• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perangkat Pembelajaran Geometri SMA deng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perangkat Pembelajaran Geometri SMA deng"

Copied!
396
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERANGKAT PEMBELAJARAN GEOMETRI SMA

DENGAN MENGADAPTASI

MODEL CORE

Untuk Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Masalah, Efikasi Diri, dan Prestasi Belajar Siswa

(2)

ii

Perangkat Pembelajaran Geometri SMA dengan Mengadaptasi

Model CORE

Untuk Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Masalah, Efikasi Diri, dan Prestasi Belajar Siswa

Terbitan I

Penulis:

Danis Agung Nugroho

Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana

Universitas Negeri Yogyakarta 2016

Penalaah:

Prof. Dr. Rusgianto H. S., M.Pd. Dr. Sugiman

Dr. Ali Mahmudi

Himmawati P. L., S.Si., M. Si.

© 2016, Danis Agung Nugroho Hak cipta dilindungi undang-undang

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan oleh Allah Swt. sehingga penulis dapat menyelesaikan produk penelitian pengembangan

yang berjudul “Perangkat Pembelajaran Geometri SMA dengan Mengadaptasi

Model CORE untuk Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Masalah, Efikasi Diri, dan Pretasi Belajar” dengan baik. Produk ini digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya pada bidang matematika.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan berupa bimbingan, arahan, motivasi, dan doa sehingga produk ini dapat ditulis dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Rusgianto, H. S., M.Pd. selaku dosen yang telah membimbing penulis dalam menyusun produk penelitian pengembangan ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta beserta staf atas segala kebijaksanaan dan fasilitas yang telah disediakan sehingga tesis ini dapat terwujud;

2. Kaprodi, sekprodi, dan seluruh dosen Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta yang telah membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat;

3. Dr. Sugiman, Dr. Ali Mahmudi, dan Himmawati Puji Lestari, S.Si., M.Si. selaku penelaah produk; dan

(4)

iv

Semoga Allah Swt. membalas segala kebaikan saudara. Penulis berharap bahwa segala upaya ataupun hasil yang telah diperoleh penulis juga dapat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, khususnya pada ruang lingkup geometri yang dibelajarkan pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA).

Penulis menerima berbagai saran dari para pembaca yang bersifat membangun dan berguna untuk memperbaiki kekurangan atau kesalahan yang mungkin masih ditemukan pada produk ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 1 Agustus 2016

(5)

v

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ……….…………..

IDENTITAS PRODUK ……….………

KATA PENGANTAR ………..

DAFTAR ISI ……….……

i ii iii v

BAB I DESKRIPSI TENTANG PRODUK ……….. 1

A. Latar Belakang Pengembangan Produk …….………... B. Kajian Pustaka tentang Produk ……….……..……..………..….

1. Model Pembelajaran CORE ……….

2. Implemantasi CORE dalam Pembelajaran Berbasis Kurikulum 2013 ………… 3. Kemampuan Menyelesaikan Masalah ……….

4. Efikasi Diri ………...

5. Prestasi Belajar Siswa ………..

C. Spesifikasi Produk ………..………... D. Prosedur Pengembangan Produk ……....………..………...

E. Pedoman Penggunaan Produk ……….

1

A.Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ………..

1. RPP Materi Jarak dan Sudut ………

2. RPP Materi Transformasi Geometri ……….………... 3. RPP Materi Diagonal Ruang, Diagonal Bidang, dan Bidang Diagonal .………. B.Lembar Kerja Siswa (LKS) ………...……….. 1. LKS Materi Jarak dan Sudut ………...………

2. LKS Materi Transformasi Geometri ………

3. LKS Materi Diagonal Ruang, Diagonal Bidang, dan Bidang Diagonal ………..

(6)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 1 BAB I

DESKRIPSI TENTANG PRODUK

A. Latar Belakang Pengembangan Produk

Pembelajaran matematika memiliki peranan yang penting bagi siswa untuk meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Pembelajaran tersebut bahkan sudah dilaksanakan sejak siswa belajar pada jenjang Sekolah Dasar (SD). Sebagaimana dinyatakan dalam Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014, pembelajaran matematika dilakukan untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, inovatif, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan siswa dalam memajukan kualitas diri untuk hidup lebih baik pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

Pembelajaran matematika pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan lanjutan dari pembelajaran matematika pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada jenjang pendidikan sebelumnya, siswa belajar matematika dalam situasi pembelajaran yang dirancang oleh guru dengan menggunakan bantuan peraga sebagai wujud konkret dari objek-objek matematika. Setelah melalui proses itu, siswa mulai dibimbing oleh guru untuk berpikir secara formal dalam pembelajaran matematika pada jenjang SMA sebagaimana disebutkan dalam Lampiran Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap kemampuan berpikir siswa agar dapat memudahkan siswa dalam memahami makna dari objek-objek matematika yang sejatinya bersifat abstrak.

(7)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 2 (instructional effect). Sedangkan proses pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang terjadi selama proses pembelajaran langsung yang dikondisikan menghasilkan perubahan sikap yang berupa moral dan perilaku sebagai dampak pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran langsung. Kedua proses pembelajaran tersebut dilaksanakan secara terintegrasi. Pembelajaran langsung bertujuan untuk mencapai Kompetensi Dasar (KD) pada pengembangan Kompetensi Inti (KI) ke-3 dan ke-4 yang dilaksanakan secara bersamaan dan menjadi wahana untuk mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-2.

Proses pembelajaran langsung mengisyaratkan guru untuk menyusun rencana sebelum pembelajaran itu dilaksanakan di kelas. Perencanaan tersebut sangat penting agar pembelajaran dapat terlaksana secara optimal, di mana siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Di dalam hal ini, perencanaan pembelajaran tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk perangkat pembelajaran, terutama RPP dan LKS. Pada Kurikulum 2013, guru tidak menyusun silabus melainkan menggunakannya sebagai acuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran sebagaimana dinyatakan Pasal 9 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014.

Idealnya, guru dapat mengembangkan perangkat pembelajaran secara mandiri. Akan tetapi, pengembangan perangkat pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013 dirasa sulit. Hal ini didasarkan pada hasil wawancara dengan guru SMA Negeri 1 Prambanan Sleman bahwa guru masih merasa sulit dalam menyusun perangkat pembelajaran, khususnya RPP dan LKS yang sesuai dengan ketentuan dalam Kurikulum 2013. Kesulitan guru terletak pada bagian penjabaran indikator ketercapaian Kompetensi Dasar (KD), penyusunan langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang memuat sintaks dari model pembelajaran yang digunakan dan pengaitannya dengan pendekatan Saintifik, dan penyusunan penilaian yang mencakup keempat aspek KI. Selain itu, guru juga mengalami kesulitan dalam mengembangkan LKS yang dapat memfasilitasi kegiatan belajar siswa sesuai dengan RPP yang telah dikembangkannya.

(8)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 3 tentang pengembangan perangkat yang dilakukan oleh guru secara mandiri. Guru memerlukan referensi yang lebih variatif dan memadai. Pada kenyataannya, referensi yang sesuai dengan kebutuhan guru dan yang memiliki kualitas yang baik belum mudah didapatkan. Adapun referensi-referensi yang selama ini diunduh guru dari internet belum tentu baik kualitasnya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu perangkat pembelajaran yang berkualitas baik dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, serta sesuai dengan kebutuhan belajar siswa.

Berdasarkan hasil observasi pada siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman, disimpulkan bahwa materi geometri dianggap paling sulit dibandingkan dengan materi lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh hasil Ujian Nasional (UN) Matematika siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman selama tiga tahun terakhir yang disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Persentase Penguasaan Materi Soal Ujian Nasional Matematika Siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman Tahun 2013 s.d. 2015

(Sumber: Puspendik Balitbang Kemdikbud RI)

No. Materi 2013 2014 2015

1 Logika matematika 59,21 64,64 49,77

2 Statistika dan peluang 49,21 53,90

3 Eksponen, barisan, dan deret fungsi 68,86 55,28

60,37 4 Lingkaran, suku banyak, dan komposisi fungsi 65,13 40,85

5 Matriks, vektor, dan transformasi 63,95 48,78 6 Persamaan dan pertidaksamaan 64,48 60,57

7 Geometri 38,82 35,98 42,09

8 Trigonometri 50,44 46,34

9 Kalkulus 55,92 44,98 51,29

Berdasarkan Tabel 1, penguasaan siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman terhadap materi geometri masih rendah. Hal tersebut didasarkan pada dua indikator. Pertama, selama tiga tahun terakhir, penguasaan materi geometri kurang dari 50%. Kedua, apabila dibandingkan dengan materi lainnya, maka penguasaan siswa pada materi geometri tergolong yang terrendah. Berdasarkan hal tersebut, geometri dianggap sebagai materi yang tersulit bagi siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman.

