• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM DAN KEKUASAAN HAKIM DI S U S U N OLEH : YUSRA NPM : 0852 588 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH BANDA ACEH 2013 KATA PENGANTAR - MAKALAH PENEGAKAN HUKUM DAN KEKUASAAN HAKIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM DAN KEKUASAAN HAKIM DI S U S U N OLEH : YUSRA NPM : 0852 588 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH BANDA ACEH 2013 KATA PENGANTAR - MAKALAH PENEGAKAN HUKUM DAN KEKUASAAN HAKIM"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM DAN

KEKUASAAN HAKIM

DI S

U S

U

N OLEH :

YUSRA

(2)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH

BANDA ACEH

2013

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis Dapat menyusun makalah ini tepatpada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Penegakan Hukum dan Kekuasaan Hakim

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Banda Aceh, Desember 2013

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 1

BAB II PEMBAHASAN... 2

A. Hukum Dan Kekuasaan Kehakiman... 2

B. Hakim dan penegakan keadilan ... 6

C. Tugas dan Kewajiban Hakim... 9

D. Kekuasaan Kehakiman Adalah Kekuasaan Negara Yang Merdeka. . 13

E. Kekuasaan Kehakiman Menegakkan Hukum Dan Keadilan... 15

F. Kekuasaan Kehakiman Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945 Demi Terselenggaranya Negara Hukum Indonesia... 15

G. Amandemen UUD 1945... 17

BAB IIIPENUTUP ... 26

A. Kesimpulan ... 26

B. Saran... 26

(5)
(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai makhluk Sosial (Zoon Politicon) manusia dalam berinteraksi satu

sama lain sering kali tidak dapat menghindari adanya bentrokan – bentrokan

kepentingan (Conflict Of interest) diantara mereka. Konflik yang terjadi dapat

menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan pelangaran hak dam

kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik – konflik semacam itu

tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan saran hukum untuk

menyelesaikannya. Dalam keadan seperti itulah, hukum diperlukan untuk

mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Sebagaimana ungkapan “ubi societas

ibi ius” atau dimana ada masyrakat, mak disitu perlu hukum. Eksistensi hukum

sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum

kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang / berkuasa.

Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalm mempertahankan

hak dan kewajibannya.Dalam rangka menegakan aturan – aturan hukum, maka

di negara hukum seperti Indonesia ini, diperlukan adanya suatu istitusi yang

dinamakan kekuasaan kehakiman (Judicative Power). Kekuasaan kehakiman ini

bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang –

undangan tang berlaku (Ius Constitutum)Guna terwujudnya keadilan i indonesia.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Eksistensi atau tugas kekuasaan kehakiman dalam

menegakkan hukum dan keadilan?

Meskipun dalam kenyataanta ada salah satu hukum atau kehakiman

yang menyimpang dari aturan perundang-undangan itu adalah salah satu bentuk

dari sebuah permasalahan yang sangat disayangkan oleh semua pihak yang

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Dan Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi

berlakunya peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius Constitutum).

Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia,

tanpa hukum kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang /

berkuasa. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam

mempertahankan hak dan kewajibannya.

Indonesia adalah negara hukum, sudah selayaknya menghormati dan

menjunjug tinggi prinsip – prinsip hukum, salah satunya adalah diakuinya

prinsip keadilan yang bebas yang tidak memihak. Tolak ukuran dapat dilihat

sejauh mana kemandirian badan – badan peradilan dalam menjalankan tugas dan

kewenanganya terutama dalam menegakan aturan perundang – undangan

(Hukum) dan keadilan. Maupun jaminan yuridis adanya kemerdekaan kekuasaan

kehakiman.

Kekuasaan kehakiman dalam praktek diselengarakan oleh adan – badan

peradilan Negara. Adapun tugas pokok badan peradilan negara adalah

memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara yang

diajukan oleh masyrakat pencari keadilan. Sebagai istitusi yang dibutuhkan

masyrakat, usia pengadilan sudah berbilang ribuan tahun, jauh mendahului usia

pengadilan moderen.

Urusan atau pekerjaan mengadili adalah salah satu sekian banyak fungsi

yang harus ada dan dijalankan oleh masyarakat, sebagai respon terhadap adanya

kebutuhan tertentu. Mengadili adalah pekerjaan yang dibutuhkan untuk membuat

(8)

muncul persoaln diantara para angotanya harus diselesaikan. Persoalan –

persoalan yang tidak diselesaikan akan menjadi ganguan bagi ketentraman dan

produktifitas masyrakat. Suatu istitusi mesti dimunculkan untuk menjalankan

fungsi tersebut dan ia adalah Pengadilan.

