampilan khusus. Dalam pemberian pengalaman ini pertama-tama

dia tampak antusias, namun beberapa saat kemudian muncul

kemalasannya yang ditandai oleh tindakan membolos. Berarti dia sulit

bertahan dalam suatu pekerjaan yang menuntut pola tingkah laku

disiplin.

6

(7)

6. Gelandangan biasanya telah memiliki suatu ketrampilan, hanya saja

cara mengaplikasikannya bisa jadi tidak mengikuti aturan normatif

tertentu.

Suatu hal yang patut disayangkan adalah dalam kondisi yang

“serba tidak” itu, ada saja pihak-pihak tertentu yang secara ekonomik

justru berusaha mengeksploitasi gelandangan cilik demi keuntungan

pribadi dan atau gank. Sejumlah gelandangan cilik dimanage/diorganisir

sedemikian rupa untuk menjadi peminta-peminta, pencuri, pencopet,

penjambret, pengamen, dan lain-lain yang harus bekerja keras. Setiap hari,

gelandangan cilik yang telah masuk perangkap ini diharuskan

menyetorkan harta benda seperti uang dalam jumlah yang telah ditetapkan

oleh penguasanya (baca : bos), bila tidak, dia akan mendapatkan hukuman

tertentu. Akibatnya, posisi gelandangan cilik yang demikian jelas lebih

tragis, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, penderitaan mereka

bertumpuk-tumpuk dan seakan-akan tiada pernah berakhir. Keadaan seperti ini

merupakan kendala tersendiri yang harus diperhitungkan oleh pihak-pihak

yang harus menangani pendidikan mereka, supaya mampu

mengantisipasinya dengan setepat dan secermat mungkin.

D. Status Kewarga Negaraan

Yang disebut sebagai “penduduk Indonesia”, secara yuridis, adalah

berbeda dengan yang disebut sebagai “warga negara” Indonesia. Dalam

buku bahan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

(P4) yang berwarna kunyit, disebutkan bahwa “penduduk Indonesia adalah

keseluruhan penghuni negara RI, baik yang warga negara Indonesia

sendiri maupun warga negara asing yang dalam jangka waktu tertentu,

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, berdomisili di

wilayah RI”.7 Sementara itu Undang-Undang Dasar 1945 bab X pasal 26

(1) menyebutkan bahwa “yang menjadi warga negara ialah orang-orang

7

(8)

bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan

undang-undang sebagai warga negara”.8

Oleh karena sejumlah gelandangan cilik yang selama ini hidup

dalam kota-kota tertentu di Indonesia adalah berasal/dilahirkan dari dalam

daerah Indonesia, bukan berasal dari luar negeri, maka menjadi jelaslah

bahwa status mereka sebenarnya adalah sebagai Warga Negara Indonesia

(WNI) sekaligus sebagai penduduk Indonesia, meskipun belum/tidak

memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan kata lain, mereka

berstatus sebagai warga negara Indonesia asli, rakyat Indonesia,

orang-orang yang bernaung di bawah pemerintah Republik Indonesia, juga

berstatus sebagai penduduk/penghuni negara Indonesia.

E. Penanggung Jawab

Diketahui bahwa batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 telah

memuat pasal-pasal mengenai hubungan antara negara dengan warga

negara. Pasal-pasal itu berisi konsep negara dalam berbagai aspek

kehidupan : politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan,

serta ke arah mana negara, bangsa, rakyat Indonesia akan bergerak

mencapai cita-cita nasionalnya sebagaimana termaktub dalam pembukaan

UUD 1945 alinea keempat. Pasal-pasal tersebut secara eksplisit mengatur

“hak” dan “kewajiban” bagi negara (baca : pemerintah) dan warga negara.

Hak merupakan istilah untuk menyebut sesuatu yang harus

didapat/diterima oleh negara atau warga negara, sedang kewajiban

merupakan istilah untuk menyebut sesuatu yang harus

disampaikan/diberikan oleh negara atau warga negara.

Bangsa Indonesia memandang bahwa hak tidak terlepas dari

kewajiban. Hak dan kewajiban hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat

dipisah-pisahkan. Hak dan kewajiban merupakan suatu kesatuan, dalam

arti setiap hak pasti mengandung kewajiban, dan sebaliknya setiap

kewajiban pasti mengandung hak. Secara global bisa dikatakan, bahwa

dalam hal-hal tertentu seperti pajak yang menjadi hak negara, maka

8

(9)

menjadi kewajiban warga negara untuk membayarnya; dan dalam hal-hal

tertentu seperti pendidikan yang menjadi hak warga negara, maka menjadi

kewajiban negara untuk mengusahakan sistem penyelenggaraannya.

Ditegaskan oleh UUD 1945 bab XIII pasal 31 (1) bahwa “tiap-tiap

warga negara berhak mendapat pengajaran”.9 Pengajaran itu lazim

dilaksanakan melalui jalur pendidikan sekolah yang diselenggarakan

melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan

berkesinambungan : pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan tinggi. Ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia

nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 11

ayat 1 bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan

layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan

yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.10 Karena di

atas telah dikatakan, bahwa gelandangan cilik yang selama ini terdapat di

Indonesia adalah warga negara Indonesia, berarti mereka itu berhak

mendapatkan pengajaran/pendidikan dan serendah-rendahnya adalah

pendidikan dasar, mereka harus tamat sekolah dasar enam tahun dan tamat

SLTP tiga tahun. Hak bagi mereka sebagai warga negara untuk

mendapatkan pendidikan tersebut adalah menjadi kewajiban

negara/pemerintah Republik Indonesia untuk memenuhinya. Yang sudah

jelas, hak tersebut telah dinanti-nantikan kedatangannya oleh mereka,

meskipun penantian itu tampak tidak menarik perhatian para kuli tinta

untuk mengeksposnya.

Ditegaskan pula oleh UUD 1945 bab XIV pasal 34 bahwa “fakir

miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.11 Oleh karena

gelandangan cilik tersebut bisa dikategorikan sebagai amak-anak terlantar,

(10)

maka negara oleh pasal ini dituntut untuk memeliharanya. Negara

Republik Indonesia sesuai dengan kemampuannya dituntut memenuhi

kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, keamanan, kesehatan,

pendidikan dan sarana belajar yang memadai bagi sejumlah gelandangan

cilik yang berstatus sebagai warga negara Indonesia. Ini menunjukkan

bahwa penanganan pendidikan anak-anak terlantar di Indonesia adalah

yang utama menjadi tanggung jawab negara/pemerintah Republik

Indonesia yang dalam orde baru telah bertekad untuk melaksanakan

Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen.

Namun karena UU RI nomor 20 tahun 2003 pasal 8 menyatakan

bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”,12 maka

untuk menangani pemeliharaan dan pendidikan anak-anak terlantar

tersebut, negara/pemerintah bisa melibatkan masyarakat seperti para

usahawan, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan yayasan pendidikan

lainnya.

F. Rekomendasi

1. Kepada pemerintah

a. Supaya anak-anak terlantar yang berstatus sebagai warga negara

Indonesia dapat memperoleh haknya dalam menempuh pendidikan,

minimal pendidikan dasar, sebaiknya pemerintah (Pemerintah

Pusat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Propinsi dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota) terus meningkatkan

pemeliharaan dan pembinaan terhadap mereka dari segi kuantitas

dan kualitas dalam tempat tertentu semisal diasramakan.

b. Supaya tidak semakin direpotkan mengurusi anak-anak terlantar

yang kuantitasnya tampak meningkat terus, sebaiknya pemerintah

berusaha meminimalisir laju pertambahan kelahiran mereka suatu

misal dengan jalan memandulkan gelandangan dewasa dan

gelandangan cilik melalui tindakan medis sterilisasi (vasektomi

12

(11)

dan tubektomi), serta terus meningkatkan pemasyarakatan Norma

Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) dalam

masyarakat.

2. Kepada masyarakat

Supaya tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi hak

pemeliharaan dan pendidikan anak-anak terlantar dapat dilaksanakan

dengan semakin baik, sebaiknya masyarakat terus meningkatkan

partisipasi aktifnya dalam menangani mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Sejak saat itu, olahraga renang Indonesia setahap demi setahap maju dan berkembang serta selanjutnya dalam tahun 1952, PBSI menjadi anggota resmi dari Federasi

pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit (TKKS) justru memberikan hasil produksi tanaman jagung manis yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena adanya

Masalah lain yang ditemukan oleh Dinas Pendapatan Kota Blitar, pada sektor Pajak Hiburan dengan self assessment system dilapangan yaitu kurangnya pemahaman dan

Hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa hanya variabel profitabilitas dan financial leverage yang berpengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba; sedangkan

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2011 ini adalah hutan kerangas, dengan judul Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat

Kualitas air pada dua sistem pengelolaan air bersih berbasis masyarakat diKampung Bale Atu dan Hakim Tunggul Naru, ditinjau dari parameter fisika, kimia dan

Selain itu hukum Islam juga memiliki prinsip yang sangat bersahaja, dengan konsep kemaslahatan, menegakkan keadilan, tidak menyulitkan, menyedikitkan beban,

Masih banyak terjadi kesalahan konsep pembelajaran pecahan di antara calon-calon guru di Indonesia yang disebabkan kurangnya pemahaman tentang konsep dasar pecahan