(9)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 4 Menengah Atas (SMA). Beberapa masalah yang paling relevan adalah masalah kemampuan menyelesaikan masalah pada siswa dalam menyelesaikan soal-soal berbasis masalah. Selama ini, siswa terbiasa belajar matematika hanya dengan latihan mengerjakan soal-soal rutin (factory-style). Pembelajaran matematika yang dilakukan dengan cara itu mengakibatkan siswa hanya menguasai pengetahuan yang bersifat prosedural. Implikasinya, siswa lebih terfokus dalam berhitung dan menggunakan rumus daripada memahami dan menyelesaikan masalah dengan menggunakan cara-cara yang efektif.

Sementara itu, di dalam NCTM (2000: 353) dinyatakan bahwa menyelesaikan masalah memiliki peran penting pada kurikulum matematika SMA, yakni sebagai suatu strategi dan penggerak fundamental dalam belajar konten atau isi matematika dan sebagai tujuan belajar matematika. Sebagai suatu strategi, menyelesaikan masalah digunakan untuk melibatkan siswa dengan ide-ide matematika yang penting dan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap ide-ide tersebut. Sedangkan peranan menyelesaikan masalah sebagai tujuan belajar matematika berkaitan dengan suatu kemampuan yang harus dicapai atau dimiliki siswa dalam merumuskan dan menemukan solusi dari suatu masalah.

Kemampuan menyelesaikan masalah sangat penting untuk ditingkatkan mengingat semakin majunya peradaban yang diiringi dengan semakin kompleksnya masalah yang harus diselesaikan dengan cermat dan tepat. Idealnya, pembelajaran matematika dirancang untuk dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah. Akan tetapi, pada kenyataannya, kemampuan menyelesaikan masalah pada siswa, khususnya di SMA Negeri 1 Prambanan Sleman, belum mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Salah satu penyebabnya adalah kesulitan guru dalam mengembangkan soal-soal berbasis masalah, terutama pada materi geometri yang digunakan untuk melatih siswa meningkatkan kemampuan tersebut.

(10)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 5 siswa yang mendapat skor lebih dari 40. Berdasarkan data tersebut, kemampuan menyelesaikan masalah geometri pada siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman dapat dikatakan masih rendah.

Selain permasalahan tersebut, banyak siswa yang kurang yakin terhadap kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika, khususnya geometri. Permasalahan tersebut ditemukan oleh peneliti pada observasi prapenelitian yang dilakukan dengan wawancara pada beberapa siswa. Permasalahan tersebut berkaitan dengan efikasi diri, yakni keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu tugas, menguasai situasi, mencapai suatu tujuan, dan menguasai suatu keterampilan. Pengertian tersebut disarikan dari beberapa pendapat ahli di antaranya Bandura (1995: 2), Schunk (1995: 112), Margolis & McCabe (2006: 219), Wade & Tavris (2007: 180), dan Santrock (2011b: 473).

Permasalahan tentang efikasi diri belum mendapat perhatian khusus dari pihak-pihak yang terkait langsung dalam pembelajaran, seperti guru dan siswa itu sendiri. Selama ini, guru dan siswa terfokus pada bagaimana mencapai prestasi belajar yang tinggi daripada memperhatikan aspek-aspek penting lainnya seperti efikasi diri yang dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar siswa.

Berdasarkan data hasil pengisian angket efikasi diri siswa dalam belajar geometri pada siswa kelas XI MIA 2, ditunjukkan bahwa rata-rata skor efikasi diri siswa tergolong “sedang”, di mana 13% siswa memiliki efikasi diri yang “rendah”, 55% siswa memiliki efikasi diri yang “sedang”, dan hanya 31% siswa yang memiliki efikasi diri yang “tinggi”. Berdasarkan kondisi tersebut, guru perlu membantu siswa dalam meningkatkan efikasi diri siswa agar memberikan pengaruh yang positif pada perkembangan sikap dan kognitif siswa tersebut.

(11)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 6 Pemilihan model pembelajaran menjadi salah satu hal penting yang perlu diperhatikan oleh guru dalam mengembangkan perangkat pembelajaran. Di dalam hal ini, model pembelajaran yang dipilih harus relevan dengan konsep pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013 dan kebutuhan belajar siswa. Model pembelajaran yang dipilih harus dapat memfasilitasi siswa dalam mengonstruksi pengetahuan. Hal ini didasarkan pada Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa siswa adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengonstruksi, dan menggunakan pengetahuan sehingga pembelajaran harus memberikan kesempatan pada siswa untuk mengonstruksi pengetahuan agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan.

Berdasarkan hasil studi pustaka, model pembelajaran CORE yang dikembangkan oleh Miller & Calfee (2004) memiliki beberapa ciri-ciri atau keunggulan yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya. Model tersebut terdiri dari empat tahapan pembelajaran, yaitu tahap Koneksi (Connecting), tahap Organisasi (Organizing), tahap Refleksi (Reflecting), dan tahap Ekstensi (Extending). Di dalam model ini, siswa diperlakukan sebagai sebagai subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Hal tersebut sesuai dengan Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 yang menjelaskan tentang peran siswa di dalam pembelajaran.

(12)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 7 Hasil wawancara dengan guru matematika SMA Negeri 1 Prambanan Sleman menunjukkan bahwa kegiatan memaknai, menguatkan, dan memperluas pengalaman belajar siswa sebagaimana termuat dalam model pembelajaran CORE belum diterapkan pada pembelajaran matematika di sekolah tersebut. Sebagai akibat yang dapat diamati oleh guru adalah pasifnya siswa pada saat melaksanakan kegiatan refleksi di dalam pembelajaran matematika. Hampir tidak ada siswa yang dapat memberikan simpulan atau jawaban yang benar ketika diminta untuk menyimpulkan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat reflektif. Hal ini mengindikasikan bahwa proses mengonstruksi pengetahuan belum dapat terlaksana secara optimal.

Berdasarkan uraian tersebut, penerapan model CORE dalam pembelajaran dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengonstruksi pengetahuan dan meningkatkan beberapa kompetensi, di antaranya kemampuan menyelesaikan masalah, efikasi diri, dan prestasi belajar siswa. Oleh karena itu, penting dilakukan pengembangan perangkat pembelajaran dengan mengadaptasi model CORE untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, efikasi diri, dan prestasi belajar geometri siswa SMA.

B. Kajian Pustaka tentang Produk

1. Model Pembelajaran CORE

(13)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 8 Gambar 1. Tahapan dalam Model Pembelajaran CORE yang

Diterapkan oleh Miller dan Calfee (2004: 10)

Gambar tersebut merupakan ilustrasi tahapan model CORE yang diterapkan oleh Miller dan Calfee (2004) dalam pembelajaran Sains yang dikombinasikan dengan metode membaca dan menulis. Miller & Calfee (2004: 21) menyatakan bahwa model pembelajaran CORE dapat diterapkan dalam pembelajaran yang berbasis pengalaman, misalnya pembelajaran dengan pendekatan inkuiri. Curwen, Miller, White-Smith, & Calfee (2010: 133) menambahkan bahwa model pembelajaran tersebut dapat diterapkan pada semua mata pelajaran. Ciri khas model pembelajaran CORE terdapat pada tahapan/sintak pembelajaran dan metode yang digunakan.

Tahapan atau sintak model pembelajaran CORE tersebut dijelaskan sebagai berikut ini.

a. Tahap Menghubungkan Pengetahuan (Connecting Knowledge)

(14)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 9 Pada tahap ini, setidaknya ada dua hal penting yang harus dilakukan siswa. Pertama, siswa mengingat kembali pengetahuan yang telah dimilikinya. Kedua, siswa menemukan informasi-informasi baru yang akan dipelajarinya. Untuk dapat mengingat kembali pengetahuan yang telah dimilikinya, siswa dapat menggunakan ingatan berupa kata-kata (word memory). Cara tersebut dapat dilakukan dengan mengingat kembali (recall)

dan mencari hubungan antara tanggal atau fakta atau daftar informasi tertentu dengan sekumpulan instruksi sebagaimana dikemukakan oleh Caine dan Caine (1997: 41) bahwa “Many of us associate the word memory with the recall of specific dates or facts or lists of information and sets of instructions,

requiring memorization and effort”.

