A. Latar Belakang Masalah
Masalah tanah dan rumah merupakan masalah yang senantiasa menarik
perhatian dikarenakan tanah merupakan sumber kehidupan selain air sedangkan
rumah merupakan sumber kebutuhan dasar manusia.1 Dalam kehidupan ini tidak ada
manusia yang tidak membutuhkan tanah, apalagi negara–negara yang masih agraris.
Selain itu juga tidak ada manusia yang tidak membutuhkan rumah. Oleh karena itu,
masalah pertanahan masih merupakan masalah yang utama yang masih dihadapi oleh
negara yang penghidupan ekonominya masih ditunjang dari sektor pertanian.
Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus
memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social
assettanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital assettanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting
sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.2
Konsiderasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan kewajiban
Negara mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat “...mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
1Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti di Indonesia
Termasuk Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing, (Bandung: Mandar Maju, 2013), hal. 33.
2Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang:
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perorangan
maupun gotong royong”.3
Undang-Undang Pokok Agraria telah menjamin adanya hak-hak atas tanah
yang dimiliki oleh pemilik tanah dan dengan kegiatan pendaftaran tanah Pemerintah
telah memberikan jaminan kepastian hukum atas pemilikan tanah dan rumah warga
negara, termasuk pemberian berbagai fasilitas kemudahan dalam pengurusan hak atas
tanahnya, telah juga memberikan landasan bagi setiap kegiatan pembangunan di
bidang perumahan dan pemukiman yang berkepastian hukum. Dalam hal pengelolaan
dan pengendaliannya juga mendapat campur tangan dari Pemerintah sehingga dapat
menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Dalam rangka peningkatan harkat dan martabat kehidupan warga negara dan
keluarganya, maka dalam pemilikan rumah juga harus didukung oleh sarana dan
prasarana yang mendukung ketertiban keamanan dan kenyamanan, tidak hanya
keamanan fisik tetapi dikaitkan dengan keamanan dalam penguasaan dan penggunaan
tanah dan rumah berupa pemberian jaminan kepastian hukum dalam pemilikan dan
pemanfaatan rumah tersebut. Semua itu tidak lepas dari tugas dan peran negara dalam
rangka mensejahterakan rakyat.
Pengakuan hak atas sesuatu hal oleh seseorang atau masyarakat haruslah
didasarkan pada bukti kepemilikan yang sah dan kuat, salah satunya adalah hak atas
3
tanah dan rumah. Tanpa bukti hak tertulis, maka seseorang atau masyarakat tidak
dapat serta-merta membuat pernyataan atas hak kepemilikan tersebut. Sebuah bukti
hak tertulis merupakan hal yang sangat diprioritaskan kedudukannya didalam lingkup
hukum perdata. Karena hak atas tanah dan rumah, termasuk didalam ranah lingkup
hukum perdata, maka bukti hak atas tanah dan rumah adalah sesuatu yang mutlak
ada. Dengan telah diberlakukannya Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor
5 Tahun 1960, masyarakat dapat mengenal beberapa jenis kepemilikan hak atas
tanah, diantaranya adalah hak menguasai dari negara, hak ulayat dari masyarakat
adat/komunitas adat dan hak-hak perseorangan (orang dan badan hukum).
Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960,
maka sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA diterbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 yaitu Pendaftaran Tanah dengan sistem Rechts-Cadaster, bukan Fiscale-Cadaster jadi tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hukum.4 Menurut Budi Harsono, menyebutkan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah
menghendaki adanya:5
1. Peraturan hukum pertanahan yang tertulis yang dilaksanakan dengan baik.
2. Diselenggarakannya pendaftaran tanah yang efektif dan efisien.
Pemerintah melakukan kegiatan pendaftaran tanah6dengan sistem yang sudah
melembaga sebagaimana yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran selama ini,
4
Affan Mukti,Pokok-Pokok Bahasan Hukum Agraria, (Medan; USUpress, 2006), hal. 51.
5
Budi Harsono,Land Registration in Indonesia Paper Law Asia, (Jakarta: Conference), hal. 1.
