• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Napas Bawah dan Paru-Paru - Karakteristik Tumor Ganas Paru Berdasarkan Pemeriksaan Sitologi Bronkus di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2011-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Napas Bawah dan Paru-Paru - Karakteristik Tumor Ganas Paru Berdasarkan Pemeriksaan Sitologi Bronkus di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2011-2013"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Napas Bawah dan Paru-Paru

Trakea berukuran panjang sekitar 11,5cm dengan diameter 2,5cm, mulai dari batas bawah kartilago krikoid (C6) dan berakhir dengan percabangan dua setinggi sternal angle of Louis (T4/5) dan membentuk bronkus kanan dan kiri. Trakea terletak pada bagian leher dan dada. Pada leher, bagian anterior trakea terdapatisthmus kelenjar tiroid, vena tiroid inferior, otot-otot sternohyoid dan sternothyroid. Bagian lateral trakea terdapat lobus kelenjar tiroid dan arteri karotid komunis. Pada bagian posterior trakea terdapat esofagus dengan n.laryngeal pada lekuk antara esofagus dan trakea (Ellis, 2006).

Patensi trakea dipertahankan oleh rangkaian 15-20 tulang rawan berbentuk huruf U. Di bagian posterior, trakea mendatar karena kurangnya tulang rawan dan dindingnya dilengkapi oleh jaringan berserabut dan otot polos. Di bagian dalam, trakea dilapisi epitel kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet (Ellis, 2006).

Bronkus kanan lebih lebar, lebih pendek, dan lebih vertikal daripada bronkus kiri. Panjangnya sekitar 2,5cm dan langsung menuju paru pada setinggi T5. Sebelum masuk ke paru-paru, bronkus kanan membentuk cabang menuju lobus atas, dan dari bawah arteri pulmoner memasuki hilum paru-paru (Ellis, 2006).

(2)

Gambar 2.1 Gambar skematis trakea dan organ sisi anterior.

Sumber : Ellis, H., 2006. Clinical Anatomy Arevision and applied anatomy for clinical students.11th ed. Blackwell publishing.

Gambar 2.2 Gambar skematis trakea dan percabangan utama bronkus. Sumber : Ellis, H., 2006. Clinical Anatomy Arevision and applied anatomy for clinical students.11th ed. Blackwell publishing.

(3)

Gambar 2.3 Gambar skematis paru-paru penampang lateral. Sumber : Ellis, H., 2006. Clinical Anatomy Arevision and applied anatomy for clinical students.11th ed. Blackwell publishing.

Gambar 2.4 Gambar skematis paru-paru penampang anterior. Sumber : Ellis, H., 2006. Clinical Anatomy Arevision and applied anatomy for clinical students.11th ed. Blackwell publishing.

Darah vena masuk kembali ke paru-paru melalui arteri pulmoner. Saluran napas dipendarahi oleh arteri bronkial yang merupakan percabangan kecil dari aorta desendens. Arteri bronkial mengatur pasokan darah ke parenkim paru setelah emboli paru, sehingga ketika pasien pulih, funsi paru kembali normal. Vena pulmoner superior dan inferior mengembalikan darah teroksigenasi ke atrium kiri, sementara saluran vena bronkial kembali ke sistem azigos (Ellis, 2006).

(4)

paru-paru berasal dari truncus vagus dan simpatis, dengan eferen ke otot bronkus dan aferen dari membran mukus dari bronkiolus dan alveolus (Ellis, 2006).

2.2 Tumor Ganas Paru 2.2.1 Definisi

Istilah kanker paru digunakan untuk tumor-tumor yang berasal dari epitel pernapasan (bronkus, bronkiolus, dan alveolus). Mesotelioma, limfoma, dan tumor stroma (sarkoma) berbeda dengan kanker paru epitel. Menurut WHO, ada empat tipe sel mayor yang mencapai 88% dari seluruh neoplasma paru primer, yaitu squamous epidermoid carcinoma, small cell (disebut juga oat cell) carcinoma, adenocarcinoma (termasuk bronchoalveolar), dan large cell (disebut juga large cell anaplastic) carcinoma. Sisanya termasuk undifferentiated carcinomas, carcinoids, bronchialgland tumors (termasuk adenoid cystic

carcinomas dan mucoepidermoid tumors), dan tipe tumor yang langka. Diperlukan diagnosis secara histologi yang tepat untuk menentukan jenis keganasan yang terjadi karena akan berpengaruh terhadap respon terapi yang diberikan (Minna, 2005).

