• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI FATIS DALAM KOMUNIKASI ANTARPENUTUR PADA ACARA MATA NAJWA STASIUN TELEVISI TRANS 7 EDISI SEPTEMBER-DESEMBER 2018 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FUNGSI FATIS DALAM KOMUNIKASI ANTARPENUTUR PADA ACARA MATA NAJWA STASIUN TELEVISI TRANS 7 EDISI SEPTEMBER-DESEMBER 2018 SKRIPSI"

Copied!
314
0
0

Teks penuh

(1)

i

FUNGSI FATIS DALAM KOMUNIKASI ANTARPENUTUR PADA ACARA “MATA NAJWA” STASIUN TELEVISI TRANS 7

EDISI SEPTEMBER-DESEMBER 2018

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh :

Theresia Alvincia Erfrosina 151224078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2019

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada

 Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas segala berkat dan penyertaannya sehingga saya bisa menyelesaikan karya ini.

 Papa dan mama saya, Yohanes Babtista Joko Winduro, S.Pd. dan Fransiska Ari Murwindarsi, S.Pd., yang selalu setia memberikan saya semangat, mendukung

saya, dan mendoakan saya setiap waktu sehingga karya ini bisa selesai.

 Adik saya, Giacinta Alvita Averina yang selalu mendukung saya dan mendoakan saya.

 Keluarga besar Simbah Robertus Suparjo dan Simbah Modestha Rahayu

 Simbah Catharina Murbani

(5)

v MOTO

“Dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan harapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam

hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.

-Roma 5:4-5-

“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal”

-Ayub 42:2-

“I’ll do the best and God will do the rest.”

-Semboyan SMP Tarakanita 4 Jakarta-

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Erfrosina, Theresia Alvincia. 2019. Fungsi Fatis dalam Komunikasi Antarpenutur Pada Acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mendeskripsikan mengenai penanda fatis dan fungsi fatis dalam komunikasi antarpenutur pada acara “Mata Najwa” edisi September- Desember 2018. Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu (1) mendeskripsikan penanda fatis yang terdapat dalam komunikasi antarpenutur pada acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desmber 2018, dan (2) mendeskripsikan fungsi fatis yang terdapat dalam komunikasi antarpenutur pada acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian yakni, video dialog acara “Mata Najwa” edisi September- Desember 2018, sedangkan data dalam penelitian ini berupa cuplikan-cuplikan tuturan yang mengandung penanda fatis dan fungsi fatis dalam acara “Mata Najwa” Edisi September-Desember 2018. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap dan teknik catat. Analisis data dilakukan dalam tahapan, (1) mentranskrip tuturan yang telah didapatkan, (2) mengumpulkan tuturan yang termasuk dalam fungsi fatis, (3) membuat triangulasi dan mengkorfirmasikan pada ahli, dan (4) mendekripsikan data dan melakukan pembahasan.

Hasil dari penelitian ini adalah (1) peneliti menemukan penanda fatis dalam tuturan pada acara Mata Najwa diantaramya, penanda fatis sapaan, penanda fatis kekecewaan, penanda fatis ucapan terima kasih, penanda fatis bercanda, penanda fatis pujian, penanda fatis permohonan maaf, penanda fatis penolakan, penanda fatis ketidaksetujuan, penanda fatis penghindaran, penanda fatis pengucapan salam, penanda fatis suruhan, penanda fatis tawaran, penanda fatis penegasan, penanda fatis pengingatan. (2) Peneliti menemukan fungsi fatis dalam tuturan pada acara Mata Najwa, yaitu kefatisan berbahasa dengan fungsi sapaan, kefatisan berbahasa dengan fungsi kekecewaan, kefatisan berbahasa dengan fungsi ucapan terima kasih, kefatisan berbahasa dengan fungsi bercanda, kefatisan berbahasa dengan fungsi pujian, kefatisan berbahasa dengan fungsi permohonan maaf, kefatisan berbahasa dengan fungsi penolakan, kefatisan berbahasa dengan fungsi ketidaksetujuan, kefatisan berbahasa dengan fungsi penghindaran, kefatisan berbahasa dengan fungsi pengucapan salam, kefatisan berbahasa dengan fungsi suruhan, kefatisan berbahasa dengan fungsi tawaran, kefatisan berbahasa dengan fungsi penegasan, dan kefatisan berbahasa dengan fungsi pengingatan.

Kata Kunci : penanda fatis, fungsi fatis

(9)

ix ABSTRACT

Erfrosina, Theresia Alvincia. 2019. The Phatic Functions in Communication Between Speakers on “Mata Najwa” Television Program Trans 7 from September-Deecember 2018 Edition. Thesis. Yogyakarta: Indonesian Laguage and Literature Education study program. Language and Arts Department, Faculty of Teachers Training and Education, Sanata Dharma University.

This research describes the phatic expressions and the phatic functions in communication between speakers on Mata Najwa Television Program from September-December 2018 Edition. This research has two objectives; (1) to describe the phatic expressions appeared in communication between speakers at the Mata Najwa Television Program Trans 7 from September-December 2018 Edition, and (2) to describe the phatic functions appeared in Mata Najwa Television Program Trans 7 from September-December 2018 Edition.

This research was qualitative descriptive research. The source of data in this research was the dialogue videos of the Mata Najwa program from September-December 2018 Edition. Meanwhile, the data in this research were speech snippets containing phatic expressions and the phatic functions in Mata Najwa Television Program from September-December 2018 Edition. The researcher used the method of referencing with a free and involved and note- taking technique to obtain the data. Data analysis was carried out in four stages, (1) transcribing the speeches that had been obtained, (2) collecting speeches included in the phatic function, (3) making triangulation and confirming to experts, and (4) describing data and conducting discussions.

The results of this research were (1) The researcher found phatic expressions in the speeches of the Mata Najwa Television Program. They were greetings phatic expression, disappointment phatic expression, gratitude phatic expression, humor phatic expression, compliment phatic expression, apology phatic expression, rejection phatic expression, disagreement phatic expression, prevention phatic expression, greetings utterance phatic expression, affirmative phatic expression, and reminder phatic expression. (2) The researcher found phatic functions in the speeches of the Mata Najwa Television Program. They were phatic using greetings function, phatic using disappointment function, phatic using gratitude function, phatic using humor function, phatic using compliment function, phatic using apology function, phatic using rejection function, phatic using disagreement function, phatic using prevention function, phatic using greeting utterance function, phatic using affirmative function, and phatic using reminder function.

Keywords: phatic expressions, phatic functions

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan pada Tuhan Yesus dan Bunda Maria, karena atas rahmat dan berkatnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Fungsi Fatis Dalam Komunikasi Antarpenutur Pada Acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018” dengan lancar dan baik.

Skripsi ini disusun sebagai pemenuhan salah satu syarat menyelesaikan studi dalam kurikulum pendidikan bahasa dan sastara Indonesia (PBSI), Jurusan Bahasa dan Seni (JPBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa proses dalam pembuatan skripsi ini melibatkan banyak pihak yang berada di sekitar peneliti. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku ketua program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sangat sabar membimbing dan memperhatikan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku trianggulator yang bersedia membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

(11)

xi

5. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mendidik peneliti selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.

6. Theresia Rusmiyati selaku karyawan sekretariat PBSI yang selalu sabar dalam memberikan pelayanan untuk penulis.

7. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan bagi peniliti untuk mengerjakan penelitian ini dan mencari literatur.

8. Papa dan mama saya, Yohanes Babtista Joko Winduro, S.Pd. dan Fransiska Ari M. S.Pd., yang selalu setia mendukung, mendoakan, dan memberikan saya semangat sehingga skripsi bisa selesai.

