• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM FUNDAMENTALIS DAN POLITIK LUAR NEG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISLAM FUNDAMENTALIS DAN POLITIK LUAR NEG"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

‘ISLAM FUNDAMENTALIS’ DAN

POLITIK LUAR NEGERI AS

1

Nur Rachmat Yuliantoro

2

“Many people think that the war between Communism and the West will soon be replaced by the war between Muslim and the West.” — W. Pfaff, ‘Help Algeria’s Fundamentalists’,

The New Yorker, January 28, 1991.

“When youfight terrorism, you become a terrorist.” — M. van Crafeld,

The Eccnomist, August 15, 1998.

etiap orang yang mencermati sepak terjang politik luar negeri Amerika Serikat dalam kaitannya

dengan Islam dan negara-negara Islam hampir dapat dipastikan akan tiba pada kesimpulan yang

sama: Amerika Serikat memusuhi Islam. Kesimpulan ini mungkin tampak terburu-buru, namun

se-jumlah kasus di dekade terakhir abad ke-20 ini bisa dijadikan alasan pembenaran. Mulai dari

kasus-kasus menyejarah dalam konflik Arab-Israel sampai dengan kasus-kasus-kasus-kasus insidentil (seperti dua kali

serangan militer besar-besaran terhadap Irak, plin-plannya sikap AS dalam penyelesaian konflik

Bos-nia, embargo dagang terhadap Sudan dan Iran, kesalahan identifikasi pelaku pemboman sebuah

gedung di Oklahoma City, rencana penyusunan undang-undang Wolf/Specter tentang Freedom from

Religious Persecution, dan – yang paling mutakhir – serangan rudal ke Afghanistan dan Sudan).

Terpu-ruknya komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur membuat AS dan sekutu-sekutu NATO-nya

merasa perlu memberikan perhatian dan kewaspadaan lebih besar terhadap apa yang mereka

na-makan sebagai gerakan-gerakan ‘Islam fundamentalis’. Penyebutan mereka yang ingin kembali ke

jalan Islam dengan sungguh-sungguh (waIau harus diakui ada diantaranya yang menempuh cara-cara

militan) sebagai ‘fundamentalis’ ini tidak lepas dari gambaran menyeramkan yang salah kaprah

ten-tang Islam dan penganutnya yang dimiliki oleh khususnya masyarakat non-Islam di negara-negara

Barat.

S

Sebenarnya, pandangan bahwa ‘Islam fundamentalis’ atau ‘Islam militan’ merupakan salah

satu ancaman terhadap Barat telah muncul sejak hampir dua dekade silam. Panggilan Ayatullah

(2)

Khomeini terhadap AS sebagai The Great Satan, pekik ‘Death to America!’, kutukan terhadap Salman

Rushdie dan The Satanic Verses-nya, serta seruan Saddam Hussein untuk berjihad melawan kaum kafir

asing telah memperkuat citra Islam sebagai agama militan, ekspansionis, sangat anti-Amerika, dan

bermaksud untuk berperang melawan Barat. Demikianlah, ‘Islam fundamentalis’ acapkali dianggap

sebagai ancaman terbesar bagi stabilitas regional Timur Tengah khususnya dan

kepentingan-kepentingan Barat di dunia Islam secara lebih luas.3 Pada tahun 1980 misalnya, Menlu AS Cyrus

Vance menyatakan bahwa alasan utama keberatannya terhadap aksi militer untuk membebaskan

san-dera orang-orang AS di Teheran adalah ketakutan akan “perang Islam-Barat … Khomeini dan para

pengikutnya, yang mendambakan kesyahidan, tentu akan menyambut hangat aksi militer sebagai

jalan untuk mempersatukan dunia Islam dalam rnenghadapi Barat.”4 Pernah pula Wakil Presiden

Dan Quayle berbicara di depan para lulusan Annapolis pada tahun 1990 tentang bahaya

fundamen-talisme Islam radikal dengan memasukkannya ke dalam kelompok yang sama dengan Nazisme dan

komunisme. Majalah-majalah, surat kabar, dan siaran televisi berbicara tentang perang antara Islam

dan Barat serta tidak sesuainya Islam dengan demokrasi.

