BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Persepsi Dalam Kajian Lingkungan Binaan
Persepsi merupakan studi perilaku yang menjadi konsep kerangka berpikir
dalam pendekatan menganalisis hubungan yang terjadi antara manusia dengan tempat
beraktivitasnya. Khususnya sejak kepedulian tentang perencanaan dan perancangan
berbasis sosial (humanisme) memberi ruang bagi pendekatan perilaku untuk
membantu memecahkan permasalahan tentang isu kenyamanan ruang, kesesakan,
rasa terisolasi, hilangnya privasi seseorang, citra budaya suatu bangunan atau
kawasan. Sebagian besar dari lingkungan binaan dibentuk oleh persepsi manusia,
meskipun lingkungan binaan terdefenisi oleh bentuk fisik, namun juga ada kehidupan
di dalamnya. Lingkungan binaan ada di masa kini dan keberadaannya dapat
mengingatkan manusia pada masa lalu, dan membuat orang berpikir akan masa depan.
Karena sifatnya yang kompleks inilah menjadi penting bagi perencana untuk
mengerti bagaimana manusia meemberi respon terhadap persepsi tersebut, baik
secara personal maupun sebagai kelompok pengguna. Keberadaan studi perilaku
menjadi sangat berarti kehadirannya setelah peristiwa diledakkannya sebuah
bangunan kompleks perumahan di Amerika Serikat yang beberapa waktu sebelumnya
memperoleh penghargaan (award) yang sangat prestisius dari institusi arsitek di
institusi tersebut patut mendapat penghargaan ternyata di dalamnya menimbulkan
berbagai permasalahan kepada penghuninya. Vandalisme dan tindakan kriminal
menyebabkan hilangnya rasa aman para penghuni bangunan tersebut. Bermula dari
begitu banyak persoalan yang muncul berkaitan dengan menurunnya kualitas
lingkungan urban di kota-kota Amerika, pendekatan berbasis manusia sangat
diperlukan untuk pengembangan perencanaan arsitektur dan kota. Bidang penelitian
dan kajian perilaku membuahkan gagasan yang berkontribusi bagi aspek fisik
lingkungan binaan. Munculnya buku Human Aspect of Urban Form, Toward a Man-Environment Approach to Urban Form and Design pada tahun 1977 yang ditulis oleh Amos Rapoport semakin mempertegas peranan perilaku dalam kajian lingkungan
binaan.
Menurut Amos Rapoport (1977) dalam tulisan Haryadi (1996) kajian perilaku
dalam lingkungan binaan berkaitan dengan tiga pertanyaan mendasar yaitu:
1. Bagaimana manusia membentuk lingkungannya–bagaimana karakteristik
individu dan masyarakat berperan dalam membentuk lingkungan binaan
yang spesifik?
2. Bagaimana dan seberapa besar suatu lingkungan binaan memberikan
dampak pada manusia–seberapa jauh perilaku manusia dipengaruhi oleh
lingkungan (sistem seting)?
3. Mekanisme-mekanisme seperti apakah yang memungkinkan
Secara konseptual, pendekatan perilaku menekankan bahwa manusia
merupakan makhluk berpikir, yang mempunyai persepsi dan keputusan dalam
interaksinya dengan lingkungan. Konsep ini dengan demikian meyakini bahwa
interaksi antara manusia dan lingkungan tidak dapat diinterpretasikan secara
sederhana dan mekanistik, melainkan kompleks dan cenderung dilihat sebagai
sesuatu yang ‘probabilistik’. Di dalam interaksi yang kompleks ini, pendekatan
perilaku memperkenalkan apa yang disebut sebagai cognitive process yaitu proses mental dimana orang mendapatkan, mengorganisasikan, dan menggunakan
pengetahuannya untuk memberi arti dan makna terhadap ruang yang digunakannya.
Sebagaimana dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan antara lain:
environmental perception, cognition, environmental pressures, stress, dan lain-lain, pendekatan perilaku berkembang dari disiplin psikologi lingkungan, terutama
dipelopori oleh Roger Barker (1969) dengan apa yang disebut sebagai ecological psychology. Prinsip dasar yang diperkenalkan Barker adalah mengenai pentingnya proses-proses psikologis dalam memediasi hubungan antara manusia dan lingkungan.
Dengan mengembangkan studi ini, Barker berhasil menarik perhatian banyak ahli
psikologi untuk memperhatikan aspek-aspek sosial akan perilaku sekelompok orang
dalam seting tertentu (Haryadi, 1996).
