• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanah Ulayat dan Investasi Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tanah Ulayat dan Investasi Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Tanah Ulayat dan Investasi Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah

Oleh

Dr. Syafruddin Karimi

1. Pendahuluan

Ada sebagian pandangan yang menyatakan bahwa tanah ulayat adalah penghambat investasi di Sumatera Barat. Selama tanah ulayat masih dominan, selama itu pula investasi akan menghadapi hambatan. Alasan yang paling sering disebut adalah karena kepemilikan yang bersifat kolektif sehingga tidak mudah untuk berpindah kepemilikan melalui transaksi jual beli. Pandangan seperti ini sering terdengar dari kalangan bisnis, birokrat, dan kalangan perbankan. Sementara sebagian pandangan yang lain melihat keberadaan tanah ulayat sebagai katup pengaman keberlanjutan adat Minangkabau. Tanpa keberadaan status ulayat dalam kepemilikan tanah di Minangkabau, masyarakat adat sudah lama kehilangan status sosial ekonomi. Pandangan ini percaya bahwa kepemilikan ulayat atas tanah harus terus menerus dipertahankan oleh masyarakat adat yang memiliki komitmen terhadap eksistensi dan keberlanjutan adat dan budayanya. Bukanlah keberadaan tanah ulayat yang menjadi penghalang investasi, tetapi perlakuan yang tidak menghargai kepemilikan ulayatlah yang menjadi penghambat investasi.

Di Indonesia, penghargaan terhadap hak ulayat mendapat perlindungan UUD 45, UU Pokok Agraria, dan Permenag No. 5 tahun 1999. Penghargaan terhadap keberadaan tanah ulayat bukanlah keunikan Indonesia. Secara global, keberadaan tanah ulayat masyarakat adat bahkan mendapat perlindungan dari konvensi PBB sebagai indigenous people’s rights. Agaknya kenyataan itulah yang menjadi pendorong bagi masyarakat Sumatera Barat untuk sepakat kembali melaksanakan pemerintahan Nagari yang identik dengan komitmen menghargai perlindungan terhadap hak masyarakat yang diatur oleh adat salingka nagari. Hak atas tanah ulayat adalah salah satu faktor strategis yang akan terkena konsekwensi kembali ke pemerintahan nagari. Bila mengikuti idealisme yang terkandung tentang urgensi kembali kepada pemerintahan nagari, eksistensi tanah ulayat akan mendapat penghargaan yang lebih tepat sebagai konseweksinya. Karena pemerintahan nagari akan lebih memahami adat selingka nagari yang urgen untuk mendapatkan penghargaan tepat secara adat. Penghargaan yang tepat secara adat bukanlah berarti bahwa tanah ulayat mesti memiliki sertifikasi sehingga ia dengan mudah dapat dipindahkan kepemilikannya untuk kepentingan bisnis dan pembangunan ekonomi. Penghargaan yang tepat adalah memberikan nilai kelangkaannya secara ekonomis dengan kondisi di mana tanah ulayat tidak perlu mengalami perubahan kepemilikannya. Karena itu yang mesti menjadi fokus kebijakan publik adalah regulasi tentang pemanfaatan tanah ulayat yang menguntungkan semua pihak yang terlibat di dalamnya tanpa menimbulkan konsekwensi tanah ulayat menjadi lenyap sehingga generasi Minangkabau selanjutnya tidak lagi memiliki ulayat.

2. Adat Tanah Ulayat

(2)

kemenakan orang Minangkabau yang masih hidup dan yang telah mati saja, tetapi lebih penting sebagai milik anak kemenakan yang bakal lahir. Dari pandangan ini kelihatan bahwa adat Minangkabau menganut prinsip keberlanjutan dalam pemilikan sumberdaya bagi kelangsungan hidup manusia yang tidak mungkin lepas sama sekali dari tanah.

