• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROPOSAL SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERAHADAP ANAK YANG MENJADI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN

Latar Belakang Masalah

Selama beberapa periode perjalanan hidup bangsa Indonesia, kita banyak menemukan berbagai macam regulasi perundang-undangan yang menjadi dasar bagi pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan kegiatannya. Baik kegiatan kenegaraan maupun kegiatan masing-masing warga Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai norma-norma yang berlaku, seperti norma hukum, norma adat istiadat, norma agama, norma kesopanan dan kesusilaan. Tetapi walaupun sudah banyak peraturan, baik yang sudah diatur dalam perundang-undangan maupun yang masih belum, semuanya hanya berupa peraturan belaka yang tidak berfungsi jika orang-orang yang merupakan subjek sekaligus sebagai penegak peraturan tersebut dan faktanya mereka tidak pernah taat dan tunduk untuk menjalankan peraturan-peraturan yang ada.

Seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak selanjutya disebut UUPA. Undang-undang ini merupakan dasar bagi penegak hukum khususnya pada perlindungan anak, dimana undang-undang ini menegaskan bahwa tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi perlindungan hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah dalam rangka untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara utuh. Tindakan ini bertujuan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang merupakan harapan bagi penerus bangsa yang berpotensi, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai adanya akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan negara.

(2)

Perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana memang untuk saat ini masih kurang dan terlalu pasif, seperti yang kita ketahui pada contoh kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang anak yang masih berumur dua belas (12) tahun dengan putusan No. 10/ Pid/ B/ 2012/PN.PP (Nomor: 10/Pidana/B/2012/Pengadilan Negeri Padang Panjang) bahwa terdakwa dalam kasus pencurian ini telah mengaku bersalah dan benar melakukan pencurian sepeda motor yang bukan miliknya/milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki, bahwa menurut saya, perbuatannya tersebut melanggar pasal 363 ayat (1) angka 5 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kasus ini seharusnya tidak perlu sampai pada tahap pemeriksaan di pengadilan, kerena memerlukan waktu yang sangat lama (selama satu bulan) sejak dimulainya penyidikan oleh polisi. Selama satu bulan tersebut tentunya si terdakwa berada dalam tahanan dan selama berada dalam tahanan tentu tekanan batin serta rasa malu sangat memukul jiwa terdakwa dan bukan hanya itu terdakwa juga tentunya masih sekolah, jadi selama penahanan hak-hak terdakawa seperti hak untuk sekolah telah dirampas oleh polisi, sebagaimana yang dimaksud pada pasal 9 ayat (1) UUPA, padahal terdakwa seharusnya terus-menerus mendapatkan asuhan/ bimbingan dari orang tua dan pendidikan di sekolah.

Penegak hukum dalam hal ini masih belum memiliki dedikasih yang tinggi terhadap perlindungan anak. Memang di dalam tahanan ada pembinaan tetapi berbeda dengan pembinaan yang didapat secara langsung dari orang tua, ditambah lagi terdakwa tidak didapingi oleh penasihat hukum, jadi tidak ada yang bisa memberikan arahan kepada terdakwa tentang perbuatan yang dia lakukan. Berdasarkan teori keadilan restoratif dan diversi menjelaskan bahwa harusnya polisi tidak perlu melakukan penahanan dan melimpahkan berkas tersebut kepada jaksa penuntut umum, sehingga tidak ada yang namanya dakwaan dan pemeriksaan di persidangan, keadilan restoratif disini sangat baik untuk diterapkan pada kasus-kasus yang dilakukan oleh anak atau terdakwa anak dengan cara cukup memanggil orang tua terdakwa dan korban dalam hal untuk bersama mencari solusi yang baik agar tidak adak pihak yang merasa dirugikan, sehingga keadaan suasana kembali membaik seperti semula. Penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh polisi tidak perlu karena penangkapan dan penahanan tersebut merupakan upaya terakhir sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (3) UUPA dan lebih ditekankan lagi pada Pasal 32 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak konversi dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

(3)

maka setelah dia besar/dewasa hal yang sama akan selalu muncul saat dia merasa perhatian dari keluarga dalam hal mencukupi segala kebutuhannya secara wajar tidak terpenuhi dan pasti dia akan mencari solusi dengan caranya sendiri yang pada akhirnya anak tersebut menjadi liar. Terhadap kasus ini berapapun beratnya sanksi yang diberikan itu tidak akan mengubah watak/ karakter anak secara cepat, kecuali anak tersebut dibina dengan baik dan segala kebutuhannya terpenuhi secara fisik dan mental. Pada pasal 18 UUPA. Bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Jadi, di dalam proses acara mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai pada persidangan hingga putusan, anak tersebut berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif, tetapi dalam kasus ini sangat jelas menyebutkan dalam putusan hakim bahwa terdakwa diperiksa tidak didampingi oleh penasihat hukum/ tidak ada bantuan hukum lain, meskipun hak itu telah disampaikan kepada terdakwa, tetapi kenyataannya walaupun tidak didampingi oleh penasihat hukum kasus tersebut tetap diputus oleh hakim menurut hukum yang berlaku dalam perkara tersebut. Hal seperti ini lah yang merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum di negeri ini, yaitu peraturan yang dibuat tidak sesuai dengan pelaksanaannya.