6 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
mulai dari permohonan seorang atau badan, diproses sampai dikeluarkan bukti
haknya (sertipikat) dan dipelihara data pendaftarannya dalam buku tanah.7 Sertipikat
merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis, sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur
dan buku tanah hak yang bersangkutan, artinya bahwa hukum hanya memberikan
jaminan atas bukti hak kepemilikan tersebut kepada seseorang, dan bukti ini tidak
satu-satunya sebagai bukti, hanya sebagai alat bukti yang kuat saja.8
Moch. Isnaini mengemukakan bahwa “sertipikat hak atas tanah bukan
merupakan satu-satunya alat bukti yang bersifat mutlak, justru sebaliknya baru
merupakan alat bukti awal yang setiap saat dapat digugurkan pihak lain yang terbukti
memang lebih berwenang”.9
Salah satu bukti kepemilikan lain adalah Girik yang sebenarnya merupakan
tanda bukti pembayaran pajak tanah sebelum berlakunya UUPA jo Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Girik tersebut dapat
disertakan dalam proses administrasi Pendaftaran Tanah. Girik bukan merupakan
tanda bukti kepemilikan hak atas tanah, namun semata-mata hanyalah merupakan
bukti pembayaran pajak-pajak atas tanah, dengan demikian, apabila di atas bidang
tanah yang sama, terdapat klaim dari pemegang girik dengan klaim dari pemegang
surat tanda bukti hak atas tanah (sertipikat), maka pemegang sertipikat atas tanah
menurut hukum akan memiliki klaim hak kebendaan yang lebih kuat. Namun
7Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis,Hukum Pendaftaran Tanah,(Bandung:
CV. Mandar Maju, 2010), hal. 104.
8Ibid, hal. 112
9Moch. Isnaini, Benda Terdaftar Dalam Konstelasi Hukum Indonesia, Jurnal Hukum, Nomor
demikian, persoalan tidak sesederhana itu. Dalam hal proses kepemilikan surat tanda
bukti hak atas tanah melalui hal-hal yang bertentangan dengan hukum, maka akan
berpotensi untuk timbulnya permasalahan/konflik pertanahan.10
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman yang disempurnakan dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa “rumah
adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni,
sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset
bagi pemiliknya”.
Dalam konteks yuridis, dimana penyediaan perumahan oleh negara dan
pemilikannya oleh negara tidaklah cukup memadai, karena masih harus diberikan
jaminan kepastian hukum atas pemilikan rumah tersebut. Khususnya dalam menjamin
kepastian hukum dalam pemilikan rumah tersebut, maka pembangunan perumahan
atau rumah tersebut harus dilakukan di atas tanah yang dimilikinya dan dikukuhkan
dengan hak-hak atas tanah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.11
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Pemukiman mengatur bahwa pembangunan untuk rumah tunggal,
rumah deret, dan/atau rumah susun, dapat dilakukan diatas tanah:
1. Hak milik;
10
Bintatar Sinaga,Keberadaan Girik Sebagai Surat Tanah, Kompas, 24 September 1992.
11
2. Hak guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas tanah
pengelolaan; atau
3. Hak pakai di atas tanah negara.
Seiring dengan semakin langkanya tanah karena semakin banyak tanah yang
diperlukan untuk berbagai keperluan, seperti dalam pembangunan rumah sehingga
dapat menimbulkan permasalahan dimana ada pihak-pihak tertentu yang
memanfaatkan suatu tanah yang bukan miliknya untuk dibangun suatu rumah seperti
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, dimana tanah tersebut
merupakan harta pusaka tinggi seperti ditunjukkan dalam putusan Pengadilan Negeri
Pariaman, tanggal 10 Nopember 1994 Nomor: 05/PDT.G/PN.PRM, putusan
Pengadilan Tinggi Padang tanggal 5 Juni 1995 Nomor: 55/PDT.G/1995 PT.PDG, dan
sengketa tersebut berlanjut sampai proses di Mahkamah Agung dengan putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia 16 September 1997 Nomor:
2511K/PDT.G/1995.