Kemudia secara khusus, kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU

No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU No. 4

tahun 2004 merupakan undang – undang yang organik. Sekaligus sebagai induk

dan kerangka umum yang meletakan asas – asas, landasan, dan pedoman bagi

seluruh lingkungan peradilan di Indonesia. Pasal 10 ayat (1,2) UU No. 4 tahun

2004, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Makamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan sebuah

Makamah Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada dibawah Makamah

Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :

a. Peradilan Umum

b. Peradilan Agama

c. Peradilan Militer

d. Peradilan Tata Usaha Negara

Dalam menyelengarakan kekuasaan kehakiman tersebut, Makamah

Agung bekedudukan sebagai pengadilan negara tertinggi yang membawai semua

lingkungan peradilan di Indonesia, baik lingkungan peradilan umum, peradilan

agama, peradilan militer, maupun peradilan tata uasah negara.

Mengenai kedudukan dan wewenang masing – masing lingkungan

peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa perundang –

undangan, yakni :

a. UU No. 14 tahun 1985 tentang Makamah Agung dan beberapa

(9)

b. UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan beberapa

perubahanya dalam UU No. 8 tahun 2004

c. UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara dan beberapa

perubahannya dalam UU No. 9 tahun 2004

d. UU No. 7 tahun 1986 tentang peradilan agama dan beberapa

perubahannya dalam UU No. 3 tahun 2006

e. UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer

f. UU No. 24 tahun 2003 tentang Makamah Kostitusi

g. UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial

Sasaran penyelengaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk

menumbuhkan kemandirian para penyelengara kekuasaan kehakiman dalam

rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para penyelengara

dilakukan dengan cara meningkatkan integritas pengetahuan dan kemampuan.

Sedang peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kimerja para

penyelengara peradilan tersebut.

Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan persyaratan penting

dalam melakukan kegiatan pememuan hukum oleh hakim di pengadilan.

Kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman berarti tidak adanya

intervensi dari pihak – pihak extra judicial lainya, sehinga dapat mendukung

terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas –

tugasnya di bidang Judisial, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan

sengketa yang diajukan oleh pihak – pihak yang berperkara. Lebih lanjut kondisi

ini diharapkan dapat menciptakan putusan hakim yang berkualitas, yang

mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Salah seorang hakim merasa bahwa kasus – kasus kriminal tidak perlu

menyita perhatianya tetapi ia merasa perlu memeliti setiap detail undang –

(10)

untuk berusaha mengikuti “hukum.”[6] secara analitis, apa yang terjadi pada

para hakim itu berlangsung melalui dua tahap. Pilihan pertamanya adalah apakah

hendak mengikuti “Hukum” atau tidak. Sikap – sikap, nilai, dan konteks sosial

menentukan pilihan ini. Pilihan kedua adalah keputusan aktual. Bagaimanapun

juga, bagi hakim ini akan berarti bahwa ia selalu “Terikat” oleh huku.

Pegadilan juga dapat digantungkan pada tingkat perlapisan sosial dalam

masyrakat, semakin kompleks perlapisaan sosial dalam masyrakat semakin besar

pula perbedaan nilai – nilai dan kepentingan antara lapisan dalam masyrakat.

Pengadilan disitu sudah menjadi istitusi untuk melindungi kepentingan golongan

yang dominan dengan memaksakan berlakunya berlakunya mempertahankan

kedudukan mereka. Sebaliknya dalam masyrakat yang lebih sederhana, yaitu

dengan tingkat yang perlapisan sosial yang rendah maka kesepakatan nilai – nilai

relatif lebih mudah untuk dicapai.

Meskipun demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai

dengan integritas moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena

kalau tidak maka manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung dibawah

independensi peradilan, sehiga para hakim yang menyalah gunakan jabatan

menjadi sulit tersentuh hukum. Praktek mafia peradilan terutama “Judicial

corruption” menjadi semakin sulit diberantas, jika tidak para “hakim Nakal”

berlindung pada asas kemandirian atau indenpendensi kekuasaan kehakiman

yang diletakan tidak pada tempatnya. Pada pasal 1 UU No. 4 tahun 2004

disebutkan bahwa kebebasaan dalam melaksanakan wewenang judisial bersifat

tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan hukum keadilan

berdasarkan pancasila, sehinga putusanya mencerminkan rasa keadialan rakyat

(11)

B. Hakim dan penegakan keadilan

Hakim merupakan salah satu angota dari Catur Wangsa Penegak

Hukum di Indonesia. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok

dibidang Juridisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan, dan

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadnya. Dengan tugas seperti itu,

dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional

melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karen itu keberadaanya sangat

penting dan diterima dalam menegakkan hukum dan keadilan melalaui putusan –

putusanya.

Para pencari keadilan (justiciablellen) tentu mendambakan perkara –

perkara yang diajukan kepengadilan dapat diputus oleh hakim – hakim yang

propesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehinga dapat melahirkan

putusan – putusan tang tidak saja mengandung legal justice, tetapi juga

berdimensikan moral justicedan social justice.

Akan tetapi dalam parakteknya sering kali dijumpai para pencari

keadilan merasa tidak puas dan kecewa terhadap kinerja hakim yang diangap

tidak bersikap mandiri dan tidak profesional. Bayangkan intervensi dan tekanan

pihak luar terhadap hakim, terkadang membuat kinerja hakim tidak lagi optimal,

atu bahkan memilih bersikap oprtunis. Tidak semua hakim dapat mengatakan

yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Kondisi ini

memeunculkan “Mafia Peradilan” yang menghalalkan segala cara seperti jual

beli perkara, yang semakin menambah coreng moreng dunia peradilan.