Pentingnya siswa mengingat kembali informasi atau pengetahuan yang telah dipelajarinya didasarkan pada pendapat Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) bahwa “... students must recall information and use their metacognitive knowledge to link and sequence their ideas”. Artinya, siswa

harus mengingat kembali informasi dan menggunakan pengetahuan metakognitif mereka untuk menghubungkan dan merangkai ide-ide mereka.

Sementara itu, untuk dapat menemukan informasi-informasi baru yang akan dipelajarinya, siswa dapat menggunakan inderanya secara aktif. Henson dan Eller (1999: 249) menyatakan bahwa penggunaan indera dalam kegiatan belajar dapat tercermin pada aktivitas seperti siswa mendengarkan perkataan guru mereka (penggunaan indera pendengaran), membaca teks (penggunaan indera penglihatan), mencium aroma makanan di kafetaria sekolah (penggunaan indera penciuman), merasakan makanan (penggunaan indera perasa), dan menulis (penggunaan indera kinestetik).

(15)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 10 beberapa pertanyaan yang merangsang keingintahuan dan/atau memberikan tantangan bagi siswa untuk menemukan jawabannya.

Di dalam pembelajaran matematika, tahap koneksi merupakan tahap yang sangat penting untuk meningkatkan kekuatan matematis siswa. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan dalam NCTM (2000: 354) bahwa

As they build on their previous mathematical understandings while learning new concepts, students become increasingly aware of the connections among various mathematical topics. As students’ knowledge of mathematics, their ability to use a wide range of mathematical representations, and their access to sophisticated technology and software increase, the connections they make with other academic disciplines, especially the sciences and social sciences, give them greater mathematical power.

Pada tahap koneksi, guru dapat memberikan topik yang relevan dengan materi yang akan dipelajari siswa. Sebagai contohnya dalam pembelajaran geometri, guru dapat menyajikan suatu peta untuk mengenalkan konsep jarak pada siswa.

Gambar 2. Peta Kawasan Simpang Lima

(Sumber: http://1.bp.blogspot.com/)

(16)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 11 Simpang Lima, Pasar Minggu, dan Kebun Bindatang.”. Selanjutnya, guru dapat mengajukan pertanyaan sebagai berikut, “Di antara tiga lokasi wisata tersebut, lokasi manakah yang paling dekat dengan gedung pertemuan?”.

Pada awalnya, guru mengenalkan istilah posisi, kedudukan, jauh, dan dekat untuk mengenalkan konsep jarak. Selanjutnya, guru dapat membantu siswa untuk mengingat kembali dalil Pythagoras dan kedudukan titik pada bidang Cartesius. Bila perlu, guru menyediakan kertas berpetak untuk memudahkan siswa dalam menentukan jarak antartitik.

b. Tahap Mengorganisasikan Informasi(OrganizingInformation)

Tahap ini merupakan tahap di mana siswa mengorganisasikan informasi-informasi yang relevan dengan materi yang dipelajari dan diperoleh dari berbagai referensi. Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) menyatakan bahwa “Knowledge construction is not simply a matter of accumulating particular facts or even of creating new units of information. It also involves

organizing old information into new forms”. Berdasarkan pendapat tersebut, konstruksi pengetahuan tidak sekedar dilakukan dengan mengumpulkan fakta atau kejadian tertentu, melainkan melibatkan pengorganisasian informasi-informasi lama ke dalam bentuk yang baru. Bentuk tersebut tidak lain berupa konstruksi pengetahuan yang lebih lengkap dari sebelumnya. Secara konkret, tahapan ini menghasilkan suatu skema pengetahuan yang dapat diilustrasikan dalam bagan, tabel, atau peta konsep.

(17)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 12 Novak dan Canas (2008: 3) menyatakan bahwa pembuatan peta konsep merupakan salah satu cara yang berguna untuk mengetahui pemahaman konseptual dan ide-ide siswa yang sedang dipikirkannya. Peta konsep yang dibuat oleh siswa dapat dijadikan sebagai gambaran bagi guru mengenai struktur kognitif siswa pada saat itu. Pada tahap ini guru dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pemahaman konsep pada siswa.

Berdasarkan pendapat Miller & Calfee (2004: 23), tahap mengorganisasi informasi tidak hanya bertujuan agar siswa dapat mengorganisasi konsep-konsep sebelum dan selama proses pengumpulan informasi itu terjadi tetapi juga bertujuan agar siswa dapat menggunakannya kembali pada tahap selanjutnya. Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) menyatakan bahwa penggunaan metode diskusi dapat membantu siswa untuk melakukan pengumpulan dan pengorganisasian informasi-informasi yang diperolehnya dari hasil berinteraksi bersama guru dan/atau siswa-siswa lainnya.

Kegiatan mengorganisasikan informasi di dalam pembelajaran geometri pada siswa SMA diawali dengan menemukan deskripsi-deskripsi tentang karakter dari objek yang dipelajari. Hal tersebut dirujuk dari pernyataan dalam NCTM (2000: 31) bahwa “High school students should begin to organize their knowledge about classes of objects more formally. Finding

precise descriptions of conditions that characterize a class of objects is an

important first step.”

Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh guru untuk mempermudah siswa dalam mengorganisasi informasi adalah menyediakan tabel dan petunjuk pengisian tabel tersebut. Tabel tersebut digunakan untuk menghimpun informasi-informasi penting yang diperlukan siswa untuk membangun pemahaman tentang suatu konsep. Ketersediaan tabel juga dapat membuat siswa lebih cepat dan terarah dalam menghimpun informasi dari berbagai sumber.

(18)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 13 F

H G

E

C B

A

D

Gambar 3. Kubus ABCD.EFGH

Guru meminta siswa mengamati gambar tersebut. Guru memisalkan panjang rusuk kubus tersebut dengan suatu bilangan beserta satuannya, misalnya 4 cm. Siswa diminta menuliskan contoh-contoh jarak dan ukuran panjangnya pada tabel yang telah disediakan oleh guru. Berikut ini contoh tabel hasil pengamatan yang dapat diisi siswa.

Tabel 2. Contoh Jarak pada Kubus ABCD.EFGH

No. Jarak Contoh Jarak Panjang

1. Jarak antara dua titik 4 cm

d(A, C), d(B, D), dan d(E, G)

4√3 cm 2. Jarak antara suatu

titik dan suatu garis

4 cm d(A, CE), d(E, AG), dan d(H, DF)

Siswa diminta mengisi baris yang masih kosong pada kolom “contoh jarak” dan “panjang” berdasarkan hasil pengamatan pada gambar 3. Penulisan jawaban pada kolom “contoh jarak” disepakati menggunakan notasi seperti yang dicontohkan, misalnya d(A, C), d(B, D), dan d(E, G). Di dalam hal ini, guru memberikan penjelasan tentang notasi penulisan jarak apabila siswa belum memahami materi tersebut.

(19)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 14 Di samping itu, guru juga perlu membimbing siswa dalam mengorganisasikan suatu konten atau isi sedemikian sehingga informasi yang paling umum disajikan terlebih dahulu kemudian disertai dengan data yang lebih detail. Guru juga perlu memastikan bahwa materi baru yang sedang dibelajarkan pada siswa memiliki hubungan dengan materi yang telah dipelajari siswa pada pembelajaran sebelumnya.

c. Refleksi dalam Kegiatan Belajar(Reflecting on Learning)

Refleksi berasal dari kata reflek yang menurut Rodgers (2002: 843) berarti menjadi mampu berpikir untuk belajar. Dymock (2005: 2) menyatakan bahwa refleksi di dalam pembelajaran dengan model CORE adalah tahap di mana siswa menjelaskan atau mengkritik isi, struktur, dan strategi-strategi. Siswa akan mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Siswa menyimpulkan dengan bahasa sendiri tentang apa yang mereka peroleh dari pembelajaran ini. Miller & Calfee (2004: 23) menyatakan bahwa pada tahap refleksi ini, siswa diberi kesempatan oleh guru untuk memikirkan apa yang telah dipelajari dalam kelompok kecil maupun besar dengan cara mengoreksi dan memadatkan isi pengetahuan.