Kajian psikologi menekankan bahwa ruang atau lingkungan itu bersifat sangat
personal dan mempunyai arti yang spesifik bagi setiap individu. Kemudian, setiap
individu dan masyarakat juga cenderung mempunyai kapasitas yang berbeda dalam
Sebagian dapat memberikan respon secara mudah, sebagian sulit atau bahkan
sebagian sama sekali tidak mampu memberikan respon dan beradaptasi dengan
lingkungannya. Masalah-masalah ini secara akademik diterangkan berdasar
kajian-kajian empirik, sehingga sampai saat ini telah dapat dikembangkan beberapa konsep
penting dalam kajian lingkungan binaan dan perilaku. Dalam penelitian ini konsep
penting tersebut adalah persepsi lingkungan dan lingkungan yang terpersepsikan.
Persepsi lingkungan atau environmental perception adalah interpretasi tentang suatu seting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, dan pengalaman
individu tersebut. Setiap individu, dengan demikian akan mempunyai persepsi
lingkungan yang berbeda, karena latar belakang budaya, nalar serta pengalamannya
berbeda. Akan tetapi, dimungkinkan pula beberapa kelompok individu mempunyai
kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip, karena kemiripan latar
belakang budaya, nalar serta pengalamannya. Di dalam kajian arsitektur lingkungan
dan perilaku justru menekankan pada ragam dan kesamaan environmental perception beberapa individu atau beberapa kelompok individu (Haryadi, 1996). Dalam konteks
perancangan lingkungan, dikatakan oleh Rapoport (Haryadi, 1996) bahwa peran
persepsi lingkungan sangat penting, oleh karena keputusan-keputusan atau
pilihan-pilihan perancangan akan ditentukan oleh persepsi lingkungan perancang. Dengan
kata lain, apabila perancang tidak mencoba memahami persepsi lingkungan
masyarakat yang ia rancang lingkungannya, dimungkinkan tidak akan terjadi suatu
kualitas perancangan lingkungan yang baik. Di dalam konteks studi antropologi
sebagai aspek emic dan etic (Haryadi, 1996). Emic menggambarkan bagaimana suatu lingkungan dipersepsikan oleh kelompok di dalam sistem tersebut (bagaimana suatu
kelompok mempersepsikan lingkungannya). Sementara etic adalah bagaimana pengamat atau outsider (misalnya perancang) mempersepsikan lingkungan yang sama. Masalah emic dan etic ini menjadi penting, karena kita akan berhadapan dengan suatu pandangan subyektif yang berbeda tentang suatu lingkungan yang sama.
Untuk lingkungan binaan berupa warisan kota yang bersejarah, pembangunan
komersial yang sering mengancam keberadaan bangunan cagar budaya, persepsi
masyarakat berubah dari yang sebelumnya menganggap banguanan itu tidak berharga
menjadi berharga (perubahan guna). Keinginan pemangku kepentingan untuk
memelihara bangunan cagar budaya tidak selalu diterjemahkan dengan benar.
Pemangku kepentingan baik sukarela maupun tidak menyerahkan tanggung jawab
pengembangan, pemeliharaan, dan manajemen kepada dinas pemerintah, yang
memiliki kekuasaan untuk membentuk kota. Ketika pemangku kepentingan tidak lagi
menjadi orang yang terlibat sekalipun bangunan cagar budaya mereka sangat berarti,
gagasan dan partisipasi mereka akan terbatas dan tidak muncul (Porter, 2005).
Pentingnya studi persepsi untuk dipertimbangkan sebagai kerangka penelitian
dapat dijabarkan dalam beberapa hal sebagai berikut (Barat, 2007):
1. Persepsi adalah level konseptual yang paling mendasar dalam pengetahuan
sebuah organisasi / komunitas.
2. Informasi dan sistem gagasan yang dikomunikasikan antar pengguna
3. Pencapaian sebuah kesepakatan atau keputusan ditentukan oleh kesamaan
atau perbedaan persepsi.
4. Merubah sebuah masalah dan menemukan jalan keluar dari suatu
kemungkinan adalah melakukan transformasi pada tingkat persepsi.
Persepsi yang digunakan dalam studi lingkungan binaan pada umumnya
berguna untuk memberikan pengembangan strategi yang baru terhadap sebuah
kebijakan atau kegiatan yang kurang efektif. Setelah menganalisis persepsi tersebut,
maka dapat dicari model solusi yang tepat untuk mengisi kekurangan pencapaian
metoda sebelumnya. Dan juga dapat menghimpun penyebaran pengaruh dan
kesadaran dari masyarakat pada tingkat sosial yang lebih luas (Pantano, 2011).
