• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELUANG HAMBATAN DAN TANTANGAN PROGRAM U

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELUANG HAMBATAN DAN TANTANGAN PROGRAM U"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PELUANG, HAMBATAN, DAN TANTANGAN PROGRAM USO PADA

PERKEMBANGAN INDUSTRI TIK DI INDONESIA

Dadiek Pranindito Program Pascasarjana IT Telkom

Bandung, Indonesia dadiekpranindito@gmail.com

Tulisan ini memuat usulan strategi pembangunan industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam negeri khususnya dalam bidang USO (universal service obligation) melalui keterlibatan dan peran serta pemerintah, operator sebagai prime mover, industri dalam negeri beserta industri-industri lokal pendukungnya, serta mitra strategis. Strategi ini sekaligus untuk mengatasi permasalahan hilangnya devisa negara akibat pembanguan TIK.

Kata kunci : USO, Industri Dalam Negeri, Strategi Pengembangan

I. PENDAHULUAN

Era “Globalisasi” dan "Informasi" yang ditandai dengan semakin meningkatnya jalur interkoneksi dan interdependensi dunia, berperan memfasilitasi pertumbuhan perdagangan, investasi dan keuangan yang lebih cepat dari pendapatan nasional berbagai negara. Ekonomi nasional suatu negara akan semakin terintegrasi menjadi ekonomi global. Globalisasi memfasilitasi bergeraknya “4i” (informasi, investasi, infrastruktur dan individu) untuk melintasi batas-batas negara. Akselerasi proses globalisasi yang dramatis difasilitasi oleh revolusi di bidang teknologi khususnya TIK, yang mentransformasikan masyarakat dunia memasuki era yang kita kenal dengan “era informasi”. Dalam era informasi, informasi telah berkembang menjadi komoditas yang penting dan strategis, serta semakin luas memasuki berbagai sisi dalam kehidupan masyarakat. Pengelolaan informasipun semakin canggih dan berkembang menjadi bisnis yang semakin menguntungkan, sehingga menampakkan wajah yang industrial-komersial. Proses produksi, pengolahan, dan penyebarluasan informasi semakin dipermudah dan dipercepat karena dukungan teknologi yang semakin canggih.

Upaya keras dari pemerintah untuk membangun sarana dan fasilitas teknologi informasi dan telekomunikasi di Indonesia bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan interakasi ekonomi-sosial masyarakat dan sektor produksi. Oleh sebab itu pemerintah berupaya keras untuk memperluas jangkauan layanan telekomunikasi sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Instrumen yang digunakan selama ini adalah melalui badan usaha operator telekomunikasi yang melakukan usaha/bisnis layanan telekomunikasi melalui layanan fixed line, seluler, atau satelit. Secara teknis cara ini telah berhasil membuat fasilitas telekomunikasi menjangkau seluruh wilayah geografis Indonesia (dari Sabang sampai Merauke). Namun

keterjangkauan teknis-geografis ini tidak membuat sistem telekomunikasi terjangkau bagi masyarakat, yang merupakan sasaran utama. Solusi saat ini masih terlalu mahal bagi sebagian besar calon pelanggan. Akibatnya dari 250 juta penduduk Indonesia, pelanggan telekomunikasi diperkirakan baru mencapai 8 juta orang (3%) untuk fixed line, 30 juta (13%) untuk seluler, serta puluhan ribu (0.04%) untuk satelit. Sekitar 43.000 desa dari 67.000 desa belum terjangkau akses telepon. Oleh sebab itu, pemerintah, melalui Ditjen Postel, mencanangkan program kewajiban pelayanan umum, atau yang lebih dikenal dengan nama program universal service obligation (USO). Program ini dimaksudkan untuk membangun fasilitas dan layanan telekomunikasi bagi segmen masyarakat yang belum sanggup menjangkau layanan yang diselenggarakan badan usaha operator. Meskipun USO adalah initiative pemerintah dalam fungsinya sebagai agen pembangunan dan regulator jaringan, USO tetap merupakan bagian terintegrasi dari system telekomunikasi nasional, dan memberikan layanan yang transparan, serta berkualitas sama dan setara dengan pelanggan non-USO. Selain itu, program USO juga menjadi kepentingan operator dan dibiayai oleh kontribusi operator.