Kenyataan sekarang memperlihatkan bahwa keberadaan tanah ulayat sudah semakin berkurang. Selama ini telah berlangsung penggadaian dan penjualan tanah ulayat. Pertumbuhan ekonomi bisa menjadi penyebabnya. Investasi untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi membutuhkan tanah. Perkebunan membutuhkan tanah, perumahan membutuhkan tanah. Begitu juga dengan perluasan kota. Kosekwensinya permintaan terhadap kepemilikan tanah otomatis meningkat. Status tanah mulai berubah dari benda sosial menjadi benda komersial yang dapat diperdagangkan statusnya. Pasar komersial tanah berkembang. Harga tanah juga naik. Kenaikan harga tanah mendorong pemilik yang kelebihan tanah untuk melepaskan tanahnya guna mendapatkan sesuatu selain tanah yang dikira lebih bermanfaat. Ada kalanya pemilik tanah luas secara adat berda pada status ekonomi yang rendah, berada dalam lingkaran kemiskinan. Tanah dilihat sebagai cara mudah untuk mendapatkan uang. Dalam suasana seperti itu mudah pula lahir kesepakatan secara adat buat melepaskan tanah yang bisa saja tidak dimanfaatkan secara menguntungkan kepada pihak lain. Prosesnya bisa berawal dari penggadaian setumpak demi setumpak. Akhirnya penggadaian yang tidak mungkin lagi ditebus, karena sering didalami buat memenuhi beragam kebutuhan yang sudah semakin luas, bisa resmi dan terbuka dinyatakan untuk masuk pasar tanah. Calo tanah pun hidup untuk memfasilitasi penjualan tanah dengan mudah dan efisien. Proses ini tentu saja tidak mungkin berlangsung tanpa restu ninik mamak pemilik tanah yang butuh keberuntungan ekonomi yang lebih baik. Tentu tidak cukup bila tidak ada pemerintahan yang membuat segala sesuatu resmi menjadi pasar tanah di mana jual beli menjadi legal. Pasar tanah di mana calo tanah bercokol tidak memisahkan antara tanah ulayat dan bukan tanah ulayat. Setiap tanah yang mau dijual bisa dicarikan pembelinya. Setiap calon pembeli tanah, selalu pula mendapatkan tanah. Paling cepat bila melalui calo tanah. Pekerjaan sebagai calo tanah bisa sangat menguntungkan. Komisi biasanya timbal balik. Calo tanah yang pintar akhirnya bisa menjadi tuan tanah.

Tanah sebagai benda ekonomi memiliki kelangkaan. Harga tanah menjadi semakin jelas dan pasarnya menjadi semakin terbuka. Buat mendapatkan sebidang tanah tidak mungkin lagi melalui transaksi sosial yang tidak menguntungkan pemilik tanah, terutama tanah ulayat. Status kepemilikan tanah telah mengalami perubahan melalui mekanisme pasar tanah. Pelaku pasar tanah tidak hanya menyandang status pembeli atau penjual dan calo, tetapi juga ada ninik mamak dan aparat pemerintah yang tanpa perannya mekanisme pasar tanah tidak dapat bekerja.

Secara adat pula Bila telah terjadi perpindahan kepemilikan tanah ulayat melalui penjualan, persoalannya dilihat sebagai bukti penyimpangan dari teori dan praktek adat Minangkabau yang ingin dijaga keberlanjutannya. Karena penjualan itu hanya dimungkinkan dengan cara cara penyimpangan adat Minangkabau. Apa lagi kalau penyimpangan demikian mendapat restu dan pengakuan resmi dari penguasa. Persoalan seperti ini barangkali yang sering disebut sebagai penghalang masuknya investasi ke Sumatera Barat.

3. Membangun Kembali Pemerintahan Nagari

(3)

relevan dengan budaya Minagkabau. Nagari sebagai pemerintahan terbawah adalah ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan otonom yang asli adalah pemerintahan yang benar benar murni mampu berfungsi secara otonom dengan kekuatan rakyat lokal. Masyarakat otonom adalah mesin pemerintahan yang otonom. Kunci dari masyarakat otonom adalah partisipasi dan pro-aktifitas. Agar masyarakat lokal mampu membangun partisipasi dan pro-aktifitas yang spontan dan berkelanjutan, pemerintahan lokal harus memiliki kelembagaan yang relevan dengan adat dan budaya lokal. Secara universal di dalam Alam Minangkabau berlaku adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; syarak mangato, adat mamakai; adat dipakai baru, kain dipakai usang. Sementara di dalam nagari berlaku adat selingka nagari yang memberikan ruang bagi spesifik lokal sebuah nagari tanpa bertentangan dengan adat universal Alam Minangkabau.