2.2.2 Epidemiologi

(5)

Gambar 2.5 Gambar perkiraan kanker berdasarkan jenis kelamin. Sumber : Dela Cruz, C. S., Tanoue, L. T., Matthay, R. A., 2011. Lung Cancer : Epidemiology, Etiology, and Prevention. Elsevier Inc.

2.2.3 Faktor Resiko a. Merokok

(6)

Berdasarkan U.S. Environmental Protection Agency (EPA), kira-kira 3.000 orang dewasa yang tidak merokok meninggal dunia akibat kanker paru setiap tahunnya karena menghirup asap rokok orang lain. Resiko kematian akibat kanker paru 30% lebih besar bagi orang yang tidak merokok yang tinggal bersama perokok dibandingkan yang tidak tinggal bersama perokok (Abraham, 2005).

b. Pekerjaan

Paparan terhadap zat seperti arsenik, asbestos, berilium, clorometileter, krom, hidrokarbon, gas mustard, nikel, dan radiasi (termasuk radon) dikaitkan dengan perkembangan kanker paru. Paparan asbestos pada perokok dihubungkan dengan resiko sinergis perkembangan karsinoma bronkogenik. Paparan radon pada tambang bawah tanah dengan ventilasi yang buruk juga dikaitkan dengan meningkatnya resiko kanker paru (Abraham, 2005).

Faktor resiko pekerjaan yang paling banyak ialah paparan asbestos. Penelitian menunjukkan paparan radon berhubungan 10% dari seluruh kasus kanker paru, sementara polusi udara luar ruangan berhubungan 1-2% (Tan, 2014).

2.2.4 Patofisiologi a. Paparan Karsinogen

Tembakau rokok mengandung lebih dari 300 zat berbahaya dengan sedikitnya 40 karsinogen poten. Polyaromatic hydrocarbons dan nicotine-derived nitrosamine ketone (NNK) menyebabkan kerusakan DNA pada model hewan. Benzo-A-pyrine juga memicu sinyal molekuler seperti AKT, dan mutasi p53 dan tumor suppressor genes lainnya (Tan, 2014).

Penelitian yang dilakukan Ito mengenai pergeseran tipe histologi kanker paru di Jepang dan Amerika Serikat menunjukkan perubahan tipe kanker paru yang paling sering SCC menjadi Adenocarcinoma berhubungan dengan peningkatan penggunaan rokok berfilter (Tan, 2014).

b. Genetika

(7)

protein pada permukaan membran sel dengan aktivitas GTPase dan terlibat dalam transduksi informasi. Mutasi gen ras ini terjadi pada Adenocarcinoma dan ditemukan pada 30% kasus. Mutasi ini tidak ditemukan pada Adenocarcinoma yang terjadi pada orang yang tidak merokok (Tan, 2014).

Kelainan genetik lain yang ditemukan pada Non Small Cell Lung Cancer adalah mutasi onkogen c-myc dan c-raf dan pada gen penekan tumor retinoblastoma (Rb) dan p53 (Tan, 2014).

2.2.5 Klasifikasi

Klasifikasi tumor penting untuk menentukan pengobatan pasien dan untuk dasar penelitian epidemiologis dan biologis. Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi WHO yang mengelompokkan berdasarkan gambaran histologi. Terdapat banyak gambaran histologi yang ditemukan, namun perbedaan klinis masih belum dapat ditentukan. Secara garis besar tumor paru dikelompokkan menjadi (Husain, 2010):

1. Adenocarcinoma (37% laki-laki, 47% perempuan)

2. Squamous cell carcinoma (32% laki-laki, 25% perempuan) 3. Small cell carcinoma (14% laki-laki, 18% perempuan) 4. Large cell carcinoma (18% laki-laki, 10% perempuan)

(8)

Gambar 2.6 Gambar paru yang terkena adenocarcinoma. Terdapat nodul berwarna putih dibagian perifer.

Sumber : Kemp, W. L., Burns, D. K., Brown, T.G., 2008. The Big Picture Pathology.The McGraw-Hill Companies, Inc.

Gambar 2.7 Gambar sitologi adenocarcinoma paru. Sel saling tumpang tindih dengan sitoplasma yang sedikit dan pucat, inti sel relatif besar.

Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases. 5th ed. Lippincott William & Wilkins.

(9)

Gambar 2.8 Gambar paru yang terkena squamous cell carcinoma. Terdapat massa putih pada hilum.

Sumber : Kemp, W. L., Burns, D. K., Brown, T.G., 2008. The Big Picture Pathology.The McGraw-Hill Companies, Inc.

Gambar 2.9 Gambar sitologi squamous cell carcinoma dengan inti ganda. Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases. 5th ed. Lippincott William & Wilkins.

(10)

paru, dan metastasis secara luas, tidak dapat sembuh dengan operasi (Husain, 2010).

Gambar 2.10 Gambar paru yang terkena small cell carcinoma. Tanda panah menunjukkan lumen bronkus yang ditumbuhi small cell carcinoma.

Sumber : Kemp, W. L., Burns, D. K., Brown, T.G., 2008. The Big Picture Pathology.The McGraw-Hill Companies, Inc.

Gambar 2.11 Gambar sitologi small cell carcinoma. Terlihat kelompok sel saling berlengketan dengan bebas.

Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases. 5th ed. Lippincott William & Wilkins.

(11)

Gambar 2.12 Gambar sitologi dari large cell carcinoma. inti hiperkromatik dengan tekstur kromatin kasar pada sitoplasma yang pucat.

Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases. 5th ed. Lippincott William & Wilkins.

Tabel 2.1 Tabel Tumor Epitel Paru Berdasarkan Klasifikasi WHO

PREINVASIVE LESIONS

Squamous dysplasia/carcinoma in situ Atypical adenomatous hyperplasia

Diffuse idiopathic pulmonary neuroendocrine cell hyperplasia INVASIVE MALIGNANT LESIONS

Squamous cell carcinoma Variants

Papillary Clear cell Small cell Basaloid

Small cell carcinoma Variant

Combined small cell carcinoma Adenocarcinoma

Acinar Papillary

Bronchioloalveolar carcinoma

(12)

Mucinous (goblet cell) type

Mixed mucinous and nonmucinous (Clara cell/type II pneumocyte and goblet cell) type, or indeterminate cell type

Solid adenocarcinoma with mucin formation Adenocarcinoma with mixed subtypes Variants

Well-differentiated fetal adenocarcinoma Mucinous adenocarcinoma

Mucinous cystadenocarcinoma Signet-ring adenocarcinoma Clear cell adenocarcinoma Large cell carcinoma Variants

Large cell neuroendocrine carcinoma

Combined large cell neuroendocrine carcinoma Basaloid carcinoma

Lymphoepitheliomalike carcinoma Clear cell carcinoma

Large cell carcinoma with rhabdoid phenotype Adenosquamous carcinoma

Carcinomas with pleomorphic, sarcomatoid, or sarcomatous elements Carcinomas with spindle or giant cells

(13)

Carcinomas of salivary gland type Mucoepidermoid carcinoma Adenoid cystic carcinoma Others

Unclassified

Sumber : DeVita, V. T., Lawrence, T. S., Rosenberg, S.A., 2008. Devita, Hellman & Rosenberg’s Cancer : Principles & Practice of Oncology. 8th ed. Lippincott William & Wilkins.

2.2.6 Diagnosis

Gambaran klinik keganasan paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan utama berupa batuk-batuk dengan/tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen), sesak nafas, suara serak, sakit dada, sulit/sakit menelan, benjolan di pangkal leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang hebat (PDPI, 2003).

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan memberikan jasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat menjadi sumber informasi untuk menentukan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor diluar paru. Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang (PDPI, 2003).

1. Gambaran radiologis

(14)

b. CT-Scan toraks : dapat mendeteksi tumor dengan ukuran < 1cm secara lebih tepat daripada foto toraks. Tanda keganasan tergambar lebih baik meski tanpa gejala. CT-scan mampu mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening untuk menentukan stage keganasan paru.

c. Pemeriksaan radiologi lainnya : dilakukan karena foto toraks dan CT-scan toraks tidak mampu mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Misalnya Crain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak.

2. Gambaran Sitologi

Pemeriksaan sitologi terhadap sputum, sekret bronkus, dan aspirat memiliki dua tujuan (Rubin, 2009) :

a. Untuk menentukan adanya tumor

b. Untuk mengelompokkan tumor secara akurat sesuai dengan tipe histologinya. Identifikasi small cell carcinoma dan non-small cell carcinoma sangat penting karena dapat mempengaruhi cara penanganan kasus.

Bila dilakukan dengan tepat, pemeriksaan sitologi dapat mengarahkan diagnosis yang tepat, cepat, dengan akurasi yang yang sama atau bahkan lebih baik daripada teknik lainnya. Kelebihan dari pemeriksaan sitologi adalah dapat memberi pilihan rencana penanganan tanpa harus dilakukan biopsi terbuka. Namun interpretasi dari pemeriksaan sitologi harus selalu disesuaikan dengan manifestasi klinis, karena sering tumor jinak dapat memicu perubahan seluler yang menyerupai proses keganasan (Koss, 2006).

Penetapan yang optimal dari berbagai jenis keganasan paru dengan pemeriksaan sitologi diperoleh dengan memeriksa hapusan yang difiksasi menggunaan pewarnaan Papanicolaou. Tetapi, pengeringan di udara, hapusan yang difiksasi metanol, pewarnaan dengan Diff-Quik atau pewarnaan hematologi lain banyak digunakan terutama untuk sitologi aspirasi percutaneous (Koss, 2006).

Pemeriksaan sitologi memiliki banyak manfaat (Rubin, 2009) :

(15)

b. Trauma yang terjadi pada pengambilan sampel untuk pemeriksaan sitologi lebih sedikit dibandingkan biopsi.

c. Permukaan lokasi pengambilan sampel pemeriksaan sitologi lebih luas dibandingkan biopsi yang terbatas pada daerah yang kecil dimana terlihat jelas adanya kelainan.

d. Dengan pemeriksaan sitologi dapat diperoleh sampel dari tumor-tumor yang sulit diperoleh dengan biopsi. Sampel peripheral carcinoma paru-paru dapat diperoleh dengan fine-needle aspiration.

e. Dibandingkan dengan biopsi, pengambilan sampel pemeriksaan sitologi lebih nyaman bagi pasien.

f. Biaya deteksi kanker menggunakan pemeriksaan sitologi jauh lebih murah dan tidak diperlukan tes, prosedur, dan pembedahan.

Ketepatan diagnosis menggunakan pemeriksaan sitologi bergantung pada beberapa faktor, termasuk pengalaman pengambil sampel, metode pengambilan sampel, kecukupan jumlah sampel, organ target pemeriksaan, dan keahlian pemeriksa sitologi. Diagnosis false-positive akan jarang terjadi pada ahli sitopatologi yang berpengalaman, sehingga spesifisitas diagnosis keganasan mendekati 100%. Sensitivitas tes berada pada rentang 80% hingga 90% untuk hampir seluruh tipe spesimen. Sel ganas yang tidak terlihat pada pemeriksaan sitologi tidak menghilangkan kemungkinan adanya keganasan. (Rubin, 2009)

Beberapa kekurangan dari pemeriksaan sitologi (Rubin, 2009) :

a. Sampel yang tidak memadai menyebabkan diagnosis false-negative pada pemeriksaan sitologi.

b. Klasifikasi tipe tumor lebih sulit dengan sampel sitologi dibandingkan dengan spesimen biopsi. Hal ini dikarenakan sample sitologi berukuran kecil dan tidak terlihat pola jaringan.

c. Pemeriksaan sitologi tidak dapat mengetahui luas dan dalam dari invasi keganasan.

(16)

Sputum terdiri dari campuran unsur seluler dan non-seluler yang dibersihkan oleh aparatus mukosilier. Pemeriksaan ini mudah dilakukan dan hanya menimbulkan sedikit ketidaknyamanan. Namun skrining yang dilakukan pada perokok tanpa gejala tidak mampu menurunkan angka kematian akibat kanker paru. Kini pemeriksaan sitologi sputum dilakukan kepada individu dengan gejala penyakit paru. Pengumpulan spesimen yang multipel dalam beberapa hari akan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan. Lebih baik bila spesimen diperoleh dari batuk dalam di pagi hari. Bila sputum yang dikeluarkan tidak cukup, dapat diinduksi dengan menghirup air atau salin yang di nebul. Induksi sputum dapat meningkatkan deteksi kanker paru. Bila preparat sputum tidak dapat disiapkan dengan cepat, pasien dapat meludah ke larutan etanol 70%.

Metode sederhana dalam preparasi sputum dikenal dengan teknik “pick and smear”, dimana sputum segar diperiksa adanya kepingan jaringan, darah, atau keduanya. Pulasan disiapkan dari area yang mengandung unsur ini dan segera difiksasi dengan etanol 95%. Modifikasi metode ini disebut metode Saccomanno, dimana sputum dikumpulkan dengan etanol 50% dan carbowax 2%. Spesimen dihomogenkan dengan blender dan dikonsentrasikan dengan sentrifugasi. Penggunaan dithiothreitol (DTT) pada homogenisasi dapat meningkatkan sensitivitas. Pulasan dibuat dari materi seluler yang sudah terkonsentrasi dan digunakan pewarnaan Papanicolau.

Sensitivitas sitologi sputum untuk diagnosis keganasan meningkat dengan jumlah spesimen yang diperiksa, dari 42% untuk spesimen tunggal menjadi 91% untuk lima spesimen. Spesifisitas pemeriksaan sputum berkisar 96% hingga 99% dan positive dan negative predictive value berurutan adalah 100% dan 15%. Hasil negatif pemeriksan sputum tidak menjamin tidak adanya keganasan pada paru. Sensitifitas pemeriksaan sitologi sputum tergantung pada lokasi tumor ganas : 46% sampai 77% untuk kanker paru sentral namun hhanya 31% hingga 47% untuk kanker perifer.

2. Bronchial Specimens

(17)

setiap bagian saluran pernapasan dapat diambil menggunakan alat ini. Komplikasi bronkoskopi jarang terjadi, dapat berupa laringospasme, bronkospasme, gangguan konduksi jantung, kejang, hipoksia, dan sepsis.

3. Bronchial Aspirations and Washings

Sekret bronkus dapat diaspirasi langsung dari saluran napas bawah menggunakan bronkoskopi, tapi metode yang lebih sering digunakan adalah mencuci mukosa dengan memasukkan 3 sampai 10 mL salin dan mengaspirasi cairan cuci. Cairan kemudian disentrifuge dan konsentrat digunakan untuk membuat sapuan preparat yang tipis.

4. Bronchial Brushings

Bronkoskopi serat optik memberikan gambaran langsung dan sampling dari cabang tracheobronchial. Pada permukaan lesi endobronkial dilakukan sikatan dan sel yang didapat dihapuskan ke kaca preparat. Hapusan segera difiksasi dengan etanol 95%.

5. Brochoalveolar Lavage (BAL)

Pada BAL, bronkoskopi dimasukkan sedalam mungkin dan saluran nafas bagian distal dibilas dengan normal saline beberapa kali. Bilasan pertama lebih mewakilkan materi seluler dari saluran udara yang lebih besar.

BAL bermanfaat untuk diagnosis infeksi oportunistik pada pasien dengan penurunan imunitas, hasil diagnosis untuk patogen infeksius 39% dengan sensitivitas 82% dan spesifisitas 53%. Pada pasien AIDS sensitivitas BAL mencapai 86%.

BAL juga bermanfaat untuk diagnosis keganasan dengan sensitivitas beragam dari 35% sampai 70% dan lebih tinggi untuk tumor mutifokal atau difus seperti bronchioalveolar carcinoma.

6. Transbronchial Fine-Needle Aspiration

(18)

dari kanker paru non-small cell. Akurasi staging mediastinum meningkat bila dipandu dengan ultrasound.

7. Transesophageal Fine-Needle Aspiration

Dengan melewatkan jarum melewati esophagus, sampling limfa node mediastinum dapat dilakukan. Dengan panduan ultrasound, akurasi sampling akan lebih baik. Endoscopic FNA lebih hemat biaya dan tidak diperlukan thoracotomy. Akurasi diagnosis endoscopic transesophageal FNA 70% hingga 80%. Bila dikombinasi dengan transbronchial FNA, hasil diagnosis untuk staging mediastinum mendekati 100%.

8. Percutaneous Fine-Needle Aspiration

Diagnosis cepat dan mobiditas minimal membuat percutaneous FNA menjadi alternatif bagi biopsi operasi untuk evaluasi pasien dengan massa di paru. Namun terdapat beberapa kontraindikasi seperti COPD, emphysema, batuk tidak terkontrol, pasien yang tidak kooperatif, penyakit jantung, severe pulmonary hypertension, arteriovenous malformation. Komplikasi paling sering dari percutaneous FNA adalah pneumothorax (21% - 34% pasien). Percutaneous FNA memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 96%. Pada hapusan yang difiksasi menggunakan metanol dan dikeringkan di udara, digunakan pewarnaan Diff-Quik.

Kategori diagnosis untuk spesimen sitologi (Papanicolau Society, 1999) : 1. Nondiagnostic Specimens (C1)

Bila pada spesimen tidak ditemukan materi seluler, materi bercampur darah, pengawetan buruk, clinicopathologic tidak bisa didiagnosisi secara spesifik.

2. Specific Benign Lesions (C2)

Semua neoplasma jinak, proses peradangan, hapusan yang terdapat infeksi (jamur, mikobakteri, bakteri).

3. Atypical Cells Present, Probably Benign (C3)

Komponen epitel atau mesenkim ditemukan dengan inti atypia dicurigai neoplasma jinak.

4. Atypical, Suspicious for Malignancy (C4)

(19)

5. Malignancy Present (C5)

Semua specimen yang dapat ditegakkan diagnosis pasti keganasan. 2.2.7 Imunositokimia

Imunositokimia sering digunakan sebagai tambahan dalam diagnosis morfologi tumor-tumor paru. Pemeriksaan ini sering digunakan untuk membedakan antara tumor primer dengan tumor metastasis dan antara small cell dengan non-small cell carcinoma. Tumor paru primer, termasuk small cell cancer dan adenocarcinoma, menunjukkan faktor transkripsi tiroid (TTF-1) dan cytokeratin-7. TTF-1 juga dapat terlihat pada tumor tiroid primer. Carcinoembryonic antigen (CEA) terlihat pada adenocarcinoma paru. Namun dapat juga terlihat pada adenocarcinoma pankreas, kolon, payudara, dan organ-organ lainnya. Pada tumor-tumor paru neuroendokrin baik ganas maupun jinak terlihat marker neuroendokrin, chromgranin-A, synaptophysin, neuron-spesific enolase, dan CD 56, juga cytokeratin-7 dan TTF-1. (Gupta, 2008)

(20)

Gambar 2.14 Gambar pewarnaan imunoperoksidase untuk thyroid transcription factor-1 (TTF-1) pada pewarnaan inti cell block

Gambar

Gambar 2.1 Gambar skematis trakea dan organ sisi anterior.
Gambar 2.4 Gambar skematis paru-paru penampang anterior.  Sumber : Ellis, H., 2006. clinical studentsClinical Anatomy Arevision and applied anatomy for .11th ed
Gambar 2.5 Gambar perkiraan kanker berdasarkan jenis kelamin.
Gambar 2.7 Gambar sitologi adenocarcinoma paru. Sel saling tumpang tindih dengan sitoplasma yang sedikit dan pucat, inti sel relatif besar
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran disampaikan dengan tatap muka yang membahas tentang pengantar hukum penanaman modal, dimulai dari sejarah hukum penanaman modal yang ada di Indonesia, konsep

Kegiatan biodegradasi dilakukan dengan cara mengintroduksi bakteri indigen yang telah diseleksi dari proses isolasi dan memiliki potensi pendegradasi paling tinggi, kemudian dikultur

Praktikum ibadah sebagai mata kuliah wajib di semua program studi juga mempunyai konten yang sangat penting terkait dengan prosedur dan praksis peribadatan

Stres Kerja Dan Semangat Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Bagian Produksi (studi kasus pada CV Aneka Ilmu Semarang).. Jurnal Ekonomi

Kendaraan Senen Kendaraan Karcseri W~ndaraan Kendaraan Kendaraan

P-4 menjenuhkan/membosankan, 58% mahasiswa memberikan penilaian bahwa pelaksanaan metoda penataran P-4 tidak sesuai dengan tujuan, 76% mahasiswa menyatakan pandang- -. , I 1

Pendidikan anak usia dini yang dikenal di Indonesia dengan istilah pendidikan malam anak usia dini adalah pendidikan yang Fajar bagi anak- anak prasekolah dengan tujuan agar

Pada masa remaja awal atau pubertas (12-15 tahun) umumnya anak sedang duduk dibangku sekolah menengah. Remaja mengembangkan konsep diri sesuai dengan cara pandang diri