II. INDENTIFIKASIMASALAH

A. Peluang USO

Memperhatikan berbagai praktek di beberapa negara yang telah menjalankan program USO telekomunikasi, baik negara maju seperti USA, Canada, Australia, Norwegia, dan Itali ataupun di beberapa negara berkembang seperti Buthan, Costarica, Cuba, Pakistan dan Zambia, maka pendanaan USO ini dapat dibagi atas 5 cara (Intven & Tetrault, 2001).Kelima cara itu meliputi:

(1) Market-Based Reform (2) Mandatory Service Obligation (3) Subsidi Silang

(4) Access Deficit Charges (ADC) dan (5) Universality Fund

Market-Based Reform

(2)

pelayanan jasa telekomunikasi di negara maju serta meningkatkan penetrasi secara signifikan

Mandatory Service Obligation dan Subsidi Silang

Pendekatan kedua dan ketiga, yaitu Mandatory Service Obligation dan pendekatan Subsidi Silang secara tradisional lebih banyak digunakan, baik di negara maju ataupun Negara berkembang. Penerima lisensi penyelenggaraan jasa-jasa telekomunikasi dimintakan kontribusinya untuk membiayai program USO. Kedua mekanisme ini digunakan untuk mensubsidi daerah yang belum memiliki fasilitas atau daerah yang karena kondisinya mengakibatkan biaya instalasi sangat tinggi. Biasanya pembiayaan berasal dari pelanggan di daerah kota ataupun dari pendapatan jasa-jasa lain. Kelebihan pendapatan di daerah “gemuk” kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan biaya operasi yang tinggi ataupun margin yang tipis di daerah lain. Namun saat ini praktek subsidi silang antar jenis pelayanan, seperti tarif SLJJ mensubsidi lokal dan sejenisnya, dianggap sudah tidak praktis lagi dan anti kompetisi. Dengan semakin menurunnya pendapatan operator dari sambungan internasional dan SLJJ, maka semakin sedikit pula dana subsidi yang dapat digunakan. Banyak kritik telah diajukan para ahli terhadap kedua pendekatan tersebut sehingga banyak negara meninggalkan cara-cara ini dalam membangun fasilitas USO telekomunikasi.

Access Deficit Charges (ADC)

Pendekatan keempat, Access Deficit Charges, telah digunakan di beberapa negara. Cara ini hampir mirip dengan subsidi silang, tetapi telah dimodifikasi sehingga memenuhi tuntutan pasar. Biasanya para operator lain membayar subsidi untuk membiayai total defisit yang dialami operator incumbent dalam penyediaan jasa lokal yang biasanya dibawah tingkat harga normal. Namun cara yang pernah dilaksanakan di Australia dan Canada ini juga dirasakan tidak efisien dan anti kompetisi. Hal tersebut telah memakasa Australia dan Canada untuk melakukan modifikasi, sementara Inggris sama sekali telah menghentikan pendekatan ini.

Universality Fund

Pendekatan terakhir, Universality Fund atau juga dikenal dengan Universal Service Fund biasanya mengumpulkan pendapatan dari berbagai sumber seperti pendapatan pemerintah, biaya interkoneksi, biaya penggunaan frekuensi dan biaya-biaya lain yang dikenakan kepada para operator. Dana yang terkumpul dengan berbagai cara digunakan untuk mencapai misi dan tujuan universitalitas jasa sektor telekomunikasi. Dana ini pada umumnya dipakai untuk membiayai area yang memerlukan biaya pembangunan tinggi atau wilayah dimana rakyatnya berpenghasilan sangat terbatas.