Selama berlakunya pemerintahan desa, masyarakat Minangkabau merasakan adat semakin usang karena tidak terpakai di dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Kepala desa walaupun dipilih oleh masyarakat desa tetap dilihat aparatur pemerintah, bukan sebagai pemimpin yang memahami adat dan nilai lokal. Kepala pemerintahan desa sering dipahami sebagai alat pemerintahan yang lebih tinggi. Dalam praktek, kepala desa cenderung lebih responsif terhadap tuntutan pemerintahan lebih tinggi dibanding terhadap tuntutan masyarakat lokal yang memilihnya. Kepala desa lebih banyak menjalankan perintah dari atas.

Pemerintahan desa cocok dengan sistem pemerintahan sentralistis yang dianut rezim orde baru. Tetapi tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat Minangkabau yang dari awal telah memiliki adat dan budaya yang demokratis di dalam mengurus pemerintahan nagari. Karena itu, kembali ke nagari dalam perspektif masyarakat Minangkabau sebenarnya adalah kembali memakai adat dan nilai budaya yang demokratis, partisipatif, dan pro-aktif di dalam mengurus pemerintahan. Kalau hal ini terjadi di dalam praktek kembali ke nagari yang sedang hangat dewasa ini, pembangunan nagari akan kembali bangkit dengan kekuatan lokal yang dinamis, partisipatif, demokratis dan pro-aktif. Tetapi bila prakteknya tidak sejalan dengan itu, maka masyarakat adat Minangkabau akan mengalami krisis dari dalam di era keterbukaan dan otonomi.

Peraturan daerah yang mengembalikan pemerintahan nagari, kini telah berumur enam tahun. Kini adalah kesempatan unutuk menguji apakah semangat awal untuk kembali ke pemerintahan nagari mengarah kepada pencapaian cita-cita yang ingin dicapai masyarakat adat Minangkabau. Tentu yang menjadi harapan bukan sekadar ramai ramai pemilihan langsung kepala nagari dan pemekaran serta tagak pengulu. Sudah saatnya pula untuk mengkaji apakah kelembagaan nagari yang dipercaya terbengkalai selama rezim orde baru telah bangun kembali. Apakah benar bahwa kembali ke nagari telah membuat adat Minangkabau berperan sebagai basis kemajuan anak kemenakan. Seberapa kuat adat Minangkabau telah membuktikan bahwa pandangan adat nan indak lakang dek paneh, dan indak lapuak dek ujan mampu menangkis dampak negatif globalisasi. Agaknya kekuatan adat diuji dalam kemampuan memberikan perlindungan terhadap warga untuk menjaga keterpakaian adat sebagai norma kehidupan publik. Kuncinya terletak pada kemampuan adat membuktikan keberadaannya sebagai norma kehidupan publik yang lebih superior, bukan inferior, dibanding norma kehidupan publik global.

4. Aturan dan Regulasi

(4)

termuat di dalam setiap peraturan daerah yang ada sekarang mesti menjadi objek pengkajian secara ilmiah dalam kaitannya dengan pemberdayaan dan pembangunan daya saing pelaku ekonomi lokal Sumatera Barat. Bila ternyata ditemukan peraturan daerah yang tidak kondusif terhadap pemberdayaan dan pembangunan daya saing pelaku ekonomi lokal, maka perda baru yang relevan mesti dibuat. Dalam kondisi demikian di mana setiap aturan dan regulasi mesti mempunyai pemihakan yang yang jelas terhadap pelaku ekonomi rakyat lokal sehingga masuknya pelaku ekonomi global ke daerah Sumatera Barat dapat dijamin tidak akan menjadi pemangsa. Setiap usaha akan tumbuh dan berkembang di bawah aturan dan regulasi yang jelas dan transparan serta dipersiapkan jauh waktu sebelum munculnya masalah potensial. Sikap di mana tumbuh di situ disiangi adalah merugikan pelaku ekonomi lokal di dalam perekonomian global.

