• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika kata fatis dalam bahasa Ind

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Problematika kata fatis dalam bahasa Ind"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Dalam kaidah tuturan bahasa Indonesia yang banyak sekali dipengaruhi oleh dialek dialek daerah yang mempunyai kekhasan tersendiri dari pengucapan maupun penggunaanya. Salah satu dari pengaruh kedaerahan yang mempengaruhi tuturan dalam bahasa Indonesia adalah penggunaan kategori fatis yang menimbulkan problematika dalam morfologi bahasa Indonesia.

Pada dasarnya kategori fatis ini adalah penemuan baru dalam linguistik bahasa Indonesia, pengkajian kategori fatis ini diperlukan untuk mengembangkan struktur dan mengoptimalkan penggunaan bahasa Indonesia agar berkembang secara konvergen dalam masyarakat tuturnya. Hal ini sangat diperlukan agar tidak terjadi kerancuan karena kategori fatis ini berbeda fungsinya tiap daerahnya. Padahal bahasa Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh daerah asal masyarakat tutur tersebut.

Kategori fatis ini tidak boleh diabaikan dalam deskripsi bahasa baik standar maupun non-standar, karena kategori ini sangat mempengruhi kaidah makna dalam suatu penulisan atau penuturan. Karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pembahasan kategori fatis dalam bahasa Indonesia.

1.2 Rumusan masalah

- Perbedaan sifat yang mendasar antara kategori fatis dan interjeksi serta penggunaannya dalam bahasa Indonesia.

- Fungsi dan peranan kategori fatis dalam pemaknaan tuturan bahasa Indonesia.

1.3 Tujuan

- Untuk mengetahui ciri-ciri, perbedaan sifat yang mendasar antara kategori fatis dan interjeksi serta penggunaanya dalam bahasa Indonesia. Disamping itu agar bahasa Indonesia bisa berkembang secara konvergen diantara masyarakat tuturnya. - Untuk mengetahui fungsi dan peranan dalam pemaknaan dalam tuturan maupun

(2)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Kelas kata dalam bahasa Indonesia dibagi menjadi dua macam, yaitu kata isi dan kata fungsi. Kata isi yaitu kata yang menjadi unsur inti dalam kalimat dan memiliki makna makna leksikal. Yang termasuk kata isi yaitu nomina,pronomina, verba, adjektiva, dan numeralia. Kata fungsi yaitu kata yang tidak dapat menjadi unsur inti dalam kalimat serta tidak mempunyai makna leksikal. Yang tetrmasuk kata fungsi yaitu adverbia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi. Kategori fatis yaitu kategori yang bertugas menilai, mempertahankan, mengukuhkan antara pembicara dan lawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks dialog atau wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non standar.

2.2 Masalah pokok.

Dalam makalah ini saya akan membahas salah satu bagian dari kata fungsi dalkam bahasa indonesia yaitu kategori fatis. Kategori fatis merapakn penemua baru dalam bahasa Indonesia. Sebelumnya dalam bahasa indonesia terjadi kerancuan apakh kata-kata fatis itu dimasukkan dalam jenis interjeksi ataukah harus dipisahkan dan ditempatkan dalam kategori yang berbeda. Menurut Jakobson (1997:45), partikel fatis dimungkinkan untuk memulai, mempertahankan, dan mengakhiri perbincangan.

(3)

Buktinya, kata itu belum pernah dimasukkan dalam kategori kata. Bisakah kata-kata tersebut digolongkan ke dalam kategori kata-kata tertentu? Kalau bisa, apakah dapat

dijelaskan makna dan fungsii dari kata di atas? Apakah dalam naskah terjemahan, kata-kata tersebut dapat dituliskan?

Pertama, perlu dijelaskan dahulu bahwa dalam sejarahnya, kategorisasi atau pengelompokan kata selalu menghasilkan kelas kata yang berbeda-beda. Boleh dikatakan ahli bahasa yang satu mengelompokkan kata secara berbeda dengan ahli bahasa yang lainnya. Dalam linguistik tercatat tidak kurang dari dua puluh ahli bahasa telah berusaha membuat pengelompokkan kata. Namun, hasil pengelompokan ahli yang satu selalu berbeda dengan ahli lainnya. Pengelompokan yang dilakukan pada masa tertentu juga berbeda dengan masa lainnya. Kenyataan ini menegaskan bahwa pada hakikatnya bahasa berubah dan berkembang dinamis sesuai masa dan tahap perkembangannya.

Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa para ahli bahasa belum pernah memperhatikan pemakaian kata-kata tertentu. Perkembangan pemakaian kata senantiasa diperhatikan, dicermati, dan diteliti dari masa ke masa. Mungkin sekali kata-kata seperti kek, deh, dong, toh, sih, nah, ding, dan lho belum dicermati atau diteliti pada masa perkembangan tata bahasa pedagogis, tata bahasa Melayu, bahkan pada masa tata bahasa standar Indonesia-Malaysia sekalipun. Ketika itu, para ahli bahasa cenderung masih mempelajari dan meneliti bahasa secara tradisional. Dasar rancangan penelitian mereka pun masih tradisional. Sementara kata-kata di atas cenderung muncul dalam konteks pragmatis yang baru mencuat belakangan ini. kata-kata tersebut dapat dikelompokkan dalam kategori fatis. Konsep fatis itu sendiri sebenarnya juga masih relatif baru karena baru muncul pada tahun 1920-an, yakni setelah Malinowski menyampaikan konsep phatic communion.

(4)

Untuk mengakhiri percakapan kita sering menggunakan ungkapan selamat jalan, sampai jumpa, selamat malam, selamat tidur, dan lain-lain. Untuk mengawali percakapan, kita sering mengguanakan ungkapan selamat pagi, selamat siang, selamat jumpa, hallo, apa kabar, dan lain-lain. Semua ungkapan yang berciri fatis itu lazim muncul dalam konteks interaksi atau komunikasi. Kadangkala, ungkapan fatis maknanya tidak cukup jelas, namun fungsinya amat jelas. Ungkapan fatis berciri komunikatif bukan berciri emotif. Ciri komunikatif itulah yang menjadi pembeda ungkapan fatis dengan ungkapan interjektif yang lazimnya berciri emotif. Selanjutnya, dalam divisi subtitling pada media elektronik, apakah kata-kata fatis seperti sih dan kok pantas dicantumkan dalam terjemahan teks bawah (subtitle)? Dalam penerjemahan ada prinsip yang harus dipenuhi yakni kedekatan hasil terjemahan dengan maksud asli teksnya. Berkaitan dengan hal itu, tentu menjadi tidak benar apabila bentuk aslinya sebuah percakapan, lalu bentuk terjemahannya bukan lagi percakapan.

Jika hal itu terjadi, berarti telah terjadi pengingkaran terhadap prinsip penerjenmahan tersebut.Oleh karena itu, kata-kata dalam kategori fatis yaitu sih, kok, toh, lho, dan lain-lain, harus tetap dituliskan dalam terjemahan teks bawah. Kata fatis semacam itu justru bermanfaat untuk mengawali, memelihara, dan melancarkan komunikasi. Jadi, kata-kata fatis semacam itu tidak boleh diabaikan begitu saja dalam penerjemahan. makalah ini bertujuan mengungkap fatis bahasa Indonesia lisan dalam bahasa percakapan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan ungkapan fatis berdasarkan makna, distribusi, dan bentuk dalam konteks kalimat. Penelitian ini, menitikberatkan pada bahasa lisan, yaitu ragam bahasa percakapan yang banyak mengabaikan unsur sintaksis dan sifatnya yang ekspresif juga komunikatif, dalam arti menghidupkan dialog untuk kelancaran komunikasi.

(5)

● Bentuk dan jenis kategori fatis :

1. “ah” menekankan perolakan acuh tak acuh. Contohnya : ayo ah kita pergi!

2. “ayo, ayuk, yok” menekankan ajakan. Contohnya: kita pergi yuk!

3. “dong” menghaluskan perintah dan menekankan pendapat. Contohnya : ya jelas dong!

4. “ding” menekankan pengakuan kesalahan pembicara. Contohnya : bohong ding!

5. “kan” merupakan kependekan dari bentuk buikan atau bukankah, tugasnya menekankan pembuktian.

Contohnya : bisa saja kan!

6. “kek” menekankan pemerincian, perintah, atau menggantikan kata saja. Contohnya : elu kek, gue kek, sama saja.

elu kek yang pergi!

7. “kok” menekankan alasan dan pengingkaran. Juga dapat menggantikan kata tanya mengapa.

Contohnya : kok begitu sih?

kok sakit-sakitan pergi juga?

8. “-lah” menekankan kalimat imperatif dan penguat sebutan dalam kalimat. Contohnya : tutuplah pntu itu!

(6)

9. “-nah” terletak di awal kalimat dan bertugas untuk minta supaya kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal lain.

Contohnya : nah, makanlah mangga itu!

10. “-pun” terletak pada ujung konstituen pertama kalimat dan bertugas menonjolkan bagian tugas tersebut.

