PENEGAKAN HUKUM DAN
KEKUASAAN HAKIM
DI S
U S
U
N OLEH :
YUSRA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH
BANDA ACEH
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis Dapat menyusun makalah ini tepatpada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Penegakan Hukum dan Kekuasaan Hakim ”
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Banda Aceh, Desember 2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 1
BAB II PEMBAHASAN... 2
A. Hukum Dan Kekuasaan Kehakiman... 2
B. Hakim dan penegakan keadilan ... 6
C. Tugas dan Kewajiban Hakim... 9
D. Kekuasaan Kehakiman Adalah Kekuasaan Negara Yang Merdeka. . 13
E. Kekuasaan Kehakiman Menegakkan Hukum Dan Keadilan... 15
F. Kekuasaan Kehakiman Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945 Demi Terselenggaranya Negara Hukum Indonesia... 15
G. Amandemen UUD 1945... 17
BAB IIIPENUTUP ... 26
A. Kesimpulan ... 26
B. Saran... 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk Sosial (Zoon Politicon) manusia dalam berinteraksi satu
sama lain sering kali tidak dapat menghindari adanya bentrokan – bentrokan
kepentingan (Conflict Of interest) diantara mereka. Konflik yang terjadi dapat
menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan pelangaran hak dam
kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik – konflik semacam itu
tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan saran hukum untuk
menyelesaikannya. Dalam keadan seperti itulah, hukum diperlukan untuk
mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Sebagaimana ungkapan “ubi societas
ibi ius” atau dimana ada masyrakat, mak disitu perlu hukum. Eksistensi hukum
sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum
kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang / berkuasa.
Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalm mempertahankan
hak dan kewajibannya.Dalam rangka menegakan aturan – aturan hukum, maka
di negara hukum seperti Indonesia ini, diperlukan adanya suatu istitusi yang
dinamakan kekuasaan kehakiman (Judicative Power). Kekuasaan kehakiman ini
bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang –
undangan tang berlaku (Ius Constitutum)Guna terwujudnya keadilan i indonesia.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Eksistensi atau tugas kekuasaan kehakiman dalam
menegakkan hukum dan keadilan?
Meskipun dalam kenyataanta ada salah satu hukum atau kehakiman
yang menyimpang dari aturan perundang-undangan itu adalah salah satu bentuk
dari sebuah permasalahan yang sangat disayangkan oleh semua pihak yang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Dan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi
berlakunya peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius Constitutum).
Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia,
tanpa hukum kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang /
berkuasa. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam
mempertahankan hak dan kewajibannya.
Indonesia adalah negara hukum, sudah selayaknya menghormati dan
menjunjug tinggi prinsip – prinsip hukum, salah satunya adalah diakuinya
prinsip keadilan yang bebas yang tidak memihak. Tolak ukuran dapat dilihat
sejauh mana kemandirian badan – badan peradilan dalam menjalankan tugas dan
kewenanganya terutama dalam menegakan aturan perundang – undangan
(Hukum) dan keadilan. Maupun jaminan yuridis adanya kemerdekaan kekuasaan
kehakiman.
Kekuasaan kehakiman dalam praktek diselengarakan oleh adan – badan
peradilan Negara. Adapun tugas pokok badan peradilan negara adalah
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara yang
diajukan oleh masyrakat pencari keadilan. Sebagai istitusi yang dibutuhkan
masyrakat, usia pengadilan sudah berbilang ribuan tahun, jauh mendahului usia
pengadilan moderen.
Urusan atau pekerjaan mengadili adalah salah satu sekian banyak fungsi
yang harus ada dan dijalankan oleh masyarakat, sebagai respon terhadap adanya
kebutuhan tertentu. Mengadili adalah pekerjaan yang dibutuhkan untuk membuat
muncul persoaln diantara para angotanya harus diselesaikan. Persoalan –
persoalan yang tidak diselesaikan akan menjadi ganguan bagi ketentraman dan
produktifitas masyrakat. Suatu istitusi mesti dimunculkan untuk menjalankan
fungsi tersebut dan ia adalah Pengadilan.
Kemudia secara khusus, kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU
No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU No. 4
tahun 2004 merupakan undang – undang yang organik. Sekaligus sebagai induk
dan kerangka umum yang meletakan asas – asas, landasan, dan pedoman bagi
seluruh lingkungan peradilan di Indonesia. Pasal 10 ayat (1,2) UU No. 4 tahun
2004, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Makamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan sebuah
Makamah Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada dibawah Makamah
Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam menyelengarakan kekuasaan kehakiman tersebut, Makamah
Agung bekedudukan sebagai pengadilan negara tertinggi yang membawai semua
lingkungan peradilan di Indonesia, baik lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, maupun peradilan tata uasah negara.
