• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberlakuan instrumen instrumen hukum pi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keberlakuan instrumen instrumen hukum pi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Keberlakuan instumen-instrumen hukum pidana transnasional

dalam

hukum pidana nasional

Tristam P. Moeliono (1/6/2016)

Pengantar

Di dalam tulisan ini akan ditelaah persinggungan sistem hukum pidana nasional (Indonesia) dengan sistem hukum pidana internasional. Argumentasi pokok ialah bahwa ada saling keterjalinan dan

persinggungan antara hukum pidana internasional dengan hukum nasional. Di sini persoalannya bukan lagi semata-mata penegakan hukum pidana dalam rangka menjaga kepentingan nasional atau

kedaulatan, melainkan penjagaan keadaban kehidupan bersama manusia, penghormatan atas hak asasi manusia yang dilihat tidak lagi menjadi urusan negara nasional, namun kepentingan masyarakat

internasional secara keseluruhan. Dari sudut pandang ini hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional akan saling berkelindan. Kompleksitas perkelindanan inilah yang akan diuraikan di bawah. Di sini sistem hukum pidana internasional (dalam arti luas) akan dipahami melingkupi hukum pidana transnasional dan hukum pidana internasional dalam arti sempit.1 Hukum pidana internasional dalam arti sempit hanya melingkupi persoalan penormaan serta penegakan hukum atas pelanggaran 4 kejahatan internasional (international crimes) yang menjadi kewenangan Mahkamah Pidana

Internasional (International Criminal Court/ICC) untuk memeriksa dan memutusnya (sepanjang negara nasional tidak mau/mampu menanganinya sendiri).2 Persinggungan dan perkaitan antara ketiganya (hukum pidana nasional-transnasional dan internasional) pada akhirnya akan ditelaah dari sudut pandang hubungan dan saling keterpengaruhan antara sistem hukum internasional dengan sistem hukum nasional (Indonesia).

Persoalan lain yang juga akan ditelaah adalah perkaitan sistem pidana transnasional-internasional dengan penegakan hak asasi manusia (di tataran hukum nasional maupun hukum internasional). Perlu dicermati bahwa instrumen yang tersedia untuk mendorong penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia bukan semata-mata ancaman penjatuhan sanksi (dalam hukum nasional maupun hukum internasional) baik yang ditujukan terhadap Negara-Bangsa sebagai anggota masyarakat internasional ataupun terhadap pelaku individual. Pokok persoalan di sini selain menuntut

pertanggungjawaban pidana pelaku (pimpinan pemerintah sipil atau militer) terhadap pelanggaran hak

1 Cheriff M. Basssiouni (ed.), International Criminal Law, 1986, (Dobbes Ferry, New York: Transnational). Bassiouni menggunakan pengertian hukum pidana internasional dalam arti luas. Bgkn juga dengan Illias Bantekas & Susan Nash, International Criminal Law, second edition, London: Cavendish Publishing Ltd, 2003). Dijelaskan bahwa the legal basis for considering an offence to be of international import is where existing treaties or custom consider the act as being an international crime. Oleh Bassiouni dibuat 22 categories of international crimes (p. 5).

2

(2)

asasi manusia (berat-ringan) adalah pada akhirnya mendorong negara dan pemerintah untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan secara beradab. Apa yang hendak dihindari pada akhirnya adalah munculnya negara rapuh (fragile) bahkan gagal (failed) atau bahkan yang menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri (predatory state). Berkaitan dengan itu di sini kita berhadapan dengan persoalan pendefinisian pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat perbuatan Negara atau pelaku individual serta respons negara cq. pemerintah dan/atau masyarakat internasional terhadap

pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Hukum pidana nasional (Indonesia), Hukum Pidana Trans-Internasional/Internasional

Hukum pidana nasional pada umumnya melarang perbuatan yang menurut (hukum) negara yang bersangkutan dianggap perbuatan tercela.3 Penegakan hukum pidana akan diserahkan kepada negara yang melalui perangkat yang ada (sistem peradilan pidana) dapat menjatuhkan sanksi pidana sebagai reaksi hukum (negara) terhadap diperbuatnya tindakan tercela tersebut.4 Dengan demikian, norma-norma yang dirangkum oleh ketentuan-ketentuan hukum pidana nasional dan terutama penegakannya melalui pengadilan nasional dapat dibayangkan sebagai cerminan kesusilaan/moralitas masyarakat (bangsa) dan keperdulian negara untuk menjaga keadaban masyarakat (nasional).5 Melalui hukum pidana (intervensi negara dalam mengatur-menata kehidupan sosial-ekonomi warga melalui ancaman dan/atau penjatuhan sanksi pidana), negara seyogianya menjaga dan menjamin keadaban kehidupan bermasyarakat.

Sebab itu pula dapat pula dikatakan penegakan hukum pidana nasional - niscaya ditujukan pada

kepastian hukum dan keadilan (atau termasuk kemanfaatan) - terkait erat dengan kepentingan menjaga kekuasaan dan wibawa negara cq. pemerintah, termasuk legitimitas negara serta hukum (negara) dihadapan masyarakat. Berhasil atau tidaknya penegakan hukum pidana, dengan demikian, terkait erat dengan kewibawaan (kemampuan) Negara cq. pemerintah cq. penegak hukum untuk menghadirkan diri sebagai pemegang kekuasaan publik yang legitim (absah) kehadapan warga. Khususnya sebagai otoritas publik yang mampu (berdiri di atas kepentingan golongan-golongan masyarakat) untuk secara

3 Bdgkan dengan definisi hukum pidana sebagai jus poenale dan jus puniendi dalam buku ajar klasik Hukum Pidana karangan Ny. D. Hazewinkel-Suringa yang ditulis ulang oleh J. Remmelink, Inleiding tot de studie van het

Nederlandse Strafrecht. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2003).

4

Berkenaan dengan ini dalam hukum acara pidana dikenal pula asas nullum iudicium sine lege (tiada proses pidana (hukum acara pidana) tanpa ditetapkan terlebih dahulu oleh peraturan perundang-undangan). Asas ini dapat diperbandingkan – dan harus dibedakan dari – asas legalitas (nullum crimen, nulla poena sine lege praevia). Baca lebih lanjut Prof.mr.G.J.M. Corstens, Het Nederlandse strafprocesrecht (Arnhem: Gouda-Quint-D.Brouwer en Zoon, 1993), pp. 13 et seq. Dalam sistem hukum berbeda (common law), asas ini muncul pula dalam bentuk tuntutan due process atau penyelenggaraan peradilan secara benar/jujur/terbuka dan bertanggungjawab (fair).

5

(3)

monopolistik memulihkan – bila perlu dengan mendayagunakan secara sah kekuatan (-bersenjata) - ketertiban umum yang terganggu akibat tindak pidana dan melalui itu menjaga kepastian hukum dan memunculkan keadilan. Negara di sini harus dipahami se agai o ga (hukum public) yang (seharusnya mampu) memonopoli penggunaan kekuatan (bersenjata) termasuk yang ditujukan pada penegakan hukum dan penjagaan kewibawaan negara (di dalam masyarakat maupun dalam pergaulatan internasional).

Singkat kata, hukum pidana (nasional) adalah instrumen negara untuk mengatur-menata masyarakat, menjaga keadaban pergaulan hidup masyarakat, sekaligus menjaga kewibawaan serta legitimitas penyelenggaraan kekuasaan oleh negara cq. pemerintah. Kegagalan Negara untuk menegakkan hukum pidana (atau dalam hal adanya pelanggaran pidana dalam skala individual atau massal) secara terus menerus akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat akan kemampuan serta keabsahan pemerintah. Bahkan konsep negara yang rapuh (fragile) atau gagal (failed state) juga dimengerti dalam kaitan dengan aspek kemampuan pemerintah menegakkan hukum (pidana khususnya).6

Sejalan dengan berkembangnya kejahatan terorganisir yang bersifat lintas Negara (transnational & organized crime dalam pelbagai bentuk), persoalan menjaga-mempertahankan kewibawaan serta legitimitas negara tidak lagi semata-mata dapat digantungkan pada kemampuan agen-agen negara menegakkan hukum pidana nasional. Kejahatan-kejahatan lintas negara (dari sudut pandang pelaku, korban atau akibatnya) kerapkali mengganggu kepentingan lebih dari satu negara (atau setidaknya mengganggu hubungan antar negara) dan mendorong serta mengharuskan adanya kerjasama antar negara untuk mencegah atau memberantasnya. Untuk itu, perlu dibangun pemahaman yang kurang lebih serupa tentang perbuatan-perbuatan apa yang dapat dikategorikan pidana, tingkat

keseriusan/ketercelaannya dan bagaimana menyikapinya. Dengan itu muncul kesadaran perlunya harmonisasi hukum pidana nasional. Tujuannya, antara lain, mencegah impunitas. Hal mana terjadi akibat tidak terjangkaunya pelaku oleh lingkup keberlakuan hukum pidana nasional yang terbatas.7 Sebab itu pula, masyarakat (negara) di mana suatu tindak pidana berawal mula (direncanakan atau