Refleksi menurut Rodgers (2002: 851) merupakan suatu proses yang di dalamnya memuat tahap-tahap yang mencerminkan metode ilmiah. Tahapan di dalam refleksi tersebut di antarannya: a) mengalami; b) menerjemahkan pengalaman secara spontan; c) menamai masalah atau pertanyaan yang didasarkan pada pengalaman; d) menghasilkan penjelasan yang mungkin untuk masalah atau pertanyaan yang diajukan; e) merumuskan hipotesis; dan f) melakukan eksperimen atau menguji hipotesis yang dipilih.

(20)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 15 rusuk p satuan. Berdasarkan hal tersebut, siswa akan memahami konsep jarak dengan menyebutkan contoh-contoh jarak antardua titik pada suatu kubus dan merumuskan cara untuk menentukan jaraknya.

d. Memperluas Pengalaman (Extending the Experience)

Tahap memperluas pengalaman merupakan tahap di mana siswa menggeneralisasikan pengetahuan yang mereka peroleh selama proses belajar berlangsung. Suyatno (2009: 67) menyatakan bahwa perluasan/ekstensi merupakan tahap yang mana siswa dapat memperluas wawasan atau pengetahuan yang telah diperoleh selama proses pembelajaran. Dymock (2005: 2) menyatakan bahwa pada tahap ekstensi ini guru dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk memperluas pengetahuan siswa dengan cara memberikan topik-topik baru lainnya yang relevan. Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) menyatakan bahwa pengetahuan prosedural dan deklaratif dapat diperluas dengan cepat ketika siswa mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang mereka ajukan sendiri.

Kegiatan pada tahap ekstensi dalam pembelajaran geometri yang diorientasikan untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dapat dilakukan dengan mengaplikasikan soal-soal berbasis masalah. Hal ini didasarkan pada pernyataan dalam NCTM (2000: 313) bahwa “Applied problems can furnish both rich contexts for using geometric ideas and

practice in modeling and problem solving”. Berdasarkan pernyataan tersebut,

mengaplikasikan masalah dapat melengkapi pengayaan konteks untuk menggunakan ide-ide geometris dan praktik dalam memodelkan dan menyelesaikan masalah.

(21)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 16

F

H G

E

C B

A

D

Q Perhatikan gambar kubus ABCD.EFGH berikut ini.

Panjang rusuk kubus tersebut adalah 8 dm. Tentukan jarak antara titik F dan

bidang BDQ.

Selain itu, model pembelajaran CORE memiliki ciri khas pada metode pembelajaran yang digunakan yakni diskusi sebagaimana disebutkan oleh Bruning, Schraw, dan Norby (2011: 204-205). Metode tersebut digunakan di dalam model pembelajaran CORE karena dapat menyediakan koneksi dalam belajar, membantu mengorganisasikan pengetahuan, membantu perkembangan berpikir reflektif, dan membantu memperluas pengetahuan di antara siswa dan guru.

Berdasarkan uraian mengenai model pembelajaran CORE, dapat disimpulkan bahwa model tersebut memberikan kesempatan pada siswa untuk mengonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya kemudian merefleksikan proses belajar yang telah dialaminya serta memperluas pengalaman belajar siswa.

(22)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 17 termuat dalam model pembelajaran CORE, khususnya pada tahap Organisasi yang mana pada tahap tersebut terdapat interaksi antara siswa dengan guru dan siswa lainnya yang dilakukan dengan metode diskusi.

Sementara itu, Margolis & McCabe (2006: 220-225) menyebutkan beberapa ciri dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan efikasi diri siswa, di antaranya: 1) guru merencanakan tugas-tugas tantangan secara secara cukup, 2) guru menggu-nakan model-model tutor sebaya, 3) guru bersama dengan siswa menguatkan usaha dan mengoreksi strategi yang digunakan siswa, dan 4) guru bersama dengan siswa memberikan timbal balik yang sering, terfokus, dan spesifik. Dari pendapat tersebut, ciri pertama dapat ditemukan pada tahap Ekstensi, ciri kedua dapat ditemukan pada tahap Organisasi, dan ciri ketiga serta ciri keempat dapat ditemu-kan pada tahap Refleksi dalam model pembelajaran CORE. Selain itu, hasil penelitian Ria Deswita (2015), Puji Nurfayziah (2012), Ellisia Kumalasari (2011), dan Grifin, Louise, & Sonya (2013) juga dapat dijadikan sebagai rujukan yang menunjukkan bahwa model pembelajaran CORE dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dan/atau efikasi diri siswa.

2. Implementasi CORE dalam Pembelajaran Berbasis Kurikulum 2013

Di dalam menerapkan suatu model pembelajaran, hendaknya guru mempertimbangkan kesesuaian antara model tersebut dengan ciri-ciri dan pendekatan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku. Model pembelajaran CORE yang diadaptasi dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini sesuai dengan ciri-ciri pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 dan pendekatan Saintifik.

(23)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 18 Aktivitas “mencari” dalam pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 terkait dengan aktivitas siswa pada tahap Connecting dalam model pembelajaran CORE. Pada tahap tersebut, siswa menghubungkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan informasi baru yang sedang dipelajarinya. Untuk dapat memiliki informasi baru, siswa harus mencari informasi-informasi tersebut.

Sementara itu, aktivitas “mengolah” dalam pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 ini dapat dikaitkan dengan aktivitas siswa pada tahap Organizing dalam model pembelajaran CORE karena pada tahap tersebut siswa mengolah informasi-informasi yang telah diperolehnya pada suatu tabel, bagan, daftar, dan sebagainya. Sedangkan aktivitas “mengonstruksi” dalam pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 ini tercermin dalam seluruh tahap belajar berdasarkan model pembelajaran CORE.

Hubungan antara model pembelajaran CORE dan pendekatan Saintifik dapat dirujuk dari tabel-tabel dan pembahasan berikut ini.

Tabel 3. Kegiatan Belajar Siswa dengan Pendekatan Saintifik (Sumber: Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014)

Langkah Pembelajaran

Kegiatan Belajar Siswa

Mengamati Membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat)

Menanya Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik)

Mengumpulkan informasi/ eksperimen

- melakukan eksperimen

- membaca sumber lain selain buku teks - mengamati objek/kejadian/aktivitas - wawancara dengan nara sumber Mengasosiasikan/

mengolah informasi

- mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperi men maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi.

- mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda maupun yang bertentangan. Mengomunikasikan Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan

(24)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 19 Berdasarkan tabel 3 tersebut, proses pembelajaran yang harus dilakukan siswa dengan pendekatan Saintifik, yaitu: 1) mengamati (observing), 2) menanya (questioning), 3) mengasosiasikan informasi/eksperimen (experimenting), 4) mengasosiasi (associating), dan 5) mengomunikasikan (communicating). Pada tabel tersebut disebutkan kata-kata operasional yang dapat dijadikan sebagai indikator kegiatan belajar siswa pada setiap langkah dalam pendekatan Saintifik.

Sementara itu, kegiatan belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran CORE yang disarikan dari beberapa pendapat para ahli diuraikan pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Kegiatan Belajar Siswa dengan Model Pembelajaran CORE

Tahapan Pembelajaran

Kegiatan Belajar Siswa

Menghubungkan Pengetahuan (Connecting Knowledge)

- mengingat kembali (recall), membuat mata rantai (link) dan merangkai ide-ide. (Bruning, Schraw, dan Norby, 2011: 205)

- mengingat kembali tanggal atau fakta atau daftar informasi tertentu dan sekumpulan instruksi (Caine dan Caine, 1997: 41)

- mendengarkan, membaca, mencium, merasakan, dan menulis (Henson dan Eller, 1999: 249)

Mengorganisasikan Informasi

(Organizing Information)

- mengumpulkan fakta-fakta dan mengorganisasikan informasi-informasi baru (Bruning, Schraw, dan Norby, 2011: 205)

- membuat peta konsep (Novak dan Canas, 2008: 1) Refleksi dalam

Kegiatan Belajar (Reflecting on Learning)

- menyajikan, mengatur, menjelaskan, dan mempertahankan ide (Bruning, Schraw, dan Norby, 2011: 205)

- mengalami, menginterpretasikan pengalaman secara spontan, mengidentifikasi masalah atau pertanyaan yang didasarkan pada pengalaman, menghasilkan penjelasan yang mungkin untuk masalah atau pertanyaan yang diajukan, merumuskan hipotesis, dan bereksperimen atau menguji hipotesis yang dipilih. (Rodgers, 2002: 851).