9. Adik saya, Giacinta Alvita Averina, yang selalu mendukung dan mendoakan saya.

10. Om saya, Rm. Laurensius Bondan Pujadi, Pr. dan Vinsensius Christian, S.E.

yang selalu mengingatkan saya untuk mengerjakan karya ini, mendukung dan mendoakan saya.

11. Keluarga besar Simbah Robertus Suparjo dan Simbah Modestha Rahayu, keluarga simbah Ibu Catharina Murbani, keluarga besar Simbah F. B.

Cokroharjono (almarhum), dan keluarga besar Ignatius Partosuharjo (almarhum) yang selalu mendukung, memberikan semangat, dan doa untuk saya.

(12)
(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPERLUAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Batasan Istilah ... 6

1.6 Sistematika Penyajian ... 8

(14)

xiv

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN ... 9

2.1 Penelitian yang Relevan ... 9

2.2 Landasan Teori ... 11

2.2.1 Pragmatik ... 11

2.2.2 Fenomena-fenomena Pragmatik ... 14

2.2.3 Kefatisan Sebagai Fenomena Pragmatik ... 15

2.2.3.1 Penanda Fatis ... 16

2.2.3.2 Fungsi Fatis ... 17

2.2.4 Konteks ... 29

2.3 Kerangka Berpikir ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian ... 38

3.2 Data dan Sumber Data Penelitian ... 39

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 40

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 41

3.5 Triangulasi Data ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

4.1 Deskripsi Data ... 44

4.2 Analisis Data ... 46

4.2.1 Penanda Fatis ... 46

(15)

xv

4.2.1.1 Penanda Fatis Sapaan ... 47

4.2.1.2 Penanda Fatis Kekecewaan ... 53

4.2.1.3 Penanda Fatis Terima Kasih ... 59

4.2.1.4 Penanda Fatis Bercanda ... 64

4.2.1.5 Penanda Fatis Pujian ... 69

4.2.1.6 Penanda Fatis Permohonan Maaf ... 72

4.2.1.7 Penanda Fatis Penolakan ... 77

4.2.1.8 Penanda Fatis Ketidaksetujuan ... 80

4.2.1.9 Penanda Fatis Penghindaran ... 84

4.2.1.10 Penanda Fatis Pengucapan Salam ... 88

4.2.1.11 Penanda Fatis Suruhan ... 91

4.2.1.12 Penanda Fatis Tawaran ... 94

4.2.1.13 Penanda Fatis Penegasan ... 96

4.2.1.14 Penanda Fatis Pengingatan ... 99

4.2.2 Fungsi Fatis ... 103

4.2.2.1 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Sapaan ... 103

4.2.2.2 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Kekecewaan ... 108

4.2.2.3 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Ucapan Terima Kasih ... 113

4.2.2.4 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Bercanda ... 116

4.2.2.5 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Pujian ... 120

4.2.2.6 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Permohonan Maaf ... 122

4.2.2.7 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Penolakan ... 127

(16)

xvi

4.2.2.8 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Ketidaksetujuan ... 129

4.2.2.9 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Penghindaran ... 133

4.2.2.10 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Pengucapan Salam ... 137

4.2.2.11 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Suruhan ... 139

4.2.2.12 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Tawaran ... 142

4.2.2.13 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Penegasan ... 144

4.2.2.14 Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Pengingatan ... 147

4.3 Pembahasan ... 151

BAB V PENUTUP ... 154

5.1 Kesimpulan ... 154

5.2 Saran ... 155

DAFTAR PUSTAKA ... 157

LAMPIRAN ... 159

BIODATA PENULIS ... 298

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini, akan memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.

1.1 Latar Belakang Masalah

Semua makhluk sosial di dunia ini saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain. Manusia sebagai makhluk sosial dapat berinteraksi melalui bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa sebagai salah satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbriter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana:1983). Menurut Keraf (dalam Suandi, 2014:4) bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucapnya. Berdasarkan pandangan dari dua tokoh tersebut, dapat disimpulkan, bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Bahasa merupakan sebuah alat komunikasi yang digunakan oleh setiap individu dalam menjalin interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, bahasa memiliki salah satu peran dan fungsi yang mendasar, yakni sebagai medium penyampai maksud atau tujuan, sebagai saluran atau lorong penyampai pikiran, gagasan, ide, dan keinginan. Dalam suatu masyarakat, manusia tidak

(18)

mungkin dapat berkomunikasi apabila anggota masyarakat tersebut tidak menggunakan bahasa sebagai alat. Manusia bukan makhluk individu, melainkan makhluk sosial yang di dalam kesehariannya membutuhkan yang namanya bahasa. Tanpa adanya bahasa, manusia belum bisa dikatakan sebagai makhluk sosial (Nababan, 1986:46).

Malinowski (1993:315) dalam tesis Waridin (2008:13) mendefinisikan phatic communion sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a more exchange of word.” Phatic communion mempunyai fungsi sosial. Phatic communion digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antar peserta komunikasi. Menurut Dabala (2012:137) menyatakan tentang fatis adalah ucapan yang dapat kita tunjukkan dalam arah yang benar: itu adalah tugas sosial, yang bertujuan untuk membangun kontak, komunikasi antara pembicara dan penerima.

Menurut Jacobson dan Hymes dalam Cook (1989:26), fungsi fatis adalah membuka saluran komunikasi dan memeriksa apakah itu berfungsi lebih baik, alasan sosial, pembentukan dan pemeliharaan kontak, juga menjaga kohesi dalam kelompok sosial. Berdasarkan teori-teori di atas, maka penulis menyimpulkan fungsi fatis adalah pembicaraan yang digunakan untuk mengawali dan mempertahankan percakapan ke topik pembicaraan yang kompleks antara penutur dan mitra tutur, untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman saat berkomunikasi sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik.

Fungsi fatis merupakan salah satu unsur yang dapat menentukan berhasil atau tidak sebuah komunikasi. Fungsi fatis dalam berbahasa sangat diperlukan,

(19)

sebab ketika berbicara langsung kepada inti pembicaraan biasanya dianggap kurang sopan dan kurang menarik dari segi pembicara. Pentingnya belajar untuk memahami seseorang ketika berkomunikasi supaya kita bisa melakukan basa-basi tanpa harus menyakiti, dan yang paling penting tidak bertentangan dengan aturan, adat istiadat, dan tata krama yang berlaku di masyarakat.

Fungsi fatis memiliki beberapa kategori, yaitu kefatisan berbahasa dengan fungsi sapaan, kefatisan berbahasa dengan fungsi kesopanan, kefatisan berbahasa dengan fungsi kekecewaan, kefatisan berbahasa dengan fungsi ucapan terima kasih, kefatisan berbahasa dengan fungsi bercanda, kefatisan berbahasa dengan fungsi pujian, kefatisan berbahasa dengan fungsi permohonan maaf, kefatisan berbahasa dengan fungsi penolakan, kefatisan berbahasa dengan fungsi ketidaksetujuan, kefatisan berbahasa dengan fungsi penghindaran, kefatisan berbahasa dengan fungsi pengucapan salam, kefatisan berbahasa dengan fungsi suruhan, kefatisan berbahasa dengan fungsi tawaran, kefatisan berbahasa dengan fungsi penegasan, dan kefatisan berbahasa dengan fungsi pengingatan. Lima belas kategori tersebut memiliki fungsinya masing-masing. Setiap tuturan yang terjadi tanpa disadari sudah masuk dalam salah satu kategori tersebut. Demikian juga setiap tuturan yang terdapat dalam acara Mata Najwa, tuturan yang disampaikan oleh penutur maupun mitra tutur yang hadir dalam acara tersebut memiliki fungsi kefatisan tersendiri.