6Isitlah i i ke ap digu aka

political commentators and journalist to describe a state perceived as having failed at so e of the asi o ditio s a d respo si ilities of a so ereig go er e t. Lihat https://www.princeton.edu/-archaney/tmve/wiki100k/docs/Failed_state.html. Sementara itu Fund for Peace menggunakan parameter: 1. Loss of physical control of its territory; or 2. of the monopoly on the legitimate use of physical force therein, 3. erosion of legitimate authority to make collective decisions, 4. an inability to provide reasonable public services, and 5. an inability to interact with other states as a full member of the international community. Na u lihat pula FFP: Fragile State Index 2014 (report written by Nate Haken, J.J. Mesner, Krista Hendry, Patricia Taft, Kendal Lawrence, Laura Brisard, Felipe Umaña (The Fund for Peace , 2014). Konsep failed state yang digagas pada 2005 diganti dengan konsep fragile state. Keduanya, berbeda dengan parameter di atas, e ujuk pada pe ge tia weak and failing states yang digunakan u tuk e gga a ka governments that have failed their people catastrophically and (sometimes) have do e it i te tio ally a d iole tly. Untuk tinjauan dari sudut pandang berbeda baca: Daron Acemoglu & James A. Robinson, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty, (Profile Books Ltd, London: 2013).

(4)

langkah awal diambil) bersama-sama negara-negara lain tempat di mana perbuatan berakhir (dan berujung pada adanya korban) atau negara-negara lain (baik yang langsung/tidak langsung terkena) akan berkepentingan mengkriminalisasi perbuatan(-perbuatan) serupa dan bekerjasama mencegah dan memberantas kejahatan lintas batas negara demikian.8

Pada tahapan ini muncul pengertian kejahatan lintas batas (transnational crimes) yang perumusannya tidak semata-mata dilandaskan pada hukum pidana nasional (dari masing-masing negara) melainkan dibentuk oleh dan dalam kesepakatan antar negara yang dituangkan dalam perjanjian internasional. Dalam hal ini kita berbicara tentang hukum pidana trans-nasional (transnational criminal law). Dengan kata lain, dalam perjanjian internasional, negara-negara (sebagai bagian dari masyarakat internasional dan bukan lagi sekadar masyarakat dalam lingkup negara nasional) yang kemudian bersepakat untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan tertentu (yang dianggap mengancam kepentingan bersama) dan bekerjasama dalam pencegahan serta pemberantasannya. Di sini muncul apa yang dinamakan treaty crimes yang mencerminkan kesadaran hukum yang tidak lagi bersifat lokal/nasional. Kesadaran hukum justru dibentuk melalui perundingan internasional dan suatu perbuatan tertentu dirumuskan sebagai tindak pidana berdasarkan kesepakatan antar Negara yang dituangkan dalam wujud perjanjian internasional. Kesepakatan trans-nasional tersebut -tentang mengapa perbuatan tertentu harus dikriminalisasi- pada akhirnya tetap harus diterjemahkan melalui kebijakan/politik kriminal negara yang bersepakat dan diadopsi atau ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional dan menjadi hukum pidana nasional.

Reaksi negara-negara terhadap munculnya kejahatan (terorganisir) yang bersifat lintas batas adalah bersepakat mengkriminalisasi perbuatan (yang mungkin belum dikriminalisasi melalui hukum nasional); mengatur ihwal konflik yurisdiksi yang mungkin terjadi dan terakhir mengembangkan kerjasama di bidang penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan, termasuk bagaimana dan di mana pelaku menjalani hukuman. Konsekuensi dari itu semua kemungkinan besar adalah kecenderungan untuk mengembangkan sistem peradilan pidana yang menggunakan konsep-konsep yang mirip (dalam bentuk transplantasi atau cara-cara lain) dengan yang dipergunakan di negara-negara dengan siapa kerjasama memberantas kejahatan trans-nasional dilakukan.

Sementara itu dalam lintasan sejarah bangsa-bangsa di dunia muncul pula bentuk-bentuk kejahatan (yang dalam perwujudannya selintas tidak berbeda dengan tindak pidana biasa), namun dilakukan dan terjadi dalam konteks yang tidak biasa (extra-ordinary crimes). Ketidakbiasaan ini dapat bersumberkan pada banyak faktor. Misalnya karena dibelakang perbuatan-perbuatan tersebut (yang bagaimanapun

8

(5)

juga tetap dilakukan manusia baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama orang lain) adalah kebijakan penguasa yang mendukung terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut (state sponsored crimes).9 Dari sudut pandang itu, kejahatan yang muncul bukan lagi sekadar perbuatan jahat-tercela yang dilakukan kelompok-kelompok criminal (organized crimes atau sebagai bagian dari permufakatan jahat) ataupun perseorangan (individual crimes) yang terjadi acak. Kejahatan yang dilakukan perseorangan atau kelompok ternyata merupakan bagian dari kebijakan Negara. Aparat negara dalam hal ini secara aktif melakukan sesuatu (memberi perintah) atau tidak melakukan apapun sekalipun sebenarnya

berkewajiban untum melakukan sesuatu (pembiaran: tidak memberikan reaksi apapun sebelum, pada saat kejadian maupun pasca kejadian). Dikatakan pula bahwa kejahatan tersebut dikategorikan sebagai luar biasa karena sebarannya meluas, terjadi secara sistematis atau terpola dan masif. Selanjutnya karena skala sebaran dan sifat jahat perbuatan (tindak pidana tersebut) sedemikian luar biasa-nya (extra-ordinary), maka acap menjadi perhatian/kecemasan dari masyarakat internasional (most serious crimes of concern to the international community as a whole). Bentuk-bentuk kejahatan seperti inilah yanga memunculkan kajian hukum pidana internasional (arti sempit/core crimes).

Di sini dapat diajukan pertanyaan apa yang membedakan tindak pidana dalam hukum pidana nasional, hukum pidana trans-nasional dan hukum pidana internasional serta bagaimana membedakan hukum pidana trans-nasional dari hukum pidana internasional. Jelas bahwa criterium umum beranjak dari dalam wujud apa ketentuan pidana ditemukan. Apakah rumusannya dapat ditemukan dalam hukum nasional saja ataukah kriminalisasi perbuatan merupakan akibat dari adanya kesepakatan-kesepakatan internasional. Dalam hal yang disebut terakhir kriminalisasi suatu perbuatan tertentu karena itu terjadi karena adanya kesepakatan antar negara. Dapat dimengerti mengapa kemudian hukum pidana

internasional mencakup baik hukum pidana trans-nasional (dalam arti luas) maupun hukum pidana internasional (dalam arti sempit).

Criterium pembeda penting lain antara hukum pidana nasional dengan hukum pidana internasional adalah konteks (latarbelakang/situasi kondisi di mana perbuatan dilakukan). Dalam hal ini kita tidak hanya berbicara tentang unsur-unsur atau elemen dari tindak pidana (actus reus dan mens rea), namun juga menyinggung soal chapeau elements. Ini menjadi titik pembeda penting antara hukum pidana trans-nasional dengan hukum pidana internasional dalam arti sempit. Untuk yang terakhir, chapeau

9

(6)

elements sebenarnya dapat dimengerti tidak berbeda dengan unsur delik. Satu perbuatan, misalnya pembunuhan, penganiayaan atau perkosaan, dapat ditempatkan dalam konteks berbeda-beda. Pelaku dapat melakukan perbuatan tersebut berdasarkan ragam niatan (dalam gradasi pengetahuan dan kehendak yang berbeda), namun dalam konteks yang berbeda: apakah sebagai bagian dari kejahatan perdagangan manusia (human trafficking) atau perdagangan narkotika dan obatan-obatan terlarang (kejahatan trans-nasional) ataukah pada pelaku ada niat memusnahkan (genosida); perbuatan sebagai bagian dari kegiatan terpola (meluas dan sistematis) atau terjadi dalam situasi internal/international armed conflict).

Dari sudut pandang ini, pengujian terhadap chapeau elements berdampak pada pengklasifikasian perbuatan (berdiri sendiri atau dalam perkaitan dengan rangkaian perbuatan lain) sebagai tindak pidana dalam konteks hukum transnasional atau hukum pidana internasional dalam arti sempit. Artinya juga sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) atau pelanggaran hak asasi yang bersifat luar biasa (bukan tindak pidana biasa) yang membutuhkan penanganan khusus (extra-ordinary measures), tidak semata-mata melalui proses peradilan pidana biasa.

