• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH HUKUM PERUNDANG UNDANGAN KATA PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH HUKUM PERUNDANG UNDANGAN KATA PE"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”

muatan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan”.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, serta kedua orang tua, keluarga besar penulis, dan rekan-rekan mahasiswa Universitas Lampung yang selalu berdoa dan memberikan motivasi kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tulisan ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap kerangka acuan makalah ini

dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada para pembaca pada umumnya dan pada penulis pada khusunya

Bandar Lampug,12 Mei 2012 Penyusun

Alif Armandoni

(2)

Latar Belakang

Mengingat akan pentingnya arti sebuah pengaturan yang merupakan dasar dari pembentukan peraturan perundang-undangan dalam mengatur hubungan antar Negara dan warga Negara. peraturan perundang-undangan juga dapat dipahami sebagai bagian dari social contrct (kontrak social) yang memuat aturan main dalam berbangsa dan bernegara.serta satu-satunya peraturan yang di buat untuk memberikan batasan-batasan tertentu terhadaap jalananya pemerinetahan.sehingga dengan hal itu

merupkan hal yang pentinglah kiranya bagi kita untuk mempeljari dan memahami semua hal yang berhubungan dengan konstitusi dan perundang-undangan.oleh kerena itu kami akan mencoba memeberikan sedikit gambaran tentang konstitusi ini secara umum dan bagaimana peranannya dalam sebuah Negara.

Rumusan Masalah

Dalam makalah ini kami memberikan suatu gambaran yang jelas tentang muatan peraturan perundang-undangan dalam suatu negara yang dijalankan melalui penegakan

hukum dibawahnya,bagaimana keberadaan konstitusi ini dalam sebuah negara,yang mana dalam prakteknya di indonesia peraturan perundang-undangan ini pernah mangalami amandemen,tentang demokrasi di negara hukum dan upaya menumbuhkan kesadaran penegakan hukum.

(3)

Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca sekalian mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya yang setiap negara memilikinya termasuk juga negara kita indonesia.yang mana dengan memiliki pemahaman tentang konstitusi dan perundang-undangan ini kita sebagi generasi penerus bangsa akan mempunyai arah dan pedoman yang jelas dalam melanjutkan pembangunan ini di masa yang akan datang yang pada prinsipnya semua agenda penting kenegaraan, serta– prinsip dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, telah tercoverdalam konstitusi dan dilaksanakandalam bentuk perundang-undangan.untuk itu kami rasa perlu dalam makalah ini mengajak rekan-rekan sekalian untuk mempelari semua hal yang berhubungan dengan konstitusi ini dan menumbuhkan kesadaran berkonstitusi kita sebagai warga Negara.

Kajian Teori

Muatan peraturan perundang-undangan, tolok ukurnya hanya dapat dikonsepkan secara umum. Semakin tinggi kedudukan suatu

peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar materi muatannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan peraturan

perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas

jangkauannya.

Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang:

1. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-U[1]ndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

a. Hak-hak asasi manusia

b. Hak dan kewajiban warga negara

(4)

d. Wilayah negara dan pembagian daerah

e. Kewarganegaraan dan kependudukan

f. Keuangan Negara

2. Diperintahkan oleh suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undang-undang.

Sedangkan materi muatan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang sama dengan materi muatan Undang-undang-Undang-undang (Pasal 9

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004). Pasal 10 menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kemudian sesuai dengan tingkat hierarkinya, bahwa Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi yang melaksanakan Peraturan Pemerintah (Pasal 11). Mengenai

Peraturan Derah dinyatakan dalam Pasal 12 bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Materi muatan peraturan perundang-undangan juga mengandung asas-asas yang harus ada dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Asas-asas n suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan peraturan perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauannya.

Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang:

1. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

a. Hak-hak asasi manusia;

(5)

kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan/atau

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Sedangkan ayat (2), menyatakan “Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”.

Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:

1. Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

2. Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

3. Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

4. Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

5. Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan

seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

(6)

7. Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

9. Asas ketertiban dan kepastian hukum; Bahwa setiap Materi

Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan

Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:

1. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

2. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.

Selain kedua ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan juga harus

berpedoman, serta bersumber dan berdasar pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dirumuskan sebagai berikut, Pasal 2 berbunyi, “Pancasila

(7)

Norma Dasar Negara, sehingga kedua pasal tersebut berkaitan erat dengan Penjelasan Umum UUD 1945. Dari rumusan Penjelasan UUD 1945 menjadi jelaslah bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah Pancasila

merupakan Norma Dasar Negara atau Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus merupakan Cita Hukum.

Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Norma Fundamental Negara, yang menurut istilah Notonagoro merupakan Pokok Kaidah

Fundamental Negara Indonesia atau menurut Hans Nawiasky

adalah Staatsfundamentalnorm, ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahnya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Sedangkan konstitusi, menurut Carl Schmitt merupakan keputusan politik (eine Gessamtenschiedung uber Art und Form einer polistichen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Apabila Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung

Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Cita Hukum (Recthsidee), maka Pancasila adalah juga berfungsi sebagai suatu pedoman dan sekaligus tolok ukur dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat, yang dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Materi muatan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang (Perpu) sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Materimuatan Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk

menjalankanUndang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Presiden(Perpres) berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undangatau materi untuk melaksanakan Peraturan

Pemerintah. Materi muatan PeraturanDaerah (Perda) adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraanotonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah sertapenjabaran lebih lanjut Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi. Daritata urutan (hirarki) dan jenis di atas, tampak bahwa semakin ke bawah, materimuatan peraturan masing-masing semakin mengkerucut.Dengan

(8)

Khusus untuk materi muatanPerda di atas harus dikaitkan dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah yang telah menentukan pembagian

urusan pemerintahan danpengaturan mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah,

dan urusan-urusanpemerintah daerah yang lain yang menjadi kewenangan daerah

untuk mengatur dalamPerdanya. Hal ini untuk lebih mempermudah penentuan materi

muatan, norma, danpenerapannya..

Sebagaimana digambarkan di atas, untuk mempermudahpenentuan materi muatan peraturan perundang-undangan, digunakan

penelaahansecara residu, di samping pemahaman mengenai materi muatan itu sendiri. MateriMuatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan

perundang-undangansesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Di dalam ilmu peraturan perundang-undangan, telahdikenal teori berjenjang yang menyatakan bahwa semakin tinggi

tingkatperaturan, semakin meningkat keabstrakannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkatperaturan, semakin meningkat

kekonkritannya. Hipotesis yang dapat digambarkanadalah jika peraturan yang paling rendah, penormaannya masih bersifat abstrak,maka peraturan tersebut kemungkinan besar tidak bias dilaksanakan atauditegakkan secara langsung karena masih memerlukan peraturan pelaksanaan ataupetunjuk pelaksanaan. Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presidendan peraturan daerah, seyogyanya langsung dapat dilaksanakan secara berjenjang,dengan catatan bahwa materi muatan undang-undang disesuaikan lagi dengan macamundang-undang itu sendiri.

Sebagaimana diketahui bahwa macam undang-undangterdiri atas:

1. undang-undang hukum pidana 2. undang-undang hukum perdata 3. undang-undang hukum administrasi 4. undang-undang pengesahan

5. undang-undang penetapan

6. undang-undang arahan atau pedoman.

Materi muatanUndang-Undang Dasar (UUD), sudah barangtentu lebih abstrak daripada materi muatan Undang-Undang.

(9)

keuniversalannya atau sifat keumumannya (normayang umum dan perlu penjabaran oleh peraturan di bawahnya). Kadangkala,

sifattersebut juga mengandung suatu asas atau mempunyai norma asasi. Asasi atautidak asasinya suatu norma, orang yang menyatakan itu dalam kesimpulan tesisatau pendapatnya. Hal ini sering pula berlaku bagi undang-undang karenaundang-undang sering menjadi kendaraan UUD sehingga muatannya bersinggungan(tumpang tindih) dengan muatan UUD, terutama dengan macam undang-undang yangberisi arahan atau pedoman.

Pada saat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia (HAM) diundangkan, orang banyak bertanya mengenai materi muatanUndang-Undang tersebut apakah materi yang ada di dalamnya bukan materi muatanUUD (kecuali pengaturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Pasal 9

Undang-Undangtentang HAM menentukan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankanhidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Kemudian, Pasal 11 menentukan “Setiaporang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melaluiperkawinan yang sah”.

Jika kita akan membandingkan dengan KUHP, maka akantampak materi muatan pada kedua Undang-Undang tersebut. Pasal 338 KUHPmenentukan bahwa “Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain, dipidana denganpidana ….”. Orang sudah harus menduga bahwa Pasal 338 tersebut sebagai cerminanatau wujud dari ketentuan “Setiap orang berhak untuk hidup” (Pasal 9Undang-Undang tentang HAM). Untuk membedakan kedua norma di atas terkait denganmateri muatan adalah dengan melihat apakah norma tersebut langsung bisadilaksanakan dan ditegakkan. Jika Bedu membunuh Amin, maka Bedu dikenakan Pasal338 KUHP, bukan Pasal 9 Undang-Undang tentang HAM. Sesuai dengan hukum

acarapidana (KUHAP), polisi dapat menangkap Bedu untuk ditahan dan kemudian diprosesuntuk diajukan ke penuntut umum, lalu diajukan ke persidangan.

Jika kita setuju dengan cara pemahaman “residu”,dikaitkan dengan tata urutan peraturan perundang-undangan, maka

seyogyanyaperaturan perundangan di bawah undang-undang juga harus lebih mudah ataulangsung dilaksanakan

(diterapkan) dan ditegakkan dibandingkan denganundang-undang itu sendiri. Pembentuk peraturan perundang-undangan (di

(10)

yakni dengan menjauhkan diri untukmerancang normanya kepada sifat universalitas dan asas-asas yang berlaku umum(nasional). Perancang peratuarn perundang-undangan harus memikikirkan bagaimanasuatu peraturan tidak terlalu banyak berisi delegasian dari peraturanperundang-undangan di atasnya sehingga tidak

terjebak pada materi muatan yanglebih abstrak. Agak aneh jika ada suatu peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang berisi asas-asas dan berisi hak dan kewajiban yang

membebanimasyarakat. Aneh juga jika suatu Perda menentukan bahwa “Setiap orang yangmelakukan penganiayaan terhadap orang lain yang mengakibatkan luka dipidanadengan pidana.

Pemahaman “residu” tidak hanya terkait dengan pola diatas, melainkan juga pada tata urutan yang secara formal telah ditentukan dalamPasal 7 UU P 3, artinya, urutan tersebut menggambarkan makna deduktif materimuatan peraturan perundang-undangan. Tata urutan peraturan semakin ke

bawahsemakin konkret dan langsung dapat dilaksanakan karena kesederhanaan materinya(walaupun kadangkala peraturan di bawah, yang biasanya lebih teknis, sangatkompleks dan rumit). Pemahaman residu juga terkait dengan macam norma

danpenerapan hukumnya.

Pembentukan peraturan perundang-undangan

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU

Proses pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat

dilakukan dalam berbagai model pilihan partisipasi sesuai dengan tingkat perkembangan politik suatu negara. Partisipasi masyarakat ini akan tergant[2]ung dari kesadaran masyarakat dalam tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Untuk

memberikan kejelasan lebih lanjut tentang pendekatan ini, menarik untuk disimak uraian penulis dalam buku ini berkaitan dengan adanya pemahaman terhadap masing-masing model partisipasi publik tersebut adalah sebagai berikut:

a. Model Pertama : Pure Representative Democracy

(11)

perwakilan. Dalam hal ini, masyarakat hanya tinggal menerima saja apa yang akan diproduk oleh legislatur dalam pembentukan UU.

b. Model Kedua : A Basic Model of Public Participation

Dalam model yang kedua ini digambarkan bahwa rakyat telah melakukan interaksi keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui pemilihan umum tetapi dalam waktu yang sama juga melakukan kontak dengan lembaga perwakilan. Meskipun demikian model partisipasi ini belum dapat dikatakan sebagai bentuk dan hakekat interaksi yang sebenarnya.

c. Model Ketiga : A Realism Model of Public Participation

Dalam model pilihan yang ketiga ini, public participation pelaku-pelakunya cenderung dilakukan dan didominasi oleh adanya

kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Publik, selain ikut dalam pemilihan umum juga melakukan interaksi dengan lembaga perwakilan. Akan tetapi tidak semua warga negara melakukan public participation dalam bentuk membangun kontak interaksi dengan lembaga perwakilan. Pelaku-pelaku public participation telah mengarah pada

kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Dengan demikian terdapat kecenderungan untuk memahami “public” dalam konteks yang terbatas.

d. Model Keempat : The Possible Ideal for South Africa

Model alternatif yang diperkenalkan sebagai bentuk keempat dari berbagai partisipasi masyarkat ini, merupakan perluasan dalam memasukkan tiga kelompok partisipan, yaitu : those who are

organized and strong; those who are organized but weak; and those who are weak and unorganized. Dengan menerapkan model ini, pemerintah dapat mengembangkan visi strategis yang dapat

ditujukan kepada ketiga kelompok tersebut secara bersama-sama. Dalam model ini, pada gilirannya memunculkan dua tambahan dimensi yaitu: a) dimensi peranan partai-partai politik dan partai mayoritas; b) dimensi hubungan perwakilan dengan eksekutif.

(12)

argumentasi filosofis, sosiologis dan yuridis untuk mendukung apakah penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah perlu dilakukan.

Identifikasi masalah memuat rumusan masalah yang ditemukan dan diuraikan dalam Akademik. mencakup empat hal yang dimuat, yaitu :

1. permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi;

2. mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut;

3. apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis serta yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah; dan

4. apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan.

Tujuan perumusan disesuaikan dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut;

2. merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan

bermasyarakat;

3. merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau

Rancangan Peraturan Daerah; dan

4. merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.

(13)

§ Kekuasaan membentuk UU berada di DPR (Pasal 20 Ayat (1)) § Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR (Pasal 5 Ayat

(1))

§ RUU dibahas oleh DPR dan Presiden secara bersama (Pasal 20

Ayat (2))

§ Presiden mengesahkan RUU menjadi UU (Pasal 20 Ayat (4)) § Meskipun tidak disahkan oleh Presiden, suatu RUU tetap syah

menjadi UU (Pasal 20 Ayat (5)) Mekanisme

§ Penyusunan RUU di lingkungan pemerintah diatur dalam

Kepres No. 188/1999 (tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU) Catatan:Keppres No. 188/1998 (yang mengganti InPres 15/1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU dan RPP) ditetapkan tanggal 29 Oktober 1998, lahir jauh sebelum terjadi amandemen UUD 1945, sehingga ada beberapa hal yang harus disesuaikan dengan perkembangan baru, khususnya yang berkaitan dengan perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 (kewenangan membentuk UU yang selama ini ada pada Presiden dialihkan ke DPR), hak-uji Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang ke UUD 1945, serta

pembentukan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sebagai (salah satu) pembentuk undang-undang. Perubahan di atas mempengaruhi pula prosedur atau tata cara penyusunan RUU yang dimuat dalam

Keppres No. 188/1998, karena Presiden tidak lagi sebagai “legislator utama” tetapi sudah menjadi “legislator-serta” (medewetgever).

§ Pembahasan RUU di lingkungan DPR diatur dalam Peraturan

Tata Tertib DPR RI (Keputusan DPR-RI No. 03A/DPR-RI/I/2001-2002)

Pembahasan RUU di DPR terdiri atas 2 (dua) tingkat pembicaraan:

I. Pembicaraan Tingkat I, meliputi:

pemandangan umum fraksi terhadap RUU yang berasal dari pemerintah atau tanggapan pemerintah terhadap RUU yang berasal dari DPR

1. jawaban pemerintah atas pemandangan umum fraksi, atau jawaban pimpinan komisi, pimpinan badan legislasi,

pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus atas tanggapan pemerintah; dan

(14)

pengambilan keputusan dalam rapat paripurna, yang didahului oleh:

1. laporan hasil pembicaraaan tingkat I

2. pendapat akhir fraksi yang disampaikan oleh anggotanya, apabila dipandang perlu, dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksi; dan penyampaian sambutan pemerintah

Kesimpulan

Hieraki peraturan perundang-undangan di indonesia menurut Undang-Undang No 10/2004 tentang pembentukan peraturan perundang –undangan :

1. UUD 1945

2. Undang-Undang

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah.

(15)

Daftar Pustaka

ü http://vjkeybot.wordpress.com/2012/04/14/materi-muatan-perundang-undangan/

ü http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/peraturan-perundang-undangan.html

ü http://pshk.law.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=vie w&id=136&Itemid=106

ü http://www.ditjenpp.org/kerja/prosruu.htm

2 Tim Redaksi HIMPUNAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA (4 Jilid) Ichtiar Baru Van Hoeve Tanggal terbit 2006

[2] DR. Saifudin, S.H., M.H. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji fisher’s exact test menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan zat besi dengan kejadian anemia

bahwa dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mewajibkan setiap institusi penyelenggara pelayanan publik

Bagi kelompok liberal (yang banyak dipelopori oleh Jaringan Islam Liberal dan JIMM), pembahasan qishash adalah pembahasan kuno karena hal itu merupakan tradisi bangsa

Dalam me- laksanakan penelitian itu semua anggota tim (mulai dari ketua dalam rancang- an penelitian disebut koordinator penelitian sampai kepada pembantu) terjun ke

Kes memburu kepala di Segama juga pernah dikisahkan oleh Datu Baginda bin Rumakoi (temuramah 2008). Beliau merupakan ketua adat masyarakat Subpan di Segama. Menurut beliau, pada

Wanita yang dijangkiti HIV/AIDS bukan hanya terdiri daripada mereka yang terlibat dengan kegiatan berisiko seperti pelacuran, seks bebas dan penagihan dadah, tetapi mereka yang

Keberadaan ‘sang Ayah’ (tanzhim tarbiyah) yang ingin anaknya terlibat dalam politik juga membuat sang Anak takut dan tunduk pada perintah ‘Sang Ayah’ Ia kemudian keluar dari

Tipe pernyataan ini juga merupakan lokusi, yakni menyatakan sesuatu kepada pendengar. Lokusi dalam tipe ini merupakan lokusi tidak langsung, karena hanya merupakan berita,