Penggunaan fungsi fatis dalam program di televisi bermanfaat untuk lebih mempertahankan jalannya acara, agar antar penutur menjadi akrab dengan mitra tutur, mitra tutur lebih memahami tuturan yang disampaikan oleh penutur. Peneliti

(20)

melihat penelitian mengenai fungsi fatis antar penutur dalam acara Mata Najwa belum banyak yang meneliti terutama dalam kajian pragmatik, sehingga membuat penelitian ini sangat menarik untuk diteliti guna menambah wawasan kita terkait tentang acara Mata Najwa khususnya antar penutur pada saat berlangsungnya acara. Selain itu, penggunaan bahasa yang digunakan oleh penutur pada saat acara berlangsung sangat mempengaruhi jalannya acara tersebut. Penutur harus bisa mempertahankan kemurnian tuturan agar mitra tutur dan partisipan bisa memahami maksud tuturan tersebut.

Secara tidak langsung, fungsi fatis menjadi bagian yang penting dalam hal percakapan. Tuturan fatis yang diucapkan oleh penutur kepada lawan tutur tentu memiliki penanda dan fungsi tertentu ketika diucapkan. Penanda dan fungsi tersebut yang nantinya akan masuk ke dalam lima belas kategori fungsi fatis.

Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk meneliti fungsi fatis yang terjadi antara penutur dengan pembawa acara ketika acara Mata Najwa berlangsung, karena menurut peneliti belum banyak yang meneliti fungsi fatis dibidang tersebut.

Percakapan fatis digunakan untuk memulai percakapan kemudian akan merujuk kepada komunikasi yang lebih kompleks dengan suasana yang nyaman.

Fungsi fatis secara tidak langsung membawa percakapan yang dilakukan penutur dan mitra tutur kearah suasana yang lebih baik. Penelitian skripsi yang akan peneliti lakukan dibatasi pada fungsi fatis. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul

“Fungsi Fatis dalam Komunikasi Antarpenutur pada Acara “Mata Najwa”

Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018”

(21)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah “Fungsi Fatis dalam Komunikasi Antarpenutur pada Acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018”. Berdasarkan rumusan masalah utama tersebut, disusun sub masalah sebagai berikut :

a. Apa saja penanda fatis yang terdapat dalam komunikasi antarpenutur pada acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018?

b. Apa saja fungsi fatis yang terdapat dalam komunikasi antarpenutur pada acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini sebagai berikut :

a. Mendeskripsikan penanda fatis yang terdapat dalam komunikasi antarpenutur pada acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018.

b. Mendeskripsikan fungsi fatis yang terdapat dalam komunikasi antarpenutur pada acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018.

(22)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian fungsi fatis dalam acara Mata Najwa diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini, yaitu :

a. Secara teoretis, penulis ingin hasil penelitian ini menambah pengetahuan bagi masyarakat, khususnya dalam hal berinteraksi. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi atau acuan dalam kegiatan komunikasi untuk mempererat hubungan sosial atara penutur dan mitra tutur khususnya untuk menarik perhatian penonton dalam sebuah acara.

b. Secara praktis, penulis ingin penelitian fatis ini dapat memberi masukan kepada dosen, guru, pelajar, dan masyarakat untuk mengetahui pentingnya fatis dalam berbahassa dan berkomunikasi.

1.5 Batasan Istilah

Batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini tidak lepas dari teori kefatisan dan teori-teori yang mendukung penelitian ini, maka peneliti

memberikan batasan istilah berikut:

a. Pragmatik

Levinson (dalam Rahardi, 2003:12) berpendapat bahwa pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan terkodifikasikan sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaannya.

(23)

b. Konteks

Menurut Mey (1993:38) konteks sebagai the surrounding, in the widest sense, that enable the participants in the communication process to interact, and that make the linguistic expression of their interaction intelliegible (lingkungan sekitar dalam arti luas sesuatu yang memungkinkan peserta tuturan dapat berinteraksi, dan yang dapat membuat tuturan mereka dapat dipahami).

c. Fatis

Menurut Dabala (2012:137) menyatakan tentang fatis adalah ucapan yang dapat kita tunjukkan dalam arah yang benar: itu adalah tugas sosial, yang bertujuan untuk membangun kontak, komunikasi antara pembicara dan penerima.

d. Penanda Fatis

Menurut (De Lima, 2002:375) “Evolusi pois dari preposisi ke penanda fatis membuat orang berpikir tentang asal usul penanda tersebut. Salah satunya adalah ini: jika, seperti yang tampaknya terjadi, penanda fatis adalah satuan dengan struktur fonologis teratur (dengan kemungkinan pengecualian bentuk hm dan serupa). Kata-kata lain yang mungkin memiliki penggunaan yang sangat dekat dengan penanda fatis, seperti Portugis ("benar") dan Am.

Bahasa Inggris tentu, dapat juga dipandang sebagai output dari perubahan yang inputnya adalah kata keterangan, kata sifat, atau struktur yang lebih kompleks yang termasuk kategori ini. Selain ini, kategori lain yang mungkin menjadi asal dari penanda fatis adalah kata ganti.

(24)

e. Fungsi Fatis

Menurut Jacobson dan Hymes dalam Cook (1989:26), fungsi fatis adalah membuka saluran komunikasi dan memeriksa apakah itu berfungsi lebih baik, alasan sosial, pembentukan dan pemeliharaan kontak, juga menjaga kohesi dalam kelompok sosial.

1.6 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II kajian pustaka berisi penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Bab III metodologi penelitian berisi jenis penelitian, data dan sumber penelitian, metode pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan triangulasi data.

Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan penanda dan fungsi fatis antarpenutur dalam Acara Mata Najwa Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September- Desember 2018. Bab V berisi kesimpulan dan saran.

(25)

9

BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

Bab ini akan menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena-fenomena pragmatik, kefatian sebagai fenomena pragmatik, fungsi fatis, dan uraian tentang konteks.

2.1 Penelitian yang Relevan

Fatis dalam kajian ilmu pragmatik saat ini belum banyak dikaji oleh peneliti. Penelitian tentang fatis dalam acara Mata Najwa sejauh yang diketahui oleh peneliti belum pernah dilakukan. Namun, untuk mendukung proses pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan, terdapat dua penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Angela Yohana Mentari Adistin (2016) dan Dewi Yulianti (2016).

Penelitian Angela Yohana Mentari Adistin (2016) berjudul Basa-Basi dalam Berbahasa Antaranggota Keluarga Pendidik di Desa Junggul, Bandungan, Jawa Tengah. Dalam penelitian tersebut, terdapat dua rumusan masalah yang dikaji oleh peneliti, yaitu apa saja wujud basa basi dalam berbahasa antaranggota keluarga pendidik di Desa Junggul, Bandungan dan apa saja maksud basa-basi dalam berbahasa antaranggota keluarga pendidik di Desa Junggul, Bandungan.

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian tersebut, peneliti menemukan delapan

(26)

wujud Basa-basi dalam Berbahasa Antaranggota Keluarga Pendidik di Desa Junggul, Bandungan, Jawa Tengah yang ditinjau dari kategori acknowledgement.

Terdiri dari delapan subkategori. Kedelapan subkategori tuturan basa-basi tersebut adalah salam, terima kasih, meminta atau mengundang, menerima, menyatakan, mengucapkan selamat, menolak, dan simpati atau empati.