Menurut Retnowulan Sutianto (Hakim Agung Purnabakti), perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional. Yang mana dalam hal melakukan perlindungan pada anak berarti melindungi manusianya, dan mengembangkan anak seutuhnya. Bila mengabaikan masalah perlindungan pada anak berarti tidak ada upaya untuk pengembangan dan pembangunan nasional.

Jadi, dari berbagai uraian di atas saya dapat menyimpulkan bahwa, perlindungan pada anak merupakan tanggung jawab bersama baik orang tua kandung maupun orang tua asuh/ wali, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk memberi pemeliharaan secara utuh hingga anak menjadi dewasa dan mampu bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku. Akibat jika tidak ada perlindungan pada anak secara utuh dan benar, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan baik di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan religius yang mana dapat mengganggu kelancaran penegakan hukum itu sendiri, dalam hal ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa perlindungan anak harus diupayakan bila kita ingin memajukan pembangunan nasional dan kemajuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

(4)

mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945, disini diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa ini baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Di samping itu juga, terdapat pula anak yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian yang utuh dan memadai dari orang tua. Karena keadaan diri yang tidak memadai seperti itu, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan orang lain.

Namun jika kita melihat dari segi hukum pelaksanaan sanksi pidana terkadang sanksi pidana yang diterapkan oleh hakim tidak memberikan efek jera kepada anak untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar hukum buktinya sampai saat ini banyak kasus anak di berbagai daerah dengan motif yang berbeda-beda selalu terjadi.

Jika kita menelaah dan melihat bahwa dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pada pasal 23 mengatur tentang pidana pokok dan pidana tambahan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dan juga pada pasal 24, pasal 26, pasal 27, dan pasal 28. Jika kita tinjau penerapannya dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sudah cukup baik, namun kalau kita melihat fakta yang terjadi sekarang undang-undang pengadilan anak masih belum cukup untuk menangani kasus yang begitu beragam, sehingga mengharuskan pemerintah untuk membuat undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khusus untuk penyelesaian perkara-perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Dari berbagai ulasan di atas saya mengemukakan bahwa sanksi pidana penjara bukanlah solusi terbaik bagi anak pelaku pecurian untuk pertumbuhan fisik dan mentalnya. Namun sanksi harus dapat memberikan efek jera agar anak tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Memang tidak heran jika banyak kritik dan saran dari ahli hukum terhadap penegak hukum di Negara ini, salah satunya kritik terhadap putusan hakim pada kasus-kasus yang melibatkan seorang anak harus divonis oleh hakim sesuai tindak pidana hukum yang dilakukan, kadang-kadang ahli hukum tidak setuju dan tidak puas atas putusan-putusan tersebut.

(5)

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perindungan Anak ?;

2. Apakah hak-hak anak yang menjadi pelaku tindak pidana pencurian ? Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis yang hendak dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah sebaga berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana pencurian.

2. Untuk mengetahui apakah hak-hak anak yang menjadi pelaku tindak pidana pencurian.

Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

1. Untuk melatih diri dalam melakukan penulisan dan penelitian secara ilmiah yang dituangkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi.

2. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum pidana terutama yang berkaitan dengan masalah perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana pencurian.

b. Manfaat Praktis

1. Agar orang tua, keluarga, masyarakat serta pemerintah dan negara dapat melakukan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak berdasarkan undang-undang hak asasi manusia dan undang-undang perlindungan anak.

2. Diharapkan agar dapat bermanfaat bagi praktisi hukum serta aparat penegak hukum, terutama polisi, jaksa dan hakim dalam menerapkan undang-undang sistem peradilan pidana anak dan dapat menimbang putusannya berdasarkan undang-undang hak asasi manusia dan undang-undang perlindungan anak.

Metode Penelitian

(6)

yang terdapat dalam peraturan perundangan dan mengkaitkannya dengan undang-undang lain yang berkaitan dengan undang-undang-undang-undang sistem peradilan pidan anak.