Putusan – putusan yang bersifat terkadang kontroversial salah satu

faktor penyebab adalah adanya korupsi peradilan (judicial corruption), yang

lebih populer disebut dengan mafia peradilan, yaitu adanya kospirasi dan

penyalahgunaan wewenag diantara aparat keadilan untuk mempermainkan

(12)

Memang tiadak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena

idealnya putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi tiga unsur yaitu,

keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan

(Zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut semestinya oleh hakim harus

dipertimbangkan dan diterapkan secara proposional sehinga pada giliranya dapat

dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari

keadilan.

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hakim dalam

memeriksa dam memutuskan perkara, bebas dari campur tangan masyrakat,

ekskutif, maupun legislatif. Dengan demikian kebebasan yang dimilikinya itu

diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasrkan hukum yang berlaku

dan juga berdasrkan keyakinannyayang seadil – adilnya serta memberi manfaat

bagi masyrakat. Dengan demikian, hukum dan badan – badan pengadilan akan

dapat berfungsi sebagai penegak masyrakat dalam pembangunan hukum dan

pembinaan tertib hukum.

Antara unsur keadilan dengan kepastian hukum yang biasa saja saling

bertentangan. Berikut ini dua kasus yang sangat relevan untuk mengambarkan

adanya kemungkinan benturan antara aspek keadilan dan kepastian hukumyaitu

dalam kasus “Kedung Ombo”, tentang sengketa ganti rugi pembebasaan tanah

yang akan digunakan sebagai proyek waduk. Dan kasus “Sengketa Pilkada

Depok”, tentang penghitungan suara yang terjadi adanya pengelembungan suara

dari salah satu pihak partai politik.

Paparan dua kasus diatas, baik kasus “Kedung Ombo” maupun

“Sengketa Pilkada Depok” sangat relevan mengambarkan adanya benturan –

benturan antara aspek kepastian hukum dengan keadilan. Dalam berbagai ajaran

Doktrin ajaran hukum dari para ahli hukum dan ajaran islam sendiri nampaknya

(13)

hukum yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusuma dalam bukunya

“pememuan hukum sebuah pengantar” sebagai berikut:

“Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusa secara

proposional. Akan tetapi didalam prakteknya jarang terdapat putusan

yang mengandung tiga unsur tersebut diatas secra proposional. Kalau

dalam pilihan putusa sampai terjadi konflik antara keadilan dan

kepastian hukum serta kemanfaatan maka keadilanyalah yang harus

didahulukan”.

Untuk itu dalam pangung penegakan hukum di Indonesia, dibutuhkan

kehadiranya pada para penegak hukum yang bervisi keadilan, dan penguasa yang

bersikap adil, sebagaimana dalam cita hukum tradisional bangsa Indonesia

diiastilahkan dengan “Ratu Adil” seperti yang di impikan palto dengan konsep

“Raja yang berfilsafat” (Filisofher King) ribuan tahun yang silam.

Makamah Agung dalam intruksinya No. KMA/015/INST/VI/1998

tangal 1 Juni 1998 mengintruksikan agar para hakim menetapkan

profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas, dengan

menghasiklan putusan hakim yang eksekutabel, berisikan ethos

(integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama),filosofis (berintikan rasa

keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan nilai tata budaya yang

berlaku dalam masyrakat), serta logos (dapat diterima akal sehat)demi

terciptanya kemandirian para penyelengara kekuasaan kehakiman.

Berbagai faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam

melaksanakan tugas dan kewenanganya sesungguhnya sangat kompleks. Namun

demikian, pada prinsifnya faktor – faktor yang mempengaruhi tersebut dapat

(14)

Internal adalah faktor yang muncul dari dalam diri hakim sendiri. Jadi faktor

internal berkaitan dengan kualitas SDM hakimnya, yang dapat bermula dari cara

rekruitmennya yang tidak objektif, integritas kurang, tingkat pendidikan/

keahlian dalam kesejahteraah yang kurang memadai. Sedang faktor eksternal

adalahfaktor yang datang dari luar diri hakim terutama berkaitan dengan sistem

peradilan atau sistem penegakan hukumnya yang kurang mendukung kinerja

hakim. Dalam hal ini dapat disebabkan karena masalah instrumen hukumnya

(perundang – undanganya), ada intervensi dan tekanan dari pihak luar, tingkat

kesadaran hukum, sarana dan prasarana, sistem birokrasi/pemerintahanya dan

lain – lain. Dengan demikian kemandirian hakim berkorelasi positif dengan

penegakan supremasi hukum itu sendiri.

C. Tugas dan Kewajiban Hakim

Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan

kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut,

hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibanya sebagaimana telah

diatur dalam perundang – undangan. Setelah memahami tugas dan

kewajibannya, selanjutnya hakin harus berupaya secara propesional dalam

menjalankan dan menyelesaikan pekerjaanya.