Sebelum sengketa ini diajukan ke tingkat pengadilan sebenarnya sudah lebih
dahulu dilakukan suatu musyawarah bersama antara para pihak yaitu Haji Basyarudin
cs dengan Ibrahim cs, dalam musyawarah kekeluargaan yang dilaksanakan pada tanggal 18 Pebruari 1993 jam 14.00 wib tersebut dimana telah disepakati secara
bersama bahwa tanah yang menjadi sengketa tersebut adalah milik Haji Basyarudin
yang diperolehnya secara turun-temurun dari Marak. alam musyawarah tersebut juga
Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah tersebut berawal dari pengaduan
suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan
hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku.12Sehingga sengketa tersebut diajukan ke tingkat pengadilan.
Latar belakang masalah ini berawal dari gugatan Ibrahim sebagai
Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi I, dan Yusman sebagai
Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi II, melawan Haji Basyarudin selaku
Tergugat/Terbanding/Termohon Kasasi I dan Haji Cik Kena selaku
Tergugat/Terbanding/Termohon Kasasi II. Adapun objek perkara dalam gugatan
tersebut yaitu sebidang tanah harta pusaka tinggi. Dimana penggugat asli I adalah
mamak kepala waris dalam kaumnya dan penggugat asli II adalah anggota kaumnya.
Menurut penuturan penggugat asli I harta objek perkara tersebut merupakan
sebahagian dari harta pusaka tinggi kaum para penggugat asli yang diwarisi dari ninik
penggugat asli bernama Tirajab.
Adapun asal mula pemberian tanah pusaka tinggi tersebut berdasarkan surat
penetapan tanggal 2 Oktober 1896 ninik penggugat asli Tirajab, suaminya Karim
suku Mandahiling dan anaknya Kamisah telah menerima pemberian dari si Gadungcs
suku Piliang, sebidang tanah ukuran panjang 63 depa besar, lebar 39 depa besar dan
diatasnya ada batang rambia, kelapa, dimana tanah tersebut sebahagian dari tanah
12
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Mandar Maju, ,
pemberian kepada Tirajab diatasnya ada 69 batang pohon kelapa diantaranya 30
batang masih menghasilkan, 3 batang disambar petir dan 36 telah mati. Hasil kelapa ±
300 buah sekali panen dan setahun 4 kali panen. Pemberian tanah tersebut sesuai
dengan surat penetapan Gadung Cs adalah untuk selama-lamanya turun temurun sampai ke cucu dan waris dari Tirajab, dan para penggugat asli adalah waris dari
Tirajab. Dimana yang memberi tanah objek perkara tersebut adalah kaum suku
piliang yang terdiri dari 12 orang laki-laki dan perempuan seperti dalam gugatan.
Anggota kaum para penggugat asli banyak yang merantau, yang tinggal hanya
seorang perempuan yang sudah tua yaitu Samah yang diduga menderita lupa ingatan,
yang berakibat tidak dapat berfungsi sebagai mamak dalam mengurus kepentingan
kaum, keadaan tersebut menimbulkan niat bagi Tamin salah seorang pemberi, ingin
menguasai kembali harta tersebut dan secara langsung dan tanpa hak menguasai
sebahagian harta objek perkara. Dengan demikian Tamin telah menguasai tanah
tersebut dengan cara yang melanggar hukum.
Tamin dipenjara karena suatu tindak pidana pemerkosaan, dan anggota kaum
tidak ada yang mengurusnya kecuali Marak yaitu mamak para tergugat asli. Marak
dengan maksud tertentu juga menguasai harta objek perkara yang secara melawan
hak telah dikuasai Tamin. Akhirnya setelah Tamin keluar dari penjara tahun 1957
penguasaannya kepada Marak, karena itu perbuatan Marak adalah perbuatan
melanggar hukum. Nenek moyang Marak adalah orang pendatang berasal dari
kenagarian Pauh Kurai Taji Kecamatan Pariaman Selatan. Anggota kaum para
tulis. Harta tersebut kini dikuasai para tergugat asli selaku waris dari Marak dan
karenanya penguasaan itu tanpa hak dan melawan hukum.