Hukum pidana transnasional dan hukum pidana internasional, bersama-sama membentuk kajian hukum pidana internasional yang dikontraskan dari kajian hukum pidana nasional.10 Beranjak dari itu semua dapat digambarkan hubungan atau keterkaitan antara hukum pidana trans-nasional dan hukum pidana internasional sebagai berikut:

Lingkup Hukum Pidana Internasional (sempit-luas)

Tanggungjawab Negara terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia-Hukum Pidana Trans-Internasional

10 Satu perbedaan penting ialah bahwa untuk hukum pidana internasional (sempit dan luas), maka kajiannya meniscayakan pendekatan lintas bidang hukum (hukum publik internasional, hukum dan hak asasi manusia, hukum pidana, bahkan juga politik dan hubungan internasional). Pendekatan multi-inter disipliner ini tidak mutlak diperlukan dalam kajian hukum pidana nasional.

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Trans-National Crimes

Perbuatan dikriminalisasi oleh masyarakat internasional (melalui perjanjian internasional; drug-human trafficking, korupsi dll.). Namun disidik,

didakwa/dituntut dan diadili menurut hukum nasional.

Core- Crimes Most serious crimes of concern

(7)

Satu hal lain yang kerap membingungkan adalah kecenderungan umum untuk mengkategorikan semua tindak pidana (termasuk yang diatur dalam hukum nasional maupun hukum pidana internasional dalam arti luas) sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Semua perbuatan (berbuat/tidak berbuat) yang melanggar hak orang lain dan/atau menimbulkan kerugian akan bersinggungan dengan atau

mengurangi bahkan meniadakan hak (asasi) orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan hak asasi mencakup hak asasi generasi pertama (hak-hak sipil-politik); generasi kedua (hak ekonomi, sosial dan budaya) dan dari generasi ketiga (hak-hak yang bersifat komunal). Jika ini menjadi acuan, maka setiap perbuatan melawan, baik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tertulis maupun melanggar hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan, perasaan hukum masyarakat, rasa keadilan, kepatutan, dll), dapat begitu saja dipersamakan dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Juga menambah kerumitan adalah kecenderungan untuk memandang setiap perbuatan anggota angkatan bersenjata (agen negara yang memonopoli kewenangan penggunaan kekerasan) yang

mengurangi atau meniadakan hak asasi orang lain sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Terpikirkan di sini pencurian yang dapat saja dilakukan kecil-kecilan (petty crimes), atau besar-besaran (korupsi massif dan sistematis) baik yang dilakukan warga biasa atau anggota angkatan bersenjata atau yang dilakukan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ilustrasi lain adalah penganiayaan atau pembunuhan yang seperti disinggung di atas dapat dilakukan dalam ragam konteks berbeda. Kendati begitu apakah kemudian secara konsepsional tepat untuk menggolongkan begitu saja semua perbuatan yang melanggar hak orang lain, termasuk semua perilaku anggota angkatan bersenjata, sebagai

pelanggaran hak asasi manusia yang mensyaratkan penanganan khusus oleh negara?

Sebagaimana telah diuraikan di bagian terdahulu, penegakan instrumen-instrumen hak asasi manusia dan keberlakuan ketentuan-ketentuan internasional tentang hak asasi manusia digantungkan pada adanya kesepakatan bersama (atau penerimaan di tataran internasional) tentang perlunya

negara-ega a e daulat e e i a da e gakui o a- o a a g sa a u i e salitas da i ilai-nilai (penghargaan atas hak-hak dasar/manusia) yang diusung instrumen-instrumen hak asasi manusia.

Berdasarkan itu keadaban penyelenggaraan kekuasaan negara cq. pemerintahan dan hukum nasional diukur dari norma-norma (internasional) yang dianggap universal,indivisible (hak asasi generasi pertama (hak sipil-politik), kedua (ekonomi, sosial & budaya) dan ketiga (hak-hak kelompok) merupakan satu paket kesatuan yang utuh).11 Tanggungjawab untuk melindungi, menghormati dan menegakkan hak asasi manusia secara khusus dibebankan kepada negara (atau organ yang dianggap paling wenang memegang dan menyelenggarakan kekuasaan publik untuk dan atas nama masyarakat negara). Dalam

11

Pada umumnya hak asasi manusia tidak dapat disimpangi (non-derogable) atas alasan apapun juga.

(8)

hal ini menjadi relevan pengertian failed state atau fragile state yang digambarkan sebagai negara (pemerintahan) yang gagal (tidak mau/mampu) melindungi masyarakat (warga negara sebagai perseorangan maupun dalam wujud kelompok masyarakat).

Beranjak dari itu, pelanggaran hak asasi hanya dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan Negara (berbuat melanggar hak atau tidak melakukan apa yang menjadi kewajiban) terhadap warganegara. Sedangkan penegakan dan penghormatan hak asasi ditujukan pada individu atau kelompok masyarakat. Maka pelanggaran hak asasi (yang niscaya dilakukan negara atau tepatnya agen-agen negara, baik secara aktif maupun secara pasif: tidak melakukan apa yang menjadi kewajiban hukum) memunculkan hak pada warganegara untuk menuntut negara berbuat sesuatu: menindak pelaku pelanggaran hak asasi manusia, menghilangkan kondisi yang menyebabkan munculnya pelanggaran hak asasi, dan/atau memberikan kompensasi, gantirugi atau satisfaction (pengakuan adanya pelanggaran hak asasi manusia, pernyataan bersalah dan/atau permohonan maaf).12

Pelanggaran hak asasi manusia, dengan demikian, tidak dapat dipandang sertamerta sama dan sebangun dengan perbuatan individu atau kelompok (masyarakat) yang dikualifikasikan sebagai

pelanggaran hukum pidana (nasional). Betul bahwa setiap tindak pidana umum (penipuan-penggelapan, pencurian, penganiayaan, pembunuhan, pencemaran nama baik, pemerkosaan, dstnya) niscaya

melanggar hak orang lain (individual atau kelompok). Bahkan dalam hal pembunuhan misalnya meniadakan hak (asasi) orang lain untuk hidup.

Berhadapan dengan tindak pidana umum tersebut reaksi sewajarnya yang diharapkan dari Negara (kepolisian, Kejaksaan, Kekuasaan Kehakiman atau lebih abstrak: sistem peradilan pidana) adalah

12

Misalnya yang terjadi dalam kasus comfort women (budak seks/jugun lanfu) yang dipekerjakan di rumah pelacuran semasa pendudukan balatentara Jepang di wilayah Asia (1942-1945). Apa yang dituntut para korban

uka sekada ga ti ugi, elai ka pe gakua se a a es i ada a ke ijaka buruk yang menempatkan diri mereka sebagai korban (dan bukan pelaku pelacuran) dan permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Apa yang juga mereka tuntut adalah pe uliha a a aik , dala a gka e alika pe sepsi as a akat atau stigma

(9)

menegakan aturan hukum pidana yang sudah ada. Dalam proses pemeriksaan di pengadilan (nasional) lagipula pembuktian ditujukan untuk mengungkap kebenaran materiil tentang apa yang terjadi dan berdasarkan itu memutus apakah terdakwa benar bersalah atau tidak serta kemudian apakah ia dapat di i taka pe ta ggu gja a a pida a. Ba u ila a a ega a e ga aika ke aji a e egakkan huku pida a , dala a ti tidak e espo s ada a suatu ti dak pida a de ga e egakkan hukum pidana, agen-agen negara dapat dikatakan telah melanggar hak asasi korban (untuk mendapat keadilan dan perlindungan yang sejatinya juga bersifat non-diskriminatif) dari negara. Lebih jauh lagi, agen negara juga dikatakan telah mengkhianati kepercayaan warga atau anggota masyarakat apabila Negara (rezim pemerintah yang berkuasa) mengembangkan kebijakan sistematis, meluas dan masif untuk

e u uh as a akat atau a ga ega a se di i sekada ka e a alasa pe edaa suku, as, agama/keyakinan atau demi mewujudkan agenda/kebijakan politik tertentu atau dalam rangka

mewujudkan-mempertahankan suatu ideologi resmi negara.13 Dalam hal ini kita berbicara tentang state sponsored crimes, rogue state, bahkan failed state yang telah disinggung sebelumnya. Pemerintahan negara seperti ini akan dikatakan tidak mau atau mampu untuk melindungi warga negara dengan memberdayakan sistem peradilan pidana nasional (yang mencakup hukum pidana materiil maupun hukum pidana prosesuil).

Di samping itu harus pula dibedakan antara konflik vertikal (negara dengan masyarakat/warganegara) dengan konflik antar individu dengan individu lainnya atau satu kelompok dengan lainnya. Beranjak dari pemahaman di atas tentang pelanggaran hak asasi manusia dan kewajiban negara ketika berhadapan dengan pelanggaran hukum pidana, hanya kategori yang pertama yang menghasilkan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal ini kualifikasi perbuatannya adalah negara (khususnya aparat atau agen negara) lalai melakukan apa yang menurut hukum negara menjadi kewajibannya (melindungi-menjaga hak asasi warga masyarakat).