Para politisi dan praktisi Barat suka merancukan Islam dengan menggeneralisirnya sebagai

kekuatan politik secara sempit. Wujud gerakan ‘Islam fundamentalis’ yang kaku sering diartikan

se-bagai perwujudan masyarakat Islam secara keseluruhan. Walaupun kenyataannya beraneka ragam,

namun eksistensi Islam sebagai agama dunia dan kekuatan ideologis yang besar akan terus

menim-bulkan rasa takut terhadap sebuah ‘ancaman Hijau’. Islam seringkali disamakan dengan perang suci

berlatar kebencian, fanatisme dan kekerasan, tidak mempunyai toleransi, serta menekan kaum

wanita. Kesan negatif semacam ini telah mendorong lahirnya banyak gagasan dari kalangan Barat

yang berhaluan pragmatis untuk merekayasa penghancuran Islam sebagai kekuatan politik dan

ideologi. Keyakinan bahwa pertentangan pandangan dunia, nilai-nilai, dan peradaban mengarah pada

konfrontasi antara Islam dan Barat tercermin dalam headline-headline dan artikel-artikel dengan judul

yang mengancam. Sangat disayangkan, seperti media massanya, para pembuat kebijakan Amerika

Serikat juga kerap kali sangat picik: memandang dunia Islam dan gerakan-gerakannya sebagai

mono-litik dan semata-mata dalam istilah ‘ekstremisme’ dan ‘terorisme’. Inilah mainstream pandangan

masyarakat Barat, khususnya kaum intelektualnya, terhadap Islam. Keluar dan jalur ini sangat

berba-haya: seperti sikap terhadap komunisme dalam era McCarthy, tidak menolak ‘fundamentalisme

3 D. Pipes. “Fundamentalist Muslims’, Foreign Affairs, Summer 1986, pp. 939-59 – dikutip dalam J.L. Esposito, Ancaman

Islam: Mitos atau Realitas, EdisiRevisi (Bandung : Mizan, 1996), p. 14.

(3)

lam’ dipandang sebagai sama saja dengan memihak atau bersimpati pada musuh. Seorang pengamat

politik luar negeri AS bahkan mengatakan, “Bagi sebagian orang Amerika, yang mencari musuh baru

guna menguji coba kekuasaan setelah runtuhnya komunisme, Islam adalah pilihannya.”5

Isu ‘Terorisme Islam’ dan Kegusaran AS

TANPA diduga, ‘buah pahit’ menyusul peristiwa pemboman dua Kedutaan Besar AS di Nairobi,

Kenya dan Dar es Salaam, Tanzania pada tanggal 7 Agustus 1998 jatuh pada dua negara yang selama

ini dituding Amerika sebagai sarang teroris: Afghanistan dan Sudan. Merasa tidak terima atas

kema-tian 12 warganya (dari sekitar 220 orang yang tewas di lokasi-lokasi pemboman di kedua negara),

Presiden Bill Clinton pada Kamis, 21 Agustus 1998 pukul 22.00 di Afghanistan dan pukul 19.30 di

Sudan (Jumat 02.00 WIB) melakukan serangan militer dengan meluncurkan 79 rudal Tomahawk. Di

Afghanistan, rudal Tomahawk menghajar enam sasaran yang disebut-sebut sebagai tempat pelatihan

teroris yang terkait dengan Usama ibn Ladin, seorang miliarder asal Saudi. Di Sudan sasaran rudal

adalah pabrik obat Al Shifa Pharmaceutical Industries yang disebut-sebut sebagai pusat

pengemban-gan senjata kimia penghasil gas syaraf VX. Korban seranpengemban-gan rudal ini cukup dahsyat: 31 orang tewas

(24 di Afghanistan dan 7 di Al Shifa) serta 330 lainnya dikabarkan hilang.