Di Indonesia pembangunan USO berasal dari APBN dan juga berasal dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dihasilkan oleh sektor telekomunikasi sendiri. Tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 adalah 0,75% dari annual gross revenue (PP 28/2005) dan Tahun 2009 sampai dengan saat ini 1,25% dari annual gross revenue (PP 7/2009)

B. Hambatan USO

Dalam pelaksanaannya, program USO mengalami berbagai hambatan yaitu diantaranya dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut :

Dari sisi Pemerintah sebagai regulator :

Kurangnya pembangunan infrastruktur umum, seperti Jalan, Listrik, dan lainnya sehingga menjadi kendala dalam pelaksanaan program USO. Perangkat telekomunikasi merupakan perangkat yang cukup “berat” dalam artian bobotnya, sedangkan yang menjadi target dalam program USO adalah daerah daerah yang umumnya masih terisolir dalam akses jalan, listrik dan infrastruktur lainnya. Kurangnya pengawasan pemerintah selaku regulator dalam mengawasi pelaksanaan program USO, hal ini cenderung mengakibatkan pelaksana proyek USO yang memenangkan tender proyek cenderung tidak bertanggung jawab secara penuh. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat di daerah yang terkena program USO, sehingga masyarakat tersebut kurang begitu mengetahui manfaat dan cara memanfaatkan dari layanan telekomunikasi dan internet yang dijanjikan oleh program USO.

Dari sisi operator :

Kurangnya keterbukaan operator dalam pelaksanaan program USO, dalam hal ini operator sepertinya masih enggan secara terbuka untuk memberikan akses telekomunikasi dan internet secara terjangkau untuk masyarakat yang berada pada daerah terisolir.

Dari sisi masyarakat :

Kurangnya minat masyarakat untuk memanfaatkan infrastruktur yang telah dibangun oleh program USO, hal ini dikarenakan anggapan masyarakat bahwa internet sebagai sesuatu yang kurang bermanfaat bahkan pada beberapa daerah dianggap “berbahaya”, karena pada kenyataannya internet hanya digunakan sebagai sarana game online bagi anak-anak, hal ini tidak lepas dari sangant minimnya sosialisasi dari pemerintah tentang internet sehat, dan tidak ada sosialisasi dari pemerintah mengenai manfaat internet secara langsung yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti manfaat internet untuk mengetahui kondisi iklim dalam pertanian. Menurut penulis pemerintah hanya memberikan sosialisasi secara umum, belum mampu langsung menyentuh aspek yang diperlukan oleh masyarakat pedesaaan.

C. Tantangan USO

Trend Perkembangan layanan mobile/seluler

(3)

multilayanan [2]. Jaringan inti PSTN mulai diupgrade dengan jaringan IP di atas fiber optics. Jaringan akses juga mulai diupgrade ke broadband berbasis IP. Terminal telepon diugrade dengan terminal berkemampuan multimedia. Sentral diganti dengan router yang disebut softswitch. Proses signaling dilakukan oleh software agent, mirip dengan travel agent pada industri transportasi. Saluran telekomunikasi tidak lagi berbicara tentang telepon, tetapil multilayanan. Teknologi selulerpun mulai mengadopsi NGN pada generasi keempatnya (4G). Wireless digunakan untuk akses pada jaringan inti IP. Diperkirakan layanan seluler dan fixed akan berintegrasi dengan mulus pada 4G, yaitu jaringan heterogen. Integrasi yang sangat penting pada NGN juga adalah integrasi teknologi LAN / WLAN (IEEE 802.11) dan turunan nya (WiMax IEEE 802.16 2004). Pentingnya integrasi ini terutama dari nilai ekonomis perangkat. Berbeda dengan peralatan PSTN dan seluler yang dikenal sebagai peralatan profesional (professional products), peralatan LAN/WLAN adalah peralatan konsumen (consumer products). Dengan demikian produksi peralatan ini jauh lebih masal, dan mendorong harga investasi menjadi jauh lebih murah. Biaya investasi per sst dapat ditekan menjadi tinggal 25% dari biaya PSTN. Dengan demikian, teknologi yang optimal untuk mendukung sistem telekomunikasi masa depan adalah teknologi NGN-4G. Teknologi ini memudahkan integrasi teknis dari berbagai ragam teknologi peralatan. Selain itu NGN memungkinkan multilayanan yang membangun sumber revenue baru. Teknologi NGN sanggup memberikan layanan yang membangung ekonomi digital, sehingga sustainabilitasnya lebih terjamin. Sebagai teknologi baru, teknologi NGN ini tidak mudah obsolet.

Gambar 2.1

Sumber : Cisco Visual Networking Index: Forecast and Methodology, 2011–2016

Digital Divide Tinggi

Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau dengan situasi geografis dan populasi penduduk yang heterogen baik dari segi sosial ekonomi, politik, budaya maupun agama, sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah kesenjangan digital (digital divide). Hal tersebut dapat terlihat dari kondisi sebagai berikut:

1. Kesenjangan antara mereka yang dapat mengakses dunia digital dan teknologi informasi dengan mereka yang terbatas aksesnya atau tidak memiliki akses sama sekali. 2. Kesenjangan atau kesenjangan antara mereka yang

mendapat keuntungan dari teknologi dan mereka yang tidak mendapatkannya.

Infrastruktur Akses Informasi Lemah

Disparitas ketersediaan infrastruktur antara perkotaan dan perdesaan, serta antara wilayah barat dan timur Indonesia masih besar. Hingga akhir tahun 2008 masih terdapat lebih dari 31 ribu desa belum memiliki fasilitas telekomunikasi dan internet, lebih dari 80% infrastruktur pos dan telematika terkonsentrasi di Jawa, Bali, dan Sumatera, serta distribusi Internet Service Provider (ISP) terkonsentrasi di Jawa (64% dari 306 ISP) dan 18% di Sumatera. Infrastruktur yang masih lemah, ditandai dengan teledensitas yang masih rendah. dimana teledensitas di Indonesia masih berkitar 5-6% dibandingkan dengan Malaysia yang berada dikisaran 20% dan Singapura sekitar 50%.

Secara wilayah geografis Indonesia berbentuk kepulauan dan memiliki dataran tinggi maupun dataran rendah yang cukup banyak dan sulit dijangkau sehingga menyebabkan terjadi banyaknya daerah blank spot atas komunikasi dan informatika. Apabila kondisi daerah blank spot dibiarkan/tidak ditangani secara prosedural maka akan memperbesar kesenjangan akses informasi antara daerah yang sulit dijangkau dengan daerah yang tersentuh pembangunan infrastruktur bidang komunikasi dan informatika. Untuk memperkecil jumlah daerah blank spot, perlu dilakukan upaya-upaya membangun kerjasama antar lembaga komunikasi dan informatika, dan lembaga media baik cetak maupun elektronik. Hal ini ditujukan untuk memperluas jaringan informasi di daerah blank spot termasuk pembangunan infrastruktur pos dan telekomunikasi serta penyiaran. Penghapusan daerah blank spot juga dilakukan melalui pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan secara bertahap yang dimulai dengan desa berdering, desa pinter dan desa informasi.

Keterbatasan kemampuan pembiayaan pemerintah di bidang infrastruktur sangat dirasakan, sehingga diperlukan sumber pembiayaan lain di luar pemerintah untuk mendanai pembangunan infrastruktur bidang komunikasi dan informatika. Namun demikian saat ini masih terdapat hambatan dalam penyelenggaraan yang menyebabkan belum optimalnya upaya mobilisasi sumber pembiayaan di luar pemerintah (swasta), terutama untuk penyediaan infrastruktur dan layanan di daerah non komersial, sehingga membuat pembagian resiko investasi antar pemerintah dan swasta tidak terjadi.

Pembangunan TIK Lemah dan Layanan Informasi Kurang Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) secara nasional masih lemah yang antara lain ditandai dengan masih kurangnya infrastruktur, rendahnya penggunaan TIK dan tingkat melek masyarakat. Menurut International Telecommunication Union (ITU) pembangunan TIK

(4)

berindikasi tidak hanya kesiapan infrastruktur (akses terhadap informasi) tetapi juga penggunaan TIK dan beberapa besar tingkat melek TIK sumber daya manusianya. Dibandingkan dengan 154 negara-negara lain di dunia, data dari ITU pada tahun 2007 menempatkan Indonesia pada ranking 108. Dalam definisi World Bank, penggunaan teknologi informasi oleh kantor-kantor pemerintah untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat umum, bisnis dan untuk memfasilitasi kerjasama antara institusi pemerintah disebut dengan e-government. E-Government memiliki posisi penting karena dengannya diharapkan dapat memberdayakan komunitas yang ada lewat akses publik ke sumber informasi yang tersedia. E-Government di Indonesia saat ini belum merata, sumber informasi dari pemerintah belum terintegrasi dan bahkan di skala yang lebih kecil masih banyak yang belum mengenal istilah dan apa serta bagaimana e-Government.

PROGRAM KPU / USO

Gambar 2.2 Sumber : BP3TI kominfo

III. USULAN PENGEMBANGAN DAN

PENGGUNAAN DANA USO YANG IDEAL

D. Dasar Hukum  UU 36/1999

Pasal 16 :

1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.

2. Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain. 3. Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16 Ayat (1)

Kewajiban pelayanan universal (universal service obligation) merupakan kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi agar kebutuhan masyarakat terutama di

daerah terpencil dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi. Dalam penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah memperhatikan prinsip ketersediaan pelayanan jasa telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk dengan mutu yang baik dan tarif yang Iayak. Kewajiban pelayanan universal terutama untuk wilayah yang secara geografis terpencil dan yang secara ekonomi belum berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil dan atau daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan atau jasa sambungan lokal. Penyelenggara jaringan telekomunikasi Iainnya di Iuar kedua jenis jasa di atas diwajibkan memberikan kontribusi.

Pasal 16 Ayat (2)

Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban pelayanan universal adalah kontribusi biaya untuk pembangunan yang dibebankan melalui biaya interkoneksi.

 PP52/2000 Pasal 26

Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi dikenakan kontribusi kewajiban pelayanan universal. Kontribusi kewajiban pelayanan universal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa : a) penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi. b) kontribusi dalam bentuk komponen biaya interkoneksi c) kontribusi lainnya.

Pasal 27

Untuk pelaksanaan kewajiban pelayanan universal Menteri menetapkan:

a) wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan.

b) jumlah kapasitas jaringan di setiap wilayah pelayanan universal.

c) jenis jasa telekomunikasi yang harus disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi di setiap wilayah pelayanan universal.

d) penyelenggara jaringan telekomunikasi yang ditunjuk untuk menyediakan.

e) jaringan telekomunikasi di wilayah pelayanan universal.

Pasal 28

1) Kewajiban membangun dan menyelenggarakan jaringan di wilayah pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal.

2) Kontribusi kewajiban pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan lainnya yang menyalurkan trafik ke penyelenggara jaringan tetap lokal.

(5)

pembayaran komponen biaya interkoneksi yang diterima oleh penyelenggara jaringan tetap lokal. 4) Kontribusi kewajiban pelayanan universal lainnya

dibebankan kepada penyelenggara jaringan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dan kepada penyelenggara jasa lainnya.

 PP no.7/2009, ttg PNBP pasal 3 Mengatur besaran PNBP (1.25% utk USO)

E. Pembentukan BP3TI

Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 18 Tahun 2010, BP3TI memiliki tugas melaksanakan penyediaan dan pengelolaan, pembiayaan Information and Communication Technology (ICT) atau Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), serta aksesibilitas dan layanan telekomunikasi dan informatika. Sedangkan pengelolaan keuangan BP3TI, sejak tahun 2009 menggunakan mekanisme Badan Layanan Umum (BLU) secara penuh, sebagaimana Keputusan Menteri Keuangan Nomor 350/KMK.05/2009. BP3TI mengumpulkan dana USO melalui pungutan PNBP kepada operator penyelenggara komunikasi sebesar 0,75% dari pendapatan kotor setiap tahunnya. Pada Tahun 2007, persentase tarif PNBP tersebut meningkat menjadi 1,25% dari pendapatan kotor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5/PER/M.KOMINFO/2/2007. Ketentuan tentang jenis dan besaran tarif PNBP untuk program USO tersebut, juga dipertegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2009. Pada Tahun 2010, BP3TI membukukan pendapatan dari jasa layanan USO sebesar Rp1,36 Triliun atau meningkat 23% dibandingkan pendapatan Tahun 2009 sebesar Rp1,1 Triliun. Telkomsel merupakan operator yang menyumbangkan pendapatan terbesar yaitu Rp539 milyar pada Tahun 2010 dan Rp452 pada Tahun 2009. Beberapa operator lain penyumbang pendapatan dari jasa layanan USO adalah Telkom, Indosat dan Exelcomindo Pratama.

Berikut adalah kebijakan program KPU/USO :

1. Dana USO di-earmark hanya untuk USO dan saldo akhir tahun menjadi saldo awal tahun berikutnya. 2. Berbasis pembiayaan terendah atas kontrak layanan

(service based contract) 3. Asset milik/dikelola operator

4. Pengadaan untuk 4 (empat) tahun (multi-years) 5. Pengoperasian dan pemeliharaan merupakan bagian

integral dari kontrak

6. Resiko pengelolaan pada operator

7. Memungkinkan sustainabilitas akses dan layanan telekomunikasi.

8. Pembentukan Satker Operasional BLU

Gambar 3.1 Sumber : BP3TI Kominfo

F. Optimalisasi Penggunaan Dana KPU/USO

ICT Fund merupakan optimalisasi pemanfaatan Dana USO yang berasal dari kontribusi penyelenggara telekomunikasi (1,25% dari gross revenue), dikumpulkan oleh BLU-BP3TI, diadministrasikan melalui APBN setiap tahun dan bersifat earmark. Salah satu peruntukan ICT Fund adalah memberikan dukungan pemerintah dalam bentuk fiskal finansial untuk meningkatkan kelayakan proyek Palapa Ring sebagai proyek KPS. Kasus ICT Fund bersifat spesifik/unik yang tidak sama dengan Dukungan Pemerintah proyek KPS lainnya karena:  dana ICT Fund sudah tersedia (bukan on-top), sangat

berbeda dengan Dukungan Pemerintah yang diberikan untuk proyek infrastruktur di sector lain yang bersifat on-top.

 dana ICT Fund 100% berasal dari penyelenggara telekomunikasi yang dikumpulkan dan diadministrasikan dalam APBN. Dengan demikian ICT Fund sama sekali tidak memberatkan APBN. Skema pembiayaan ini justru merupakan terobosan (bersifat self-financing) dan sangat diperlukan terutama saat APBN menuju balance budget dimana ruang gerak pembangunan menjadi lebih terbatas. Isu yang perlu diselesaikan adalah mekanisme penyaluran ICT Fund sebagai Dukungan Pemerintah: apakah mengikuti mekanisme KPS/VGF (viability gap fund) atau BLU.

Usulan implementasi program USO yaitu dengan pemisahaan program USO menjadi 2 (dua) aktifitas Program berikut : 1. Program Development

Pengembangan Infrastruktur USO, sbg bagian pembangunan infrastruktur pemerintah.

2. Program Pengeporasian (O&M)

Pengoperasian Infrastruktur USO, dilaksanakan oleh Licensed Operator sesuai SLA yang ditetapkan pemerintah.

(6)

pemerintah. Penerapan tatakelola perusahaan (corporate governance) yang dilakukan pemerintah sebagai mekanisme kontrol pelaksanaan USO.

implementasi program USO diharapkan dapat melibatkan dua belah pihak yakni Balai Penyedia, Pengelola, Pendanaan Telekomunikasi Indonesia (BP3TI) Kementerian Kominfo sebagai pengelola dana USO dan operator telekomunikasi. Implementasi program USO dimulai dari membangun infrastuktur, mengembangkannya, mengawasi proyek, hingga ready for use. Dalam hal ini untuk implementasi program USO terbagi menjadi dua aktifitas program, yakni BP3TI yang membangun infrastruktur USO dan pengoperasian infrastruktur dilakukan oleh operator yang menjadi pemenang melalui proses tender. Berikut beberapa aspek penunjang jika pelaksanaan program USO dilakukan dengan pemisahan aktifitas, dimana aktifitas development oleh BP3TI / operator telekomunikasi dan aktifitas pengoperasian (O&M) oleh operator telekomunikasi.