Mengenai kedudukan dan wewenang masing – masing lingkungan
peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa perundang –
undangan, yakni :
a. UU No. 14 tahun 1985 tentang Makamah Agung dan beberapa
b. UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan beberapa
perubahanya dalam UU No. 8 tahun 2004
c. UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara dan beberapa
perubahannya dalam UU No. 9 tahun 2004
d. UU No. 7 tahun 1986 tentang peradilan agama dan beberapa
perubahannya dalam UU No. 3 tahun 2006
e. UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer
f. UU No. 24 tahun 2003 tentang Makamah Kostitusi
g. UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial
Sasaran penyelengaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk
menumbuhkan kemandirian para penyelengara kekuasaan kehakiman dalam
rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para penyelengara
dilakukan dengan cara meningkatkan integritas pengetahuan dan kemampuan.
Sedang peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kimerja para
penyelengara peradilan tersebut.
Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan persyaratan penting
dalam melakukan kegiatan pememuan hukum oleh hakim di pengadilan.
Kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman berarti tidak adanya
intervensi dari pihak – pihak extra judicial lainya, sehinga dapat mendukung
terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas –
tugasnya di bidang Judisial, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan
sengketa yang diajukan oleh pihak – pihak yang berperkara. Lebih lanjut kondisi
ini diharapkan dapat menciptakan putusan hakim yang berkualitas, yang
mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Salah seorang hakim merasa bahwa kasus – kasus kriminal tidak perlu
menyita perhatianya tetapi ia merasa perlu memeliti setiap detail undang –
untuk berusaha mengikuti “hukum.”[6] secara analitis, apa yang terjadi pada
para hakim itu berlangsung melalui dua tahap. Pilihan pertamanya adalah apakah
hendak mengikuti “Hukum” atau tidak. Sikap – sikap, nilai, dan konteks sosial
menentukan pilihan ini. Pilihan kedua adalah keputusan aktual. Bagaimanapun
juga, bagi hakim ini akan berarti bahwa ia selalu “Terikat” oleh huku.
Pegadilan juga dapat digantungkan pada tingkat perlapisan sosial dalam
masyrakat, semakin kompleks perlapisaan sosial dalam masyrakat semakin besar
pula perbedaan nilai – nilai dan kepentingan antara lapisan dalam masyrakat.
Pengadilan disitu sudah menjadi istitusi untuk melindungi kepentingan golongan
yang dominan dengan memaksakan berlakunya berlakunya mempertahankan
kedudukan mereka. Sebaliknya dalam masyrakat yang lebih sederhana, yaitu
dengan tingkat yang perlapisan sosial yang rendah maka kesepakatan nilai – nilai
relatif lebih mudah untuk dicapai.
Meskipun demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai
dengan integritas moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena
kalau tidak maka manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung dibawah
independensi peradilan, sehiga para hakim yang menyalah gunakan jabatan
menjadi sulit tersentuh hukum. Praktek mafia peradilan terutama “Judicial
corruption” menjadi semakin sulit diberantas, jika tidak para “hakim Nakal”
berlindung pada asas kemandirian atau indenpendensi kekuasaan kehakiman
yang diletakan tidak pada tempatnya. Pada pasal 1 UU No. 4 tahun 2004
disebutkan bahwa kebebasaan dalam melaksanakan wewenang judisial bersifat
tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan hukum keadilan
berdasarkan pancasila, sehinga putusanya mencerminkan rasa keadialan rakyat
B. Hakim dan penegakan keadilan
Hakim merupakan salah satu angota dari Catur Wangsa Penegak
Hukum di Indonesia. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok
dibidang Juridisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadnya. Dengan tugas seperti itu,
dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional
melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karen itu keberadaanya sangat
penting dan diterima dalam menegakkan hukum dan keadilan melalaui putusan –
putusanya.
Para pencari keadilan (justiciablellen) tentu mendambakan perkara –
perkara yang diajukan kepengadilan dapat diputus oleh hakim – hakim yang
propesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehinga dapat melahirkan
putusan – putusan tang tidak saja mengandung legal justice, tetapi juga
berdimensikan moral justicedan social justice.
Akan tetapi dalam parakteknya sering kali dijumpai para pencari
keadilan merasa tidak puas dan kecewa terhadap kinerja hakim yang diangap
tidak bersikap mandiri dan tidak profesional. Bayangkan intervensi dan tekanan
pihak luar terhadap hakim, terkadang membuat kinerja hakim tidak lagi optimal,
atu bahkan memilih bersikap oprtunis. Tidak semua hakim dapat mengatakan
yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Kondisi ini
memeunculkan “Mafia Peradilan” yang menghalalkan segala cara seperti jual
beli perkara, yang semakin menambah coreng moreng dunia peradilan.