Kepentingan elit sering mengatasnamakan kepentingan rakyat. Sering terjadi rakyat tidak tahu menahu perencanaan apa yang telah disusun pemerintah yang bakal berdampak terhadap kehidupan mereka. Mereka sering dirugikan, sedangkan kalangan elit yang memiliki akses terhadap perencanaan memiliki kesempatan untuk memberikan respon yang memperkuat posisinya. Pembelian tanah di daerah daerah proyek pembangunan yang direncanakan pemerintah sering menguntungkan posisi elit. Juga sering terjadi proyek proyek pemerintah berlokasi pada tanah tanah yang telah berada di bawah kekuasaan kalangan elit hingga merugikan negara karena harganya menjadi mahal. Sistem dan komunikasi perencanaan selama ini juga membuka kesempatan bagi kalangan yang dekat kekuasaan untuk berKKN. Karena itu perencanaan pembangunan juga perlu mengalami reformasi total agar perencanaan benar benar menampung suara rakyat secara demokratis.

Kini terlihat tendensi bahwa setiap daerah bersaing dalam menarik penanam modal dari luar sehingga cenderung pula lahir aturan dan regulasi yang kompetitif antar daerah. Kecenderungan demikian hanya akan memperkuat posisi kompetitif pelaku ekonomi global di atas pelaku ekonomi lokal yang sebenarnya mesti menjadi tuan di rumah sendiri. Penyusunan aturan dan regulasi ekonomi lokal yang komplementer antar daerah untuk memberdayakan dan melindungi pelaku ekonomi mesti pula dengan segera dipelajari secara seksama. Jangan sampai aturan dan regulasi yang dibuat pada tingkat lokal merupakan produk lobi dan kolusi dari pelaku ekonomi global dengan politisi lokal. Ini tidak mustahil akan terjadi bila kita tidak berhati-hati dalam dealing dengan pelaku ekonomi global. Pelaku ekonomi global memiliki keterampilan yang tinggi dalam melakukan lobi sedemikian rupa di seluruh penjuru dunia untuk melindungi kepentingannya di bidang ekonomi. Tambahan pula pelaku ekonomi global memiliki kekuatan pasar monopolistik di bidang finansial di mana pemerintah dan pelaku ekonomi lokal tergantung dalam pendanaan.

Pembangunan ekonomi mesti mengembangkan basis kekuatan ekonomi lokal yang kompetitif. Semua bentuk aturan, regulasi, prosedur, dan perlakuan birokrasi harus memiliki komitmen untuk tujuan itu. Birokrasi harus beroperasi sesuai dengan aturan dan regulasi yang disusun melalui proses demokratis. Protes massal dapat terjadi bila birokrat melakukan penyimpangan dari aturan yang berlaku. Protes protes menimbulkan suasana kacau dan kontra produktif. Karena itu sistem mesti menjadi terbuka, transparan, memperlakukan setiap orang sama, dan adil. Birokrat sebagai penyelenggara negara mesti mampu mengantisipasi aspirasi rakyat. Kemampuan birokrat untuk lebih pro-aktif dan sensitif terhadap keluhan rakyat akan membuat sistem stabil. Stabilitas adalah kunci untuk investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian hasrat massa untuk melakukan protes akan berkurang.

(5)

luas. Pembangunan ekonomi daerah mesti memberikan prioritas utama kepada transformasi, dan pemberdayaan ekonomi sektor tradisional yang hingga kini belum mendapat sentuhan teknologi, dan monetisasi yang mampu menaikkan posisinya dalam kancah ekonomi makro yang mengalami kemajuan. Sektor tradisional adalah safety-net bagi kehidupan ekonomi rakyat, karena ia adalah satu-satunya tempat pelarian dan bernaung bagi mayoritas rakyat yang hidup di lapisan bawah di kala krisis seperti sekarang. Setiap pelaku ekonomi yang mampu menyesuaikan posisi dengan mengembangkan sektor tradisional diperkirakan akan mampu bertahan betapapun beratnya badai krisis ekonomi menghantam. Karena itu prioritas pembangunan dan pemberdayaan sektor tradisional adalah sebuah pilihan strategis bagi upaya memperkuat posisi ekonomi lokal dalam menghadapi persaingan global. Hanya dengan strategi demikian, pelaku ekonomi lokal akan dapat menikmati kemajuan pembangunan ekonomi.