Dalam pandangan Clinton, tindakan AS itu bukannya tanpa dasar. Dalam pidato pengantar

berjudul U.S. National Security Strategy of Engagement and Enlargement 1994, Clinton menyatakan hahwa

“Melindungi keamanan nasional (warga negara, teritori, dan pandangan hidup) AS adalah tugas

ter-penting dan konstitusional dari pemerintahan kami.” Menurut Clinton lebih lanjut, “Bahaya yang kita

hadapi saat ini jauh lebih beragam. Konflik etnis sedang meluas dan beberapa ‘negara bangsat’ (rouge

states) menjadi ancaman serius bagi stabilitas regional di berbagai penjuru bumi.” Pada subbab

Com-bating Terrorism dari pidato itu, Clinton memaparkan secara ringkas pandangan otoritas keamanan

Amerika Serikat tentang terorisme: selama kelompok-kelompok teroris tetap menjadikan warga

ne-gara dan kepentingan-kepentingan AS sebagai sasaran mereka, maka AS tetap menbutuhkan satu

unit khusus untuk menghantam kelompok-kelompok tersebut. Dengan tegas disebutkannya pula

bahwa AS akan menyerang para teroris itu, menghantam basis-basis luar negeri mereka maupun

aset-aset yang dibiayai oleh negara-negara tertentu. Pada tataran jargon, kebijakan ‘anti-terorisme’ AS

5

(4)

tampaknya tidak menimbulkan persoalan yang berarti. Namun demikian, dalam realitasnya kebijakan

ini membawa banyak implikasi negatif. Bahkan tak jarang AS menggunakan politik ‘model Rambo’

untuk melampiaskan dendam dan melestarikan kepentingannya atas nama ‘anti-terorisme’ dan

‘per-damaian’. Clinton tampaknya cukup pandai belajar dari para pendahulunya. Pada tanggal 14 April

1986, dengan alasan memburu ‘teroris’, Ronald Reagan memerintahkan pemboman terhadap dua

kota di Libya, Tripoli dan Benghazi. Tindakan ini dilakukan setelah sebelumnya AS dan sekutunya

bertubi-tubi menuding pemimpin Libya Muammar Qadhafi sebagai pihak di belakang peristiwa

pe-nyerangan kantor penerbangan Israel El Al di bandara Fiumicino, Roma dan Schwechat, Wina.

Pre-siden Mesir Husni Mubarak bahkan ikut menuduh Qadhafi terlibat dalam pembajakan pesawat

Egypt Air di Malta yang menewaskan 57 penumpangnya. Petualangan gaya ‘Rambo’ kembali

dilan-jutkan oleh George Bush dengan “pemboman habis-habisan” terhadap Baghdad pada tahun 1991

dan 1993.6

Banyak pihak menganggap bahwa serangan AS terhadap sasaran-sasaran di Afghanistan dan

Sudan adalah jelas-jelas pelanggaran kedaulatan internasonal. Bahkan sebenarnya pemboman itu

bu-kan saja merupabu-kan suatu serangan militer, tetapi juga sebuah teror dari negara adidaya terhadap

ne-gara yang secara militer lebih lemah. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Clinton pada hakikatnya

tidak mengandung substansi yang baru. Selama ini pola kebijakan luar negeri AS hampir senantiasa

mencari kambing hitam sebagai pembenar tindakan yang dilakukan guna semata-mata meningkatkan

popularitas politik di dalam negeri. Dalam kasus Afghanistan dan Sudan, ada sementara pihak yang

menduga bahwa pemboman itu merupakan upaya licik Clinton untuk mengalihkan perhatian publik

dari skandal memalukannya dengan mantan pegawai magang di Gedung Putih, Monica Lewinsky.