Memperluas Pengalaman (Extending the Experience)

- membahas topik-topik baru lainnya yang relevan (Dymock, 2005: 2)

- mencari jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan sendiri (Bruning, Schraw, dan Norby, 2011: 205)

(25)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 20 Berdasarkan uraian pada tabel 3 dan 4 tersebut, dirumuskan hubungan sintak model pembelajaran CORE dan pendekatan Saintifik yang disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 5. Hubungan Sintak Model Pembelajaran CORE dan Pendekatan Saintifik Ditinjau dari Kegiatan Belajar Siswa

Connecting Organizing Reflecting Extending Observing membaca,

mendengar, menyimak, melihat, dan menulis.

- - -

Questioning mengajukan pertanyaan

Experimenting - mengalami, mengidentifikasi

Associating - - mengolah/meng organisasikan informasi

-

Communicating - - menginterpretasi kan pengalaman

-

(26)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 21 antaranya Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014, Bruning, Schraw, dan Norby, (2011), Caine dan Caine (1997), Henson dan Eller (1999), Novak dan Canas, (2008), dan Rodgers (2002).

Mengamati merupakan tahap awal dalam sintaks pendekatan Saintifik yang di dalamnya memuat kegiatan belajar seperti membaca, mendengar, menyimak, dan melihat (tanpa atau dengan alat). Mengamati juga dapat dipandang sebagai suatu metode. Hal ini didasarkan pada pernyataan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 36) bahwa mengamati merupakan metode yang mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning).

Metode mengamati memiliki keunggulan tertentu seperti menyajikan media objek secara nyata sehingga dapat membuat siswa senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Kebermanaan pembelajaran merupakan kata kunci dalam tahap mengamati yang erat kaitannya dengan prinsip pembelajaran dengan model CORE. Kegiatan belajar dalam tahap mengamati ini merupakan bagian dari tahap koneksi dalam pembelajaran dengan model CORE yang mana pada tahap koneksi tersebut diperlukan aktivitas seperti membaca, mendengar, menyimak, dan melihat suatu objek sebagai sumber informasi yang akan dihubungkan dengan pengetahuan awal siswa. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 37) juga menyatakan bahwa metode mengamati dapat membuat siswa menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang akan digunakan oleh guru.

Selanjutnya, kegiatan mengajukan pertanyaan yang dilakukan oleh siswa merupakan kegiatan belajar yang termuat pada tahap questioning dalam pendekatan Saintifik. Kegiatan tersebut juga dapat dilakukan siswa dalam pembelajaran CORE pada tahap connecting. Kegiatan mengajukan pertanyaan menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 38) berfungsi untuk menstrukturkan tugas-tugas. Artinya, pada tahap tersebut terjadi aktivitas yang mana siswa berusaha mengatur atau mengorganisasikan pertanyaan apa saja yang diperlukan untuk memperoleh informasi yang dimaksud. Di sinilah awal tahap organisasi itu terjadi.

(27)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 22 dan Kebudayaan (2014: 41) menyebutkan bahwa cara-cara untuk mengumpulkan informasi diantaranya dengan melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/kejadian/aktivitas, dan wawancara. Di dalam model pembelajaran CORE, kegiatan ini dapat dikategorikan dalam tahap organizing. Hal tersebut disesuaikan dengan pendapat Bruning, Schraw, & Norby

(2011: 205) bahwa aktivitas belajar yang dapat dilakukan siswa pada tahap organizing meliputi mengumpulkan fakta-fakta dan mengorganisasikan

informasi-informasi baru. Di dalam hal ini, aktivitas mengumpulkan informasi-informasi tersebut relevan dengan aktivitas mengumpulkan fakta-fakta.

Berdasarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 42), meskipun menalar merupakan terjemahan dari reasoning, istilah menalar dalam Kurikulum 2013 dipadankan dengan associating karena konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan Saintifik banyak merujuk pada teori belajar asosiasi. Istilah asosiasi ini ditandai dengan kegiatan mengelompokkan beragam ide/informasi dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk dibangun menjadi suatu pengetahuan yang baru. Di dalam model pembelajaran CORE, aktivitas menalar termasuk pada tahap reflecting.

Tahap terakhir dalam pembelajaran dengan pendekatan Saintifik adalah mengomunikasikan hasil belajar (communicating). Kegiatan belajar yang dilakukan pada tahap ini adalah menyampaikan hasil pengamatan dan kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan dan tertulis. Di dalam model pembelajaran CORE, tahap ini berhubungan dengan tahap refleksi yang serupa dengan aktivitas menginterpretasikan pengalaman sebagaimana didasarkan pada pendapat Rodgers (2002: 851). Refleksi terjadi manakala siswa mengomunikasikan apa yang telah dipelajari dan guru membimbing siswa untuk memikirkan kembali kesimpulan yang telah dibuat oleh siswa, kemudian keduanya mengomunikasikan hasil pemikiran tersebut. Tahap mengomunikasikan ini tidak semata-mata dilakukan oleh siswa. Klarifikasi yang diberikan guru kepada siswanya merupakan bentuk refleksi yang dikomunikasikan secara lisan atau tertulis.

3. Kemampuan Menyelesaikan Masalah

(28)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 23 situation, quantitative or otherwise, that confronts an individual or group of

individuals, that requires resolution, and for which the individual sees no apparent or obvious means or path to obtaining a solution.” Artinya, suatu masalah adalah suatu situasi, kuantitatif atau selain itu, yang dihadapi oleh seseorang atau sekelompok orang, yang memerlukan ketetapan, dan yang mana seseorang kesulitan dalam melihat maksud atau jalur mendapatkan solusi secara jelas. Sedangkan masalah menurut Fajar Shadiq (2004: 11) adalah tantangan yang tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui oleh orang yang ingin menyelesaikan tantangan tersebut.

Sementara itu, Van Gundy (2005: 21) menyatakan bahwa masalah adalah beberapa hambatan atau tujuan yang sulit dicapai. Sedangkan Byrnes (2008: 79) menyatakan bahwa masalah adalah situasi ketika seseorang memiliki tujuan yang akan dicapai dan harus memutuskan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Demikian halnya, Bruning, Schraw, & Norby, (2011: 160) menyatakan bahwa masalah adalah situasi ketika keadaan yang sedang berlangsung tidak sesuai dengan keadaan yang diharapkan.

Berdasarkan uraian tersebut, masalah dapat diartikan sebagai suatu situasi atau tantangan dalam mencapai suatu tujuan yang belum diketahui strategi penyelesaiannya dan tidak dapat dapat diselesaikan dengan prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui oleh orang yang ingin menyelesaikan tantangan

tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, setiap situasi yang dipandang sebagai masalah pastilah memerlukan usaha dari kita untuk menyelesaikannya. Usaha yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut merupakan bagian dari proses menyelesaikan masalah. Sedangkan hasil penyelesaian masalahnya disebut solusi.

(29)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 24 merupakan komponen operasi. Kegiatan menyelesaikan masalah menurut Suneetha, Rao, & Rao (2004: 5) merupakan dasar dalam pembelajaran bermakna.

Menyelesaikan masalah (problem solving) menurut NCTM (2000: 52) adalah proses menerapkan pengetahuan untuk menemukan suatu solusi yang tidak segera diketahui cara penyelesaiannya. Demikian halnya menurut Mourtos, Okamoto, & Rhee (2004: 1), menyelesaikan masalah adalah suatu proses yang digunakan untuk memperoleh jawaban terbaik dari sesuatu yang belum diketahui atau sesuatu yang harus segera diselesaikan.

Di dalam pembelajaran matematika, menyelesaikan masalah tidak hanya dipandang sebagai suatu tujuan tetapi juga dipandang sebagai suatu proses yang harus dilakukan oleh siswa. Siswa seharusnya mendapat kesempatan untuk merumuskan, mencoba, dan menyelesaikan masalah yang kompleks dan selanjutnya didorong untuk melakukan refleksi terhadap pemikirannya.

Menyelesaikan masalah dapat dipandang sebagai kemampuan, pendekatan, ataupun tujuan dari suatu kegiatan belajar. Menyelesaikan masalah sebagai suatu kemampuan disebut sebagai kemampuan menyelesaikan masalah. Berikut ini penjelasan tentang definisi/pengertian kemampuan menyelesaikan masalah menurut beberapa pendapat ahli.