Penelitian Dewi Yulianti (2016) berjudul Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut terdapat dua rumusan masalah yang dikaji oleh peneliti, yaitu apa sajakah wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi penddidikan akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan apa sajakah maksud pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi pendidikan akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berdasarkan pemaparan hasil penelitian tersebut, peneliti menemukan enam wujud Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang ditinjau dari kategori acknowledgement. Terdiri dari enam subkategori. Keenam subkategori tuturan basa-basi tersebut adalah memberi salam, terima kasih, mengundang, menerima, menyatakan, dan menolak.

Dari kedua penelitian yang relevan tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Persamaan

(27)

dengan penelitian-penelitian yang relevan terletak pada objek yang sama yaitu fatis dalam berbahasa. Namun, terdapat perbedaan dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumya. Perbedaan ini yakni terletak pada subjek penelitian.

Penelitian yang berjudul “Fungsi Fatis dalam Komunikasi Antarpenutur pada Acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018”.

menggunakan subjek acara Mata Najwa Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018. Hal ini yang membedakan dengan penelitian- penelitian sebelumnya.

2.2 Landasan Teori

Landasan teori ini berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini, yang terdiri atas teori pragmatik, lingkup pragmatik, fenomena pragmatik, kefatisan sebagai fenomena pragmatik, dan konteks.

2.2.1 Pragmatik

Leech (1993:8) mengemukakan bahwa pragmatik sebagai studi meneliti makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situations).

Pragmatik meneliti mengenai makna tuturan yang dikehendaki oleh penutur dengan menurut konteksnya. Konteks dalam hal ini berfungsi sebagai dasar pertimbangan dalam mendeskripsikan makna tuturan dalam rangka penggunaan bahasa dalam komunikasi. Aspek- aspek situasi ujar sendiri menurut Leech (1993:

19-21) mencakup beberapa aspek, yaitu: (1) penutur (yang menyapa atau penyapa) dan lawan tutur (yang disapa atau pesapa), (2) konteks tuturan, sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan

(28)

lawan tutur, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai aktifitas atau kegiatan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Penggunaan bahasa pada hakikatnya sebagai proses menyampaikan pesan atau gagasan kepada pendengar yang mengandung makna. Dari definisi Leech, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pragmatik sebagai alat untuk menguji makna tuturan yang dikehendaki dengan menurut konteksnya. Untuk menguji makna tuturan tersebut dapat menggunakan beberapa aspek situasi yang ada.

Yule (1993:3) menjabarkan pragmatik dengan empat definisi, (1) yaitu pragmatik adalah ilmu yang mengkaji maksud penutur; (2) yaitu pragmatik mengkaji makna menurut konteksnya; (3) yaitu pragmatik tentang bagaimana apa yang disampaikan itu lebih banyak dari yang dituturkan; (4) yaitu pragmatik merupakan bidang yang mengkaji bentuk ungkapan menurut jarak hubungan.

Pragmatik sebagai salah satu bidang ilmu linguistik, mengkhususkan pengkajian pada hubungan antara bahasa dan konteks tuturan. Berkaitan dengan itu, Mey (dalam Rahardi, 2003:12) mendefinisikan pragmatik bahwa “pragmatics is the study of the conditions of human language uses as there determined by the context of society”, ‘pragmatik adalah studi mengenai kondisi-kondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks masyarakat’. Dari definisi Yule dan Mey, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pragmatic merupakan salah satu contoh dari bidang ilmu linguistic dengan mengkaji pada hubungan antara penggunaan bahasa dan konteks.

Levinson (dalam Rahardi, 2003:12) berpendapat bahwa pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan

(29)

konteks tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan terkodifikasikan sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaannya.

Rahardi (2005:49) mengemukakan, “Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu”.

Konteks yang dimaksud mencakup dua macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Konteks sosial (social context) adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu.

Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal (societal context) adalah konteks konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Dapat dikatakan bahwa dasar dari munculnya konteks sosietal adalah adanya kekuasaan (power), sedangkan dasar dari konteks sosial adalah adanya solidaritas (solidarity). Dari defenisi Levinson dan Rahardi, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks sebagai pedoman tuturan.

Dari definisi berbagai ahli, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pragmatik merupakan unsur bahasa yang mempelajari hubungan antar bahasa dengan konteks tuturan yang terjadi sehingga mitra tutur dapat memahami maksud yang sebenarnya.

(30)

2.2.2 Fenomena-fenomena Pragmatik

Sebagai salah satu cabang ilmu bahasa, pragmatik, memiliki bidang telaah tertentu. Ada tujuh kajian pragmatik yang akan peneliti jadikan landasan teori, yaitu deiksis, pranggapan, tindak tutur, implikatur percakapan, kesantunan berbahasa, ketidaksantunan berbahasa, dan kefatisan. Berikut ini penjelasan mengenai fenomena pragmatik. Deiksis merupakan gejala semantik yang terdapat pada kata, frase atau ungkapan yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi dan merujuk pada sesuatu di luar bahasa. Selain itu, deiksis adalah cara menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Praanggapan merupakan anggapan awal yang berfungsi membantu pembicara sebelum melakukan tuturan, dan tuturan yang telah disampaikan dapat dipahami oleh mitra tutur. Makin tepat praanggapan, makin tinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan.

Tindak tutur merupakan tindakan dan ujaran yang digunakan oleh penutur kepada mitra tutur untuk menyampaikan makna dan maksud tertentu. Implikatur pecakapan merupakan segala sesuatu yang tersembunyi di balik pengguna bahasa secara aktual, benar, dan sesungguhnya. Implikatur sendiri merupakan masalah makna tuturan yang tidak akan terlepas dari konteks, baik konteks situasi yang berkaitan dengan peserta komunikasi, latar waktu tempat, saluran komunikasi, tujuan, maupun berkaitan dengan konteks kebudayaan terkait dengan aturan atau norma sosial dengan masyarakat. Kesantunan berbahasa merupakan suatu tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam situasi dan kondisi tertentu dengan menjaga perasaan mitra tutur agar tidak menyinggung perasaannya.

(31)

Ketidaksantunan berbahasa merupakan suatu tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur yang bersifat menyinggung perasaan mitra tutur sehingga dapat mendatangkan konflik maupun kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur.

2.2.3 Kefatisan Sebagai Fenomena Pragmatik

Fatis secara etimologi berasal dari bahasa yunani phatos, bentuk verba dari ins phatai “Berbicara” (Yusra dkk, 2012:504). Malinowski (1923 dalam Waridin 2008:39) memberikan peran mengenai ungkapan fatis yaitu tipe tuturan digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-kata. Malinowski (1993:315) dalam tesis Waridin (2008:13) mendefinisikan phatic communion sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a more exchange of word.” Phatic communion mempunyai fungsi sosial. Phatic communion digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antar peserta komunikasi.

Dalam Kamus Linguistik tuturan fatik adalah la fonction du langage par laquelle l’acte de communication a pour fin d’assurer ou de maintenir le contact entre le locuteur et le destinataire. Des mots comme “allô” ou “vous m’entendez”

utilisés au téléphone relèvent essentielement de la fonction phatique. (Dubois 2001:232) “ Fungsi bahasa yang merupakan komunikasi untuk menguatkan atau menjaga kontak antara petutur dengan penerima pesan. Kata-kata seperti “Allo”

atau “Anda mendengarkan saya ?” melalui telepon, intinya untuk menjalin hubungan adalah fungsi fatik. Selain itu, Dabala (2012:137) menyatakan tentang fatis adalah ucapan yang dapat kita tunjukkan dalam arah yang benar: itu adalah

(32)

tugas sosial, yang bertujuan untuk membangun kontak, komunikasi antara pembicara dan penerima.

Dari pendapat para ahli, peneliti dapat menyipulkan bahwa fatis merupakan tuturan, ungkapan yang berfungsi untuk memulai, mempertahankan, dan mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan lawan bicara. Selain itu, fatis juga sebagai pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak.

2.2.3.1 Penanda Fatis

Tuturan fatis diindikasikan dengan adanya penanda fatis. Penanda fatis merupakan hal yang penting karena merupakan indikator untuk menandakan adanya tuturan fatis atau tidak dalam tuturan tersebut. The evolution of pois from a preposition to a phatic marker leads one to think about the origin of such marker.

One of these is this: if , as seems to be the case, phatic markers are units with regular phonological structure (with the possible exception of hm and similiar forms). But the other words that may have a very close use to that of phatic marker, like Portuguese certo ("right") and Am. English sure, can also be looked upon as being the output of a change whose input were adverbs, adjectives, or more complex structures which include these categories. Beside these, another category that might be at the origin of phatic markers is that of pronouns. (De Lima, 2002:375) “Evolusi pois dari preposisi ke penanda fatis membuat orang berpikir tentang asal usul penanda tersebut. Salah satunya adalah ini: jika, seperti yang tampaknya terjadi, penanda fatis adalah satuan dengan struktur fonologis teratur (dengan kemungkinan pengecualian bentuk hm dan serupa). Kata-kata lain

(33)

yang mungkin memiliki penggunaan yang sangat dekat dengan penanda fatis, seperti Portugis ("benar") dan Am. Bahasa Inggris tentu, dapat juga dipandang sebagai output dari perubahan yang inputnya adalah kata keterangan, kata sifat, atau struktur yang lebih kompleks yang termasuk kategori ini. Selain ini, kategori lain yang mungkin menjadi asal dari penanda fatis adalah kata ganti.

Berdasarkan pendapat ahli, peneliti dapat memberi kesimpulan mengenai penanda fatis. Penanda fatis merupakan indikator satuan kata yang merupakan kata keterangan, kata sifat, kata ganti ataupun struktur kata yang lebih kompleks untuk menandakan ada atau tidaknya tuturan fatis pada sebuah tuturan.

2.2.3.2 Fungsi Fatis

Menurut Jacobson dan Hymes dalam Cook (1989:26), fungsi fatis adalah membuka saluran komunikasi dan memeriksa apakah itu berfungsi lebih baik, alasan sosial, pembentukan dan pemeliharaan kontak, juga menjaga kohesi dalam kelompok sosial.

Menurut Rahardi dan Setyaningsih (2017:187), dalam studi pragmatik, dimensi wujud tidak pernah dapat dipisahkan dari dimensi maksud dan makna pragmatik. Demikian sebaliknya, dimensi maksud atau makna pragmatik itu sama sekali tidak dapat dilepaskan dari dimensi wujud. Kefatisan berbahasa dalam ranah pendidikan itu dapat dikategorikan dimensi wujud dan maksudnya sebagai berikut:

1. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Sapaan

Manusia sebagai makhluk sosial hidup bersama dengan manusia lain.

Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa adanya manusia lain dihidupnya.

(34)

Dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan bermasyarakat, sebagai makhluk sosial, manusia harus saling berkomunikasi untuk menciptakan hubungan yang baik dan menjaga sebuah hubungan hidup bermasyarakat.

Maka dari itu, memberi kata sapaan sebagai bentuk interaksi dengan dunia luar sangat penting dilakukan. Seperti “halo”, “hai”, “apa kabar?”, dan sebagainya sebagai bentuk awal sapaan kepada orang lain. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi sapaan terdapat pada kalimat di bawah ini.

P : “Hai. Apa kabar kamu? Kamu mau misa atau sudah selesai misa?”

MT : “Kabar aku baik, mas. Sudah selesai misa, mas.”

Konteks tuturan tersebut adalah tuturan yang disampaikan pada hari Rabu, 14 Februari 2018. Situasi tuturan tersebut terjadi di sebuah gereja di Yogyakarta. Penutur adalah seorang laki-laki berusia 26 tahun dan mita tutur adalah seorang wanita berusia 20 tahun. Suasana tuturan terjadi di malam hari dan cenderung santai karena tuturan tersebut terjadi setelah selesai misa Rabu Abu berlangung. Komunikasi berlangsung saat penutur tidak sengaja bertemu dengan mitra tutur di halaman gereja dan ditanggapi oleh mitra tutur.

2. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Kesopanan

Berperilaku sopan di kehiduapan sehar-hari itu penting. Berperilaku sopan berfungsi untuk menghormati dan menghargai setiap orang.

Kelangsungan proses komunikasi dan interaksi antara orang yang satu dengan orang yang lain dapat terjadi hanya kalau kedua belah pihak dapat

(35)

saling menjaga sopan santun. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi sapaan tertera pada kalimat di bawah ini.

P : “Permisi Pak, saya ingin mengambil barang saya yang tertinggal tadi.”

MT : “Silahkan, mbak”

Konteks tuturan disampaikan oleh penutur yang berusia 19 tahun dan berjenis kelamin perempuan kepada mitra tutur yang berusia 50 tahun berjenis kelamin laki-laki. Situasi tuturan terjadi di pos satpam di sebuah sekolah. Komunikasi berlangsung saat penutur tertinggal barangnya dan hendak mengambilnya.

3. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Kekecewaan

Setiap manusia, pasti pernah mengalami rasa kecewa. Ada yang bisa menutupi rasa kecewanya dan ada yang tidak bisa menutupi rasa kecewa tersebut. Seseorang yang mengalami kekecewaan yang besar dan mendalam cenderung tidak bisa menutupi rasa kecewanya, untuk mengungkapkannya tidak lagi melalui tuturan, melainkan tindakan.

Sementara, ada orang yang bisa menutup rasa kecewanya agar tetap dapat berinteraksi dengan masyarakat. Orang tersebut menggunakan tuturan yang sopan agar penutur bisa menutupi rasa kekecewaannya, seperti “iya, tidak apa-apa.”, “Oh. Oke.”, “ya sudah”, dan sebagainya sebagai bentuk tuturan untuk menutupi rasa kecewanya. Fungsi fatis kekecewaan terletak pada kalimat di bawah ini.

P : “Brietta, kenapa kamu berbohong kepadaku?”

MT : “Maaf Aidan, aku belum bisa memberitahu alasannya kepadamu. Aku belum siap”

P : “Oh. Oke. Tidak apa-apa.”

(36)

Konteks tuturan tersebut disampaikan oleh seorang laki-laki berusia 22 tahun untuk menanyakan mengapa mitra tutur berbohong kepada penutur. Mitra tutur adalah seorang perempuan berusia 21 tahun.

Mitra tutur tidak memberikan alasan kepada penutur mengenai mengapa ia berbohong, karena mitra tutur belum siap untuk memberikan alasan sehingga membuat penutur kecewa.

4. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Ucapan Terima Kasih

Dalam kehidupan bersosial, ada tiga kata utama yang harus diucapkan sesama makhluk sosial, yaitu maaf, tolong, dan terima kasih.

Menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang lain adalah kebiasaan bertutur sapa yang sangat baik dalam masyarakat berbudaya yang akan dapat menguatkan dan mengukuhkan komunikasi dan interaksi serta menghargai sesama. Fungsi fatis ucapan terima kasih terdapat pada kalimat di bawah ini.

P : “Mas, tadi aku menaruh sesuatu di motormu.”

MT : “Wah! Apa itu?”

P : “Hadiah ulangtahunmu, mas.”

MT : “Wah! Terima kasih ya.”