Dalam kaitan ‘politik pengalihan’ itu, selama sekitar tiga dekade belakangan ini publik AS dijejali

dengan pemikiran dan sikap stereotip bahwa Islam adalah agama yang mendukung terorisme dan

setiap aksi teror baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional selalu dilakukan oleh kaum

Muslimin. Sikap stereotip dan prasangka yang bias ini telah menjadi stigma di benak mayoritas rakyat

Amerika serta dimanfaatkan dengan baik oleh para presiden mereka untuk meningkatkan kredibilitas

6 AS tampaknya ‘benci tapi rindu’ dengan Saddam Hussein. Di tengah-tengah embargo ekonomi yang telah

(5)

dalam negeri mereka.7 Dalam kasus ‘perseteruan abadi’ antara Saddam Hussein dengan Bush dan

Clinton, misalnya, seorang pengamat menilai bahwa Saddam adalah aset politik untuk

memproyeksi-kan citra kenegarawanan presiden AS. Timur Tengah dijadimemproyeksi-kan sebagai “teater [bagi] presiden AS

membuat pertunjukan machismo, pamer kekuatan untuk menaikkan rating dalam pemilu, dan lahan

test kedigdayaan militer AS.”8

Meskipun Clinton di depan Sidang Majelis Umum PBB awal Oktober 1998 mengemukakan

argumen bahwa serangan itu adalah untuk menghancurkan sarang ‘terorisme fanatik’ dan bukan

di-tujukan untuk memusuhi Islam9, namun berbagai demonstrasi anti-Amerika dan pernyataan sikap

yang beragam (dari sekedar prihatin sampai pada mengutuk keras tindakan AS) segera bermunculan

di banyak negara. Argumen Clinton tampaknya tidak cukup kuat untuk menahan demo-demo itu,

apatah lagi untuk mematahkan sinyalemen bahwa apa yang dilakukannya seperti membenarkan tesis

Samuel F. Huntington: bahwa setelah runtuhnya komunisme, Islam akan tampil sebagai musuh

utama Barat, dan mengancam Barat secara politis, peradaban, dan demografis. Bersama dengan The

Roots of Muslim Rage-nya Bernard Lewis, tesis The Clash of Civilizations milik Huntington dianggap oleh banyak pengamat sebagai dua rujukan utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap dunia

Islam di dekade 90-an.

Dilema Politik Luar Negeri AS terhadap Islam

ADALAH sebuah kenyataan yang menggembirakan bahwa di Amerika Serikat saat ini Islam

me-rupakan agama dengan jumlah pemeluk terbesar kedua. Diestimasikan 8 juta muslim (42%

Afro-Afrika, 1,6% kulit putih, dan sisanya dari bangsa lain) beribadah di sekitar 1200 masjid di seluruh

Amerika. Orang-orang Islam ini pun memiliki berbagai macam organisasi, seperti American Muslim

Council, Islamic Society of North America, atau Muslim Public Affairs Council yang bertujuan meningkatkan

posisi dan peran masyarakat Muslim dalam kehidupan keseharian rakyat Amerika.10 Badan-badan ini

juga berhasil dalam ‘menggolkan’ beberapa kebijakan penting menyangkut Islam dan pemeluknya di

AS.11 Namun demikian, pelabelan terhadap Islam dan pemeluknya sebagai “kaum ortodoks, kuno,

7 ‘AS dan Tcrorisme’, Media Dakwah, September 1998, pp. 42-3.

8 S. Alhadar, ‘Saudi, AS, dan Embargo terhadap Irak’, Republika,2 Februari 1995.

9 Ini adalah contoh dan propaganda New Speak sebagaimana ditunjukkan oleh Noam Chomsky dalam Menguak Tabir

Terorisme Internasional (Bandung, Mizan, 1991).

10 ‘Aspirasi Muslim dalam Pemilu’, Media Dakwah, Desember 1996, p 26.

11 Sebagai misal, Clinton mau mengucapkan Selamat Idul Fithri pada tahun 1418H atau beberapa sekolah mengijinkan

(6)

berha-terbelakang, penganut free sex, ekstrimis, teroris, fanatik, fundamentalis, pembunuh keji” dan lain-lain

sifat buruk tetap tidak bisa dihilangkan dari benak sebagian besar rakyat Amerika, terlebih lagi para

pembuat kebijakannya. Meminjam pendapat Esposito, sikap sebagian rakyat dan pemimpin AS

ter-hadap Islam masih terkait dengan trauma Perang Salib. Kecurigaan yang berlebihan dan tidak

berala-san ini turut pula diperparah oleh intensifnya lobi Zionis melalui berbagai media, yang oleh Prof.

Edmon Greyf dari American University di Washington, D.C. disebut sebagai “aktor utama perusak

citra Islam di mata Barat.”12

Di samping pelabelan stereotip yang tidak benar itu, mereka yang tidak sependapat dengan

kebijakan-kebijakan AS “menggempur” negara-negara muslim ‘radikal’ juga mempermasalahkan

si-kap munafik, ambivalensi, dan standar ganda (al mutalawwin) Amerika.13 Pemerintah AS sering

ber-pandangan dilematis dalam melihat permasalahan politik internasional yang menyangkut

kepentin-gannya, antara pragmatis dan idealis. Amerika Serikat terus saja berkaok-kaok tentang perlunya

ja-minan perlindungan hak asasi manusia dan mengecam keras pelanggarannya di berbagai negara,

tetapi diskriminasi rasial di dalam negerinya sendiri (terhadap kaum kulit hitam atau orang-orang

In-dian misalnya) masih terus berlangsung. Seandainya di suatu tempat ada pelanggaran nyata terhadap

HAM namun Amerika tidak mempunyai kepentingan langsung di sana, maka AS akan bungkam dan

menutup mata seolah-olah tidak mengetahui apa-apa (kasus perang di kawasan Balkan 1992-1995

membuktikan hal ini). Di satu pihak AS selalu menggembar-gemborkan doktrin demokrasi sebagai

rumusan universal yang agung, yang perlu dimasyarakatkan di seluruh penjuru dunia; namun di pihak

lain AS sering bertindak kurang ajar dengan menginjak-injak kedaulatan negara lain yang menjadi

ajang kepentingan politiknya dengan dalih ‘menerapkan keadilan’. Sehubungan dengan

masalah-masalah di negara-negara dan masyarakat Islam yang menentangnya, hampir selalu AS menerapkan

kata kunci ini: mengutuk dan, kalau perlu, intervensi. Dalam konteks ini, Abdul Q. Zallum dalam Al

Hamlat ‘l-Amrikiyyah li qadha’i ‘ala ‘l-Islam mengatakan bahwa serangan AS terhadap Islam didukung

oleh lima basis utama: posisi dan pengaruh hegemonik yang kuat, kepemirnpinan di blok kapitalis,

legitimasi internasional melalui PBB, media massa, dan penguasa boneka di negara-negara Islam.14

dapan dengan kuatnya pengaruh lobi Yahudi, khususnya AIPAC (The American-Israeli Public Affairs Committee) – yang dise-but oleh Sandra Mackey dalam Passion and Politics: The Turbulent World of Arabs (1994) sebagai “The most powerful lobby in Washington.” Untuk keterangan lebih lanjut baca E. Supriyanto, ‘Membeli Kebijakan Luar Negeri AS’, Republika, 23 JuIi 1997 dan R. Sihbudi, ‘AS, Arab, dan Israel’, Republika, 24 Mei 1995.

12Ishlah, 64/IV, 1996, pp. 22-4.

13A. Yunianto, ‘Yang Penting Amrik, Broer …!’, Ishlah, 44/III, 1995, p. 37.