Hakikatnya tugas pokok hakim adalah, menerima, memeriksa,

mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan

kepadanya. Meskipun tugas dan kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut,

yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tugas hakim

secara normatif dan tugas hakim secara konkret dalam mengadili suatu perkara.

Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan

(15)

 Mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang ( pasal 5

ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 ).

 Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras – kerasnya

mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan

yang sederhana, cepat, dan biyaya ringan ( pasal 5 ayat 2 ).

 Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang

dijatuhkan dengan dalih bahwa hokum tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 14 ayat 1 ).

 Memeberi keterangan, pertimbngan dan nasehat – nasehat tentang

soal--soal hokum kepada lembaga Negara lainya apabila diminta ( pasal 25).

 Hakim wajib mengali, memngikuti dan memehani nilai – nilai hokum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyrakat ( pasal 28 ayat 1 ).

Diasmping itu tugas hakim secara normative sebagaimana ditentukan

dalam perundang – undangan, hakim juga mempunyai tugas – tugas secara

kongret dalam memeriksa dan mengadli suatu perkara melalui tiga tindakan

secara bertahap, yaitu :

1. Mengkonstatir ( mengkonstatasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan

peristiwa konret. Hakim mengakui atau membenarkan telah terjadinya

peristiwa yang telah dijatuhkan para pihak dimuka persidangan.

Syaratnya dalah peristiwa konret itu harus dibuktikan terlebih dahulu,

tanpa pembuktian hakim yidak boleh menyatakn suatu peristiwa konret

itu bener – benar terjadi. Jadi mengkostatir berarti menetapkan

peristiwa konret dengan membuktikan peristiwa atau mengangap atau

terbuktinya peristiwa tersebut.

2. Mengkualifisir ( mengkualifikasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan

(16)

benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana seperti

apa. Dengan kata lain menkualifisir adalah menemukan hukumnya

terhadap peristiwa yang telah dikostatir dengan jalan menerapkan

peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Mengualifikasi dilakukan

dengan cara mengarahkan peristiwanya kepada hukum atau undang –

undangnya, agar aturan hukum atau perundang – undangan tersebut

dapat diterapkan pada peristiwanya.. sebaliknya undang – undangnya

juga harus disesuaikan dengan peristiwanya agar undang – undang

tersebut dapat mencakup atau meliputi peristiwanya.

3. Mengkostituir (mengkostitusi) atau memeberikan kostitusinya, yaitu

hakim menetapkan hukumnya dan memberikan keadilan kepada para

pihak yang bersangkutan. Disini hakim mengambil keputusan dari

adanya premis mayor ( peraturan hukumnya ) dan premis minor

( peristiwa). Dalam memeberikan keputusan, hakim perlu

memperhatikan factor yang memberikan factor yang seharusnya

diterapkan secara proposional yaitu keadilan ( grechtigkeit ), kepastian

hukumnya ( rechtssicherheit ), dan

kemanfaatanya ( zweckmassingkeit ).Gr. Van der Brught dan J.D.C

Wilkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seoprang

hakim dalam menyelesaikan kasus atau peristiwa, yaitu :

a. Meletakan kasus dalam peta ( memetakan Kasus ) atau

memeparkan kasus dalam sebuah ihtiar (Peta),artinya

memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus

( mensekematisasi).

b. Menrjemahkan kasus itu kedalam peristilahan yuridis

(Mengkualifikasi, Pengkualifikasian).

(17)

d. Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan –

aturan hukum itu.

e. Menerapkan aturan – aturan hukum pada kasusnya.

f. Mengevakuasi dan menimbang (mengkaji) argumen –

argumen dan penyelesaian.

g. Merumuskan formulasi penyelesaiaan.

Disamping itu dalam melaksanaakn dan memimpin jalanya proses

persidangan, pada prinsipnya majelis hakim tidak diperkenankan menunda –

nunda persidangan tersebut. Pasal 159 ayat 4 HIR atau pasal 186 ayat 4 RBg

menyebutkan : “pengunduran (penundaan) tidak boleh diberikan atas permintaan

keda belah pihak dan tidak boleh diperintahkan Pengadilaan Negeri karena

jabatanya, melainkan dalam hal yang terlambat perlu” Dalam praktik hakim

terkadang terlalu lunak sikapnya terhadap permohonaan persidangaan dari para

pihak atas kuasnya. Adapun beberapa hal yang sering menyebabkan tertundanya

sidang antara lain :

1. Tidak hadirnya para pihak atau kuasanya secara bergantian.

2. Selalu minta ditundanya sidang oleh para pihak.

3. Tidak datangnya saksi walau sudah dipangil.

Untuk mengatisipasi hal tersebut maka diperlukan peran hakim yang

aktif terutama dalam mengatasi hambatan dan tintangan untuk dapat tercapainya

peradilan yang cepat (Speedy Administration Of Justice). Perlu ketegasaan

hakim untuk menolak permohonaan penundaan persidangaan dari pihak, kalau

berangaapan hal itu tidak perlu. Berlarut – latutnya atau tertunda – tundanya

jalanya peradilan akan mengurangi kepercayaan masyrakaat kepada peradilaan

yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan (Justice Delayet Is

(18)

D. Kekuasaan Kehakiman Adalah Kekuasaan Negara Yang Merdeka

Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman 2009 menyebutkan bahwa yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia

Menurut Bagir Manan, kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.