Berkaitan dengan itu, dihadapan hukum internasional, yang dituntut adalah tanggungjawab (hukum) Negara cq. pemerintah untuk menjalankan kewajiban melindungi dan menghormati hak asasi manusia. Untuk itu, pada tataran internasional dibentuk sistem dan mekanisme pelaporan kinerja penaatan Negara terhadap instrument-instrumen hak asasi manusia, badan-badan pengawas dan forum evaluasi diri internasional (dibentuk melalui perjanjian-perjanjian internasional yang memuat penegasan adanya sejumlah hak asasi manusia baik umum maupun khusus).14 Sistem pelaporan (evaluasi diri oleh Negara ataupun dilakukan secara eksternal, misal oleh Human Right Watch, Elsam dll.) pada akhirnya

dimaksudkan sebagai upaya mendorong negara untuk mengembangkan serta terus mengupayakan kebijakan negara yang perduli pada penghormatan hak asasi manusia. Artinya juga di tingkat

13

Kasus ekstrim adalah Jerman di bawah pemerintahan Hitler (1937-1945) yang mengembangkan kebijakan the last solution untuk menghapus bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa non Aria lainnya dari muka bumi. Ilustrasi lainnya adalah Cambodia. Pemerintahan Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot, dkk. pada era 1970-1980 memaksakan terwujudnya masyarakat egaliter (komunis) dengan membantai hampir ¾ populasi rakyatnya sendiri (the killing fields).

14

(10)

internasional tidak setiap pelanggaran hak asasi manusia yang dapat dipersalahkan kepada (agen-agen)

ega a aka di espo s de ga tu tuta pe ta ggungjawaban pidana di bawah hukum nasional maupun

huku i te asio al .

Sebab itu pula harus ditarik garis pembeda antara penegakan kewajiban internasional dari negara untuk menghormati dan menegakkan norma-norma hak asasi manusia sebagaimana muncul dalam perjanjian-perjanjian internasional atau sumber hukum internasional lainnya (international human right law) dengan persoalan penegakan hukum pidana trans/internasional (yang pada pokoknya juga melanggar atau meniadakan hak asasi orang lain). Dalam lingkup hukum pidana trans/internasional fokusnya bukan pada tanggungjawab negara untuk mengembangkan hukum nasional yang melindungi-menghormati hak asasi warga melainkan pada pengembangan ketentuan pidana yang disepakati bersama dan

tanggungjawab penegakannya - melalui sistem peradilan pidana nasional - ada pada negara-negara yang bersepakat. Perbuatan-perbuatan tertentu tidak lagi dilarang hanya oleh hukum pidana nasional

(peraturan perundang-undangan suatu negara), namun justru dinyatakan (atau negara didorong untuk mengkriminalisasi) sebagai tindak pidana oleh perjanjian-perjanjian (atau hukum kebiasaan)

internasional. Kendati demikian, penaatan dan penegakannya - karena menyangkut penegakan

ketentuan pidana - tetap mengandalkan sistem peradilan pidana nasional. Bahkan juga bila menyangkut perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai international (core) crimes dan masuk ke dalam lingkup yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, sistem peradilan pidana nasional tetap akan didahulukan (complementarity principle).

Perbedaan dalam urusan penegakan instrumen hak asasi (internasional) dengan hukum pidana internasional dapat dirangkum sebagai berikut:

Hukum Internasional (hak asasi manusia) (International Human Rights Law)

Perilaku Negara (berbuat/tidak berbuat), tidak sertamerta bersifat jahat (criminal in nature)

Monitoring, Pelaporan, Pemberdayaan (capacity building), pengajuan pengaduan perseorangan (individual complaints), dstnya.

Penyidikan dan Penuntutan, pelibatan korban (individual), kompensasi korban (kolektif)

(11)

internasional).

Dari gambar di atas kiranya jelas bahwa hukum pidana internasional maupun hukum pidana

transnasional bagaimanapun juga dalam penegakannya terutama akan mengandalkan sistem peradilan pidana nasional (criminal justice system). Norma-norma hukum pidana (substantif maupun prosesuil) di tataran trans-nasional atau internasional pada akhirnya harus diterjemahkan (transformasikan) ke dalam ketentuan pidana dalam hukum nasional agar dapat ditegakkan dan diberdayakan untuk melindungi kepentingan umum dan/atau hak asasi manusia. Di samping itu perlu ditambahkan di sini bahwa satu persinggungan penting dari ketiga lingkaran di atas muncul dalam wujud asas-asas hukum pidana (nasional maupun internasional). Dua asas hukum pidana materiil terpenting (di luar asas-asas hukum pidana procesuil; misalnya asas presumption of innocence, unus testis nullus testis dll.) adalah asas legalitas dan non-retroactivity yang diturunkan dari asas pertama. Keduanya akan dibahas di bawah ini.

Asas legalitas dalam Hukum Pidana (nasional-internasional)

Asas legalitas tercantum dalam ketentuan Pasal 1(1) KUPidana Indonesia (Pasal 1(1) RKUHP 2013) menyatakan: Tiada suatu pe uata dapat di pida a, ke uali atas kekuata aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli). Asas ini terjalin erat dengan asas non-retroaktif (peraturan perundang-undangan, khususnya ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut). Apa yang hendak dicegah dengan asas ini adalah kesewenang-wenangan penguasa tatkala menghukum seseorang atas suatu perbuatan yang dilakukannya. Harus ada kepastian hukum (dalam wujud lex scripta (tertulis),lex certa (precise: tidak multitafsir) dan lex praevia (foreseable)) bagi semua orang perihal perbuatan apa yang diperbolehkan dan dilarang (dan diancam pidana). Dapat dikatakan merupakan pelanggaran keadilan dan kepastian hukum bila seseorang dihukum atas dasar ketentuan pidana yang pada saat perbuatan itu dilakukan belum dinyatakan sebagai tindakan tercela yang (secara tegas) diancam hukuman (sanksi pidana).

Asas legalitas, termasuk larangan menjatuhkan sanksi pidana yang lebih berat daripada yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, dapat kita temukan tercantum pula di dalam ICCPR, Konvensi Hak Anak dan banyak konvensi hak asasi manusia regional lainnya.15 Disebutkan tegas di dalam ICCPR bahwa asas ini tidak dapat disimpangi (non-derogable). Sedangkan Konvensi Hak Anak (Convention on the right of the child) tidak mengizinkan peluang untuk menyimpanginya. Berkaitan dengan statuta Roma, ketentuan Pasal 22 menegaskan bahwa penerapan ketentuan International Criminal Court (ICC) tidak berlaku surut dan ketentuan pidana dalam Statuta harus ditafsirkan ketat (strictly construed), dan tidak boleh diperluas dengan tafsir analogis. 16 Selanjutnya ditegaskan jika terdapat keragu-raguan terhadap ketentuan ICC, rumusan tindak pidana harus ditafsirkan demi kepentingan tersangka atau terdakwa.

15

International Covenant on Civil and Political Rights, Art. 15(1); Convention on the right of the child, Art. 40(2)(a); European Convention on Human Rights, Art. 7(1); American Convention on Human Rights, Art. 9; African Charter o Hu a a d People s ‘ights, A t. .

16

Itu pula sebabnya dalam hukum pidana (materiil) tidak diperkenankan digunakan penafsiran analogis

(12)

Menjadi persoalan ketika di Indonesia kebebasan hakim untuk menemukan hukum (dan peduli pada rasa keadilan) diterjemahkan sedemikian rupa sehingga de facto dapat menghukum seseorang karena bersalah melanggar hukum kebiasaan (tidak tertulis) yang berlaku dalam masyarakat. Tidak tertulis di sini harus dimaknai sebagai tidak dirumuskan dalam ketentuan pidana yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.17 Maka suatu perbuatan tertentu dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana bertitik tolak dari nilai-nilai (agama-adat-kepercayaan-hukum kebiasaan) yang berlaku dalam (segmen) masyarakat tertentu. Peluang ini bahkan dilegitimasikan oleh RKUHP (hukum pidana tertulis tidak mengurangi keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat; Pasal 3).18 Sekalipun ditambahkan bahwa hukum yang hidup (hukum adat atau hukum kebiasaan: tidak tertulis) dianggap berlaku hanya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa (Pasal 1(4) RKUHP). Tampaknya pembuat undang-undang di sini hendak mengakomodasikan kenyataan adanya pluralisme hukum (pidana) dalam kebhinekaan (suku-ras & agama/keyakinan) masyarakat Indonesia, namun sekaligus, mempertahankan (karena tidak ada pilihan dari sudut pandang kewajiban negara untuk mematuhi dan menghormati hak asasi) asas legalitas dalam arti memunculkan kepastian (lex certa dan lex scripta). Dari sudut pandang ini asas legalitas dapat dipandang berlaku dan mengikat negara Indonesia (dan juga masyarakat internasional) sebagai asas-asas hukum umum (berlaku dan mendasari hukum pidana nasional) yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (negara-negara modern).

Hukum Pidana Trans-Nasional dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia

Persoalan yang akan akan diulas di sini dan ditelaah dalam kaitannya dengan sistem hukum nasional Indonesia berkenaan dengan penandatanganan dan peratifikasian perjanjian-perjanjian internasional yang memuat kewajiban negara peserta untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan tertentu. Kehendak bersama tersebut muncul dari adanya kepentingan bersama negara-negara di dunia untuk

memberantas perbuatan tertentu yang dianggap menggangu kepentingan bersama. Sebagai ilustrasi semena-mena oleh hakim pidana dan dihukumnya pelaku padahal melakukan perbuatan yang pada waktu

dilakukan belum dinyatakan terlarang oleh hukum pidana. Sikap atau pandangan ini pula yang kiranya melandasi putusan Mahkamah Konstitusional (003/PUU-IV/2006); 25 juli 2006) yang menolak ajaran melawan hukum materiil dalam kaitan dengan UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (tentang pemberantasan tindak pidana korupsi). Dalam

pandangan MK, suatu perbuatan hanya dapat ditetapkan sebagai tindak pidana (korupsi) hanya berdasarkan aturan tertulis yang sudah ada sebelumnya.

17

Contoh dari itu adalah zinah (atau kumpul kebo) dalam konteks hukum kebiasaan/agama ataupun hukum adat harus dimaknai berbeda dari tindak pidana zina (kesusilaan) dalam KUHPidana/WvS yang ditujukan melindungi ikatan perkawinan monogamy (BW jo UU 1/1974). Namun, sebaliknya juga bisa terjadi. Satu perbuatan yang di dalam KUHPidana atau hukum pidana formal dikualifikasikan sebagai tindak pidana (penculikan), dalam sejumlah hukum masyarakat adat tertentu justru diperkenankan (diam-dia se agai jala kelua da i ke aji a

membayar aha . Me ulik a ak gadis u tuk ke udia dipe su ti g da setelah a dida aika e u ut aturan adat dengan mengikuti upacara adat tertentu) dalam konteks pandangan hidup masyarakat yang

e sa gkuta uka lah ti dak pida a atau pe uata te ela ang harus diancam dengan sanksi pidana bila terjadi pelanggaran terhadapnya. Satu persoalan berbeda berkenaan dengan honor killing, pembunuhan untuk membela kehormatan diri. Dalam khasanah hukum adat Indonesia dikaitkan dengan budaya siri (Bugis-Makassar) atau carok (Madura).

18

(13)

dapat disebut, misalnya, Convention against Transnational Organized Crimes dan Convention against Corruption yang menargetkan perbuatan korupsi untuk diberantas karena mengganggu tujuan bersama: membangun kerjasama ekonomi yang lebih erat antar negara. Singkatnya, dalam hal hukum pidana trans-national, ihwalnya adalah munculnya kesadaran masyarakat internasional (atau anggota majelis umum PBB) akan adanya kejahatan yang seringkali bersifat lintas batas dan penanganannya

meniscayakan kerjasama antar Negara. Kerjasama tersebut tidak cukup hanya pada tataran penegak hukum, namun justru harus mencakup upaya menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang pidana materiil maupun hukum acara pidana. Dengan kata lain, pemberantasan perbuatan yang dikategorikan sebagai trans-national crimes (yang harus dibedakan dari international crimes) dan penegakannya (melalui penerapan hukum pidana nasional) digantungkan pada kerjasama antar negara. Perlu adanya pengaturan kerjasama ini kemudian mendorong perumusan perjanjian internasional dan bentuk-bentuk kerjasama lain (seperti ekstradisi dan mutual legal assistance on criminal matters). Secara umum dapat dicermati langkah pertama adalah menegaskan kesepakatan untuk

mengembangkan kebijakan di tataran internasional dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana yang bersifat lintas batas, termasuk ke dalamnya kesepakatan untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan melalui hukum pidana nasional. Beranjak dari sini dapat dipahami pula rasionalitas prinsip aut dedere aut judicare: yakni, pilihan yang diberikan kepada negara nasional untuk menghukum tersangka pelaku kejahatan (trans-nasional) atau mengadilinya sendiri dalam rangka menghindari impunitas.19 Langkah kedua adalah membuat kerangka kerjasama dalam wujud perjanjian internasional yang memuat kesepakatan tentang pencegahan-pemberantasan maupun penegakan hukum pidana terhadap kejahatan tertentu yang dikualifikasikan sebagai transnational (organized) crime. Beranjak dari itu, negara-negara dapat mengembangkan kerangka kerjasama dalam rangka penegakan hukum pidana masing-masing negara (mutual legal assistance). Singkat kata melalui kesepakatan internasional negara-negara peserta tidak saja bersepakat menyelarasakan kebijakan hukum pidana, namun juga cara

bagaimana eksekutif-birokrasi (termasuk yustisi) harus dikelola dan dijalankan.

19U tuk ulasa u u da i p i sip i i a a: A est I te atio al, I te atio al La Co issio : The O ligatio

to Extradite or Prosecute (Aut Dedere Aut Judicare), (London: Amnesty International Publications, 2009). Dise utka di dala a ah a: Under the related aut dedere aut judicare (extradite or prosecute) rule, a state may not provide a safe haven for a person suspected of certain categories of crimes. Instead, it is required either to exercise jurisdiction (which would necessarily include universal jurisdiction in certain cases) over a person suspected of certain categories of crimes or to extradite the person to a state able and willing to do so or to surrender the person to an international criminal court with jurisdiction over the suspect and the crime. Di samping itu

ditambahkan bahwa: The aut dedere aut judicare obligation is contained in a number of conventions of different nature covering both crimes under international as well as ordinary crimes of international concern and

international private law . Bdgkan juga dengan studi yang dilakukan M. Cheriff Bassiouni & Edward Martin Wise, Aut Dedere Aut Judicare: The Duty to Extradite Or Prosecute in International Law (London: Martinus Njihoff Pu lishe s, 99 . Be ke aa de ga pe soala i ple e tasi a a pula: Mi hael J. Kell , CHEATING JUSTICE BY CHEATING DEATH: THE DOCTRINAL COLLISION FOR PROSECUTING FOREIGN TERRORISTS – PASSAGE OF AUT

DEDERE AUT JUDICARE INTO CUSTOMARY LAW & REFUSAL TO EXTRADITE BASED ON THE DEATH PENALTY,

(14)

Dengan cara ini pula, u ul paksaa halus pada ega a-negara non peserta (bukan penandatangan atau penandatangan namun tidak/belum meratifikasi) untuk menyelaraskan tidak saja kebijakan nasional namun khususnya juga hukum pidana asio al e eka pada sta da e sa a a g dikembangkan melalui perjanjian internasional tersebut. Dengan kata lain norma-norma yang

terkandung di dalamnya dapat dikatakan merupakan cerminan opinio iuris negara-negara anggota PBB dan konvensi menjelma sebagai kodifikasi-kristalisasi bahkan progressive development dari ius

constituendum dari hukum (pidana) transnasional.

Bagaimana proses demikian muncul akan dijelaskan dengan menguraikan kemunculan dan kesepakatan pokok yang termuat dalam dua konvensi internasional yang diratifikasi Indonesia, yaitu The UN

Convention against Transnational Organized Crime (UN-TOC) dan The UNConvention against Corruption (UN-CAC). Keduanya akan digunakan sebagai ilustrasi untuk menunjukkan kompleksitas keterjalinan hukum pidana trans-nasional dengan hukum pidana nasional.

UN Convention against Transnational Organized Crime

Konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan GA Resolusi 55/25 (15 november 2000). Perjanjian ini dibuka untuk ditandatangani peserta konferensi di Palermo, Italy, pada 12-15 desember 2000.20 Berbarengan dengan Konvensi ini dibuat 3 protokol yang mengatur bentuk-bentuk khusus kejahatan terorganisasi, yaitu the protocol to prevent, suppres and punish traficking in persons, especially women and children;21 the protocol against the smuggling of migrants by land, sea and air;22 dan the protocol against the illicit manufacturing of and traficking in firearms, their parts and

components and ammunitions.23 Ketiga protokol di atas hanya terbuka untuk ditandatangani negara yang telah meratifikasi Konvensi induk (UN Convention against Transnational Organized Crime/UN TOC). Tujuan utama dari UN Convention against TOCadalah: to promote cooperation to prevent and combat

tra s atio al orga ized ri e ore effe ti ely Art. 1 . Kerjasama untuk mencegah dan memberantas

(menanggulangi) suatu perbuatan yang oleh negara-negara disepakati untuk dirumuskan sebagai kejahatan dilakukan dengan membebankan pada negara peserta/pihak sejumlah kewajiban. Dalam rangka itu, maka negara peserta (Pasal 5):

20

Status as at 07-08-2013: entry into force 29 september 2003, in accordance with article 38; signatories: 147; parties: 177. This convention was adopted by res. A/RES/55/25 of 15 november 2000 at the fifty-fifth session of the UNGA. (periksa www.unodc.org/unodc/en/treaties/CTOC/signatures.html. accessed 07/08/2013). Indonesia tandatangan pada 12 dec 2000 dan ratifikasi pada 20 apr. 2009.

21

Status at 07/08/2013: entry into force 25 december 2003, in accordance with article 17; signatories 177; parties 157. This protocol was adopted by res. A/RES/55/25 of 15 november 2000 at the fifty-fifth session of the GA of the UN. (periksa www.unodc.org/unodc/en/treaties/CTOC/signatures.html. accessed 07/08/2013). Indonesia

tandatangan pada 12 dec 2000 dan ratifikasi pada 28 sept 2009. 22

Status at at 07-08-2013: entry into force 28 january 2004, in accordance with article 22; signatories 112; parties 137. This protocol was adopted by res. A/RES/55/25 of 15 november 2000 at the fifty-fifth session of the GA of the UN. (periksa www.unodc.org/unodc/en/treaties/CTOC/signatures.html. accessed 07/08/2013). Indonesia

tandatangan pada 12 dec 2000 dan ratifikasi pada 28 sept 2009.

(15)

1 ... shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:

(a) Either or both of the following as criminal offences distinct from those involving the attempt or completion of the criminal activitiy:

(i) Agreeing with one or more other persons to commit a serious crime for a purpose relating directy or indirectly to the obtaining of a financial or other material benefit and, where required by domestic law, involving an act undertaken by one of the participantas in furterance of the agreement or involving an organized criminal group;

(ii) Conduct by a person, who, with the knowledge of either the aim and general criminal activitiy of an organized criminal group or its intention to commit the crimes in question, takes an active part in:

a. Criminal activities of the organized criminal group;

b. Other activities of the organized criminal group in the knowledge that his or her participation will contribute to the achievement of the above described criminal aim; (b) Organizing, directing, aiding, abetting, facilitating or counselling the commission of serious crime

involving an organized criminal group. 2. (...)

3. (...)

Kemudian Pasal 6(1) menetapkan (criminalization of laundering of proceeds of crime):

Each party shall adopt, in accordance with fundamental principles of its domestic law, such legislative and other measures as may be necessary to establish a criminal offences, when committed intentionally:

(a)

(i) the conversion or transfer of property, knowing that such property is the proceeds of crime, for the purpose of concealing or disguising the illicit origin of the property or of helping any person who is involved in the commission of the predicate offence to evade the legal consequence of his or her action;

(ii) the concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement or ownership of or rights with respect to property, knowing that such property is the proceeds of crime;

(b) (dstnya)

Selanjutnya ketentuan Pasal 7(1) (measures to combat money laundering) menetapkan kewajiban setiap negara (dirumuskan dengan frasa: each state party shall):

(a) (....) institute a comprehensive domestic regulartory and supervisory regime for banks and non-banks financial institutions and, where appropriate, other bodies particularly susceptible to money laundering, within its competence, in order to deter and detect all forms of money laundering, which regime shall emphasize requirement for customer identification, record keeping and the reporting of suspicious transactions;

(16)

cooperate and exchange information at the national and international levels within the conditions prescribed by its domestic law and, to that end, shall consider the establishment of a financial intelligence unit to serve as a national centre for the collection, analysis and dissemination of information regarding potential money laundering.

Sekaligus ketentuan Pasal 8(1) (criminalization of corruption) menetapkan kewajiban negara peserta untuk:

(...) adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:

(a) The promise, offering or giving to a public official, directlly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties;

(b) The solicitation or acceptance by a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties;

Kewajiban yang sedikit lebih lunak muncul dalam ketentuan Pasal 8(2) yang menetapkan:

ea h state party shall o sider adopti g such legislative and other measures as may be

necessary to establish as criminal offence conduct referred to in paragraph 1 of this article involving a foreign public official or international civil servants. Likewise each state party shall consider establishing as criminal offences other forms of corruption.

Di dalam konvensi yang sama juga dikaitkan kewajiban-kewajiban lain dalam rangka memenuhi tujuan utamanya. Satu yang terpenting berkenaan dengan mutual-legal assistance. Ketentuan Pasal 18 menetapkan:

1. State parties shall afford one another the widest measure of mutual legal assistance investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences covered by this Convention as provided for in article 3 and shall reciprocically extent to one another similar assistance where the requesting State party has reasonable grounds to suspect that the offence referred to in article 3, paragraph 1(a) or (b), is transnational in nature, including that victims, witness, proceeds, instrumentalities or evidences of such offences are located in the requested State party and that the offence involves an organized criminal group.

2. Mutual legal assistance shall be afforded to the fullest extent possible under relevant laws, treaties, agreements and arrangements of the requested state party with respect to investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences for which a legal person may be held liable in accordance with article 10 of this Convention in the requesting State Party.

3. Mutual legal assistance to be afforded in accordance with this article may be requested for any of the following purposes:

(17)

e. Providing information, evidentiary items and expert evaluations;

f. Providing originals or certified copies of relevant documents and records, including government, bank, financial, corporate or business records;

g. Identifying or tracing proceeds of crime, property, instrumentalities or other things for evidentiary purposes;

h. Facilitating the voluntary appearance of persons in the requesting state party;

i. Any other assistance that is not contrary to the domestic law of the requested state party. 4. (...).

Di samping itu juga dimungkinkan untuk mengembangkan bentuk kerjasama yang sifatnya lebih teknis. Misalnya dalam wujud investigasi bersama. Ketentuan Pasal 19 (joint investigation) menetapkan:

State parties shal consider concluding bilateral or multilateral agreements or arrangements whereby, in relation to matters that are the subject of investigations, prosecutions or judicial proceedings in one or more states, the competent authorities concerned may establish joint investigative bodies. In the absence of such agreement or arrangements, joint investigations may be undertaken by agreement on a case-by-case basis. The state parties involved shall ensure that the sovereignty nof the state party in whose territory such investigation is to take place is fully respected.

Ketentuan-ketentuan yang dikutip di atas tidak dimaksudkan untuk menguraikan secara tuntas hak dan kewajiban negara peserta di bawah konvensi. Apa yang hendak ditegaskan hanyalah bahwa rangkaian ketentuan di atas nyata memuat sejumlah kewajiban (dirumuskan dengan gradasi yang berbeda-beda: should – should consider – shall afford, dstnya) yang dibebankan kepada negara (peserta). Kewajiban mana baru dapat dikatakan dipenuhi jika negara peserta mengembangkan kebijakan di bidang legislasi nasional (perumusan ketentuan pidana yang serupa atau setara: kriminilasasi perbuatan yang sama) maupun dalam bidang pelaksanaan dan penegakan hukum pidana yang lebih bersifat

teknis-operasional. Untuk keduanya titik tolaknya bukan lagi semata-mata penjagaan wibawa hukum negara nasional atau melindungi tata tertib masyarakat nasional, melainkan kepentingan bersama (masyarakat internasional) yang merasa terancam oleh berkembangnya bentuk perilaku tertentu (kejahatan

terorganisir yang bersifat lintas batas negara).

Beranjak dari ini, maka hukum (pidana) nasional tidak lagi sepenuhnya mencerminkan nilai moralitas atau pencelaan dari masyarakat lokal atau nasional.24 Perumusan hukum pidana nasional (dan juga pada akhirnya kebijakan hukum pidana) turut dipengaruhi oleh sikap negara terhadap konvensi di atas. Ini semakin kentara jika kita perhatikan kewajiban yang muncul di bawah 3 protokol dari UN Convention against Transnational Organized Crime: protocol to prevent, suppres and punish traficking in persons, especially women and children; the protocol against the smuggling of migrants by land, sea and air; dan the protocol against the illicit manufacturing of and traficking in firearms, their parts and components and ammunition. Negara peserta yang menandatangani dan/atau meratifikasi prototol-protokol

24

Di dalam teori hukum (umum) berkembang pemikiran bahwa hukum tidak lagi (semata-mata) mencerminkan moralitas (kesusilaan) masyarakat lokal/negara. Hal ini juga dikaitkan dengan fenomena globalisasi

(18)

tersebut juga akan terbebani kewajiban untuk mengkriminalisasi sejumlah perbuatan tertentu melalui huku pida a asio al da e ge a gka ke ijaka pe egaka huku pida a a g lebih te uka terhadap kerjasama dan bantuan negara asing.

Ratifikasi oleh Indonesia dan Pengimplementasian ke dalam hukum nasional

Tercatat bahwa Indonesia telah meratifikasi UN Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi PBB menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi) melalui UU 5/2009 pada 12 januari 2009. Di dalam Penjelasan UU 5/2009 disebutkan bahwa salah satu alasan peratifikasian ialah Indonesia akan lebih mudah memperoleh akses dan kerjasama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Untuk itu pula di Indonesia (sudah) tersedia sejumlah peraturan perundang-undangan nasional: UU 1/1979 (ekstradisi); UU

22/1997(narkotika; diubah dengan UU 35/2009); UU 31/1999 (pemberantasan tindak pidana korupsi; diubah dengan UU 20/2001); UU 41/1999 (kehutanan; diubah dengan UU 19/2004 tentang PerPU 1/2004 yang mengubah UU 41/1999 menjadi UU 86/2004); UU 15/2002 (tindak pidana pencucian uang; diubah dengan UU 25/2003 & UU 8/2010)); UU 15/2003 (penetapan peraturan pemerintah pengganti UU 1/2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi UU, diubah dengan UU 9/2013); UU 1/2006 (bantuan hukum timbalbalik dalam masalah pidana;); UU 13/2006 (perlindungan saksi dan korban); dan UU 21/2007 (pemberantasan tindak pidana perdagangan orang).

Terkesan bahwa sebelum memutuskan untuk meratifikasi (pernyataan mengikatkan diri pada Konvensi), Indonesia sebenarnya sudah memastikan kesiapan dirinya sendiri (ketersediaan peraturan perundang-undangan yang relevan) untuk melaksanakan kewajiban di bawah Konvensi yang akan diratifikasi. Kewajiban untuk mengkriminalisasi sejumlah perbuatan (kejahatan yang terkait dengan narkotika; korupsi; pencucian uang) dapat dikatakan sudah dipenuhi sebelum Konvensi dinyatakan menjadi bagian dari sistem hukum nasional (melalui pernyataan berlaku ke luar: pendepositan piagam ratifikasi dan ke dalam: melalui pengundangan ratifikasi ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan). Lebih dari itu, Indonesia tampaknya juga berniat mengaitkan upaya pemberantasan terorisme dan/atau

pembalakan liar (illegal logging) pada kerjasama internasional tersebut.

Dalam situasi-kondisi seperti digambarkan di atas, ratifikasi Konvensi memberikan dasar bagi negara Indonesia untuk, dengan kerjasama internasional yang dibangun, memperluas jangkauan keberlakuan (yurisdiksi) hukum pidana (nasional). Maka menandatangani dan meratifikasi Konvensi pada prinsipnya dilakukan dalam rangka pemajuan kepentingan nasional (melindungi masyarakat dari bentuk-bentuk kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas batas[trans-national organized crimes]). Pada saat sama dengan latar belakang dibukanya peluang untuk memperluas yurisdiksi (dari negara-negara anggota secara bertimbalbalik) dapat kita tempatkan dorongan untuk menetapkan satu standar yang sama bagi proses dan sistem peradilan pidana. Apakah ini juga dapat dikatakan berguna-bermanfaat bagi

pemajuan kepentingan nasional?

(19)

perundang-undangan lain) maupun terpidana (persoalan hukum penitensier Indonesia) sudah memenuhi standar (yang dianggap baku di tataran internasional). Pertanyaan ini terkait pula dengan persoalan bagaimana memunculkan kepercayaan masyarakat internasional bahwa Indonesia adalah negara hukum dengan sistem peradilan pidana nasional yang berfungsi baik.

UN Convention against Corruption (UN-CAC)

Persoalan korupsi di Indonesia dianggap sangat serius. Kesungguhan ini tercermin setidaknya dari rangkaian perundang-undangan yang mengatur ihtiar pemberantasan tindak pidana korupsi. Dua yang utama bahkan lahir jauh sebelum UN-CAC hadir. Indonesia telah menerbitkan undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi pada awal tahun 1970-an (UU 3/1971) yang diperbaharui dengan UU 28/1999 (penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN) dan juga oleh UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 (pemberantasan tindak pidana korupsi). Berikutnya, sebagai landasan terbentuknya komisi anti korupsi pertama di Indonesia, terbit UU 30/2002 (pembentukan KPK). Berdasarkan undang-undang ini juga lalu Indonesia membentuk pengadilan khusus korupsi. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memerintahkan agar pembentukan pengadilan khusus korupsi harus didasarkan pada undang-undang tersendiri.25 Sebab itu kemudian lahir UU 46/2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Cerminan dari keseriusan penanggulangan muncul pula dalam wujud adanya tiga instansi pemerintah yang kadangkala secara tumpangtindih berwenang melakukan penyelidikan-penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus korupsi: kepolisian, kejaksaan dan komisi pemberantasan korupsi.26

25 Pada 19 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan atas judicial review Undang-Undang Nomor 30/2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), yaitu putusan MK no.

012-016-019/PUU-IV/2006. Dalam mengabulkan permohonan judicial review terhadap Pasal 53 UU KPK, MK

mengajukan 2 (dua) pertanyaan yang menjadi sasaran argumentasinya, yaitu: 1) apakah Pasal 53 UU KPK yang melahirkan dua sistem peradilan yang menangani tindak pidana korupsi bertentangan dengan UUD 1945? dan 2) apakah pembentukan pengadilan demikian (in casu Pengadilan Tipikor) secara bersama-sama dalam satu undang-undang yang mengatur tentang pembentukan sebuah lembaga yang bukan lembaga peradilan (in casu Komisi Pemberantasan Korupsi), sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU KPK, bertentangan dengan UUD 1945? Untuk menjawab persoalan pertama, MK dalam putusannya meyebutkan bahwa adanya dua pengadilan berbeda (disparitas), antara pengadilan umum di satu pihak dengan Pengadilan Tipikor di pihak lain, yang sama-sama mengadili perkara tindak pidana korupsi, bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensi dari putusan ini adalah, untuk dikemudian hari, hanya ada satu pengadilan yang menangani perkara tindak pidana korupsi, yaitu Pengadilan Tipikor.

26

Kasus cicak (KPK) versus buaya (Kepolisian RI), terkait penanganan kasus Simulator ujian SIM. Sengketa kewenangan ini dimulai sejak penetapan mantan Kepala Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang, Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka pada 27 Juli 2012 sampai penggeledahan di kantor Korlantas Mabes Polri pada tanggal 30 Juli 2012 sampai 31 Juli 2012 dini hari. Dilanjutkan dengan penetapan tiga tersangka yang sama oleh KPK dan Kepolisian, yaitu Wakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo selaku pejabat pembuat komitmen dan dua dari pihak swasta, yaitu Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang. Dua lembaga penegak hukum tersebut nampak saling bersitegang untuk mendapatkan penanganan kasus korupsi yang diduga merugikan negara mencapai Rp 100 miliar. Perang dingin dimulai ketika Kabareskrim, Komjen Pol Sutarman mengatakan bahwa Kepolisian lebih dahulu yang menangani penyelidikan kasus Simulator dan menyatakan KPK telah melanggar MoU yang

(20)

Keseriusan pemerintah mencegah dan memberantas korupsi muncul pula dalam ihtiar menandatangani dan meratifikasi UN-TOC yang memuat sejumlah kewajiban negara berkenaan dengan kriminalisasi perbuatan gratifikasi, pencucian uang, dan lain-lain. Ikhtiar serupa melandasi keputusan Indonesia untuk menandatangani (18 dec. 2003), meratifikasi (19 sept. 2006) dan selanjutnya mengesahkan UN Convention against Corruption melalui UU 7/2006.27 Konvensi ini muncul atas ihtiar Majelis Umum PBB. Berdasarkan resolusi 55/61 (4 december 2000) dinyatakan adanya kebutuhan akan instrumen hukum internasional yang terpisah dari UN Convention against Transnational Organized Crime (resolution 55/25, annex I). Naskah konvensi dirancang dari 2002 sampai dengan 2003 dan diterima sebagai final text melalui Resolusi 58/4 (31 october 2003) dan mulai berlaku (entered into force: 14 december 2005).28

UN-CAC memandang korupsi se agai threats to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law da sekaligus diakui ah a corruption is no longer a local matter but a transnational phenomenon . Atas dasa pe ti a ga i i, ditetapka seju lah tujua , aitu:

(a) To promote and strengthen measures to prevent and combat corruption more efficiently and effectively;

(b) To promote, facilitate and support international cooperation and technical assistance in the prevention of and fight against corruption, including in asset recovery;

(c) To promote integrity, accountability and proper management of public affairs and public property.

Di dalam UN-CAC tercantum sejumlah kewajiban negara untuk mengkriminalisasi perbuatan tertentu (segala bentuk korupsi). Kewajiban ini kemudian harus dioperasionalkan (ditransformasikan dari wujud kewajiban negara menjadi ketentuan pidana) ke dalam sistem hukum pidana Indonesia.

Penyelarasan Hukum Pidana Nasional (khususnya tentang korupsi) terhadap UN TOC dan UN CAC Juga harus diperhatikan bahwa persoalan korupsi sebenarnya sudah disinggung dalam UN-TOC. Maka penting untuk mencermati apakah ketentuan pidana di aras nasional, khususnya yang mengatur persoalan korupsi dalam segala bentuknya, sudah selaras baik dengan UN TOC maupun UN-CAC. Untuk itu kita harus bandingkan UN-TOC, UN-CAC, UU-Tipikor dan terakhir RKUHP (versi 2012).

Djoko Susilo diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Baca lebih lanjut: Suara Pembaharuan online, Djoko Susilo Klaim Minta Perseteruan Cicak vs Buaya Dihentikan (Selasa, 27 Agustus 2013). Bdgkan pula dengan Ramadhan Muhai i , K o o ologi Kasus “us o: Ci ak s. Bua a Hi gga Ko upsi Pilgu Ja a , detikNe s (24/04/2013).

27

Namun, UNCAC tidak diterima secara utuh oleh Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU 7/ 2006

menyatakan Me gesahka United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian “e gketa .

28

(21)
(22)

organizations. organisasi internasional.

Art. 17. Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public official

-

-Art. 18. Trading in Influence.

-

-Art. 19. Abuse of functions

Pasal 13: pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan.

Penyalahgunaan

wewenang yang

merugikan keuangan Negara (683-684):

Art. 20. Illicit enrichment - Pasal 683: memperkaya diri sendiri

Pasal 684:

menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Art. 21. Bribery in the private sector

-

-Art. 22. Embezzlement of property in the private sector

-

-Art 6(1) criminalization of laundering of proceeds of crime)

Ea h pa t shall adopt, i accordance with fundamental principles of its domestic law, such legislative and other measures as may be necessary to establish a criminal offences, when committed intentionally:

the conversion or transfer of property, knowing that such property is the

Art. 23. Laundering of proceeds of crime

(23)

-proceeds of crime, for the purpose of concealing or disguising the illicit origin of the property or of helping any person who is involved in the commission of the predicate offence to evade the legal consequence of his or her action;

Dengan menyandingkan 2 instrumen hukum internasional (UN TOC dan UN CAC) terhadap dua instrumen hukum nasional (UU Tipikor dan RKUHP 2012) dapat kita cermati seberapa jauh Indonesia sebagai negara pihak telah menyelaraskan atau berniat menyelaraskan perundang-undangan nasional (di bidang hukum pidana) berkaitan dengan komitmen mengkriminalisasi (dan selanjutnya mencegah dan memberantas melalui instrumen hukum pidana) perbuatan-perbuatan tertentu. Daftar perbuatan yang seharusnya dikriminalisasi (melalui/ di dalam hukum pidana nasional) adalah sebagai berikut: bribery, soliticing, embezzlement-misappropriation-diversion of property by public officials, trading in influence, illicit enrichment, termasuk bribery, embezzlement of property in the private sector dan laundering of proceeds of crime.

Beberapa dari perbuatan tersebut tidak kita temukan padanan ketentuan pidananya dalam UU Tipikor maupun RKUHPidana. Namun demikian, dapat dipastikan bahwa hukum pidana Indonesia mengenal bentuk tindak pidana pencucian uang. UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengancamkan dengan tindak pidana, perbuatan mencuci uang. Pencucian uang didefinisikan sebagai (Pasal 3) perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan,

membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukar dengan mata uang atau surat berharga atas perbuatan lain atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)29 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. Di samping itu, beranjak dari UU 5/1999 (larangan praktek monopoli dan persaingan usaha

29

(24)

curang), Indonesia juga mengenal ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana perbuatan-perbuatan yang sekalipun tidak identik dapat dikategorikan sebagai bribery atau embezzlement in the private sector.

Pertanyaan besarnya di sini apakah itu berarti bahwa representasi masyarakat internasional yang terwujud dalam organisasi internasional: UN dan produk pengambilan keputusan di organ PBB (UN-GA Resolution) yang kemudian terwujud lebih konkrit di dalam UN-TOC maupun UN-CAC sebenarnya tidak sedang mendikte negara berkembang (cq Indonesia) atau membatasi kewenangan pembuat undang-undang (hukum pidana nasional) dalam memutus dan menentukan ketentuan (norma) pidana apa yang harus diberlakukan untuk mengatur dan mendisplinkan masyarakat Indonesia?30 Karena pada

prinsipnya, dengan menerima UN-CAC (dan UN-TOC, serta serangkaian perjanjian internasional lain yang berkaitan dengan tindak pidana (-transnasional), lembaga legislatif nasional (DPR dan/atau Presiden) tidak lagi sepenuhnya berwenang secara otomon merumuskan moralitas masyarakat (perbuatan apa yang dinyatakan tercela dan karena itu patut diancam dengan sanksi pidana).31 Peraturan perundang-undangan yang berlaku (atau akan dinyatakan berlaku) harus selaras dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan UN-CAC.

Pada saat sama harus ditegaskan bahwa kesepakatan internasional (UN-CAC dan semua kesepakatan lainnya yang terkait dengannya) tidak dapat langsung berlaku (non-self executing). Sebagaimana nyata digambarkan di atas sejumlah ketentuan ditujukan pada negara untuk mengkriminalisasi perbuatan tertentu dan dengan cara itu mengharmonisasi ketentuan pidana (termasuk kemudian yurisprudensi). Di samping itu untuk menyelaraskan UN-CAC dengan kebijakan dan perkembangan pengaturan hukum pidana nasional perihal korupsi, negara-negara anggota UN-CAC pada november 200932 menyepakati Terms of Referencedala a gka e e tuk review mechanism that is transparent, efficient, non-intrusive, inclusive and impartial. Selanjutnya dalam para. 28 Terms of Reference di atas disepakati bahwa negara-negara peserta dan yang sedang diperiksa melalui review mechanism yang dibentuk:

30 Bdgkan Rosa Ehrenreich Brooks, The New Imperialism: Violence, Norms, a d the ‘ule of La , 101 Mich. L. Rev. 2275-2340 (2003). Ia, dengan mencermati transplantasi norma melalui hukum trans-internasional mengingatkan: Meanwhile, an important area of study slipped through the cracks - the study of how societies do or do not absorb the norms associated with international law, in a context where actors from different states interact in complex transitional and crisis situations (p. 2288). Ia e a ahka ah a: The urgency of this project is only increased by the same trends that have led some scholars to assert that international law is beginning

to look more like "real" law: the decline of the idea of absolute state sovereignty, the increasing importance of international humanrights law, the growth in transnational and regional tribunals and arbitration regimes, and the steady movement in many parts of the world towards the incorporation of international law into domestic law. 31

Sekaligus dengan itu, membongkar teori cermin (yang juga diusung oleh Carl von Savigny: hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat dan cara pandang yang menempatkan Pancasila sebagai pandangan hidup khas bangsa Indonesia yang harus menjadi sumber hukum dan norma kritik terhadap

keseluruhan bangunan hukum nasional). Periksa juga Brian Z. Tamanaha, op.cit.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menitikberatkan pada anteseden orientasi pasar yang terdiri dari variabel-variabel tekanan manajer, formalization, centralization, dan sistem reward

dimana : ITP overlay = ITP kebutuhan – ITP eksisting ao = koefisien kekuatan relatif bahan yang digunakan untuk overlay ITP kebutuhan dihitung berdasarkan perhitungan kebutuhan

Proses produksi adalah tahapan yang sangat penting dan menentukan produk dari mutu yang dihasilkan, untuk itu proses dalam suatu produksi harus diperhatikan dan

Program ini dirancang untuk memudahkan puskesmas dalam pengelolaan data dan informasi dengan input seminim mungkin dan output semaksimal mungkin... pelayanan dalam gedung : SIMPUS

Hasil penelitian menunjukkan variabel kualitas pelayanan berpengaruh terhadap loyalitas dan juga berpengaruh terhadap loyalitas melalui kepuasan, kemudian hubungan pelanggan

pertanyaan dapat digunakan untuk mengukur suatu variabel atau tidak.

Berdasarkan latar belakang yang telah uraikan di atas, maka judul dalam penelitian ini adalah : “ ANALISIS PENGARUH LOCUS OF CONTROL DAN KOMPLEKSITAS TUGAS AUDIT TERHADAP

Untuk proses ujiannya dimulai dari Guru membuat ujian pada Master Ujian dengan mengisi kolom-kolom sesuai dengan kebutuhan, pada master soal ini soal akan diacak