Banyak pemangku kepentingan bangunan yang ingin melindungi fungsi dan
penampilan bangunan tetapi melakukan pemeliharaan yang sifatnya jangka pendek,
karena kurangnya pemahaman dan intervensi pihak yang ahli. Persepsi yang timbul
pada umumnya menjadi pemeliharaan berbasis ekonomi yang minim, dan pemikiran
kalau bangunan tidak rusak, mengapa perlu diperbaiki (Forster, 2009).
Monumentenwacht Nederland (2000) mempublikasikan banyak pemangku kepentingan bangunan cagar budaya yang tidak tahu kapan dan bagaimana
melakukan perbaikan. Persepsi yang terbentuk adalah semakin sedikit intervensi
kepada bangunan (tanpa pemeliharaan) akan membuat bangunan semakin asli/otentik.
konservasi. Pemangku kepentingan memandang perbaikan dan pemeliharaan sebagai
konsep pekerjaan sewaktu-waktu. Itulah sebabnya masyarakat perlu panduan dan
bimbingan prinsip konservasi bangunan yang melibatkan aspirasi praktis dari badan
pusaka kota. Ada pemangku kepentingan yang mencoba mengimplementasikan
pemeliharaan, tetapi bimbingan yang diberikan salah, hal ini menimbulkan persepsi
bahwa organisasi keahlian memiliki pengaruh dan kepentingan yang negatif.
Sehingga pemangku kepentingan memandang tidak perlu melakukan konsultasi
dengan organisasi tersebut (Forster, 2009).
Keberhasilan sebuah kebijakan pelestarian cagar budaya khususnya tidak lagi
berorientasi kepada sosok figur, bangunan besar yang ternama, atau gaya bangunan
yang elegan. Gerakan mendukung kebijakan hukum dan pelestarian cagar budaya
telah menekankan pentingnya melibatkan komunitas, khususnya pemangku
kepentingan bangunan dalam hal ini. Persepsi mereka digali dan disalurkan dalam
rencana pengembangan yang disetujui bersama agar dapat mencapai sebuah
keseimbangan yang ideal di antara preservasi masa lalu, kebutuhan masa kini, dan
warisan masa depan (Hauer, 2007). Pemahaman dan interpretasi pemangku
kepentingan tidak lagi mengganggap pelestarian cagar budaya sebagai kunjungan
museum, program pemerintah, program wisata, program akademik dan lainnya, tetapi
juga program komunitas dari himpunan para pemangku kepentingan bangunannya.
Informasi persepsi itu penting untuk menjadi target dalam menilai keberhasilan
program dan regulasi yang ada (Pokotylo & Guppy, 1999). Pendekatan peraturan
(Araujo & Bramwell, 1999) dapat dilakukan dengan cara membagikan informasi
regulasi kepada pemangku kepentingan dan menanyakan pemahaman dan sudut
pandang yang mereka punya. Hasilnya digunakan untuk menganalisis persepsi
masyarakat terhadap regulasi tersebut baik atau tidak, suportif, netral atau oposisi.
Pelestarian warisan kawasan lama bernilai sejarah diupayakan harus
merambah area hukum, peraturan perundangan, dan kewenangan badan pemerintah
(Budihardjo, 1993). Krisis yang dihadapi kota-kota di Indonesia saat ini terjadi bukan
karena adanya masalah ekonomi, melainkan merupakan akumulasi kesalahan dari
serangkaian kebijakan, strategi, maupun program pengembangan perkotaan selama
25 tahun lebih (Santoso, 2006). Kebijakan yang berdampak buruk pada
perkembangan kota-kota di Indonesia adalah kebijakan yang melepas perkembangan
kota begitu saja pada mekanisme pasar. Akibatnya kota-kota di Indonesia tidak
memiliki visi masa depan yang jelas, terutama dalam menghadapi globalisasi.