Bagir Manan juga berpendapat bahwa beberapa substansi kekuasan kehakiman yang merdeka, yaitu:

(1) Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam

menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.

(2) Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin

kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat.

(3) Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim

bertindak objektif, jujur dan tidak memihak.

(4) Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan

semata-mata melalui upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri.

(5) Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur

(19)

(6) Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut

undang-undang.

Efik Yusdiansyah berpendapat bahwa tujuan dasar dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah:

(1) Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan

diantara badan-badan penyelenggara negara, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu.

(2) Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah

penyelenggara pemerntah bertindak dengan kekerasan atau tidak semena-mena dan menindas.

(3) Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai

keabsahan secara hukum tindakan pemerintahan atau suatu peraturan perundang-undangan sehingga sistem hukum dapat dijalankan ditegakkan.

(4) Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak

memihak, adil, jujur atau netral (imparsiality) dari hakim dalam memutus suatu perkara.

(20)

E. Kekuasaan Kehakiman Menegakkan Hukum Dan Keadilan

Kekuasaan kehakiman menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Substansi menegakkan hukum dan keadilan, berarti bahwa hukum dan keadilan harus ditegakkan secara bersama-sama. Hukum bermakna peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan konskuensi logis Indonesia sebagai Negara hukum. Semua tindakan warga Negara maupun penyelenggara Negara harus didasarkan atas hukum. Dengan demikian, setiap putusan hakim haruslah menegakkan hukum.

Berkaitan dengan menegakkan keadilan, tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim, misalnya sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat merupakan tujuan hukum satu-satunya.

Bismar Siregar mengatakan, “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?”

Dengan demikian, tampak bahwa tujuan hukum adalah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Namun bilamana tidak dapat mengakomodasikan ketiganya, maka keadilanlah yang harus diutamakan.

F. Kekuasaan Kehakiman Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar

1945 Demi Terselenggaranya Negara Hukum Indonesia

(21)

tersendiri sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai dasar Negara menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi semua peraturan perundang-undangan termasuk Undang-Undang Dasar. Dalam kedudukannya yang demikian, Pembukaan UUD dan Pancasila yang dikandungnya menjadistaatsfundamentalnorms atau pokok-pokok kaidah-kaidah Negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum, kecuali perubahan mau dilakukan terhadap identitas Indonesia dari aslinya yang dilahirkan pada tahun 1945.[21]

Mengingat Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar Negara Indonesia, maka seluruh kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan haruslah berdasarkan atas Pancasila, termasuk kekuasaan kehakiman.Pancasila haruslah menjiwai perilaku hakim dan putusan hukum yang diambilnya. Oleh karena itu, putusan pengadilan selalu diawali dengan ‘DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten Kota.

(22)

tujuan dari kekuasaan kehakiman adalah demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Negara hukum yang dimaksud adalah bukan Negara hukum menurut Eropa Kontinental maupun Negara hukum menurut Anglo Saxon, tetapi Negara Hukum Pancasila.

Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa elemen-elemen penting dari hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah:

(1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas

kerukunan.

(2) Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan

Negara.

(3) Penyelesaian sengketa secara musyawara dan peradilan sebagai sarana

terakhir.

Moh. Mahfud MD lebih menekankan pada bekerjanya konsepsi Negara hukum Pancasila. Konsepsi Negara Hukum Pancasila yang lebih menekankan pentingnya penegakan keadilan dari pada penegakan hukum dalam artinya yang formal semata. Di dalam konsepsi ini ditekankan bahwa dalam perjuangan menegakkan HAM ada juga kewajiban kewajiban, seperti tidak boleh sewenang-wenang, menghormati hak orang lain, memindahkan kepentingan umum, menjaga keselamatan bangsa, menjaga moral, dan tahanan nasional.

G. Amandemen UUD 1945

Amandemen UUD 1945 menjadi salah satu pertanda terjadinya sebuah

perubahan ketatanegaraan Indonesia yang terjadi karena munculnya sebuah

gerakan reformasi. Pada awalnya tidak semua kelompok masyarakat setuju

dengan adanya amandemen UUD 1945, ada kelompok masyarakat yang setuju

dan ada yang tidak setuju. Kelompok yang pro amandemen berpendapat bahwa

(23)

perkembangan yang ada dan tidak mampu mewujudkan kehidupan masyarakat

yang demokratis.

Sedangkan kelompok yang kontra berargumen bahwa mengubah atau

mengganti UUD 1945 berarti tidak memiliki rasa nasionalisme karena materi

UUD 1945 merupakan hasil penilaian dan pemahaman para founding fathers

yang matang sehingga UUD 1945 tidak perlu diotak-atik. Kelompok ini

berpendirian bahwa spirit of nationalism jauh lebih penting daripada spirit of

constitution itself. Disamping itu, kelompok yang kontra juga beralasan bahwa

UUD 1945 tidak perlu disentuh, karena secara konseptual UUD 1945 sudah

baik, yang tidak mampu adalah faktor manusianya . Akan tetapi yang terjadi

adalah dorongan untuk mengamandemen UUD 1945 jauh lebih kuat sehingga

kondisi inipun direspon oleh MPR dalam sidang tahunan 1999.

Jauh sebelum masa reformasi, sesungguhnya sudah ada gagasan untuk

mengamandemen UUD 1945 sebagaimana dikemukakan Harun Alrasyid dalam

Harian Merdeka yang terbit pada tanggal 18 Maret 1972. Pada saat itu, Harun

Alrasyid menekankan perlunya reformasi konstitusi karena dianggap kurang

sempurna dan terlalu summier, terlalu banyak masalah yang diserahkan kepada

pembuat peraturan yang lebih rendah serta tidak menjamin secara tegas hak asasi

manusia .

Pada perkembangannya muncul pula pendapat yang senada

dikemukakan pula oleh Mahfud MD yang berpendapat bahwa UUD 1945

mempunyai beberapa kelemahan yang menyebabkan pengelolaan negara tidak

dapat berjalan secara demokratis. Beberapa kelemahan itu diantaranya UUD

1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi

yang sangat besar kepada Presiden tanpa adanya mekanisme checks and

balances yang memadai, UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau

(24)

yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden, serta lebih

mengutamakan semangat penyelenggara negara daripada sistemnya sendiri .

Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan yang merupakan

kelompok yang berada dalam Tim Nasional Menuju Masyarakat Madani juga

melihat adanya lima kelemahan UUD 1945 yang menjadi penyebab

ketidakberhasilan sebagai penjaga dan dasar pelaksana prinsip-prinsip

demokrasi, negara hukum, dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,

(1) Struktur UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang

terlalu besar kepada Presiden yang tidak hanya memegang kekuasaan

pemerintahan (chief executive), tetapi juga menjalankan kekuasaan

membentuk undang-undang, disamping hak-hak konstitusional khusus

(hak prerogratif) Presiden sebagai Kepala Negara;

(2) UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antara

cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) yang akibatnya

kekuasaan Presiden semakin besar dan menguat, karena tidak cukup

mekanisme kendali dan pengimbang dari cabang-cabang kekuasaan

yang lain;

(3) UUD 1945 memuat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague) yang

membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara

berdasarkan atas konstitusi, seperti pengkaidahan dalam pasal 1 ayat

Perbedaan yang cukup signifikan dalam konsep Negara hukum

“rechtstaat” dan “The rule of law” terletak pada adanya peradilan administrasi.

Dalam konsep rechtstaat peradilan administrasi merupakan sarana yang sangat

penting dalam rangka membatasi kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara

Negara. Sedangkan dalam Negara hukum the rule of law peradilan administrasi

tidak diterapkan. Ciri yang menonjol dalam Negara hukum ini terletak pada

(25)

mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Oleh karenanya ordinary

court dianggap cukup untuk mengadili perkara-perkara yang dikategorikan

sebagai pelanggaran hukum termasuk pelaggaran hukum yang dilakukan

pemerintah .

Berbicara tentang ciri Negara hukum, dalam pandangan Jimly

Ashiddiqie terdapat 13 prinsip pokok dalam negara hukum di era modern ini

yaitu supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan

kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak

memihak, peradilan tata usaha, peradilan tata negara, perlindungan HAM,

bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan

bernegara, transparansi dan kontrol sosial, serta berke-Tuhanan Yang Maha Esa .

Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan syarat

yang harus ada pada Negara yang mendeklarasikan bahwa dirinya merupakan

Negara hukum. Pernyataan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri

merupakan salah satu hasil amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 24 yang

setelah diamandemen selengkapnya berbunyi:

(1) “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

(3) Badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

(26)

Sebelum diamandemen Pasal 24 ini berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman

menurut Undang-Undang”. Pasal ini merupakan landasan bagi independensi

kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Merdeka dalam arti bahwa

mahkamah agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 24 ayat 2 dalam menjalankan fungsinya terlepas dari

pengaruh pemegang kekuasaan yang lain dan mandiri dalam arti berkuasa untuk

mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari

pembagian kekuasaan Negara yang tertuang dalam UUD 1945.

Dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman UUD 1945 khususnya

Bab IX menyebutkan bahwa ada tiga lembaga negara yang termasuk dalam

lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah

Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2),

hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan

penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki

kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga

ekstra-yudisial.