Nitko & Brookhart (2007: 215) mendefinisikan kemampuan menyelesai-kan masalah sebagai kemampuan seseorang dalam menggunamenyelesai-kan satu atau lebih tingkatan proses berpikir yang lebih tinggi dalam rangka memperoleh solusi dari masalah yang dihadapinya.

Haylock & Thagatha (2007: 146) berpendapat bahwa kemampuan menye-lesaikan masalah adalah kemampuan yang digunakan oleh seseorang dalam memikirkan pengetahuan matematis dan penalaran untuk mengurangi gap/kesenjangan antara apa yang diberikan dan tujuan yang akan dicapainya.

Sedangkan Mataka, et al. (2014: 165) mendefinisikan kemampuan menyelesaikan masalah sebagai suatu proses mental ketika seseorang belajar dan menyelesaikan masalah.

Sementara itu, di dalam OECD (2003a: 156) dinyatakan bahwa “Problem

solving is an individual’s capacity to use cognitive process to confront and

(30)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 25

immediately obvious …”. Artinya, kemampuan menyelesaikan masalah adalah kapasitas seseorang untuk menggunakan proses kognitif dalam menghadapi dan menyelesaikan kenyataan, situasi-situasi lintas-disipliner di mana jalan penyelesaiannya tidak segera tampak.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan menyelesaikan masalah adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan satu atau lebih tingkatan proses berpikir yang lebih tinggi dalam menyintesiskan berbagai konsep, aturan, atau rumus untuk mendapatkan solusi dari masalah yang dihadapinya. Proses berpikir yang dimaksud dalam pengertian tersebut merupakan proses menyelesaikan masalah yang dirujuk dari beberapa pendapat ahli berikut.

Bruning, Schraw, dan Norby (2011: 185) menyebutkan bahwa proses menyelesaikan masalah meliputi mengenali (identify) masalah, menyajikan (represent) masalah, memilih suatu strategi (select a strategy), menerapkan strategi (implement the strategy), dan mengevaluasi perkembangan (evaluate progress).

Polya (2004: 5-6) menyebutkan bahwa proses menyelesaikan masalah setidaknya meliputi empat tahapan, yaitu pemahaman masalah, penyusunan rencana, pelaksanaan rencana, dan pengkajian kembali. Sementara itu, Kirkley (2003: 4) berpendapat bahwa proses menyelesaikan masalah melibatkan tiga tahap utama, yaitu penyajian masalah, pencarian solusi, dan penerapan solusi.

Sementara itu, Tambychik dan Meerah (2010: 143) menyatakan bahwa proses menyelesaikan masalah mencakup tiga tahap, yaitu membaca dan memahami masalah, mengatur strategi dan menyelesaikan masalah, dan mengkonfirmasi jawaban dan proses.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses menyelesaikan masalah meliputi identifikasi informasi, penyusunan cara penyelesaian, penggunaan cara penyelesaian, dan penentuan solusi. Simpulan tentang proses menyelesaikan masalah ini digunakan sebagai indikator dalam mengukur kemampuan menyelesaikan masalah.

(31)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 26 Sejalan dengan itu, Effendi (2012: 3) berpendapat bahwa kemampuan menyelesaikan masalah penting bagi siswa untuk melatih kebiasaan siswa dalam menghadapi berbagai masalah, baik masalah dalam matematika, masalah dalam bidang studi lain, ataupun masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam pembelajaran, guru dapat mengukur kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan penilaian pengetahuan. Hal ini didasarkan pada pernyataan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2015: 22) yang menyatakan bahwa untuk mengukur kemampuan siswa berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif, serta kecakapan berpikir tingkat rendah sampai tinggi digunakan penilaian pengetahuan. Penilaian tersebut berkaitan dengan ketercapaian Kompetensi Dasar pada KI-3.

Adapun teknik penilaian yang dapat digunakan adalah tes tertulis berbentuk uraian. Hal ini ditentukan berdasarkan karakteristik kompetensi yang diukur dan tujuan pengukuran kompetensi tersebut. Kompetensi yang diukur adalah kemampuan menyelesaikan masalah yang termasuk dalam Kompetensi Dasar pada KI-3. Sedangkan tujuan pengukuran komptensi adalah untuk mengukur kemampuan menyelesaikan masalah yang ditinjau dari empat indikator, yaitu identifikasi informasi, penyusunan cara penyelesaian, penggunaan cara penyelesaian, dan penentuan solusi.

Sebagai sarana untuk memudahkan pengukuran tersebut, guru juga dapat menggunakan rubrik sebagai pedoman penskorannya. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Jonassen (2011: 365) bahwa rubrik dapat digunakan untuk menjelaskan kemampuan siswa dalam memahami masalah yang sedang dihadapi dan hubungan-hubungan struktural yang terdapat pada masalah tersebut. Teknis pengembangan instrumen kemampuan menyelesaikan masalah ini secara lebih rinci disajikan pada lampiran.

4. Efikasi Diri

Bandura (1995: 2) menyatakan bahwa efikasi diri adalah “beliefs in one's capabilities to organize and execute the courses of action required to manage

(32)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 27 Schunk (1995: 112) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan seseorang tentang penyelesaian suatu tugas. Sedangkan Margolis & McCabe (2006: 219) menyatakan bahwa “Self-efficacy is what students infer from the information from these sources; it is the judgment they make about their ability to

succeed on a specific task or set of related tasks”, yang berarti bahwa efikasi diri

adalah penilaian yang dibuat seseorang tentang kemampuannya untuk berhasil pada tugas spesifik atau sekelompok tugas-tugas yang saling berhubungan.

Wade & Tavris (2007: 180) berpendapat bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu meraih hasil yang diinginkan, seperti penguasaan suatu keterampilan baru atau mencapai suatu tujuan. Sementara itu, Santrock (2011b: 473) menyatakan bahwa “Self-efficacy is the belief that one can master a situation and produce positive outcomes”. Artinya, efikasi diri adalah

keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai suatu situasi dan memproduksi hasil-hasil yang positif.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu tugas, menguasai situasi, mencapai suatu tujuan, dan menguasai suatu keterampilan.

(33)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 28 mengamati perkembangan efikasi diri siswa dengan cara melakukan pengukuran efikasi diri siswa sebelum dan sesudah pembelajaran.

Sebagaimana dinyatakan oleh Bandura (1997: 3-5), Usher & Pajares (2009: 89-90), dan Brown, Malouff, & Schutte (2013: 16-19) bahwa efikasi diri dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu mastery experience (penguatan pengalaman), vicarious experience (pengalaman yang mewakili), social persuasion (persuasi sosial), dan emotional and physiological states (keadaan afektif dan psikologis). Berikut ini penjelasan tentang keempat faktor yang mempengaruhi efikasi diri berdasarkan pendapat dari kedua ahli tersebut.

Faktor penguatan pengalaman dijelaskan dengan contoh yang diberikan oleh Usher & Pajares (2009: 89) berikut ini. Ketika siswa menyelesaikan suatu tugas di sekolah, siswa akan menerjemahkan dan mengevaluasi hasil yang diperolehnya, dan menilai kompetensi yang telah dicapai atau diperbaiki berdasarkan interpretasi siswa tersebut. Penguatan pengalaman berpengaruh besar terhadap siswa ketika siswa berhasil menyelesaikan suatu tugas menantang, terutama tugas yang dianggap sulit oleh orang lain. Sebagian besar siswa tidak mudah melupakan pengalaman tentang keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya. Di dalam hal ini, keberhasilan siswa terhadap suatu pencapaian tugas akan lebih memberikan pengaruh yang lebih lama terhadap efikasi diri siswa tersebut.

Pengalaman orang lain yang dianggap dapat mewakili dirinya (vicarious experience) berpengaruh terhadap efikasi diri seseorang. Sebagai contoh, siswa

(34)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 29 Pendapat lain tentang vicarious experience dirujuk dari Light, Cox, & Calkins (2009: 110) yang menyatakan bahwa vicarious experience berhubungan dengan guru, cara guru tersebut mengajar, antusiame guru, ilustrasi yang digunakan guru, dan cara guru dalam melibatkan siswa. Berdasarkan hal tersebut, guru bertanggung jawab dalam memberikan pengaruh yang positif terhadap efikasi diri siswanya.

Faktor persuasi sosial (social persuasion) yang mempengaruhi efikasi diri seseorang berasal dari berbagai sumber, misalnya dari orangtua, guru, ataupun teman-teman sebayanya. Persuasi sosial yang dimaksud berupa dukungan yang mampu mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kemampuannya. Seorang siswa akan dapat meningkatkan efikasi dirinya dalam belajar geometri di kelas jika memperoleh dukungan dan arahan dari gurunya. Terlebih dengan adanya dukungan dari orangtua, dukungan tersebut akan berpengaruh positif pada efikasi diri siswa.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi efikasi diri siswa adalah keadaan emosional dan psikologis seperti kecemasan, stress, kelelahan, dan suasana hati. Siswa belajar menginterpretasikan pemunculan psikologis sebagaimana suatu indikator kompetensi personal dengan cara mengevaluasi kinerja mereka sendiri dalam keadaan yang berbeda-beda. Reaksi emosional yang kuat terhadap tugas-tugas sekolah dapat mempengaruhi kesuksesan yang diharapkan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas itu. Kecemasan yang tinggi dapat mengurangi efikasi diri. Siswa yang mengalami perasaan takut terhadap apa yang akan atau sedang dikerjakannya kemungkinan menginterpretasikan rasa takutnya tersebut secara nyata.

(35)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 30 Teknik penskalaan yang digunakan pada pengukuran efikasi diri dirujuk dari teknik penskalaan Bandura (2006: 312) yang telah dimodifikasi dari skala diskret 10-an dengan interval 0 s.d. 100 menjadi skala diskret 10-an dengan interval 0 s.d. 10. Berdasarkan pendapat Bandura (2006: 312), skala efikasi bersifat unipolar, yakni terbentang dari 0 sampai pada suatu nilai maksimum tertentu. Skala tersebut tidak melibatkan bilangan negatif karena tidak ada kriteria yang lebih rendah dari kriteria “tidak dapat melakukan” yang direpresentasikan dengan bilangan 0. Penggunaan teknik skala diskret 10-an pada angket efikasi diri siswa memberikan peluang opsi yang lebih banyak bagi siswa dalam memilih derajat efikasi diri berdasarkan perasaan dan keyakinannya sendiri. Secara lebih rinci, teknik pengembangan instrumen efikasi diri siswa dalam belajar geometri disajikan pada lampiran.

Efikasi diri memiliki keterkaitan yang erat dengan prestasi belajar. Menurut Zimmerman (2000: 86), efikasi diri berperan penting dalam memotivasi seseorang untuk tekun dan berprestasi dalam bidang akademik. Sebagaimana diketahui bahwa efikasi diri merupakan bagian dari sikap. Ediger & Rao (2011: 9) menyatakan bahwa sikap yang baik dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Artinya, seseorang yang memiliki efikasi diri yang baik dimungkinkan dapat meningkatkan prestasi belajar matematikanya, termasuk prestasi belajar di bidang geometri. Ediger & Rao (2011: 9) juga mengungkapkan bahwa guru matematika dan siswa perlu mengembangkan konsep yang berkaitan dengan efikasi diri. Guru yang berefikasi (tinggi) cenderung lebih terbuka terhadap hal-hal yang baru, berkualitas dalam mengajar, termasuk menggunakan metode inkuiri, berani mengambil risiko dalam mencoba ide baru dalam wilayah pembelajaran. Efikasi diri menekankan pengambilan keputusan yang dibuat oleh individu terkait dengan kemampuannya untuk mencapai level performansi tertentu. Efikasi diri mengatur banyak fungsi dari diri manusia dan memediasi bagaimana individu berpikir, merasa, dan memotivasi dirinya sendiri. Kemudian, guru dapat mendampingi siswanya untuk mendapatkan pengaruh faktor-faktor eksternal seperti situasi keluarga atau sekolah dan lingkungan secara lebih baik.

(36)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 31 maupun ucapan. Strategi untuk meningkatkan efikasi diri siswa melalui tindakan meliputi:

a. merencanakan tugas-tugas tantangan secara secara cukup (plan moderately challenging tasks);

b. menggunakan model-model tutor sebaya (use peer models);

c. membelajarkan strategi pembelajaran secara spesifik (teach specific learning strategies);

d. mendapatkan keuntungan dari pilihan dan minat siswa (capitalize on student choice and iterest); dan

e. menguatkan usaha dan mengoreksi strategi yang digunakan siswa (reinforce efforts and correct strategy use).

Sedangkan strategi yang digunakan untuk meningkat efikasi diri siswa melalui ucapan meliputi:

a. membujuk siswa untuk berusaha (encourage students to try);

b. menekankan keberhasilan-keberhasilan yang baru saja dicapai (stress recent successes);

c. memberikan timbal balik yang sering, terfokus, dan spesifik (give frequent, focused, task-spesific feedback); dan

d. menekankan pernyataan-pernyataan dukungan yang berguna (stress functional attribution statements).

Gillies (2007: 5) menyatakan bahwa pembelajaran yang melibatkan siswa untuk berkontribusi dan menerima pengakuan atas usaha mereka dalam suatu kelompok belajar dapat meningkatkan efikasi diri siswa tersebut.

5. Prestasi Belajar Siswa

Kata prestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu prestatie yang berarti hasil dari usaha. Secara terminologis, prestasi memiliki makna yang sama dengan achievement. Istilah ini banyak dipergunakan untuk menggambarkan tingkat

pencapaian suatu tujuan tertentu melalui serangkaian usaha yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Berikut ini uraian mengenai pengertian prestasi belajar siswa menurut para ahli.

(37)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 32 siswa dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran. Sedangkan Algarabel & Dasi (2001: 46) menyatakan bahwa “achievement is the competence of a person in relation to a domain of knowledge”. Berdasarkan pendapat Algarabel & Dasi tersebut, prestasi belajar siswa adalah kompetensi siswa yang berhubungan dengan suatu domain pengetahuan. Sementara itu, menurut Robert & Chair (2009: 9) pretasi belajar siswa adalah status yang berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman, dan kecakapan-kecakapan siswa pada suatu waktu.

Sementara itu, Winkel (2007: 275) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah bukti keberhasilan belajar siswa sesuai dengan bobot yang dicapainya. Bobot tersebut berupa nilai-nilai yang dinyatakan pada raport, indeks prestasi, angka kelulusan dan predikat keberhasilan. Menurut Winkel, prestasi dapat dijadikan pembanding kualitas usaha antara orang yang satu dengan lainnya dalam suatu kondisi tertentu.

Selain itu, Nitko & Brookhart (2011: 497) berpendapat bahwa “achievement is knowledge, skills, and abilities that students have developed as a result of instruction”. Menurut pendapat Nitko & Brookhart tersebut, prestasi

belajar siswa adalah pengetahuan, kecakapan-kecakapan, dan kemampuan yang telah dikembangkan siswa sebagai hasil pembelajaran.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa adalah bukti keberhasilan yang berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan, dan kecakapan-kecakapan yang diperoleh dari hasil penilaian proses belajar siswa pada suatu waktu. Menurut pengertian tersebut, prestasi belajar siswa termasuk bagian dari hasil pembelajaran.

(38)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 33 (2009: 194), tes pilihan ganda memiliki fleksibilitas dalam mengukur berbagai level kognitif sehingga tes ini digunakan secara luas dalam pengukuran prestasi belajar.

C. Spesifikasi Produk

Produk berupa “Perangkat Pembelajaran Geometri SMA dengan Mengadaptasi Model CORE” ini disusun sebagai referensi pengembangan perangkat pembelajaran yang diorientasikan untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, efikasi diri, dan prestasi belajar siswa SMA. Produk tersebut terdiri dari RPP dan LKS. Produk tersebut telah dikembangkan sesuai dengan ketentuan pengembangan perangkat berdasarkan Kurikulum 2013 dan telah teruji kualitasnya. Kualitas produk ini telah memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, efikasi diri, dan prestasi belajar geometri siswa SMA. Kompetensi dasar yang dikembangkan pada produk tersebut meliputi kompetensi dasar pada ruang lingkup geometri SMA.

Adapun ciri-ciri khusus pada perangkat yang dikembangkan terdapat pada metode dan tahapan pembelajaran yang digunakan. Metode yang digunakan adalah diskusi. Sedangkan tahapan pembelajaran yang digunakan meliputi: a) connecting dengan aktivitas mengamati (observing) dan menanya (questioning),

b) organizing dengan aktivitas mengasosiasikan informasi/eksperimen (experi-mentting), c) reflecting dengan aktivitas menalar (associating) dan

mengomu-nikasikan (communicating), dan d) extending dengan aktivitas menyelesaikan masalah geometri.