Dimana diatas tanah objek perkara tersebut tumbuh pohon kelapa yang hasil
panennya 1200 buah tiap tahun yang telah diambil dan dinikmati para tergugat asli
sejak tahun 1957 atau selama 37 tahun. Para penggugat asli telah dirugikan setiap
tahun 1200 buah kelapa senilai 1200 x Rp. 200,- = Rp. 240.000,- selama 37 tahun
dengan demikian berjumlah 37 x Rp. 240.000,- = Rp. 8. 880. 000,- atau sesuai
dengan taksiran pertimbangan hakim.
Karena telah ditemukannya surat tertanggal 2 Oktober 1896 , kaum para
penggugat asli mengusulkan kembalinya harta pusaka tersebut, termasuk objek
perkara adalah sebahagian dari harta pusaka para penggugat asli, karenanya wajar
sekiranya tanah objek perkara diserahkan kembali kepada para penggugat asli. Para
penggugat asli telah berusaha dengan cara baik-baik namun tidak berhasil.
Menurut keterangan dari para saksi yang dihadirkan dari pihak
tergugat/terbanding/termohon kasasi menyatakan bahwa memang benar sebenarnya
tanah tersebut adalah milik Haji Basyarudin. Tanah tersebut selama ini dikuasai oleh
Haji Basyarudin yang diterimanya secara turun temurun dari ayahnya an. Marak
kemudian setelah Marak meninggal, Haji Basyarudin meneruskan kepemilikan tanah
tersebut dengan membayar Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah tersebut.
Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah yang dilakukan oleh Haji
Basyarudin selama ini hanya merupakan Girik yaitu bukti pembayaran pajak-pajak
dengan demikian, apabila di atas bidang tanah yang sama, terdapat klaim dari
pemegang girik dengan klaim dari pemegang surat tanda bukti hak atas tanah
(sertipikat), maka pemegang sertipikat atas tanah menurut hukum akan memiliki
klaim hak kebendaan yang lebih kuat. Hal ini yang sering menimbulkan
permasalahan dimana diatas tanah yang berstatus girik dapat dikuasai atau dimiliki
oleh orang lain, sehingga seharusnya dilakukan peningkatan dari status kepemilikan
tanah tersebut.
Pada saat itu yang ada di tanah tersebut hanya pohon kelapa, namun setelah
lama Haji Basyarudin kembali dari kota Jakarta, dimana Haji Basyarudin tersebut
menurut keterangannya memiliki isteri dua, dimana satu berada di Jakarta. Pada bulan
Mei 2013 Haji Basyarudin pulang dari Jakarta untuk melakukan pengukuran tanah
namun menemui adanya bangunan 3 (tiga) unit rumah yang ditempati oleh ibu
Sutrijon dan adik-adik Sutrijon. Sutrijon Cs tersebut merupakan kemenakan dari penggugat objek perkara Ibrahim. Tanah dimana tempat didirikannya rumah tersebut
adalah milik dari Haji Basyarudin.
Dalam Pasal 43 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman yang mengatur bahwa pembangunan untuk rumah tinggal, rumah deret
dan/atau rumah susun dapat dilakukan diatas tanah: 1) Hak Milik; 2) Hak Guna
Bangunan baik atas tanah negara maupun diatas tanah pengelolaan; dan 3) Hak Pakai
di atas tanah Negara.
Secara jelas undang-undang ini menentukan bahwa jika disebut pemilikan
demikian jelas bahwa pemberian status hak atas tanah atas pemilikan rumah secara
hukum mencakup pemilikan rumah berikut tanahnya.13 Sedangkan dalam kasus
penelitian ini dimana pemilikan rumah tersebut tanpa dasar kepemilikan karena tidak
bersama hak atas tanahnya, karena rumah tersebut didirikan di atas tanah yang bukan
miliknya. Rumah tersebut didirikan di atas tanah hak milik orang lain, sehingga hal
tersebut yang menimbulkan suatu permasalahan untuk diteliti.