Perbaikan posisi pelaku ekonomi rakyat tidak mungkin terjadi secara alamiah bila pelaku ekonomi mayoritas yang hidup dan tumbuh di pasar lokal menghadapi persaingan sempurna. Pelaku ekonomi dalam jumlah besar berada pada lapisan bawah dikungkung oleh struktur pasar bersaing sempurna. Sementara pelaku ekonomi minoritas kecil berada pada lapisan atas memegang kekuatan pasar secara monopolistik. Kesenjangan struktur pasar sedemikian mengkondisikan pelaku ekonomi mayoritas lapisan bawah pada posisi lemah dan tidak mampu menembus ke tingkat pasar yang lebih tinggi. Karena lapisan pasar di atasnya berada dalam kekuasaan pasar monopolistik. Ketidakmampuan ini tidak hanya bersumber dari ketidakberdayaan menghadapi persaingan monopolistik dari lapisan atas, tetapi juga karena ketidakmampuan pelaku ekonomi rakyat dalam mengakumulasi modal sebagai konsekwensi persaingan sempurna. Sebaliknya amat mudah bagi pelaku ekonomi minoritas dengan kekuatan monopolistiknya untuk memasuki bagian pasar yang selama ini telah berkembang untuk menampung produk-produk yang berasal dari sektor ekonomi rakyat. Masuknya pusat pusat belanja seperti super-market adalah salah satu bentuk upaya kekuatan pasar monopolistik dalam mengembangkan sayapnya dalam menjangkau dan memanfaatkan pasar rakyat. Hampir tidak ada pusat pusat belanja yang tumbuh akhir akhir ini sebagai koalisi dari usaha ekonomi rakyat. Sayangnya tren ini sering dianggap sebagai simbol kemajuan kehidupan ekonomi lokal menuju globalisasi. Kalaupun itu dapat dianggap sebagai refleksi kemajuan pasar, tetapi kemajuan itu tidak berbasiskan pada pengembangan partisipasi potensi ekonomi rakyat. Padahal kekuatan pasarnya bersumber dari konsumen rakyat yang seyogianya tetap menghidupi sektor ekonomi rakyat. Karena itu, penatan sistem tata-niaga pada tingkat lokal mesti menjadi perhatian pembuat kebijakan. Aturan dan regulasi yang jelas dan pasti mesti dibuat guna memberdayakan dan melindungi mereka agar mampu berkembang. Aturan dan regulasi demikian harus tertuang di dalam peraturan daerah (Perda) yang dirancang khusus untuk itu. Tanpa Perda tidak mungkin menata pasar yang sedang menuju tingkat globalisasi yang semakin tinggi.

5. Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya//Pendidikan tidak dapat

THE 6TH UUM INTERNATIONAL LEGAL CONFERENCE

Pada penelitian tahun 2014 menunjukkan bahwa rumah sakit di Indonesia memproduksi limbah padat sebesar 376.089 ton/hari dan produksi limbah cair 48.985,70

merupakan kriteria yang menjamin keutuhan relasi ketika suatu relasi didekomposisi menjadi beberapa tabel. Sehingga diharapkan tidak terjadi inkonsistensi atau anomali

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh Profitabilitas yang diukur dengan Return On Asset (ROA), Leverage yang diukur dengan Debt to

Melihat apa yang terjadi, Resi Kali Jagat yang masih tertelungkup di tanah kerahkan seluruh kekuatan lalu melesat coba menangkap guci putih agar tidak.. terhempas jatuh

a) Perjalanan ke luar negara dibenarkan tertakluk kepada kecukupan geran yang telah dipohon. Hanya ketua penyelidik dan ahli sahaja yang dibenarkan bagi tujuan

To description priority quality of service attributes-attribute core in partnership between tobacco farmers with PT Alliance One Indonesia. To description priority quality