Untuk menjalankan fungsinya ini Mahkamah Agung selaku pemegang

kekuasaan kehakiman dibantu oleh badan peradilan yang berada di bawahnya

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha Negara. Dengan demikian

pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur

penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), dan hanya

pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak

berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia

(27)

Dalam pandangan Baqir Manan ada beberapa tujuan yang ingin dicapai

dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini ;

(1) Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan

diantara badan-badan penyelenggara Negara, kekuasaan kehakiman

diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu;

(2) Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah

penyelenggara pemerintahan bertindak sewenang-wenang dan

menindas;

(3) Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai

keabsahan suatu peraturan perundang-undangan sehingga sistem hukum

dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana pernyataan Baqir

Manan diatas bukan hanya dimaksudkan untuk melindungi kebebasan individu,

membatasi tindakan pemerintah agar tidak melampaui undang-undang dan

menciptakan kebebasan dan kemandirian penyeleggara kekuasaan kehakiman

semata, akan tetapi hal itu juga merupakan pelaksanaan dari ketentuan UUD

yang lain, yang menjamin kebebasan individu, dan pencegahan tindakan

pemerintah yang sewenang-wenang dengan mendasarkan pada Negara hukum .

Dengan demikian pelaksanaan kebebasan kekuasaan kehakiman yang merdeka

ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan sistem yang terkandung

dalam UUD 1945 dan juga sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh dunia

internasional melalui The Universal Declaration of Human Rights.

Berangkat dari hal ini A. Mukti Arto berkesimpulan bahwa Kekuasaan

kehakiman yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah kekuasaan kehakiman yang

merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah untuk merumuskan,

mempertahankan, menegakkan dan mewujudkan rechtsidee Pancasila dan

(28)

berbangsa dan bernegara melalui penyelenggaraan kekuasaan kehakiman demi

terselenggaranya Negara hukum Indonesia untuk mewujudkan cita-cita

Proklamasi Kemerdekaan 1945 .

Untuk menjabarkan dan menjalan ketentuan UUD ini pada tahun 1970

diundangkan UU. No. 10 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan kehakiman yang mengatur dan memberikan pedoman bagi

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Pasal 1 undang-undang ini menyatakan

bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Meskipun pada ketentuan Pasal 1 ini menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan,

dalam prakteknya indpendensi tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Pada

masa ini independensi kekuasaan kehakiman dapat dikategorikan menjadi dua

hal; independensi normatif dan independensi empiris yang dalam prakteknya

dapat muncul beberapa bentuk independensi, pertama; secara normatif

independen dan realitanya independen. Tidak ada perbedaan antara peratuan

perundang-undangan dengan realitanya. Hal ini merupakan cita-cita negara

hukum, kedua, Secara normatif tidak independen dan realitanya juga tidak

independen. Kondisi terjadi pada saat berlakunya UU No. 19 tahun 1964 yang

dalam Pasal 19 undang-undang ini disebutkan bahwa Presiden dapat turut atau

campur tangan dalam soal-soal pengadilan dan realitanya undang-undang

tersebut dapat berjalan, dan ketiga, Secara normatif independen akan tetapi

realitanya tidak independen. Kondisi seperti ini terjadi pada masa orde baru

dengan alasan bahwa dalam peraturan perundang-undangan terutama UU. No.

10 tahun 1970 menyatakan kekuasaan kehakiman merdeka namun pada

(29)

memimpin dengan berbagai macam cara yang dilakukan. Dengan kondisi yang

demikian ini netralitas dan kemerdekaan hakim dalam menyelesaikan perkara

dipertanyakan keobjektifannyab .

Disamping itu, ketidakindependensian kekuasaan kehakiman pada saat

undang-undang No. 10 tahun 1970 ini diberlakukan juga ditunjukkan oleh

adanya fakta bahwa meskipun MA mempunyai organisasi, administrasi dan

keuangan sendiri, tetapi badan-badan peradilan yang berada di bawah MA secara

organisatoris, administratif dan finansiil ada dibawah kekuasaan masing-masing

departemen yang bersangkutan. Dalam konteks inilah kekuasaan kehakiman

dikategorikan secara normatif independen akan tetapi realitanya tidak

independen. Oleh karenanya muncul pendapat umum yang mengatakan ada tiga

fator utama penghalang kekuasaan kehakiman sebagai pelaksana kebenaran dan

keadilan, salahsatunya adalah adanya keikutsertaan pemerintah dalam urusan

adminitrasi peradilan sehingga hakim merasa selalu dalam bidikan yang akan

mempengaruhi masa depan mereka .

Secara umum jika dilihat pada jangka waktu tahun 1970-1998,

ketidakmandirian lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

disebabkan oleh beberapa faktor; struktur organisasi yang meletakkan lembaga

peradilan sebagai lembaga yang tidak otonom karena berada dibawah sebuah

departemen yang nota bene berada di bawah pemerintah, integritas hakim moral

hakim dan kebebasan untuk menjalankan profesinya, peraturan hukum yang

membatasi kreatifitas hakim, karena hakim hanya menerapkan ketentuan

peraturan perundang-undangan, administrasi peradilan yang berbelit dan tidak

terdokumentasi dengan baik, kekuasaan yang berusaha mengkooptasi tugas dan

fungsi lembaga peradilan, politik yang mempengaruhi hukum. Hukum

(30)

ditentukan dan diwarnai oleh konfigurasi politik yang melahirkannya dan

Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah .

Kondisi yang demikian ini memunculkan dorongan dari berbagai

kalangan untuk melakukan perubahan demi mewujudkan kekuasaan kehakiman

yang merdeka dan mandiri sebagai amanat dari UUD 1945. Usaha untuk

mewujudkan lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dimulai

dengan ditetapkannya TAP MPR No. X/MPR 1998 tentang Ketetapan

Kekuasaan Kehakiman Yang Bebas dan Terpisah dari Eksekutif dan melakukan

perubahan terhadap ketentuan UU. No.10 tahun 1970 dengan dikeluarkannya

UU. No. 35 tahun 1999 yang diubah dengan UU. No. 4 tahun 2004 dan terakhir

diganti dengan UU. No. 48 tahun 2009.

Berdasarkan pada UU. No. 48 tahun 2009 diletakkan sebuah kebijakan

baru dalam rangka untuk mewujudkan independensi dan kemandirian yudisial

dengan ketentuan segala urusan mengenai peradilan baik menyakut bidang

teknik yudisiil maupun bidang non teknik yudisial seperti organisasi, administasi

dan finansiil berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 21 UU. No. 48 tahun 2009: (1) Organisasi, administrasi,

dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya

berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. (2) Ketentuan mengenai

organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam

(31)

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Untuk mengakhiri makalah ini. Berdasarkan pada urain makalah diatas

dapat kita simpulkan bahwa :

a. Hakim sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia guna

terwujudnya keadilan, tanpa hukum manusia akan liar, dan tugas pokok

hakim adalah memeriksa mengadili memutus dan menyelesaikan masalh

atau perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat para pencari keadilan.

b. Kekuasaan kehakiman untuk menumbuhkan kemandirian para penyelenhara

kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kehakiman peradilan yang

berkualitas dengan meningkatkan integritas, ilmu pengetahuaan dan

pengalaman.

c. Kemandirian kekuasaaan kehakiman harus disertai dengan integritas moral,

keluhuran dan kehormatan martabat hakim karena kalau tidak maka

manipulasi dan mafi peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi

peradilan, sehinga para hakim yang menyalah gunakan jabatanya menjadi

sulit disentuh hukum.

d. Hakim mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga

berdasarkan keyakinanya yang seadil – adilnya serta memberi manfaat bagi

masyrakat sehinga dapat berfungsi sebagai pengerak masyarakat dalam

pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.

B. Saran

(32)

DAFTAR PUSTAKA

A.Mukit, Arto,”Mencari Keadilan”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2001

Danang Widoyoko, et. Al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, Jakarta,2002

Friedman, Lawrence M., “Sistem Hukum Persfektif Ilmu Sosial”, Musa Media, Bandung, 2009

Mocthar, Kusumatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Fak. Hukum Universitas Pajajaran, Bina Cipta, Bandung, 1986

Munir, Fuady, “Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidak Berdayaan Hukum”, Citra Abady Bakti, Bandung, 2003

Rahardjo, Satjipto. “Sosiologi Hukum”, Muhamadiyah University Press, Surakarta, 2004

Sarwata, Kenijaksanaan Strategi Penegakan Sistem Peradilan Di Indonesia, Lemhanas, 19 Agustus 1997

Shidarta,”Karakteristik Penalaran Hokum Dalam Konteks Ke Indonesiaan”, Universitas Katolik Parayangan, 2004

Soerjono Soekamto, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983

Referensi

Dokumen terkait

utama lainnya seperti bangunan dan konstruksi, maka akan makin besar pula pengaruhnya dalam perkembangan wilayah (Hidayat, 2011). Kemudian selanjutnya pada tahun 2012 pada

Dengan proses verifikasi peserta yang lebih kuat, diharapkan mereka yang menjadi peserta Kartu Prakerja 2021 adalah kelompok masyarakat 40 persen terbawah atau masyarakat

Ketua Rayon 13, Ketua

Konsultasi Laporan PPL Konsultasi terkait dengan Daftar nilai yang akan diserahkan kepada Ibu arini yang harus dipenuhi bagi siswa – siswi yang belum tuntas remedial selain itu

Inti dari permasalahan penelitian ini adalah PT. Salah satu penurunan kinerja karyawan adalah kurangnya kedisiplinan para karyawannya, hal ini dapat terlihat

Hal tersebut dapat dilihat dari persentase yang didapatkan pada saat uji coba pengguna dengan persentase sebesar 83,33% dan untuk persentase respons mahasiswa

Dalam rangka tertib penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro (PPKM Mikro) serta optimalisasi Pos

Pada metode aritmetik dianggap bahwa data curah hujan dari suatu tempat pengamatan dapat dipakai untuk daerah pengaliran di sekitar tempat itu dengan merata-rata