Putusan – putusan yang bersifat terkadang kontroversial salah satu
faktor penyebab adalah adanya korupsi peradilan (judicial corruption), yang
lebih populer disebut dengan mafia peradilan, yaitu adanya kospirasi dan
penyalahgunaan wewenag diantara aparat keadilan untuk mempermainkan
Memang tiadak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena
idealnya putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi tiga unsur yaitu,
keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan
(Zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut semestinya oleh hakim harus
dipertimbangkan dan diterapkan secara proposional sehinga pada giliranya dapat
dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari
keadilan.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hakim dalam
memeriksa dam memutuskan perkara, bebas dari campur tangan masyrakat,
ekskutif, maupun legislatif. Dengan demikian kebebasan yang dimilikinya itu
diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasrkan hukum yang berlaku
dan juga berdasrkan keyakinannyayang seadil – adilnya serta memberi manfaat
bagi masyrakat. Dengan demikian, hukum dan badan – badan pengadilan akan
dapat berfungsi sebagai penegak masyrakat dalam pembangunan hukum dan
pembinaan tertib hukum.
Antara unsur keadilan dengan kepastian hukum yang biasa saja saling
bertentangan. Berikut ini dua kasus yang sangat relevan untuk mengambarkan
adanya kemungkinan benturan antara aspek keadilan dan kepastian hukumyaitu
dalam kasus “Kedung Ombo”, tentang sengketa ganti rugi pembebasaan tanah
yang akan digunakan sebagai proyek waduk. Dan kasus “Sengketa Pilkada
Depok”, tentang penghitungan suara yang terjadi adanya pengelembungan suara
dari salah satu pihak partai politik.
Paparan dua kasus diatas, baik kasus “Kedung Ombo” maupun
“Sengketa Pilkada Depok” sangat relevan mengambarkan adanya benturan –
benturan antara aspek kepastian hukum dengan keadilan. Dalam berbagai ajaran
Doktrin ajaran hukum dari para ahli hukum dan ajaran islam sendiri nampaknya
hukum yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusuma dalam bukunya
“pememuan hukum sebuah pengantar” sebagai berikut:
“Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusa secara
proposional. Akan tetapi didalam prakteknya jarang terdapat putusan
yang mengandung tiga unsur tersebut diatas secra proposional. Kalau
dalam pilihan putusa sampai terjadi konflik antara keadilan dan
kepastian hukum serta kemanfaatan maka keadilanyalah yang harus
didahulukan”.
Untuk itu dalam pangung penegakan hukum di Indonesia, dibutuhkan
kehadiranya pada para penegak hukum yang bervisi keadilan, dan penguasa yang
bersikap adil, sebagaimana dalam cita hukum tradisional bangsa Indonesia
diiastilahkan dengan “Ratu Adil” seperti yang di impikan palto dengan konsep
“Raja yang berfilsafat” (Filisofher King) ribuan tahun yang silam.
Makamah Agung dalam intruksinya No. KMA/015/INST/VI/1998
tangal 1 Juni 1998 mengintruksikan agar para hakim menetapkan
profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas, dengan
menghasiklan putusan hakim yang eksekutabel, berisikan ethos
(integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama),filosofis (berintikan rasa
keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan nilai tata budaya yang
berlaku dalam masyrakat), serta logos (dapat diterima akal sehat)demi
terciptanya kemandirian para penyelengara kekuasaan kehakiman.
Berbagai faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam
melaksanakan tugas dan kewenanganya sesungguhnya sangat kompleks. Namun
demikian, pada prinsifnya faktor – faktor yang mempengaruhi tersebut dapat
Internal adalah faktor yang muncul dari dalam diri hakim sendiri. Jadi faktor
internal berkaitan dengan kualitas SDM hakimnya, yang dapat bermula dari cara
rekruitmennya yang tidak objektif, integritas kurang, tingkat pendidikan/
keahlian dalam kesejahteraah yang kurang memadai. Sedang faktor eksternal
adalahfaktor yang datang dari luar diri hakim terutama berkaitan dengan sistem
peradilan atau sistem penegakan hukumnya yang kurang mendukung kinerja
hakim. Dalam hal ini dapat disebabkan karena masalah instrumen hukumnya
(perundang – undanganya), ada intervensi dan tekanan dari pihak luar, tingkat
kesadaran hukum, sarana dan prasarana, sistem birokrasi/pemerintahanya dan
lain – lain. Dengan demikian kemandirian hakim berkorelasi positif dengan
penegakan supremasi hukum itu sendiri.