 Regulator

Memiliki Lisensi Operasi JARTAP dan Internet  Bisnis

Penyelengggara bisnis layanan ICT sebagai Core Business, Memiliki Infrastruktur Jaringan dengan minimal requirement utk diintegrasikan, Memiliki Resource skala Nasional utk O&M (SDM, Kantor Cabang, System IT)  Teknologi

Memiliki IT Tool (integrated OBCE) untuk O&M

Gambar 3.2 Sumber : PT Telkom Tbk

IV. KESIMPULANDANSARAN

G. Kesimpulan

1) Pembentukan BP3TI karena kebutuhan akan Satker Operasional (mengelola dana + memanfaatan dana) sebagai solusi untuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi di daerah non komersial guna mewujudkan telekomunikasi/ICT yang Aman, Adil dan Merata (amanat UU No. 36/99).

2) BP3TI bersama operator seluler akan melaksanakan fungsinya dalam upaya penyediaan dan pemerataan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia yaitu dengan mekanisme BP3TI sebagai program development dan operator selular sebagai program pengoperasian USO. 3) Keberhasilan USO ditentukan oleh konsep dan

konsistensi penerapannya, sesuai dengan koridor tugas yang akan dilakukan oleh BP3TI maupun operator seluler.

H. Saran

1) Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kontribusi di BP3TI harus memenuhi asas dan tata kelola :

 Transparan : melalui proses tender  Akuntabel : audit internal + eksternal

 Efektif : elektif dengan mempertimbangkan skala prioritas

2) Jangka Pendek

Mengoptimalkan dana USO dengan pembangunan end-to-end secara tuntas dalam suatu daerah USO

3) Jangka Panjang

 Operator selular menjadi penyelenggara USO

 Operator diizinkan untuk membangun sendiri didaerah USO dan diperhitungkan sebagai kontribusi USO  Peruntukan USO diperluas secara vertikal, horizonal

maupun jenis layanan non voice

DAFTAR PUSAKA

1. Armein Z. R. Langi, "Prospek komunikasi masyarakat pedesaan Indonesia yang berkelanjutan", Makalah dalam eII2006

2. Armein Z. R. Langi, "Komunikasi Lapis Tiga: strategi baru untuk telekomunikasi Indonesia", Makalah dalam eII2006.

3. http://ismailfaruqi.jepang.info/menjadikan-teknologi-informasi-dan-komunikasi- sebagai-industri-strategis-penunjang-pertahanan/id/

4. https://www.aptel.depkominfo.go.id/download/ca_1.p df

5. https://www.aptel.depkominfo.go.id/index.php? option=com_content&task=view&id=49

6. https://www.aptel.depkominfo.go.id/index.php? option=com_content&task=view&id=54

(7)

Gambar

Gambar 3.2Sumber : PT Telkom Tbk

Referensi

Dokumen terkait

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Sopyan, menyatakan bahwa skripsi dengan judul: “Analisis Pengaruh Daya Tarik Wisata dan Kualitas Pelayanan Terhadap Minat

Pernikahan dilaksanakan tanpa persetujuan dan sepengetahuan pemohon serta tanpa izin dari Pengadilan Agama yang berwenang memberi izin dan bahwa hal itu terjadi

The current liability regime, both under the Montreal and the Warsaw Conventions, as amended by the Guadalajara Convention, facilitates this business model by defining the

Registrasi citra dapat diartikan sebagai proses untuk mendapatkan nilai pergeseran diantara citra beresolusi rendah yang melibatkan dua citra atau lebih yang memiliki objek

Thirdly, this paper put forward an algorithm for multi-scale line features matching by calculating the distance from node to polyline and an integrating algorithm

 Fasilitator (Fransiska Harianja, Feni Sitindaon, Novita Butar-butar, Julianti Siahaan, eni !anurung, "si !arulitua#)5.

penelitian yang akan dilakukan dan disesuaikan dengan jadwal pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di Sekolah Dasar Negeri 37 Pontianak Tenggara; (2)

[r]