Kebijakan yang tidak proaktif akan mengakibatkan inisiatif pengembangan kota
hampir sepenuhnya berada di tangan para pemangku kepentingan modal dan investor,
dengan agenda mereka masing-masing (Santoso, 2006). Apa yang akan terjadi
dengan kota tersebut, di mana akan dibangun gedung perkantoran atau kawasan
industri baru, atau di mana akan dibuka fasilitas macam apa, tidak pernah bisa
ditentukan bersama-sama, melainkan ditentukan hanya oleh sejumlah kecil pejabat
dan pengusaha berpengaruh. Sifat eksklusif dalam pengambilan keputusan akan
mengakibatkan pembangunan kota berjalan ke arah yang hanya menguntungkan
semakin lama semakin terdesak ke belakang. Tanpa pengaturan yang mengharuskan
partisipasi masyarakat dalam pengembangan kota, partisipasi tersebut akan tetap
menjadi gagasan semata. Tanpa partisipasi masyarakat, kota-kota akan menjadi kota
pemerintah atau kota para pemodal, dan belum bisa menjadi kota dengan warga yang
merasa ikut memilikinya (Santoso, 2006).
Perencanaan tata ruang perkotaan selama ini tidak mampu berfungsi sebuah
instrumen legal yang bisa memberi batasan dan arahan pengembangan kota, karena
pemerintah sendiri tidak pernah konsisten melaksanakannya. Bila Pemerintah Daerah
dengan bantuan instansi terkait di pusat menyusun rencana tata ruang guna
mengantisipasi perkembangan kota, sebagian besar usulan rencana tata ruang tersebut
merupakan pemutihan dari proses pengembangan yang sudah terjadi. Di kota-kota
yang berkembang cepat, proses pemutihan ini menjadi rutin, karena berbagai
ketentuan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dilanggar, baik oleh
masyarakat awam maupun oleh para pelaku bisnis. Walaupun demikian, banyak
ketentuan seringkali tidak bisa dilaksanakan. Hal ini terjadi karena penyusunan
rencana dibuat tanpa pengetahuan lapangan yang memadai, sebagian akibat biaya
perencanaan yang terbatas, tapi lebih sering akibat ketidakmampuan para perencana
serta arahan yang salah dari pemberi tugas (Santoso, 2006). Pemangku kepentingan
tidak akan mau melibatkan diri karena mereka mengerti bahwa mereka dianggap
tidak penting dan tidak mendapatkan keuntungan yang positif bagi mereka sendiri
(Adeniran & Akinlabi, 2011). Dampak dari kebijakan pembangunan kota yang sangat
dapat terlihat pada terjadinya pemusatan kegiatan perkotaan dengan nilai tambah
yang tinggi di lokasi-lokasi strategis, tanpa memperhitungkan daya dukung dan
infrastruktur yang ada serta dampak negatifnya bagi fungsi-fungsi lain di
sekelilingnya. Kebijakan pengembangan kota yang demikian pada akhirnya akan
melahirkan kota dengan bagian-bagian yang tidak saling terintegrasi sehingga tidak
bisa berfungsi secara efisien. Kota hanya bisa menjadi tempat hidup yang berkualitas
melalui proses pengaturan kehidupan berkota secara kolektif, yang mampu
mengakomodasi kepentingan semua lapisan masyarakat. Bila perlu, hal ini harus
dicapai dengan mengendalikan mekanisme pasar (Santoso, 2006). Hampir semua kota
dunia yang berkualitas mempraktikkan berbagai instrumen pengendalian
perkembangan kota, seperti pembatasan pembangunan di restricted urban area, atau melalui moratorium (pelarangan perubahan fungsi).
Pada kebanyakan perencanaan kota dan lingkungan, masyarakat acapkali
dilihat sekadar sebagai konsumen yang pasif. Memang mereka diberi tempat untuk
aktivitas kehidupan, kerja, rekreasi, belanja dan bermukim, akan tetapi kurang diberi
peluang untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan dan perencanaannya. Sebagai
makhluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan
pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat atau lingkungannya.