Metode Pendekatan

Metode pendekatan dalam penelitian ini, yaitu menggunakan metode pendekatan normatif, yang berarti suatu penelitian hukum normatif, melalui analisis kasus dan pustaka dengan melakukan tinjauan terhadap undang-undang dengan memperhatikan norma-norma hukum yang berlaku dalam penerapan sanksi tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.

Definisi Konseptual dan Operasional

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Menurut Marlina, berdasarkan perundang-undang Indonesia, ‘anak adalah manusia yang belum mencapai usia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan dan belum menikah’.2 Oleh sebab itu di dalam perundang-undangan Indonesia seorang anak tidak dapat betanggungjawab secara hukum karena anak tidak mempunyai kemampuan berpikir seperti orang dewasa dalam bertindak. Jadi, anak perlu perlindungan bagi anak dari berbagai ancaman yang tidak mampu ditanggungnya, termasuk ketika anak berhadapan dengan hukum akibat perbuatannya. Perlindungan anak adalah segala upaya untuk menjamin serta melindungin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Penerapan sanksi pidana pada anak berbeada dengan penerapan sanksi pidana pada orang dewasa oleh sebab itu pemerintah membuat undang-undang khusus perlindungan anak dan undang-undang khusus peradilan anak. Sanksi berarti hukuman yang harus ditanggung akibat dari perbuatan yang dilakukan.

Jenis Data atau Bahan Hukum

Dalam melakukan penulisan penelitian ini menggunakan jenis data primer dan sekunder, yaitu jenis data yang diperoleh merupakan hasil penelitian kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan undang-undang sistem peradilan pidana anak.

(7)

Untuk mempermudah dalam melakukan penulisan ini, penulis membuatnya dengan menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sumber data primer yaitu undang-undang, catatan resmi/risalah dalam pembuatan perundang-undangan.

Sumber data sekunder yaitu semua literatur-literatur tentang hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Sumber data yang dimaksud penulis di atas adalah sebagai berikut :

Primer :

 Undang-Undang Dasar tahun 1945;

 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Sekunder :

 Peradilan pidana anak di Indonesia (pengembangan konsep diversi dan restorative justice);

 Pengadilan anak di Indonesia (teori, praktik dan permasalahannya);

 Pemidanaan anak di bawah umur;

 Perlindungan hukum pidana bagi anak di Indonesia;

 Hukum pidana anak;

 Perlindungan hukum terhadap anak;

 Hukun acara pidana anak.

Proses Pengumpulan Data

Cara yang dilakukan untuk pengumpulan data pada penulisan penelitian ini yaitu melalui penelitian kepustakaan. Untuk mendukung memperoleh data secara teoritis penulis mengumpulkan bahan dan literatur yang berkaitan dengan judul skripsi yang diajukan. Dalam penelitian kepustakaan ini penulis memperoleh bahan-bahan dari :

 Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika

(8)

 Buku-buku serta bahan kuliah yang dimiliki penulis.

Proses Pengolahan Data

Dari hasil penelitian terhadap data yang diperoleh, maka penulis melakukan pengolahan data sekunder dengan cara, yaitu meneliti dan menyesuaikan atau mencocokkan data yang telah didapat.

Analisa Data

Berkenaan dengan melakukan analisa ini, penulis menggunakan metode analisa deskriptif kualitatif, yaitu uraian yang penulis lakukan terhadap data yang terkumpul tidak menggunakan angka dan tidak mengadakan pengukuran, sehingga data yang diperoleh adalah data yang bersifat deskriptif.

Oleh: Frianto Laia

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, penelitian yang dilaksanakan oleh Sukerti (2013) tentang penggunaan media gambar beseri pada pembelajaran Bahasa Indonesia yaitu keterampilan menulis narasi

Untuk info lebih lengkap mengenai tarif dan bea masuk gula, dapat dilihat di website Directorate General of Costum Taiwan , dengan memasukan 1703 atau 1704 (yang

Pada dasarnya, ujar Eriyanto dalam bukunya analisis framing, framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara

Metode Penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dapat ditemukan,

Bila tumor ini timbul di telinga tengah, gejala awal paling sering adalah nyeri, kehilangan pendengaran, otore kronis atau massa di telinga, perluasan tumor

Ragam bahasa Indonesia yang tepat digunakan dalam kampanye politik dengan model kampanye terbuka adalah ragam bahasa informal, sedangkan ragam bahasa dalam model

Hasil penelitian menunjukkan sapi-sapi endometritis pada K1 mengalami regresi CL rata-rata 32 jam setelah terapi, sedangkan pada K2, CL tidak langsung regresi setelah

Lainnya.