Didalam konsep hukum sebutan “menguasai” atau dikuasai dengan dimiliki
ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna berbeda dan
menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama dengan
pengertian dimiliki. Jika menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau menguasai dalam
arti “possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti faktual digarap, dihuni, namun belum tentu bahwa secara yuridis dia
adalah pemilik atau yang mempunyai tanah tersebut. Demikian juga bila
menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki atau kepunyaan dalam arti “Ownership” dalam pengertian juridis, maka dapat diartikan bahwa tanah tersebut secara yuridis
merupakan tanah milik atau kepunyaan, namun bukan berarti juga dia secara fisik
menguasai tanah tersebut, karena mungkin adanya hubungan kerjasama atau
kontraktual tertentu.14
Putusan Mahkamah Agung No. 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997
tersebut putusannya telah inkrah dan sudah menentukan secara jelas siapa pemilik
13
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis,Op. Cit, hal. 92.
14
tanah yang sebenarnya, namun saat dilaksanakannya eksekusi terhadap putusan
Mahkamah Agung tersebut, banyak sekali terjadi kendala dari pihak yang dikalahkan
dan bahkan tidak dapat dilaksanakannya suatu eksekusi terhadap tanah dan bangunan
tersebut.
Menurut Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa “eksekusi pada
hakekatnya adalah realisasi dari pada kewajiban para pihak yang kalah untuk
memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan”.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, sehingga dilakukan penelitian
terhadap hal tersebut dan penulis ingin membatasi kasus ini, dengan judul
“Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas Hak Kepemilikan Yang
Berakibat Sengketa: Studi Kasus Putusan MA NO. 2511K/PDT/1995 Tanggal 09
September 1997”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan yuridis kepemilikan dan penguasaan tanah atau rumah
(Studi Kasus Putusan MA No. 2511K/PDT/1995 Tanggal 9 September 1997)?
2. Bagaimana analisis hukum atas Putusan MA No. 2511K/PDT/1995 Tanggal 9
September 1997 antara Ibrahimcsmelawan Haji Basyarudincs?
3. Bagaimana eksekusi putusan atas kepemilikan tanah tersebut (Studi Kasus
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan yang ingin
dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tinjauan yuridis kepemilikan dan
penguasaan tanah atau rumah.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan analisis hukum atas Putusan MA No.
2511K/PDT/1995 Tanggal 9 September 1997 antara Ibrahimcsmelawan Haji Basyarudincs.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan eksekusi putusan atas kepemilikan tanah
tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atas kegunaan baik
secara teoritis dan praktis, yaitu:
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai agraria,
khususnya mengenai sengketa okupansi liar kepemilikan tanah yang
kemudian diatasnya dibangun rumah.
2. Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan masukan bagi
semua pihak mengenai pengembangan ilmu pengetahuan hukum dalam
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi
dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian
dengan judul “Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas Hak
Kepemilikan Yang Berakibat Sengketa: Studi Kasus Putusan MA No.
2511K/PDT/1995 Tanggal 9 September 1997” belum pernah dilakukan, namun
demikian terdapat beberapa judul yang membahas tentang kepemilikan tanah dan
rumah, antara lain oleh:
1. Yoan Imonalisa Shaptieni, Nim: 057011096, mahasiswi Program Pasca
Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan judul:
“Perbandingan Sistem Kepemilikan Bersama Dalam Mewujutkan Kepastian
Hukum Atas Hak Milik Satuan Rumah Susun (Study Kasus Pada Rumah
Susun Griya Sukaperdana Medan)”, penelitian tesis atas nama Yoan Imonalisa
Shaptieni dengan mengangkat permasalahan:
1. Bagaimanakah penerapan sistem kepemilikan bersama dalam
mewujudkan kepastian hukum atas hak milik satuan rumah susun pada
rumah susun Griya Sukaperdana?
2. Bagaimanakah permasalahan sertifikasi pada rumah susun Griya
Sukaperdana Medan berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1985
Tentang Rumah Susun dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988
3. Bagaimanakah peranan perhimpunan penghuni pada Rumah Susun Griya
Sukaperdana Medan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul
dalam kepemilikan bersama?