14 Melihat kecenderungan Barat yang memandang Islam sebagai ancaman, banyak pemerintah Muslim rnenggunakan

(7)

Bagi negara-negara muslim di Timur Tengah, ketidakkonsistenan politik luar negeri AS di kawasan

ini ditambah satu variabel lagi: negara Zionis Israel. Di kawasan rawan konflik ini

kelompok-kelompok Islam fundamentalis selalu menjadi target serangan AS; negara-negara yang ditengarai

mempunyai senjata nuklir dicap sebagai “bom Islam”, tetapi anehnya AS selalu mendukung Israel,

sang biang teroris!15

Adakah Jalan Keluar?

SEBAGAI penutup makalah singkat ini, berikut penulis sarikan argumen-argumen Esposito tentang

kemungkinan membentuk persepsi dan babak baru dalam hubungan antara Islam dan politik luar

negeri Amerika.16

Dalam memahami dan menanggapi peristiwa-peristiwa yang berlangsung dewasa ini di dunia

Islam, AS ditantang untuk menyusun paradigma baru yang positif. Ada dua alternatif untuk itu. Cara

yang mudah adalah memandang Islam sebagai ancaman yang mengglobal, yang monolitis, serta

musuh historis yang keyakinan dan agendanya sangat bertentangan dengan Barat. Pandangan dan

sikap seperti ini akan mengantarkan AS kepada kesimpulan mengenai keharusannya untuk

mendu-kung rezim-rezim sekuler (tak peduli betapa menindasnya rezim itu), dan menghindar dari segala

re-siko membiarkan naiknya pemerintahan yang berorientasikan Islam. Sementara itu, cara yang lebih

sulit adalah tinggalkan stereotip sederhana, citra, serta solusi “main tembak” seenaknya seperti

se-lama ini.

Tantangan yang dihadapi AS dewasa ini adalah keharusan dan kesanggupan untuk

meng-apresiasi keragaman aktor-aktor Islam dan gerakan-gerakannya; untuk mengetahui dengan pasti

ala-san yang menyebabkan terjadinya konfrontasi dan konflik; dan menanggapi situasi dan peristiwa

serta bantuan keuangan Barat. Lihat Esposito, op.cit.,p. 194 dan M. Hatta, ‘Mengungkap Kembali Hegemoni AS terha-dap Dunia Islam’, Al Muslimun,No. 334/XXVIII, Januari 1998, pp. 109-10.

15 Banvak kalangan yang bertanya mengapa Amerika hampir selalu mendukung dan membantu Israel, khususnya dalam

persenjataan militer dan bantuan teknis ekonorni. Bantuan ekonomi terbesar AS (jumlahnya kira-kira sama dengan 0,9% pendapatan pemerintah federal) setiap tahunnya diperuntukkan bagi Israel. Setidaknya ada empat alasan yang saling ber-saing untuk menjelaskan kenyataan ini. Keempat alasan itu adalah (1) Rasio Popular-Sentimen: mayoritas rakyat AS merasakan adanya persamaan dengan rakyat Israel, (2) Rasio Nuklir: apabila AS berperang dengan Rusia, Israel akan ber-peran sebagai garda depan pelindung NATO di Laut Mediterania, (3) Rasio Altruisme: pemerintah dan rakyat AS mem-punyai “hutang keuangan” kepada Israel menyangkut penderitaan kaum Yahudi di tangan Adolf Hitler semasa Perang Dunia II, dan (4) Rasio Dunia yang Aman bagi Rakyat Amerika: Israel akan melindungi warga negara dan investasi AS dari ‘terorisme’ dan ‘pengkhianatan’ Arab. Padahal, seperti dikatakan oleh Paul Findley dalam buku They Dare to Speak (1987), jika saja AS mau bersikap tegas, maka “No Israeli government can survive more than 30 days if it defies the order of the US president because the US is the main benefector and lifeline of Israel.” Lihat ‘Spekulasi Bantuan Amerika ke Israel’, Media Dakwah, Juni 1997, pp. 22-3.