rasa tersebut merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk
kemudian mempertahankan atau melestarikan (Budihardjo, 1997). Bila rasa ini tidak
diakomodasi dari awal dengan memahami persepsi pemangku kepentingan bangunan,
tidak akan berpartisipasi dalam menjalankan kebijakan tersebut. Pentingnya
melakukan dialog, koperasi, dan kolaborasi dalam kajian menggali persepsi
pemangku kepentingan dalam hakekatnya untuk mengurangi konflik yang dapat
muncul karena hanya pemangku kepentingan yang memegang keputusan terhadap
bangunan yang mereka miliki dan lingkungan sekitar tempat mereka bermukim
(Mohammadi, Khalifah, Hosseini; 2010). Willems dan Rausch (1969)
mengemukakan bahwa binatang pun menunjukkan pentingnya rasa penguasaan
tersebut dalam bentuk pemilihan habitat dan modifikasi/manipulasi lingkungan
fisiknya. Kekurangberhasilan kebanyakan kebun binatang terletak pada terabaikannya
fakta tersebut. Kalau binatang saja membutuhkan peluang untuk bisa memilih dan
membentuk habitatnya, apalagi manusia penghuni kota. Bila penduduk kota tidak
dilibatkan dalam proses perencanaan dan pembangunan kotanya, tidak diberi
kesempatan untuk bertindak secara aktif memberikan 'cap' pribadi atau kelompok
pada lingkungannya, tidak memperoleh peluang untuk membantu, menambah,
mengubah, dan menyempurnakan lingkungannya, akan kita dapatkan masyarakat
kota yang apatis, acuh tak acuh, dan mungkin agresif. Pemangku kepentingan
bangunan tidak pernah mempersoalkan tentang ada tidaknya sebuah klausul regulasi,
tetapi lebih menekankan kepada seberapa besar pengaruh dan keterlibatan aspirasi
persepsi mereka ada di dalamnya. (Shrubsole, Green, Scherer; 1997). Kemungkinan
besar hal ini terjadi karena banyak pimpinan daerah dihinggapi “obsesi membangun”,
bahwa kemajuan daerah identik dengan pesatnya pembangunan baru dan bahwa
(Budihardjo, 2004). Negara-negara Barat sudah sejak lama mendengung-dengungkan
slogan perancangan dari bawah (bottom-up planning) sebagai ganti perancangan yang
dipaksakan dari atas (top-down planning). Yang dimaksud adalah bahwa nilai-nilai
dan kriteria yang dijadikan dasar perancangan bukanlah nilai-nilai dan kriteria dari si
perancang atau policy maker melainkan dari masyarakat setempat untuk siapa perancangan itu dibuat (Budihardjo, 2004). Suatu development plan hanya akan bisa berhasil kalau masyarakat setempat diberi kesempatan cukup untuk berbicara
mengeluarkan segenap pendapat dan perasaan mereka. Jika penduduk merasa ikut
berfungsi sebagai penentu pola wilayah mereka sendiri, besar kemungkinan mereka
akan sepenuh hati mendukung implementasi dari kebijaksanaan yang telah digariskan
bersama (Budihardjo, 2004). Peranan kebijakan turut membentuk persepsi
masyarakat untuk dapat memberi umpan balik. Kebijakan yang mewadahi dan
memberi kesempatan kepada masyarakatnya untuk bertukar pikiran (persepsi) akan
mendukung terlaksananya tujuan kebijakan dan peraturan yang ditetapkan organisasi
masyarakat atau pemerintah. Masyarakat cenderung memilih untuk dapat mendukung
sasaran peraturan bila persepsi mereka dimaknai dan diwadahi, dan sebaliknya
masyarakat akan bersikap antipati terhadap peraturan dan menyikapi sendiri apa yang
hendak mereka kerjakan karena bagi mereka persepsi adalah hal yang harus
disampaikan (Ghouma, 2008).
Stoker (1995) (Arnaboldi & Spiller, 2011) memaparkan pentingnya
keterlibatan dan memahami persepsi para pemangku kepentingan yang terkait dalam
penghematan sumber daya, dan apabila sebaliknya akan mengancam keberhasilan
dari tujuan yang ingin dicapai. Arnaboldi dan Spiller (2011) merangkum elemen yang
mendukung keberhasilan kebijakan berbasis partisipasi masyarakat dalam suatu
konsep kolaborasi. Konsep kolaborasi menurut Arnaboldi dan Spiller diuraikan
dengan mengamati isu-isu potensial yang perlu diperhatikan dalam penelitian
persepsi (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Isu-isu potensial persepsi dalam konsep kebijakan
Area Issues
Identification and involvement of key stakeholders
Involvement in the collaboration Representation: legitimacy and power Capacity to participate