2. Muchairani, Nim: 087011076, mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan judul: “Analisis Yuridis
Kepemilikan Hak Atas Tanah Pada Satuan Rumah Susun”. Penelitian tesis
atas nama Muchairani dengan mengangkat permasalahan:
1. Bagaimana status kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun?
2. Apakah kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun sesuai
dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA?
3. Bagaimana prosedur hukum perjanjian jual beli atas satuan rumah susun?
Jika dihadapkan pada penelitian yang telah ada, judul yang akan dibahas
dalam penelitian ini berbeda baik dari segi permasalahan maupun
pembahasan. Oleh karena itu penelitian ini jelas dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai dengan etika penelitian yang
harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
pegangan teoritis, baik disetujui maupun tidak disetujui yang dijadikan masukan
dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.15
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena
memberikan sarana penulis untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang
kita bicarakan secara lebih baik.16Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan
mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,17 dan satu teori harus diuji
dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya.18
Landasan teori dapat memperkuat kebenaran dari permasalahan yang di
analisis. Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.
Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:19
a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam fakta;
b. Teori tersebut sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;
c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang di uji kebenarannya.
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, dengan
merumuskan masalah penelitian di dalam kerangka teoritis yang relevan sehingga
mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun kerangka teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.
15
M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.
16
Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 259.
17
J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Jilid I, FE UI, 1996), hal. 203.
18
Ibid, hal. 16.
19
Teori kepastian hukum merupakan salah satu penganut aliran positivisme
yang lebih melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom atau hukum dalam bentuk
peraturan tertulis. Artinya karena hukum itu otonom, sehingga semata-mata untuk
kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan kewajiban seseorang. Van Kan
berpendapat bahwa “tujuan hukum adalah untuk menjaga setiap kepentingan manusia
agar tidak diganggu dan terjamin kepastiannya”.20
Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum.
Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat
sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian
dalam hubungan antara sesama manusia.21
Adapun tujuan dari hukum menurut L. J Van Apeldoorn adalah “mengatur
pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian”.22 Perdamaian
diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa serta harta
benda terhadap pihak yang merugikannya.23
Menurut Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa:
“Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Adapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa
20
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha, 2006), hal. 74.
21
Sudarsono,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal. 49.
22
L. J. Van Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitra, 2005), hal. 10.
23
kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya)”.24
Seperti halnya permasalahan untuk mencari tujuan kepastian hukum dari
diberlakukannya pendaftaran tanah tersebut, dimana masih banyaknya status tanah
yang kurang mendapat kepastian hukum di Negara ini. Sehingga antara kegiatan yang
seharusnya (das sollen) dengan yang seadanya (das sein) sangat menyolok
didalamnya,25 karena sekalipun telah terbit sertifikat pemilikan masih saja muncul
orang-orang yang tidak mempunyai bukti secara formal akhirnya menguasai tanah
tersebut.
Menurut pendapat Boedi Harsono menyatakan sungguhpun pendaftaran tanah
di negara menurut Pasal 19 ayat (1) bertujuan untuk menjamin kepastian hukum
tetapi bukan maksudnya akan mempergunakan apa yang disebut sistem positif.26
Bahwa Undang-Undang Pokok Agraria tidak memerintahkan dipergunakannya sistem
positif dapat disimpulkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf C Undang-Undang Pokok
Agraria, dimana bahwa surat tanda bukti hak yang akan dikeluarkan berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat. Ayat ini tidak menyatakan bahwa surat-surat tanda bukti
hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang mutlak.
Para petugas pendaftaran tanah tidaklah bersikap pasif artinya mereka tidaklah
menerima begitu saja apa yang diajukan dan dikatakan oleh pihak-pihak yang
meminta pendaftaran tersebut. Pada pembukuan tanah untuk pertama kali maupun
24Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),(Yogyakarta: Liberty, 1988),
hal. 136.
25Ibid, hal. 110.
pada pendaftaran atau pencatatan perubahan-perubahannya kemudian, para petugas
pelaksana diwajibkan untuk mengadakan penelitian seperlunya untuk mencegah
terjadinya kekeliruan. Dalam penentuan batas-batas tanah ditetapkan dengan
memakai sistem contradictoire delimitatie, sebelum tanah dan haknya dibukukan diadakan pengumuman, perselisihan-perselisihan diajukan ke pengadilan kalau tidak
dapat diselesaikan sendiri oleh yang berkepentingan.27
Sejauh mungkin diusahakan agar keterangan-keterangan yang ada pada tata
usaha Kantor Pendaftaran Tanah itu selalu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Hal tersebut merupakan tuntutan dari ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria dan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 bahwa keterangan-keterangan yang ada
pada Kantor Pendaftaran Tanah mempunyai kekuatan hukum dan surat-surat tanda
bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang kuat. Berdasarkan hal
tersebut, sistem yang dipakai Undang-Undang Pokok Agraria adalah sistem Negatif
bertendens Positif. Pengertian Negatif di sini adalah bahwa adanya
keterangan-keterangan yang ada itu jika ternyata tidak benar masih dapat dirubah dan dibetulkan
sedangkan pengertian tendens Positif ialah bahwa adanya peranan aktif dari petugas
pelaksana pendaftaran tanah dalam hal penelitian terhadap hak-hak atas tanah yang di
daftar tersebut.28
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, mengatur tujuan dari Pendaftaran tanah adalah untuk:
27
Bachtiar Efendi,Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 54.
28
1. Memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa alat bukti hak dapat digunakan untuk:
a. Mendalilkan kepunyaan suatu hak;
b. Meneguhkan kepunyaan hak sendiri;
c. Membantah kepunyaan hak orang lain;
d. Menunjukkan kepunyaan hak atas suatu peristiwa hukum.
Dengan demikian, pembuktian hak atas tanah merupakan proses yang dapat
digunakan pemegangnya untuk mendalilkan kepunyaannya, meneguhkan
kepunyaannya, membantah kepunyaan atau untuk menunjukkan kepunyaan atas
sesuatu pemilikan hak atas tanah dalam suatu peristiwa atau perbuatan hukum
tertentu. Kemudian dalam kaitannya dengan pembuktian hak atas tanah, maka dapat
dibedakan menjadi yaitu pembuktian hak baru atas tanah dan pembuktian hak lama
Demikian halnya dengan pengakuan hak atas sesuatu hal oleh seseorang atau
masyarakat haruslah didasarkan pada bukti kepemilikan yang sah dan kuat, salah
satunya adalah hak atas tanah dan rumah. Tanpa bukti hak tertulis, maka seseorang
atau masyarakat tidak dapat serta-merta membuat pernyataan atas hak kepemilikan
tersebut.
Dalam hal penyediaan perumahan oleh negara dan pemilikannya oleh negara
tidaklah cukup memadai, karena masih harus diberikan jaminan kepastian hukum atas
pemilikan rumah tersebut. Khususnya dalam menjamin kepastian hukum dalam
pemilikan rumah tersebut, maka pembangunan perumahan atau rumah tersebut harus
dilakukan di atas tanah yang dimilikinya dan dikukuhkan dengan hak-hak atas tanah
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.29
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi
dengan realitis.30
Dalam pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam
judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata
dengan pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga untuk
menuntun dalam menangani penelitian.31
29
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis,Loc. Cit.
30
Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34.
31
Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang
dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian
konsep yang dipakai yaitu:
1. Sengketa menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik,
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek
permasalahan.
2. Pengakuan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan suatu klaim
yaitu dimana adanya tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang
berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu.
3. Penguasaan menurut Satjipto Rahardjo merupakan karakteristik suatu
masyarakat pra hukum dan bersifat faktual (mementingkan kenyataan pada
suatu saat). Hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada
dalam kekuasaannya. Dalam hal ini terkandung 2 unsur, yaitu 1) kenyataan
bahwa suatu barang itu berada dalam kekuasaan seseorang (corpus possessionis); 2) sikap batin orang yang bersangkutan untuk menguasai dan
menggunakannya (animus posidendi).
4. Pendudukan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses, cara,
perbuatan menduduki (merebut dan menguasai) suatu daerah.
5. Rumah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bangunan untuk
tempat tinggal, sedangkan dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 1 Tahun 2011
bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni,
sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta
aset pemiliknya.32
6. Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang
kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya
untuk tujuan pribadi.33Namun jika disebut hak milik harus diikuti dengan hak
kebendaan, dimana menurut Pasal 499 KUHPerdata yang dinamakan
kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh
hak milik. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, definisi kebendaan adalah
mengenai “dikuasai oleh hak milik” berhubungan erat dengan pengertian hak
milik dalam Pasal 570 KUH Perdata. Dengan demikian, “sesuatu” dapat
dianggap sebagai kebendaan apabila“sesuatu” itu (pada dasarnya) dapat
dikuasai oleh hak milik.34
7. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi: pengumpulan,
pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang dan
satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
32
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
33
Sekarayuaulia.wordpress.com/2013/09/12/etika-pembagian-saham-dan-hak-kepemilikan/, di akses 20 Maret 2014, pukul 18.20 wib.
34Badrulzaman, Mariam Darus,Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Alumni,
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan satuan-satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.35
8. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan bidang tanah dan
satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya
bangunan atas bagian bangunan di atasnya.36
9. Data yuridis adalah keterangan mengenai status bidang tanah dan satuan
rumah susun yang di daftar, pemegang haknya dan pihak lain serta
beban-beban lain yang membeban-bebaninya.37
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat penelitian tesis yang digunakan adalah penelitian deskriftif analitis, yaitu
suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan
menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang
Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas Hak Kepemilikan Yang
Berakibat Sengketa: Studi Kasus Putusan MA No. 2511K/PDT/1995 Tanggal 9
September 1997. Adapun jenis penelitian yang diterapkan adalah dengan yuridis
normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menitikberatkan penelitian pada
data sekunder atau data kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini.
Penelitian hukum normatif ini mengacu kepada norma-norma hukum yang
terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan putusan MA No.
2511K/PDT/1995 tanggal 9 September 1997 sebagai pijakan normatif yang berawal
dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini
dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru secara teoritis dan
praktis.38
2. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang
dilakukan dengan mencari, mengumpulkan dan mengkaji data sekunder yang berupa
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.39Hal tersebut sebagai dasar pengetahuan
dan titik acuan dalam melakukan pembahasan melalui sumber data tertulis seperti
buku-buku ilmiah, Peraturan Perundang-undangan, dan peraturan maupun dokumen
resmi yang dikeluarkan Pemerintah.
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan pustaka sebanyak
mungkin yang terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah bahan
dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian,40yaitu:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
38
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 132.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji,Op. Cit, hal. 13.
40
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman;
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
f. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah;
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional;
h. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2511K/PDT/1995.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya memperkuat dan
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,41 seperti buku-buku
hukum, hasil penelitian para ahli, dan karya-karya ilmiah yang berkaitan
dengan penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder, seperti kamus
hukum, ensiklopedia yang dapat digunakan untuk melengkapi atau sebagai
data penunjang dari penelitian ini.
41
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk memperoleh data penulisan ini adalah dengan
metode penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data dan informasi serta mempelajari dokumen-dokumen, buku-buku
teks, teori-teori, Peraturan Perundang-undangan, artikel, tulisan ilmiah yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data
merupakan langkah terakhir dalam suatu kegiatan penulisan. Analisis data dilakukan
secara kwalikatif artinya menggunakan data secara bermutu dalam kalimat yang
teratur, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif sehingga memudahkan dalam
interpretasi data dan pemahaman hasil analisis. Data sekunder yang diperoleh
kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk selanjutnya dianalisis
menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan kejelasan terhadap masalah yang
akan dibahas.42
Kegiatan analasis ini dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap data
yang terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, Peraturan Perundang-undangan,
informasi media cetak, seminar-seminar yang berkaitan dengan judul penelitian untuk
mendukung studi kepustakaan. Semua data yang terkumpul diedit, diolah, dan
disusun secara sistematis untuk selanjutnya disimpulkan dengan menggunakan
metode deduktif.
42