(8)

tentu dengan tanggapan yang berdasarkan pengetahuan dan nalar, bukannya dengan reaksi

berdasar-kan prasangka semu belaka. Tentu saja, komentar yang sama harus juga dialamatberdasar-kan kepada

pendekatan yang ditempuh sementara pihak di dunia Islam ketika berhubungan dengan Barat.

Se-lama ini telah terbukti bahwa pencampurbauran antara kebodohan, penyederhanaan lewat

stereotip-stereotip, sejarah dan pengalaman, dan juga chauvinisme religio-kultural telah terlalu sering

membuta-kan kaum Muslim dan orang-orang Barat. Bila ini berlangsung terus, maka pada ujungnya yang

ter-buruk kedua belah pihak akan terperosok dalam proses “penyetanan satu sama lain” serta menafikan

segala bentuk kerja sama dan kehendak mewujudkan peaceful coexistence.

Kepentingan stabilitas, keamanan nasional, serta kredibilitas AS dapat terpengaruh pada

dekade-dekade mendatang oleh dua hal utama: (1) kemampuan penguasa Muslim untuk menanggapi

keinginan perubahan dari warganya demi partisipasi politik yang lebih besar, dan (2) kemampuan

para pembuat kebijakan AS untuk menggunakan perspektif komparatif yang menyadari dan

meres-pon beragam bentuk Islam politik dengan berbagai cara. Dukungan AS terhadap rezim penindas

hanya akan memperkuat dan meningkatkan sikap anti-Barat dan anti-Amerika, yang didasarkan pada

pandangan bahwa Amerika itu anti-Islam, selalu mendukung Israel, dan pihak yang paling

bertang-gung jawab terhadap penyakit politik, ekonomi, dan sosiokultural yang diderita kaum Muslim.

Ke-pentingan AS akan terjaga dengan baik melalui kerja sama yang selektif dan positif dengan

negara-negara Muslim, dipadu dengan kebijakan publik yang konsisten berkenaan dengan hak warga negara-negara

untuk menentukan masa depan mereka sendiri secara demokratis. Amerika Serikat haruslah mau

memperlihatkan, melalui kata dan tindakan, kepercayaannya bahwa hak menentukan nasib sendiri

dan pemerintah representatif meliputi pula negara atau masyarakat yang berorientasi Islam – jika itu

mencerminkan kehendak rakyat dan tidak mengancam langsung kepentingan AS. Ringkasnya,

kebi-jakan AS harus dibuat dalam konteks di mana perbedaan ideologi antara Barat dan Islam disadari,

diakui, dan sedapat mungkin diterima, atau paling tidak ditoleransi.

Wa Allahu a‘lam bi’l-shawwab..

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai angkutan dengan aplikasi berbasis teknologi informasi(online), baik Koperasi maupun GoJek, Uber dan GrabCar harus segera menyesuaikan diri dengan peraturan yang

Elemen beauty merupakan elemen pertama dari soft power currencies yang digunakan untuk menganalisa event World Cosplay Summit sebagai salah satu upaya diplomasi

Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I tersebut dapat diinterpretasikan bahwa (1) adanya tim ahli penyimpul pikiran dan penyimpul pendapat dengan tugas

Pada fasilitas ini yang disediakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sampah kering yang telah dipilah dapat dimanfaatkan oleh pihak lainnya yang menjadi kemitraan atau

paru atau penyakit dalam atau dokter spesialis atau dokter umum yang berserti<ikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan $trategi &*T$ di !umah $akit.  Ketua Tim

Bahan yang digunakan dalam pengembangan margarin beraroma adalah fraksi stearin dan fraksi olein dari Refined bleached deodorized palm oil (RBDPO) atau minyak sawit yang

Berdasarkan hasil analisis peta kerawanan dan observasi yang dilakukan di lapangan faktor penyebab kerawanan longsor tebing Sungai Code penggal Banteng-Gondolayu yaitu derajat

Penurunan Keluhan Xerostomia pada Pasien Radioterapi Kepala dan Leher.. Pengaruh Radioterapi Area Kepala dan Leher