D. Prosedur Pengembangan Produk

Prosedur yang digunakan dalam pengembangan produk ini merujuk pada prosedur pengembangan model Borg & Gall yang dimodifikasi oleh peneliti. Prosedur pengembangan model Borg & Gall (1983: 775) terdiri dari 10 tahap, yaitu: 1) penelitian dan pengumpulan informasi (research and information collecting); 2) perencanaan (planning); 3) pengembangan bentuk awal produk

(39)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 34 field testing); 5) revisi percobaan utama (main product revision); 6) percobaan

lapangan utama (main field testing); 7) revisi produk operasional (operational product revision); 8) percobaan produk operasional (operational field testing); 9)

revisi produk akhir (final product revision); dan 10) diseminasi dan implementasi (dissemination and implementation).

Prosedur tersebut dimodifikasi oleh peneliti menjadi prosedur baru yang meliputi: 1) studi pendahuluan; 2) perencanaan; 3) pengembangan rancangan produk awal; 4) percobaan terbatas; 5) revisi tahap I; 6) percobaan operasional; 7) revisi tahap II; dan 8) pembagian produk akhir. Berikut ini bagan yang menyajikan prosedur pengembangan perangkat dalam penelitian ini.

Gambar 4. Bagan Prosedur Pengembangan Produk

Berdasarkan bagan tersebut, terdapat 8 tahapan pokok dalam mengembang-kan perangkat pembelajaran. Berikut ini rincian kedelapan tahapan tersebut.

1. Tahap Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan merupakan langkah awal dalam penelitian pengembangan yang dilakukan untuk memperoleh informasi tentang pembelajaran matematika di sekolah. Studi pendahuluan dilakukan dengan cara melakukan kajian literatur, observasi, dan wawancara dengan guru matematika sebagai subjek yang merancang, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi kegiatan belajar siswa.

Studi

Pendahuluan Perencanaan

Pengembangan Rancangan Produk Awal

Percobaan Terbatas Revisi I

Percobaan Operasional

Revisi II Pembagian

(40)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 35

2. Tahap Perencanaan

Tahap perencanaan meliputi: a) pengumpulan referensi-referensi yang berkaitan dengan pengembangan perangkat pembelajaran, model pembelajaran CORE, kemampuan menyelesaikan masalah, efikasi diri, dan prestasi belajar geometri, dan b) penyusunan jadwal penelitian.

3. Tahap Pengembangan Rancangan Produk Awal

Tahap ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

a. Penentuan KD

Kompetensi Dasar (KD) ditentukan berdasarkan permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini, yakni yang berkaitan dengan geometri. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara meninjau Kompetensi Inti (KI) dan Komptensi Dasar (KD) ruang lingkup geometri SMA pada Lampiran Permendikbud Nomor 69 Tahun 2013.

b. Penentuan Indikator Keberhasilan

Penentuan indikator keberhasilan belajar siswa dilakukan dengan merujuk kajian pustaka tentang keefektifan pembelajaran yang ditinjau dari kemampuan menyelesaikan masalah, efikasi diri, dan prestasi belajar geometri siswa SMA.

c. Penentuan Materi

(41)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 36

d. Penentuan Model Pembelajaran

Model pembelajaran dipilih berdasarkan hasil studi pendahuluan. Penentuan tersebut dilakukan dengan mengkaji kesesuaian model pembelajaran dengan masalah dalam pembelajaran dan kebutuhan belajar siswa di kelas.

e. Perancangan Perangkat Pembelajaran

Perancangan perangkat pembelajaran meliputi penentuan format penulisan, ciri-ciri fisik, dan karakteristik khusus rancangan perangkat pembelajaran.

1) Perancangan Draf RPP

Rancangan produk awal berupa RPP pada penelitian ini disebut draf RPP. Rujukan utama yang digunakan untuk merancang draf RPP tersebut adalah panduan penyusunan RPP Kurikulum 2013. Format dan prinsip-prinsip perancangan tersebut dijelaskan pada kajian teori penyusunan RPP.

Draf RPP ditulis pada kertas A4 dan menggunakan Kaidah Penulisan Bahasa Indonesia yang baku. Huruf yang digunakan berjenis Times New Roman dengan ukuran huruf 12. Teks pada draf RPP ditulis rata kanan dan kiri. Margin kiri berukuran 4 cm. Sedangkan margin atas, kanan, dan bawah masing-masing berukuran 3 cm. Teknis penulisan ini bersifat fleksibel, dalam arti, dapat disesuaikan dengan kebutuhan guru. Namun demikian, penulisan harus menggunakan Kaidah Penulisan Bahasa Indonesia yang baku.

(42)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 37 Draf RPP tersebut diwujudkan secara operasional dalam format berikut.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

A. Kompetensi Inti

(Diuraikan KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4 yang dikembangkan)

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Dasar Indikator

KD pada KI-1 (Dituliskan penjabaran indikator KD pada KI-1) KD pada KI-2 (Dituliskan penjabaran indikator KD pada KI-2) KD pada KI-3 (Dituliskan penjabaran indikator KD pada KI-3) KD pada KI-4 (Dituliskan penjabaran indikator KD pada KI-4)

C. Tujuan Pembelajaran Pertemuan Ke-…

Kompetensi Sikap Spiritual (KI-1) dan Kompetensi Sikap Sosial (KI-2):

(Diuraikan tujuan pembelajaran pada pertemuan ini sesuai dengan penjabaran indikatornya)

Kompetensi Pengetahuan (KI-3) dan Kompetensi Keterampialan (KI-4):

(Diuraikan tujuan pembelajaran pada pertemuan ini sesuai dengan penjabaran indikatornya)

D. Materi Pembelajaran

(Diuraikan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan silabus, buku teks, buku pegangan guru, dan sumber lainnya)

E. Model dan Metode Pembelajaran

Model Pembelajaran: CORE

Metode Pembelajaran: diskusi dan penugasan. Satuan Pendidikan

Mata Pelajaran Kelas/Semester Materi Pokok Alokasi Waktu Submateri Pertemuan ke-

: SMA/MA : Matematika : .../... : Geometri

: ... Pertemuan (... × 45 menit) : ...

(43)

DESKRIPSI TENTANG PRODUK 38

F. Langkah-Langkah Pembelajaran

1. Kegiatan Pendahuluan (10 menit)

Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Alokasi

Waktu 2. Kegiatan Inti (70 Menit)

Sintak Saintifik

Tahap Pembelajaran dengan Model

CORE Alokasi

Waktu

Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

Mengamati

3. Kegiatan Penutup (10 Menit)

Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Alokasi

Waktu (Diuraikan kegiatannya) (Diuraikan kegiatannya) 10

menit G. Penilaian

1. Jenis/Teknik Penilaian

2. Instrumen Penilaian

3. Pedoman Penskoran

4. Penilaian Akhir

H. Media dan Sumber Pembelajaran

Gambar

Gambar 3. Kubus ABCD.EFGH
Tabel 3. Kegiatan Belajar Siswa dengan Pendekatan Saintifik (Sumber: Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014)
Gambar 4. Bagan Prosedur Pengembangan Produk
Gambar 7. Kubus ABCD.EFGH
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat yang telah dilakukan oleh Tim Pengabdi dapat menjadi solusi bagi warga Desa Sambigede Kec. Sumberpucung dalam upaya peningkatan pemberian

Target luaran yang bersifat langsung adalah hasilnya dapat langsung dirasakan masyarakat khususnya kelompok dasa wisma lembayung dan dasa wisma sedap malam di desa Kampung

Karena itu, melalui dua pendekatan ini walaupun banyak hadits dalam buku tersebut tidak ada perawinya bahkan tidak diketahui kualitasnya menurut penulis tidak akan

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui konstruksi image perempuan dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita serta untuk mengetahui relevansi hasil konstruksi image

Selanjutnya didampingi oleh pembina fungsi dari Setum Polri melakukan simulasi surat menyurat antar unit kerja Lemdiklat Polri dimana peserta dibentuk dalam tiga grup dan

Tanggap varietas Wibawa terhadap penggunaan naungan (netting house) lebih baik daripada varietas Tanjung-2 dan Hot Beauty yang ditunjukkan dengan peningkatan bobot buah dan jumlah

[r]

Dalam bahasa Melayu, kata yang akan diulang itu boleh berubah bentuk dari segi ataupun sudut morfologi. Ini dapat dikategorikan di dalam pengulangan kata ini, jika kelas kata