Maintaining the collaboration Power distribution among the convened stakeholders Need for consensus-based decision making
Information sharing and dissemination
Heterogeneity in governance structures and value systems Evolution of the roles of actors
Long term implementation of the collaborative outcomes
Long term outcomes and structuring of the collaboration process
Unrealistic expectations
Sumber: Arnaboldi & Spiller, 2011
Kesadaran dan komitmen pemerintah dalam menyusun kebijakan dan
mendorong partisipasi publik adalah hal yang krusial. Program peremajaan kota
pemerintah, komunitas, dan swasta. Pemerintah kota dalam hal ini dapat menjadi
inisiator dan stimulator kolaborasi. Hari Srinivas (Tarekat, 2001) memaparkan
kesimpulan yang diperoleh dari situasi di negara-negara Asia tentang peran
pemerintah kota dalam konservasi warisan budaya: (i) membangun partisipasi yang
lebih luas tentang kesadaran akan makna konservasi kepada masyarakat kota, (ii)
melakukan dokumentasi yang tepat terhadap setiap tempat yang terkait, dan (iii)
membentuk institusi dan kebijakan yang kuat untuk tugas konservasi. Penelitian
Maria dan David (Ramos, 2000) menemukan bahwa hampir sebagian besar (96%)
dari responden merasa perlu sekali keberadaan dan ditetapkannya regulasi cagar
budaya. Tetapi sayangnya keperluan ini didominasi (98%) oleh orang yang sudah
memiliki persepsi yang baik dan benar terhadap cagar budaya itu. Sedangkan di
kawasan cagar budaya belum tentu semua pemangku kepentingan adalah orang yang
memiliki latar belakang arkeologi atau sejarah. Hal ini menjadi menarik diamati
karena hampir sebagian besar adalah kalangan pedagang ekonomi. Dapat dikatakan
bahwa latar belakang kalangan pembuat kebijakan yang umumnya adalah akademis
dan terdidik dibandingkan objek kebijakan yang adalah pemangku kepentingan
dengan latar belakang pelaku ekonomi, dapat membuat kesimpulan yang berbeda
tentang klausul regulasi yang sama (Llinares, 2011).
2.2 Pemangku Kepentingan
Definisi pemangku kepentingan (stakeholder) menurut Bryson dan Crosby
oleh pergerakan atau konsekuensi dari sebuah isu. Pengertian lain diberikan oleh
Gray (1989) (Aas et al, 2005) yaitu setiap pribadi yang dipengaruhi oleh kegiatan
pribadi lainnya sehingga memiliki wewenang untuk terlibat. Masyarakat lokal sering
didefinisikan sebagai pemangku kepentingan dalam wisata pusaka seperti yang
diungkapkan Cochrane dan Tapper (2000) (Mohammadi, Khalifah, Hosseini; 2010).
Davidson dan Maitland (1997) menyatakan konsep manajemen wisata pusaka
menekankan pentingnya aspek permintaan dan penawaran, khususnya dari wisatawan
(visitor) dan masyarakat lokal (host population); Swarbrooke (1995) menggunakan
klasifikasi pemangku kepentingan bangunan bersejarah yang terdiri dari tiga sektor:
pemerintah, pemilik bangunan, dan masyarakat; sedangkan Timothy dan Boyd (2003)
mendefinisikan pemangku kepentingan bangunan bersejarah didominasi pemerintah
selaku penanggung jawab situs warisan sejarah (Rahman, 2012). Penelitian yang
dilakukan oleh Aas, Ladkin, dan Fletcher (2005) tentang kolaborasi pemangku
kepentingan dalam manajemen bangunan bersejarah, menemukan bahwa keterlibatan
masyarakat lokal adalah komponen yang paling berpengaruh dan signifikan untuk
dikaji sehingga dapat memaksimalkan rencana strategi pengembangan wisata pusaka.
Dalam teori pariwisata (Middleton, 2009) yang menjadi pemangku
kepentingan dalam suatu produk pariwisata (semisal wisata budaya, wisata sejarah)
melibatkan 2 macam pemangku kepentingan, yakni pelancong dan masyarakat lokal
(wheel of influences). (Gambar 2.1). Pelancong dalam hal ini diklasifikasikan ke
dalam dua golongan, yaitu pelancong yang berasal dari negara itu sendiri (domestik)
hal ini diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu masyarakat pelaku dan penjual
produk pariwisata dan masyarakat kota non pelaku. Melalui pendekatan bangunan
bersejarah sebagai komoditas pariwisata sejarah, maka penelitian ini menggunakan
kedua macam pemangku kepentingan yang sesuai dengan teori Middleton (2009).