C. Tugas dan Kewajiban Hakim
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan
kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut,
hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibanya sebagaimana telah
diatur dalam perundang – undangan. Setelah memahami tugas dan
kewajibannya, selanjutnya hakin harus berupaya secara propesional dalam
menjalankan dan menyelesaikan pekerjaanya.
Hakikatnya tugas pokok hakim adalah, menerima, memeriksa,
mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Meskipun tugas dan kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut,
yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tugas hakim
secara normatif dan tugas hakim secara konkret dalam mengadili suatu perkara.
Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan
Mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang ( pasal 5
ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 ).
Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras – kerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat, dan biyaya ringan ( pasal 5 ayat 2 ).
Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
dijatuhkan dengan dalih bahwa hokum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 14 ayat 1 ).
Memeberi keterangan, pertimbngan dan nasehat – nasehat tentang
soal--soal hokum kepada lembaga Negara lainya apabila diminta ( pasal 25).
Hakim wajib mengali, memngikuti dan memehani nilai – nilai hokum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyrakat ( pasal 28 ayat 1 ).
Diasmping itu tugas hakim secara normative sebagaimana ditentukan
dalam perundang – undangan, hakim juga mempunyai tugas – tugas secara
kongret dalam memeriksa dan mengadli suatu perkara melalui tiga tindakan
secara bertahap, yaitu :
1. Mengkonstatir ( mengkonstatasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan
peristiwa konret. Hakim mengakui atau membenarkan telah terjadinya
peristiwa yang telah dijatuhkan para pihak dimuka persidangan.
Syaratnya dalah peristiwa konret itu harus dibuktikan terlebih dahulu,
tanpa pembuktian hakim yidak boleh menyatakn suatu peristiwa konret
itu bener – benar terjadi. Jadi mengkostatir berarti menetapkan
peristiwa konret dengan membuktikan peristiwa atau mengangap atau
terbuktinya peristiwa tersebut.
2. Mengkualifisir ( mengkualifikasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan
benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana seperti
apa. Dengan kata lain menkualifisir adalah menemukan hukumnya
terhadap peristiwa yang telah dikostatir dengan jalan menerapkan
peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Mengualifikasi dilakukan
dengan cara mengarahkan peristiwanya kepada hukum atau undang –
undangnya, agar aturan hukum atau perundang – undangan tersebut
dapat diterapkan pada peristiwanya.. sebaliknya undang – undangnya
juga harus disesuaikan dengan peristiwanya agar undang – undang
tersebut dapat mencakup atau meliputi peristiwanya.
3. Mengkostituir (mengkostitusi) atau memeberikan kostitusinya, yaitu
hakim menetapkan hukumnya dan memberikan keadilan kepada para
pihak yang bersangkutan. Disini hakim mengambil keputusan dari
adanya premis mayor ( peraturan hukumnya ) dan premis minor
( peristiwa). Dalam memeberikan keputusan, hakim perlu
memperhatikan factor yang memberikan factor yang seharusnya
diterapkan secara proposional yaitu keadilan ( grechtigkeit ), kepastian
hukumnya ( rechtssicherheit ), dan
kemanfaatanya ( zweckmassingkeit ).Gr. Van der Brught dan J.D.C
Wilkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seoprang
hakim dalam menyelesaikan kasus atau peristiwa, yaitu :
a. Meletakan kasus dalam peta ( memetakan Kasus ) atau
memeparkan kasus dalam sebuah ihtiar (Peta),artinya
memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus
( mensekematisasi).
b. Menrjemahkan kasus itu kedalam peristilahan yuridis
(Mengkualifikasi, Pengkualifikasian).
d. Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan –
aturan hukum itu.
e. Menerapkan aturan – aturan hukum pada kasusnya.
f. Mengevakuasi dan menimbang (mengkaji) argumen –
argumen dan penyelesaian.
g. Merumuskan formulasi penyelesaiaan.
Disamping itu dalam melaksanaakn dan memimpin jalanya proses
persidangan, pada prinsipnya majelis hakim tidak diperkenankan menunda –
nunda persidangan tersebut. Pasal 159 ayat 4 HIR atau pasal 186 ayat 4 RBg
menyebutkan : “pengunduran (penundaan) tidak boleh diberikan atas permintaan
keda belah pihak dan tidak boleh diperintahkan Pengadilaan Negeri karena
jabatanya, melainkan dalam hal yang terlambat perlu” Dalam praktik hakim
terkadang terlalu lunak sikapnya terhadap permohonaan persidangaan dari para
pihak atas kuasnya. Adapun beberapa hal yang sering menyebabkan tertundanya
sidang antara lain :
1. Tidak hadirnya para pihak atau kuasanya secara bergantian.
2. Selalu minta ditundanya sidang oleh para pihak.
3. Tidak datangnya saksi walau sudah dipangil.
Untuk mengatisipasi hal tersebut maka diperlukan peran hakim yang
aktif terutama dalam mengatasi hambatan dan tintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang cepat (Speedy Administration Of Justice). Perlu ketegasaan
hakim untuk menolak permohonaan penundaan persidangaan dari pihak, kalau
berangaapan hal itu tidak perlu. Berlarut – latutnya atau tertunda – tundanya
jalanya peradilan akan mengurangi kepercayaan masyrakaat kepada peradilaan
yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan (Justice Delayet Is
D. Kekuasaan Kehakiman Adalah Kekuasaan Negara Yang Merdeka
Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman 2009 menyebutkan bahwa yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia
Menurut Bagir Manan, kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.
Bagir Manan juga berpendapat bahwa beberapa substansi kekuasan kehakiman yang merdeka, yaitu:
(1) Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam
menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.
(2) Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin
kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat.
(3) Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim
bertindak objektif, jujur dan tidak memihak.
(4) Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan
semata-mata melalui upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri.
(5) Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur
(6) Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut
undang-undang.
Efik Yusdiansyah berpendapat bahwa tujuan dasar dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah:
(1) Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan
diantara badan-badan penyelenggara negara, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu.
(2) Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah
penyelenggara pemerntah bertindak dengan kekerasan atau tidak semena-mena dan menindas.
(3) Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai
keabsahan secara hukum tindakan pemerintahan atau suatu peraturan perundang-undangan sehingga sistem hukum dapat dijalankan ditegakkan.
(4) Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak
memihak, adil, jujur atau netral (imparsiality) dari hakim dalam memutus suatu perkara.
E. Kekuasaan Kehakiman Menegakkan Hukum Dan Keadilan
Kekuasaan kehakiman menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Substansi menegakkan hukum dan keadilan, berarti bahwa hukum dan keadilan harus ditegakkan secara bersama-sama. Hukum bermakna peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan konskuensi logis Indonesia sebagai Negara hukum. Semua tindakan warga Negara maupun penyelenggara Negara harus didasarkan atas hukum. Dengan demikian, setiap putusan hakim haruslah menegakkan hukum.
Berkaitan dengan menegakkan keadilan, tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim, misalnya sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat merupakan tujuan hukum satu-satunya.
Bismar Siregar mengatakan, “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?”
Dengan demikian, tampak bahwa tujuan hukum adalah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Namun bilamana tidak dapat mengakomodasikan ketiganya, maka keadilanlah yang harus diutamakan.
F. Kekuasaan Kehakiman Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar
1945 Demi Terselenggaranya Negara Hukum Indonesia
tersendiri sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai dasar Negara menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi semua peraturan perundang-undangan termasuk Undang-Undang Dasar. Dalam kedudukannya yang demikian, Pembukaan UUD dan Pancasila yang dikandungnya menjadistaatsfundamentalnorms atau pokok-pokok kaidah-kaidah Negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum, kecuali perubahan mau dilakukan terhadap identitas Indonesia dari aslinya yang dilahirkan pada tahun 1945.[21]
Mengingat Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar Negara Indonesia, maka seluruh kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan haruslah berdasarkan atas Pancasila, termasuk kekuasaan kehakiman.Pancasila haruslah menjiwai perilaku hakim dan putusan hukum yang diambilnya. Oleh karena itu, putusan pengadilan selalu diawali dengan ‘DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten Kota.
tujuan dari kekuasaan kehakiman adalah demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Negara hukum yang dimaksud adalah bukan Negara hukum menurut Eropa Kontinental maupun Negara hukum menurut Anglo Saxon, tetapi Negara Hukum Pancasila.
Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa elemen-elemen penting dari hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah:
(1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan.
(2) Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
Negara.
(3) Penyelesaian sengketa secara musyawara dan peradilan sebagai sarana
terakhir.
Moh. Mahfud MD lebih menekankan pada bekerjanya konsepsi Negara hukum Pancasila. Konsepsi Negara Hukum Pancasila yang lebih menekankan pentingnya penegakan keadilan dari pada penegakan hukum dalam artinya yang formal semata. Di dalam konsepsi ini ditekankan bahwa dalam perjuangan menegakkan HAM ada juga kewajiban kewajiban, seperti tidak boleh sewenang-wenang, menghormati hak orang lain, memindahkan kepentingan umum, menjaga keselamatan bangsa, menjaga moral, dan tahanan nasional.
G. Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 menjadi salah satu pertanda terjadinya sebuah
perubahan ketatanegaraan Indonesia yang terjadi karena munculnya sebuah
gerakan reformasi. Pada awalnya tidak semua kelompok masyarakat setuju
dengan adanya amandemen UUD 1945, ada kelompok masyarakat yang setuju
dan ada yang tidak setuju. Kelompok yang pro amandemen berpendapat bahwa
perkembangan yang ada dan tidak mampu mewujudkan kehidupan masyarakat
yang demokratis.
Sedangkan kelompok yang kontra berargumen bahwa mengubah atau
mengganti UUD 1945 berarti tidak memiliki rasa nasionalisme karena materi
UUD 1945 merupakan hasil penilaian dan pemahaman para founding fathers
yang matang sehingga UUD 1945 tidak perlu diotak-atik. Kelompok ini
berpendirian bahwa spirit of nationalism jauh lebih penting daripada spirit of
constitution itself. Disamping itu, kelompok yang kontra juga beralasan bahwa
UUD 1945 tidak perlu disentuh, karena secara konseptual UUD 1945 sudah
baik, yang tidak mampu adalah faktor manusianya . Akan tetapi yang terjadi
adalah dorongan untuk mengamandemen UUD 1945 jauh lebih kuat sehingga
kondisi inipun direspon oleh MPR dalam sidang tahunan 1999.
Jauh sebelum masa reformasi, sesungguhnya sudah ada gagasan untuk
mengamandemen UUD 1945 sebagaimana dikemukakan Harun Alrasyid dalam
Harian Merdeka yang terbit pada tanggal 18 Maret 1972. Pada saat itu, Harun
Alrasyid menekankan perlunya reformasi konstitusi karena dianggap kurang
sempurna dan terlalu summier, terlalu banyak masalah yang diserahkan kepada
pembuat peraturan yang lebih rendah serta tidak menjamin secara tegas hak asasi
manusia .
Pada perkembangannya muncul pula pendapat yang senada
dikemukakan pula oleh Mahfud MD yang berpendapat bahwa UUD 1945
mempunyai beberapa kelemahan yang menyebabkan pengelolaan negara tidak
dapat berjalan secara demokratis. Beberapa kelemahan itu diantaranya UUD
1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi
yang sangat besar kepada Presiden tanpa adanya mekanisme checks and
balances yang memadai, UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau
yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden, serta lebih
mengutamakan semangat penyelenggara negara daripada sistemnya sendiri .
Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan yang merupakan
kelompok yang berada dalam Tim Nasional Menuju Masyarakat Madani juga
melihat adanya lima kelemahan UUD 1945 yang menjadi penyebab
ketidakberhasilan sebagai penjaga dan dasar pelaksana prinsip-prinsip
demokrasi, negara hukum, dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,
(1) Struktur UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang
terlalu besar kepada Presiden yang tidak hanya memegang kekuasaan
pemerintahan (chief executive), tetapi juga menjalankan kekuasaan
membentuk undang-undang, disamping hak-hak konstitusional khusus
(hak prerogratif) Presiden sebagai Kepala Negara;
(2) UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antara
cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) yang akibatnya
kekuasaan Presiden semakin besar dan menguat, karena tidak cukup
mekanisme kendali dan pengimbang dari cabang-cabang kekuasaan
yang lain;
(3) UUD 1945 memuat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague) yang
membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara
berdasarkan atas konstitusi, seperti pengkaidahan dalam pasal 1 ayat
Perbedaan yang cukup signifikan dalam konsep Negara hukum
“rechtstaat” dan “The rule of law” terletak pada adanya peradilan administrasi.
Dalam konsep rechtstaat peradilan administrasi merupakan sarana yang sangat
penting dalam rangka membatasi kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara
Negara. Sedangkan dalam Negara hukum the rule of law peradilan administrasi
tidak diterapkan. Ciri yang menonjol dalam Negara hukum ini terletak pada
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Oleh karenanya ordinary
court dianggap cukup untuk mengadili perkara-perkara yang dikategorikan
sebagai pelanggaran hukum termasuk pelaggaran hukum yang dilakukan
pemerintah .
Berbicara tentang ciri Negara hukum, dalam pandangan Jimly
Ashiddiqie terdapat 13 prinsip pokok dalam negara hukum di era modern ini
yaitu supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan
kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak
memihak, peradilan tata usaha, peradilan tata negara, perlindungan HAM,
bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan
bernegara, transparansi dan kontrol sosial, serta berke-Tuhanan Yang Maha Esa .
Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan syarat
yang harus ada pada Negara yang mendeklarasikan bahwa dirinya merupakan
Negara hukum. Pernyataan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri
merupakan salah satu hasil amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 24 yang
setelah diamandemen selengkapnya berbunyi:
(1) “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
(3) Badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
Sebelum diamandemen Pasal 24 ini berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut Undang-Undang”. Pasal ini merupakan landasan bagi independensi
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Merdeka dalam arti bahwa
mahkamah agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 24 ayat 2 dalam menjalankan fungsinya terlepas dari
pengaruh pemegang kekuasaan yang lain dan mandiri dalam arti berkuasa untuk
mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari
pembagian kekuasaan Negara yang tertuang dalam UUD 1945.
Dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman UUD 1945 khususnya
Bab IX menyebutkan bahwa ada tiga lembaga negara yang termasuk dalam
lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2),
hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan
penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki
kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga
ekstra-yudisial.
Untuk menjalankan fungsinya ini Mahkamah Agung selaku pemegang
kekuasaan kehakiman dibantu oleh badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha Negara. Dengan demikian
pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur
penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), dan hanya
pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak
berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia
Dalam pandangan Baqir Manan ada beberapa tujuan yang ingin dicapai
dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini ;
(1) Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan
diantara badan-badan penyelenggara Negara, kekuasaan kehakiman
diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu;
(2) Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah
penyelenggara pemerintahan bertindak sewenang-wenang dan
menindas;
(3) Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai
keabsahan suatu peraturan perundang-undangan sehingga sistem hukum
dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana pernyataan Baqir
Manan diatas bukan hanya dimaksudkan untuk melindungi kebebasan individu,
membatasi tindakan pemerintah agar tidak melampaui undang-undang dan
menciptakan kebebasan dan kemandirian penyeleggara kekuasaan kehakiman
semata, akan tetapi hal itu juga merupakan pelaksanaan dari ketentuan UUD
yang lain, yang menjamin kebebasan individu, dan pencegahan tindakan
pemerintah yang sewenang-wenang dengan mendasarkan pada Negara hukum .
Dengan demikian pelaksanaan kebebasan kekuasaan kehakiman yang merdeka
ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan sistem yang terkandung
dalam UUD 1945 dan juga sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh dunia
internasional melalui The Universal Declaration of Human Rights.
Berangkat dari hal ini A. Mukti Arto berkesimpulan bahwa Kekuasaan
kehakiman yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah kekuasaan kehakiman yang
merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah untuk merumuskan,
mempertahankan, menegakkan dan mewujudkan rechtsidee Pancasila dan
berbangsa dan bernegara melalui penyelenggaraan kekuasaan kehakiman demi
terselenggaranya Negara hukum Indonesia untuk mewujudkan cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan 1945 .
Untuk menjabarkan dan menjalan ketentuan UUD ini pada tahun 1970
diundangkan UU. No. 10 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan kehakiman yang mengatur dan memberikan pedoman bagi
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Pasal 1 undang-undang ini menyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Meskipun pada ketentuan Pasal 1 ini menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan,
dalam prakteknya indpendensi tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Pada
masa ini independensi kekuasaan kehakiman dapat dikategorikan menjadi dua
hal; independensi normatif dan independensi empiris yang dalam prakteknya
dapat muncul beberapa bentuk independensi, pertama; secara normatif
independen dan realitanya independen. Tidak ada perbedaan antara peratuan
perundang-undangan dengan realitanya. Hal ini merupakan cita-cita negara
hukum, kedua, Secara normatif tidak independen dan realitanya juga tidak
independen. Kondisi terjadi pada saat berlakunya UU No. 19 tahun 1964 yang
dalam Pasal 19 undang-undang ini disebutkan bahwa Presiden dapat turut atau
campur tangan dalam soal-soal pengadilan dan realitanya undang-undang
tersebut dapat berjalan, dan ketiga, Secara normatif independen akan tetapi
realitanya tidak independen. Kondisi seperti ini terjadi pada masa orde baru
dengan alasan bahwa dalam peraturan perundang-undangan terutama UU. No.
10 tahun 1970 menyatakan kekuasaan kehakiman merdeka namun pada
memimpin dengan berbagai macam cara yang dilakukan. Dengan kondisi yang
demikian ini netralitas dan kemerdekaan hakim dalam menyelesaikan perkara
dipertanyakan keobjektifannyab .
Disamping itu, ketidakindependensian kekuasaan kehakiman pada saat
undang-undang No. 10 tahun 1970 ini diberlakukan juga ditunjukkan oleh
adanya fakta bahwa meskipun MA mempunyai organisasi, administrasi dan
keuangan sendiri, tetapi badan-badan peradilan yang berada di bawah MA secara
organisatoris, administratif dan finansiil ada dibawah kekuasaan masing-masing
departemen yang bersangkutan. Dalam konteks inilah kekuasaan kehakiman
dikategorikan secara normatif independen akan tetapi realitanya tidak
independen. Oleh karenanya muncul pendapat umum yang mengatakan ada tiga
fator utama penghalang kekuasaan kehakiman sebagai pelaksana kebenaran dan
keadilan, salahsatunya adalah adanya keikutsertaan pemerintah dalam urusan
adminitrasi peradilan sehingga hakim merasa selalu dalam bidikan yang akan
mempengaruhi masa depan mereka .
Secara umum jika dilihat pada jangka waktu tahun 1970-1998,
ketidakmandirian lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
disebabkan oleh beberapa faktor; struktur organisasi yang meletakkan lembaga
peradilan sebagai lembaga yang tidak otonom karena berada dibawah sebuah
departemen yang nota bene berada di bawah pemerintah, integritas hakim moral
hakim dan kebebasan untuk menjalankan profesinya, peraturan hukum yang
membatasi kreatifitas hakim, karena hakim hanya menerapkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, administrasi peradilan yang berbelit dan tidak
terdokumentasi dengan baik, kekuasaan yang berusaha mengkooptasi tugas dan
fungsi lembaga peradilan, politik yang mempengaruhi hukum. Hukum
ditentukan dan diwarnai oleh konfigurasi politik yang melahirkannya dan
Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah .
Kondisi yang demikian ini memunculkan dorongan dari berbagai
kalangan untuk melakukan perubahan demi mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan mandiri sebagai amanat dari UUD 1945. Usaha untuk
mewujudkan lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dimulai
dengan ditetapkannya TAP MPR No. X/MPR 1998 tentang Ketetapan
Kekuasaan Kehakiman Yang Bebas dan Terpisah dari Eksekutif dan melakukan
perubahan terhadap ketentuan UU. No.10 tahun 1970 dengan dikeluarkannya
UU. No. 35 tahun 1999 yang diubah dengan UU. No. 4 tahun 2004 dan terakhir
diganti dengan UU. No. 48 tahun 2009.
Berdasarkan pada UU. No. 48 tahun 2009 diletakkan sebuah kebijakan
baru dalam rangka untuk mewujudkan independensi dan kemandirian yudisial
dengan ketentuan segala urusan mengenai peradilan baik menyakut bidang
teknik yudisiil maupun bidang non teknik yudisial seperti organisasi, administasi
dan finansiil berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 21 UU. No. 48 tahun 2009: (1) Organisasi, administrasi,
dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. (2) Ketentuan mengenai
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Untuk mengakhiri makalah ini. Berdasarkan pada urain makalah diatas
dapat kita simpulkan bahwa :
a. Hakim sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia guna
terwujudnya keadilan, tanpa hukum manusia akan liar, dan tugas pokok
hakim adalah memeriksa mengadili memutus dan menyelesaikan masalh
atau perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat para pencari keadilan.
b. Kekuasaan kehakiman untuk menumbuhkan kemandirian para penyelenhara
kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kehakiman peradilan yang
berkualitas dengan meningkatkan integritas, ilmu pengetahuaan dan
pengalaman.
c. Kemandirian kekuasaaan kehakiman harus disertai dengan integritas moral,
keluhuran dan kehormatan martabat hakim karena kalau tidak maka
manipulasi dan mafi peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi
peradilan, sehinga para hakim yang menyalah gunakan jabatanya menjadi
sulit disentuh hukum.
d. Hakim mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga
berdasarkan keyakinanya yang seadil – adilnya serta memberi manfaat bagi
masyrakat sehinga dapat berfungsi sebagai pengerak masyarakat dalam
pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
A.Mukit, Arto,”Mencari Keadilan”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2001
Danang Widoyoko, et. Al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, Jakarta,2002
Friedman, Lawrence M., “Sistem Hukum Persfektif Ilmu Sosial”, Musa Media, Bandung, 2009
Mocthar, Kusumatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Fak. Hukum Universitas Pajajaran, Bina Cipta, Bandung, 1986
Munir, Fuady, “Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidak Berdayaan Hukum”, Citra Abady Bakti, Bandung, 2003
Rahardjo, Satjipto. “Sosiologi Hukum”, Muhamadiyah University Press, Surakarta, 2004
Sarwata, Kenijaksanaan Strategi Penegakan Sistem Peradilan Di Indonesia, Lemhanas, 19 Agustus 1997
Shidarta,”Karakteristik Penalaran Hokum Dalam Konteks Ke Indonesiaan”, Universitas Katolik Parayangan, 2004
Soerjono Soekamto, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983