Konteks tuturan disampaikan pada hari Rabu, 5 Desember 2018.

Penutur adalah perempuan berusia 21 tahun dan mitra tutur adalah laki- laki berusia 35 tahun. Tujuan tuturan tersebut ingin memberitahukan kepada mitra tutur, bahwa penutur meletakkan hadiah ulangtahun di motor mitra tutur.

(37)

5. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Bercanda

Kebiasaan bercanda dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu hal yang penting, karena dengan bercanda, seseorang akan lebih merasa senang dan sejenak melupakan beban yang ada di dalam diri mereka.

Kebiasaan bercanda atau bergurau alias berhumor ria merupakan ciri khas dari warga masyarakat yang sangat berbudaya. Canda atau gurauan sangat bermanfaat untuk menjadikan hubungan antara penutur dan mitra tutur semakin erat. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi bercanda tertera pada kalimat di bawah ini.

P : “Dik Charlie! Hewan, hewan apa yang Cuma dua huruf penulisannya?”

MT : “Apa ya? Nyerah deh!”

P : “Jawabannya adalah.... u dan g! Hahaha

Konteks tuturan disampaikan pada bulan Maret 2005. Tuturan disampaikan kepada anak-anak yang hadir dalam pesta ulangtahun temannya. Penutur adalah laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun. Penutur merupakan seorang badut yang bertugas untuk membuat anak-anak dalam acara tersebut tertawa, gembira, dan senang. Sementara, mitra tutur adalah seorang anak laki-laki berusia 5 tahun yang berusaha untuk menjawab tapi tidak mengetahui jawaban dari teka-teki yang diberikan oleh penutur.

6. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Pujian

Memberikan pujian kepada orang lain atau kepada apapun merupakan tindakan yang baik. Memberikan pujian merupakan tindakan untuk memberikan apresiasi kepada orang atau apapun itu (karya seni, pertunjukkan drama, pertunjukkan musik, dan sebagainya). Orang yang

(38)

menerima pujian akan merasa senang dan mempunyai kepercayaan diri untuk terus berbuat baik. Fungsi fatis pujian tertulispada kalimat di bawah ini.

P : “Mas, bagaimana pertunjukkan drama musikalnya?”

MT : “Waah bagus! Selamat ya buat PBSI.

P : “Terima kasih, mas!”

MT : “Aku suka pewayangan. Semuanya bagus. Besok tahun depan drama musikalnya buat Perang Baratayuda ya! Pasti bisa bagus seperti sekarang!”

Konteks tuturan tersebut disampaikan pada hari Rabu, 8 November 2017 ketika selesai acara Drama Musikal Angsoka dalam memperingati Dies Natalis PBSI. Penutur adalah seorang mahasiswi PBSI yang berusia 19 tahun dan menjadi panitia pada acara tersebut. Sementara, mitra tutur adalah seorang dosen Pendidikan Bahasa Inggris berjenis kelamin laki-laki berusia 33 tahun. Tujuan penutur menanyakan hal tesebut karena menjadi tugas panitia agar kedepannya bisa lebih baik lagi dan menampung ide-ide baru.

7. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Permohonan Maaf

Dalam kehidupan bersosial, ada tiga kata utama yang harus diucapkan sesama makhluk sosial, yaitu maaf, tolong, dan terima kasih. Permohonan maaf terjadi ketika seseorang mempunyai kesalahan kepada orang lain, permohonan maaf ketika belum memahami bahan pembicaraan, permohonan maaf ketika seseorang tidak dapat menghadiri suatu acara ataupun tidak bisa menepati janji yang sudah disepakati. Permohonan maaf kerap kali susah diucaapkan. Ada banyak faktor yang membuat seseorang susah untuk melakukan permohonan maaf. Orang yang sudah

(39)

berusia dewasa pasti dapat membedakan dengan jelas, apakah permohonan maaf yang disampaikan seseorang sungguh-sungguh merupakan ungkapan kefatisan ataukah hanya ungkapan kepalsuan. Tindakan memohon maaf dapat juga disampaikan karena orang tersebut terpaksa untuk melakukannya. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi permohonan maaf ada pada kalimat di bawah ini.

P : “Vinsya, besok jadi ikut ke pantai?”

MT : “Maaf, aku tidak jadi ikut. Ada acara keluarga.”

Konteks tuturan disampaikan pada bulan Juli 2014. Penutur adalah perempuan berusia 17 tahun. Sementara mitra tutur adalah perempuan berusia 16 tahun. Penutur mengajak mitra tutur untuk bermain di pantai, tetapi mitra tutur menolak karena ada acara keluarga dan mitra tutur sudah meminta maaf karena tidak bisa pergi ke pantai bersama penutur.

8. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Penolakan

Adakalanya seseorang menolak melakukan sesuatu ketika oleh seseorang untuk melakukan sesuatu. Ada berbagai macam alasan kenapa seseorang itu menolak. Demikian pula kadang-kadang orang enggan untuk melakukan sesuatu ketika diminta seseorang untuk menyampaikan sesuatu. Penolakan kadang kala disampaikan secara langsung, tetapi sangat sering penolakan itu disampaikan dengan menggunakan startegi ketidaklangsungan agar tidak terjadi kesalahpahaman, dalam kaitan dengan kefatisan, bentuk kebahasaan demikian dapat dikategorikan sebagai manifestasi kefatisan. Fungsi fatis penolakan terletak pada kalimat di bawah ini.

(40)

P : “Vinsya, tolong chat bang Tian dong. Aku mau nanya sekarang dia kuliah dimana.”

MT : “Hmmm.... Kamu saja ya? Aku tidak punya kuota.”

Konteks tuturan tersebut adalah tuturan disampaikan pada bulan Juli 2014 ketika penutur ingin mengetahui dimana temannya kuliah. Namun, mitra tutur menolaknya dengan alasan tidak mempunyai kuota. Penutur dan mitra tutur adalah seorang perempuan yang berusia 16 tahun.

9. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Ketidaksetujuan

Ketidaksetujuan dalam kehidupan bermasyarakat sering kali terjadi.

Dalam menyampaikan ketidaksetujuan, banyak menggunakan kata

“tidak”. Namun, kata tersebut bisa membuat penutur merasa sakit hati, karena mitra tutur tidak mempunyai kesepakatan yang sama dengan penutur. Hal demikian ini terkait dengan fakta kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa. Semakin tidak langsung sebuah tuturan semakin santunlah tuturan itu. Hal yang sama terjadi pula dalam fakta kefatisan berbahasa. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi ketidakssetujuan terdapat pada kalimat di bawah ini.

P : “Aku sudah membuat jadwal acara, untuk liburan di Bali besok.

Harus sesuai ya.”

MT : “Oh”

Konteks tuturan tersebut disampaikan oleh penutur berusia 20 tahun yang sudah membuat susunan acara untuk liburan dan harus sesuai dengan jadwal tersebut. Namun, mitra tutur yang juga berusia 20 tahun, hanya mengatakan “oh”. Dalam hal ini, kata “oh” ini merupakan ketidaksetujuan dengan penutur, karena penutur terlalu terpaku pada jadwal.

(41)

10. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Penghindaran

Dalam kehidupan bermasyarakat, ada banyak diantara manusia yang memilih menghindar. Ada berbagai alasan mengapa mereka memilih untuk menghindar. Penghindaran yang demikian itu terjadi mungkin sekali karena perasaan yang tidak nyaman terkait dengan hal tertentu.

Penghindaran dengan memerantikan bentuk kebahasaan yang demkian itu dapat dikatakan sebagai kefatisan yang murni karena maksud penghindaran itu disampaikan dengan bentuk kebahasaan yang menidakkan. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi penghindaran tertulis pada kalimat di bawah ini.

P : “Vinsya, aku boleh minta fotokopi KTPmu nggak?”

MT : “Buat apa ?”

P : “Buat daftarin rekening baru.”

MT : “oh nggak usah. Itu nggak dipakai.”

Konteks tuturan tersebut disampaikan oleh penutur berusia 21 tahun yang berjenis kelamin perempuan. Penutur ingin meminta fotokopi KTP mitra tutur untuk mendaftarkannya di rekening yang baru. Namun, mitra tutur yang berusia 20 tahun dan berjenis kelamin perempuan itu menolaknya. Karena tidak dipakai pada saat membuka rekening baru.

Sehingga penutur tidak jadi untuk memintanya kembali.

11. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Pengucapan Salam

Pengucapan salam dalam komunikasi itu sangat penting. Pengucapan salam difungsikan untuk membuka sebuah percakapan, membuka acara.

Pengucapan salam dapat mencairkan suasana serta memberikan kesan

(42)

ramah dan bersahabat. Penyampaian salam dapat dikatakan sebagai manifestasi dari identitas sifat sosial seseorang. Orang yang satu tidak dapat lepas dengan orang yang lainnya karena di dalam sebuah masyarakat. Jati diri seseorang muncul karena keberadaan orang yang lain. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi pengucapan salam terdapat pada kalimat di bawah ini.

P : “Selamat sore, Vinsya. Bagaimana keadaanmu hari ini?”

MT : “Selamat sore, dokter. Sudah cukup membaik hari ini.”

Konteks tuturan tersebut disampaikan pada bulan Maret 2009. Tuturan disampaikan oleh penutur yang merupakan seorang dokter, berjenis kelamin perempuan, dan berusia sekitar 40 tahun. Sementara mitra tutur merupakan perempuan yang berusia 11 tahun. Tuturan disampaikan di ruang inap di sebuah rumah sakit di Jakarta. Tuturan tersebut menjadi pembuka ketika dokter mengunjungi paseien dan menanyakan kondisi kesehatan pasien.

12. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Suruhan

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pada umumnya tidak lepas dari menyuruh atau meminta bantuan seseorang. Pada saaat mereka meminta bantuan kepada orang lain, bahasa yang digunakan harus sopan, agar tidak terkesan memerintah. Menyuruh biasanya dilakukan oleh orang yang lebih tua usianya atau orang yang memiliki kedudukan jabatan yang tinggi. Sedangkan untuk orang yang lebih muda usianya atau memiliki kedudukan jabatan yang lebih rendah menggunakan frasa meminta.

(43)

Kefatisan itu diantaranya diwujudkan dalam bentuk suruhan antara penutur dan mitra tutur, seperti di bawah ini.

P : “Selamat siang, semuanya!”

MT : “Siang, bu.”

P : “Brietta, bolehkah membantu saya untuk menghapus tulisan di papan tulis?”

MT 2 : “Boleh bu.”

Konteks tuturan tersebut adalah penutur merupakan seorang guru geografi di sebuah sekolah menengah pertama. Sedangkan mitra tutur pertama adalah siswa-siswi yang berada di dalam kelas tersebut, dan mitra tutur kedua adalah seorang perempuan yang berusia 13 tahun. Penutur membinta bantuan mitra tutur kedua untuk membantunya menghapus tulisan di papan tulis. Mitra tutur kedua membantu penutur untuk menghapus tulisan di papan tulis.

13. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Tawaran

Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan tawar-menawar kerap kali terjadi. Dapat dikatakan bahwa kegiatan bertutur yang demikian ini merupakan manifestasi aktivitas transaksional yang pasti terjadi dalam sebuah masyarakat. Namun, biasanya tawaran disampaikan oleh pihak yang memiliki jabatan yang lebih tinggi kepada pihak yang memiliki otoritas lebih rendah ataupun yang setara otoritasnya. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi taawaran terletak pada kalimat di bawah ini.

P : “Hari ini kita tidak jadi ke pantai. Dua hari lagi bisa?”

MT : “Oke.”

Konteks tuturan tersebut disampaikan oleh penutur berusia 21 tahun dan berjenis kelamin laik-laki. Sementara mitra tutur berjenis kelamin

(44)

perempuan dan berusia 20 tahun. Tujuan tuturan adalah penutur ingin memastikan apakah mitra tutur bisa ikut atau tidak, karena pada hari ini penutur dan mitra tutur tidak jadi ke pantai.

14. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Penegasan

Memberi penegasan pada setiap kegiatan dan tuturan itu penting dilakukan. Karena dengan adanya penegasan, manusia menjadi lebih memahami dan lebih mengerti serta tidak terjadi kesalahpahaman. Seperti seorang guru yang memberikan penjelasan kepada peserta didiknya.

Penegesan dimaksud agar peserta didik lebih memahami materi yang diajarkan dan tidak terjaadi kesalahpahaman. Pengulangan yang demikian itu, pernyataan yang telah disampaiakan itu menjadi semakin tegas. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi penegasan tertulis pada kalimat di bawah ini.

P : “Jadi, definisi dari piramida penduduk itu apa? Piramida penduduk adalah grafik yang menyajikan data penduduk berdasarkan umur, jenis kelamin, dan daerah suatu penduduk.

Ada yang masih ingin bertanya?

MT : “Tidak, bu.”

Konteks tuturan tersebut disampaikan oleh penutur berusia 40 tahun berjenis kelamin perempuan, dan mitra tutur merupakan siswa-siswi sekolah menengah pertama kelas IX. Suasana pembelajaran sedang berjalan dengan santai. Tuturan terjadi di ruang kelas dan saat kegiatan pembelajaran. Penutur menyampaiakan tuturannya dengan maksud untuk menegaskan ulang mengenai materi yang diajarkan.

(45)

15. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Pengingatan

Setiap manusia pasti sudah tidak asing lagi dengan pengingat. Manusia memiliki daya ingat untuk mengingat semua kejadian yang pernah dialami. Ada yang mempunyai daya ingat yang kuat dan ada pula yang mempunyai daya ingat yang lemah. Maka sesama makhluk hidup, harus saling mengingatkan, agar manusia bisa tetap mengingat apapun yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Dapat ditegaskan bahwa pengingatan yang demikian itu dapat bersifat murni atau dapat pula bersifat tidak murni. Pemaknaan secara pragmatik, apakah sebuah pertuturan dapat merupakan kefatisan murni atau kefatisan yang bukan murni dapat dicermati dengan mengaiteratkan konteks pragmatiknya. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi pengingatan tertera pada kalimat di bawah ini.

P : “Vinsya, besok jangan lupa kumpul di sekolah jam sepuluh ya.”

MT : “Iya.”

Konteks tuturan disampaikan pada Juli 2015. Penutur adalah perempuan berusia 18 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Sementara mitra tutur adalah perempuan berusia 17 tahun. Tuturan disampaikan penutur bertujuan untuk mengingatkan mitra tutur.

2.2.4 Konteks

Nadar (2009:4) menjelaskan konteks merupakan situasi lingkungan yang memungkinkan penutur dan mitra tutur untuk dapat berinteraksi dan membuat ujaran mereka dapat dipahami. Konteks sangat penting dalam memahami suatu tuturan, ia tidak menelaah struktur bahasa secara internal seperti tata bahasa

(46)

melainkan secara eksternal. Contohnya “kamu lebih baik belajar sekarang”

sebagai tindak ilokusiner tergantung siapa petuturnya dan mitra tuturnya. Jika tuturan diucapkan seorang ayah kepada anaknya maka tuturan itu merupakan perintah. Namun jika seorang mahasiswa kepada temannya maka itu dimaknai sebagai anjuran dan tidak dianggap sebagai perintah.

Aspek tutur menurut Leech (1991:19) adalah (i) yang menyapa (penyapa) dan yang disapa (pesapa), (ii) konteks sebuah tuturan, (iii) tujuan sebuah tuturan, (iv) tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan (tindak ujar), (v) tuturan sebagai produk tindak verbal. Menurut Leech istilah tujuan tuturan sama dengan fungsi.

Menurut Mey (1993:38) konteks sebagai the surrounding, in the widest sense, that enable the participants in the communication process to interact, and that make the linguistic expression of their interaction intelliegible (lingkungan sekitar dalam arti luas sesuatu yang memungkinkan peserta tuturan dapat berinteraksi, dan yang dapat membuat tuturan mereka dapat dipahami).

Mulyana (2005: 21) menyebutkan bahwa konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.

Leech (1993) dalam Rahardi (2016:38) mengungkapkan konteks situasi tuturan merupakan aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan

(47)

(Background Knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh penutur maupun mitra tutur, serta aspek-aspek non kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah pertuturan tertentu.

Geoffrey N. Leech (dalam Rahardi 2016:39) menjelaskan tentang aspek-aspek situasi tuturan yang mencakup lima hal, yakni (1) penutur dan mitra tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindak tutur, (5) tuturan sebagai tindak tutur. Dari paparan yang disampaikan oleh Leech di dalam bukunya The Principles of Pragmatics diperoleh ketegasan bahwa ternyata konteks itu dipahami agak berbeda dengan pandangan-pandangan dari para pendahulunya. Dari pernyataan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa dalam sebuah percakapan telah memiliki latar belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat dijadikan sarana untuk terbentuknya tuturan yang baik.

Halliday dan Hasan (1992) dalam Baryadi (2015:18) menyatakan bahwa konteks situasi adalah lingkungan langsung dimana konteks itu benar-benar berfungsi. Hakikat elemen konteks situasi dan jenis-jenisnya dinyataka oleh Leech (1993) dalam Baryadi (2015:31) yakni menggunakan komponen-komponen penentu dalam konteks situasi berbahasa yang dijadikan penentu dalam berbahasa.

Berikut penjelasan mengenai komponen-komponen penentu yang terkandung dalam konteks situasional :

a. Penyapa dan pesapa ( penutur dan mitra tutur)

Penyapa merupakan aktivitas sosial yakni menyapa, sedangkan pesapa merupakan yang menerima sapaan dari penyapa. Penyapa dan pesapa merupakan individu yang terlibat dalam sebuah komunikasi. Penyapa

(48)

memilki arti penulis atau pembicara, sedangkan pesapa merupakan seseorang yang disebut sebagai pendengar.

b. Konteks Tuturan

Konteks sebuah tuturan mencakup situasi tutur, diantaranya aspek lingkungan fisik dan sosial yang terkait dengan sebuh tuturan. Latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur sangatberguna dalam menafsirkan makna kebahasaan yang ada dalam setiap tuturan. Dalam hal ini latar belakang pengetahuan yang sama berperan karena tingkat latar belakang pengetahuan yang sama dapat membantu penutur dan mitra tutur dalam memahami suatu pertuturan.

c. Tujuan Tuturan

Tujuan tuturan merupakan penentu utama dari pragmatik, dari penentu pragmatik tersebut untuk mencari maksud dari tuturan yang disampaikan.n Hal-hal yang disampaikan oleh penutur maupun mitra tutur, diantaranya bertanya, meminta, menyuruh, memberitahu dan sebagainya. Tujuan tuturan dapat diartikan sebagai hal yang ingin disampaikan guna melengkapi proses berkomunikasi.

d. Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau tindak ujar

Tuturan dapat artikan sebagai aktivitas ujar. Hal yang dimaksud yakni pragmatik memang membahas mengenai hal-hal yang bersifat konkret atau benar-benar terjadi.

e. Tuturan sebagai tindak verbal

(49)

Hal yang dimaksud tuturan sebagai tindak verbal yakni tuturan muncul karena adanya tindakan yang dilakukan secara verbal dan secara gramatikal. Tuturan tindakan verbal dapat menggerakkan respon seseorang untuk beraksi dengan tuturan tersebut.

Setiap tuturan yang terjadi selain untuk menyampaikan atau menerima pesan, tentu memiliki tujuan lain. Hal-hal tersebut dapat ditentukan dari konteks tuturan yang melingkupi percakapan yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur dan dapat langsung diterima dengan baik tanpa adanya kesalahan dalam memahami pertuturan.

Kefatisan berbahasa hadir dalam setiap pertuturan. Kefatisan berbahasa hadir pertama-tama untuk memecah kesunyian ketika seseorang sedang hadir bersama dengan yang lainnya. Ungkapan itu disampaikan kepada seseorang yang ada di samping orang tersebut, merupakan contoh dari kefatisan berbahasa.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa fungsi pokok kedua dari kefatisan berbahasa adalah sebagai penanda sopan santun. Fungsi lain dari kefatisan berbahasa adalah untuk memulai kerja sama dalam proses komunikasi. Sebagai contoh tuturan yang berbunyi, ‘lagi sibuk tho Pak?’ ketika seseorang lewat di depan orang yang sedang sibuk bekerja dengan komputernya, dipastikan fungsinya adalah untuk memulai komunikasi dan interaksi.

Dengan kehadiran konteks yang jelas, hadir pulalah makna pragmatik atau maksud penutur yang jelas pula. Akan tetapi, dengan tidak jelasnya konteks pertuturan, tidak jelas pulalah makna pragmatik dari tuturan tersebut. Konteks yang menjadi penentu maksud tuturan di atas bukan saja konteks yang berdimensi

(50)

ekstralinguistik, tetapi juga yang bersifat intralinguistik. Konteks yang sifatnya ekstralinguistik lazim disebut dengan konteks saja, entah yang dimensinya adalah social, kultural, maupun situasional. Konteks yang sifatnya intralinguistik lazim disebut dengan koteks. Makna pragmatik atau maksud kefatisan dalam berbahasa sangat ditentukan oleh konteks dari tuturan tersebut. Sebuah tuturan kefatisan dapat digunakan untuk memecah kesunyian, untuk memulai perbencangan, atau yang lainnya tergantung dari konteks yang sedang mewadahi terjadinya kefatisan tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli, peneliti dapat menyimpulkan bahwa konteks adalah situasi yang melatarbelakangi suatu tuturan, yang dapat menentukan maksud penutur.

2.3 Kerangka Berpikir

Fungsi fatis merupakan suatu fenomena baru dalam pragmatik. Fungsi fatis muncul dari perkembangan pengguna bahasa yang digunakan untuk memulai, mempertahankan hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi fatis berbahasa biasanya muncul di dalam masyarakat, bahkan pada program di televisi, seperti Mata Najwa. Sekarang, dalam Mata Najwa, fungsi fatis banyak digunakan untuk memperkokoh dan mempertahankan hubungan antarpenutur dan lawan tutur, memperkokoh dan membangun suasana agar penonton tertarik dan tidak cepat bosan ketika acara sedang berlangsung. Hal inilah yang menjadi fenomena baru dalam studi pragmatik, khususnya fungsi fatis dalam acara Mata Najwa Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa untuk analisis teks, representasi narasumber berdasarkan interpretasi peneliti menjadi negatif, penggunaan bahasa sarkasme dalam

Langkah pertama yang dilakukan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah melihat dan mengamati tayangan NET TV yang sudah diunduh untuk memperoleh data berupa audio