Gambar 2.1 Lingkaran pemangku kepentingan
Sumber: Middleton, 1998
2.3 Peraturan Daerah
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,’ Negara Kesatuan Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,
menurut UUD 1945 adalah desentralisasi, bukan sentralisasi sehingga pemerintahan
daerah diadakan dalam kaitan desentralisasi. Dalam kerangka desentralisasi menurut
pasal 18 ayat (5) UUD 1945 Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintahan Pusat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa bentuk negara
Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dijalankan
berdasarkan desentralisasi, dengan otonomi yang seluas-luasnya. Selanjutnya, Pasal
18 ayat(6) UUD 1945 menetapkan,’ Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.’Artinya, Peraturan Daerah (perda) merupakan sarana legislasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perda disini adalah aturan daerah dalam arti
materiil (perda in materieele zin) yang bersifat mengikat (legally binding) warga dan
penduduk daerah otonom. Perda merupakan produk legislasi pemerintahan daerah,
yakni Kepala daerah dan DPRD. Pasal 140 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD,
Gubernur, atau Bupati/Walikota. Selanjutnya, Rancangan Perda harus mendapat
persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota untuk dapat dibahas
lebih lanjut. Tanpa persetujuan bersama, rancangan perda tidak akan dibahas lebih
lanjut.Kemudian pasal 144 ayat (1), (2) dan (3) UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Rancangan Perda yang telah disetujui
bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan
Penyampaian Rancangan Perda dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari,
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Perda ditetapkan oleh
Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui
bersama (Indrati, 2007). Lalu pasal 144 ayat (4) dan (5) UU No.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menetapkan dalam hal rancangan perda tidak
ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu paling lama 30 hari maka
Rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan
memuatnya dalam Lembaran Daerah. Dalam hal keabsahan Rancangan perda
dimaksud, rumusan kalimat pengesahannya berbunyi ’ Perda dinyatakan sah’, dengan
mencantumkan tanggal sahnya. Terakhir Pasal 145 ayat (1) UU No.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan ketentuan mengenai penyampaian perda
kepada pemerintah pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Mengingat
perda adalah produk politis, maka kebijakan daerah yang bersifat politis dapat
berpengaruh terhadap substansi perda. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan
kebijakan politis tersebut tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat.
Dalam Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, mengenai materi muatan Perda telah diatur dengan jelas dalam
Pasal 12 yang berbunyi sebagai berikut,’Materi muatan Peraturan daerah adalah
seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.’ Di era otonomi daerah ini, DPRD
Pemerintahan Daerah. Pun demikian, betapapun luasnya cakupan otonomi daerah,
perda tidak boleh mengatur permasalahan yang menyimpang dari prinsip NKRI, yang
dapat merusak bingkai NKRI. Sebaliknya Pemerintah pusat juga tidak boleh
membatasi, apalagi menegasi kewenangan otonomi daerah. Selanjutnya Pasal 18 ayat
(5) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah
juga membatasi materi muatan sebuah perda yaitu bahwa Perda tidak boleh memuat
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, seperti: politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.
Saat ini, salah satu persoalan yang perlu mendapatkan perhatian adalah banyak sekali
Perda yang bermasalah.
Pada umumnya, masyarakat tidak fasih dengan undang-undang dan peraturan
daerah mengingat jumlah yang banyak dan sering sekali peraturan daerah tidak
melibatkan kepentingan masyarakat lokal. Sebagai sebuah produk yang mengatur
prosedur legal sebuah perda harus memuat 4 hal utama agar dapat dipahami
masyarakat, yaitu informasi umum, pemangku kepentingan, tindakan yang diatur, dan
sanksi. Sifat undang-undang adalah mengikat seluruh elemen yang tercakup dalam
produk hukum meskipun tidak seluruh elemen mengetahui dan membaca
undang-undang tersebut, dan pada hakekatnya hukum berlaku. Terkait peraturan yang tidak
efektif, pemerintah dapat meninjau ulang perda merunut hierarki peraturan
perundang-undangan sesuai UU Nomor 10 Tahun 2004 (Asmirawati, 2010).
Sehubungan diadakannya penelitian ini, maka dilakukan tinjauan pustaka
terhadap penelitian yang telah pernah dilakukan baik menyangkut kawasan penelitian,
kajian persepsi, dan pengaruh regulasi (Tabel 2.2). Tujuan dari tinjauan penelitian
yang sudah pernah dilakukan adalah untuk menghindari obyek penelitian serupa dan
mempertajam penelitian ini sehingga penelusuran menjadi lebih aktual.