Contohnya : membaca pun dia tidak bisa!

11. “sih” bertugas menggantikan –tah dan –kah, sebagai makna sebenarnya atau menekankan alasan.

Contohnya : apa sih maunya orang itu!

bagus sih bagus, cuma mahal amat.

12. “toh” bertugas menguatkan maksud, adakalanya pengganti tetapi. Contohnya : saya toh merasa tidak bersalah

Biarpun mahal toh dia tetap beli juga

13. “ya” bertugas mengukuhkan pendapat dan meminta persetujuan dari lawan bicara. Contohnya : ya tentu saja

jangan pergi, ya?

● Frase fatis

- Frase dengan selamat digunakan untuk memulai dan mengakhiri interaksi antara pembicara dan kawan bicara, sesuai dengan keperluan dan situasinya.

Contohnya : selamat pagi, selamat siang, selamat malam.

- Terima kasih digunakan setelah pembicara merasa mendapatkan sesuatu yang menyenangkan dari lawan bicara.

- Turut berduka cita digunakan sewaktu pembicara menyampaikan bela sungkawa.

(7)

- Waalaikum salam digunakan untuk membalas kawan bicara yang mengucapkan Assalamualaikum.

- Insya Allah diucapkan oleh pembicara ketika tawaran mengenai sesuatu dari lawan bicara.

IDIOM Makna Idiom

Abdul Chaer (1994) berpendapat bahwa idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan’ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara

gramatikal. Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya’; tetapi, dalam bahasa Indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa keras-keras’. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi ialah yang disebut makan idiomatikal. Contoh lain dari idiom adalah bentuk membanting tulang yang bermakna

‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan, dan sudah beratap seng dengan makna ‘sudah tua’.

Menurut Djoko Saryono, makna idiomatis adalah makna konstruksi yang maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan atau dijabarkan dari makna unsur-unsur pembentuknya. Contohnya: tanah air ‘ negeri tempat lahir’, besar kepala ‘sombong’, dan

mengambinghitamkan ‘menuduh bersalah’.

I.G.N. Oka dan Suparno (1994) menyatakan bahwa makna kias adalah makan yang sudah menyimpang dalam bentuk ada pengiasan hal atau benda yang dimaksudkan penutur dengan hal atau benda yang sebenarnya.

Ada dua macam bentuk idiom, yaitu yang disebut idiom penuh dan idiom sebagian. Yang dimaksud dengan idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau termasuk contoh idiom penuh. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna ‘buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus’; daftar hitam yang bermakna ‘daftar yang memuat nama-nama orang yang diduga atau dicurigai berbuat kejahatan’; dan koran kuning dengan makna ‘koran yang biasa memuat berita sensasi’. Pada contoh tersebut, kata buku, daftar, dan koran masih memiliki makna leksikalnya. Contoh yang lain adalah sebagai berikut:

Idiom Penuh Idiom Sebagian

1.makan angin: berjalan-jalan untuk menghirup hawa yang bersih. makan bawang: marah.

makan tangan: beruntung besar. 2.duduk perut: mengandung.

(8)

1.makan besar: makan (arti leksikal) secara besar-besaran. makan bebas: makan tanpa membayar.

2.uang duduk: uang (arti leksikal) yang dibayarkan sebagai imbalan peserta rapat. 3.buah hidup: buah yang masih segar.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pelaksanaan program pembangunan rumah sederhana layak huni di Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir pada tahapan pelaksanaan perlu adanya pengawasan

Pada penelitian ini, eosinofilia belum dapat digunakan sebagai prediktor morbiditas STH karena penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah

Sjarifuddin ditunjuk sebagai Perdana Menteri dan golongan Islam pada saat itu diwakili oleh PSII yang berarti PSII telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan

Pemerintah Kabupaten Buleleng bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Buleleng telah menetapkan Peraturan Bupati Buleleng Nomor : 75 Tahun 2016

Penggunaan dan kepemilikan senjata api di Indonesia telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Mengubah

Hal tersebut mendorong peneliti mengadakan suatu penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh bauran pemasaran yang terdiri dari produk, harga, tempat, promosi

Penyuluhan yang diberikan kepada anak- anak sekolah dasar tentang jajanan makanan tradisional secara signifikan telah dapat meningkatkan pengetahuan, namun belum

Conceptual Data Model (CDM) pada proses Rancang Bangun Aplikasi Pengaduan Tenaga Kerja pada DISNAKERTRANSDUK PROVINSI JAWA TIMUR merupakan gambaran dari struktur database