Tabel 2.2 Penelitian Sebelumnya
1 Peneliti Hasti Tarekat
Judul Penelitian Kajian Mengenai Efektivitas Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1988
Tentang Perlindungan Bangunan Bersejarah Dalam Upaya
Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Medan
Tahun Penelitian Tesis 2002
Topik Penelitian 1. Tingkat kelestarian bangunan bersejarah yang dilindungi Perda Nomor 6 Tahun 1988 di Kota Medan
2. Aktivitas sosialisasi Perda Nomor 6 Tahun 1988 di Kota Medan 3. Tingkat efektivitas pelaksanaan Perda Nomor 6 Tahun 1988 di
dalam upaya melindungi bangunan bersejarah di Kota Medan
Hasil Penelitian 1. Bangunan cagar budaya di Kota Medan yang terdapat dalam
Perda No. 6 Tahun 1988; baik aspek fisik maupun aspek nonfisik masuk dalam Kategori Tidak Lestari. Faktor dominan yang menyebabkan ketidaklestarian ini adalah tekanan aktivitas ekonomi dan rendahnya komitmen lembaga
2. Sosialisasi Perda No. 6 Tahun 1988 dalam bentuk penyuluhan baik kepada pemangku kepentingan dan pengelola bangunan cagar budaya dalam Kategori Rendah
3. Persepsi pemangku kepentingan/pengelola bangunan cagar
budaya; Kejelasan Tujuan masuk dalam Kategori Cukup Jelas, dan Kesesuaian Tujuan masuk dalam Kategori Cukup Sesuai
4. Tingkat motivasi pemangku kepentingan/pengelola untuk
melestarikan bangunan cagar budaya masuk dalam Kategori Cukup Tinggi. Tingginya motivasi ini disebabkan karena adanya kebanggaan, nilai sejarah, dan warisan yang harus dipertahankan
5. Tingkat motivasi pemangku kepentingan/pengelola untuk
merubah bangunan cagar budaya masuk dalam Kategori Cukup Tinggi. Alasan yang paling banyak atas jawaban responden adalah untuk penyesuaian peruntukan bangunan, kerusakan bangunan dan alasan pengamanan
kelestarian bangunan cagar budaya di Kota Medan belum efektif
2 Peneliti Henry Iskandar Ong
Judul Penelitian Kajian Genius Loci Dengan Pendekatan Fenomenologi Arsitektur,
Studi Kasus: Kawasan Kesawan
Tahun Penelitian Tesis 2004
Topik Penelitian 1. Fenomena pembentuk genius loci di kawasan Kesawan 2. Perubahan genius loci di kawasan Kesawan
Hasil Penelitian 1. Genius loci Kesawan terletak pada:
a. Lokasinya pada poros yang menghubungkan bagian utara
dengan selatan kota
b. Arkade merupakan struktur spasial yang memperkuat
orientasi linear dan identifikasi Kesawan Tabel 2.2 (lanjutan)
c. Bangunan memiliki karakter multi etnis yang berartikulasi membentuk sebuah kesatuan
d. Karakteristik bangunan yang bersahabat dengan iklim terasa kuat dalam mencermati lingkungan natur dan buatan manusia
2. Terjadi perubahan yang berarti terhadap system of places, konstitusi formal, artikulasi formal, dan fasade
3 Peneliti Louise Thornley, Andrew Wa
Judul Penelitian Increasing Public Engagement with Historic Heritage: A Social Marketing Approach
Tahun Penelitian Buku 2009
Topik Penelitian Persepsi tentang warisan cagar budaya dalam kaitannya dengan
regulasi lokal
Hasil Penelitian Regulasi lokal yang menampung aspirasi dan persepsi masyarakat
setempat sangat efektif dalam pelaksanaan dan pencapaian sasaran.
Regulasi yang melibatkan persepsi masyarakat memberikan keluaran
karakter pemaknaan masyarakat akan warisan cagar budaya dalam 4
sikap:
future) 3. Holistik
4. Memiliki banyak fungsi dan keragaman (is perceived in terms of usefulness)
4 Peneliti Kartika Eka Sari, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan
Judul Penelitian Pelestarian Kawasan Pecinan Kembang Jepun Kota Surabaya
Berdasarkan Persepsi Masyarakat
Tahun Penelitian Jurnal 2011
Topik Penelitian 1. Identifikasi karakter fisik, sosial, ekonomi dan budaya kawasan Kembang Jepun
2. Potensi masalah terkait pelestarian kawasan Kembang Jepun 3. Strategi pelestarian kawasan Kembang Jepun
Hasil Penelitian 1. Berdasarkan persepsi masyarakat terdapat 3 bobot: prioritas tinggi (makna kultural), prioritas sedang (estetika), dan prioritas rendah (umur bangunan)
2. Strategi pelestarian digolongkan menjadi 4 pendekatan: