‘ISLAM FUNDAMENTALIS’ DAN
POLITIK LUAR NEGERI AS
1Nur Rachmat Yuliantoro
2“Many people think that the war between Communism and the West will soon be replaced by the war between Muslim and the West.” — W. Pfaff, ‘Help Algeria’s Fundamentalists’,
The New Yorker, January 28, 1991.
“When youfight terrorism, you become a terrorist.” — M. van Crafeld,
The Eccnomist, August 15, 1998.
etiap orang yang mencermati sepak terjang politik luar negeri Amerika Serikat dalam kaitannya
dengan Islam dan negara-negara Islam hampir dapat dipastikan akan tiba pada kesimpulan yang
sama: Amerika Serikat memusuhi Islam. Kesimpulan ini mungkin tampak terburu-buru, namun
se-jumlah kasus di dekade terakhir abad ke-20 ini bisa dijadikan alasan pembenaran. Mulai dari
kasus-kasus menyejarah dalam konflik Arab-Israel sampai dengan kasus-kasus-kasus-kasus insidentil (seperti dua kali
serangan militer besar-besaran terhadap Irak, plin-plannya sikap AS dalam penyelesaian konflik
Bos-nia, embargo dagang terhadap Sudan dan Iran, kesalahan identifikasi pelaku pemboman sebuah
gedung di Oklahoma City, rencana penyusunan undang-undang Wolf/Specter tentang Freedom from
Religious Persecution, dan – yang paling mutakhir – serangan rudal ke Afghanistan dan Sudan).
Terpu-ruknya komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur membuat AS dan sekutu-sekutu NATO-nya
merasa perlu memberikan perhatian dan kewaspadaan lebih besar terhadap apa yang mereka
na-makan sebagai gerakan-gerakan ‘Islam fundamentalis’. Penyebutan mereka yang ingin kembali ke
jalan Islam dengan sungguh-sungguh (waIau harus diakui ada diantaranya yang menempuh cara-cara
militan) sebagai ‘fundamentalis’ ini tidak lepas dari gambaran menyeramkan yang salah kaprah
ten-tang Islam dan penganutnya yang dimiliki oleh khususnya masyarakat non-Islam di negara-negara
Barat.
S
Sebenarnya, pandangan bahwa ‘Islam fundamentalis’ atau ‘Islam militan’ merupakan salah
satu ancaman terhadap Barat telah muncul sejak hampir dua dekade silam. Panggilan Ayatullah
Khomeini terhadap AS sebagai The Great Satan, pekik ‘Death to America!’, kutukan terhadap Salman
Rushdie dan The Satanic Verses-nya, serta seruan Saddam Hussein untuk berjihad melawan kaum kafir
asing telah memperkuat citra Islam sebagai agama militan, ekspansionis, sangat anti-Amerika, dan
bermaksud untuk berperang melawan Barat. Demikianlah, ‘Islam fundamentalis’ acapkali dianggap
sebagai ancaman terbesar bagi stabilitas regional Timur Tengah khususnya dan
kepentingan-kepentingan Barat di dunia Islam secara lebih luas.3 Pada tahun 1980 misalnya, Menlu AS Cyrus
Vance menyatakan bahwa alasan utama keberatannya terhadap aksi militer untuk membebaskan
san-dera orang-orang AS di Teheran adalah ketakutan akan “perang Islam-Barat … Khomeini dan para
pengikutnya, yang mendambakan kesyahidan, tentu akan menyambut hangat aksi militer sebagai
jalan untuk mempersatukan dunia Islam dalam rnenghadapi Barat.”4 Pernah pula Wakil Presiden
Dan Quayle berbicara di depan para lulusan Annapolis pada tahun 1990 tentang bahaya
fundamen-talisme Islam radikal dengan memasukkannya ke dalam kelompok yang sama dengan Nazisme dan
komunisme. Majalah-majalah, surat kabar, dan siaran televisi berbicara tentang perang antara Islam
dan Barat serta tidak sesuainya Islam dengan demokrasi.
Para politisi dan praktisi Barat suka merancukan Islam dengan menggeneralisirnya sebagai
kekuatan politik secara sempit. Wujud gerakan ‘Islam fundamentalis’ yang kaku sering diartikan
se-bagai perwujudan masyarakat Islam secara keseluruhan. Walaupun kenyataannya beraneka ragam,
namun eksistensi Islam sebagai agama dunia dan kekuatan ideologis yang besar akan terus
menim-bulkan rasa takut terhadap sebuah ‘ancaman Hijau’. Islam seringkali disamakan dengan perang suci
berlatar kebencian, fanatisme dan kekerasan, tidak mempunyai toleransi, serta menekan kaum
wanita. Kesan negatif semacam ini telah mendorong lahirnya banyak gagasan dari kalangan Barat
yang berhaluan pragmatis untuk merekayasa penghancuran Islam sebagai kekuatan politik dan
ideologi. Keyakinan bahwa pertentangan pandangan dunia, nilai-nilai, dan peradaban mengarah pada
konfrontasi antara Islam dan Barat tercermin dalam headline-headline dan artikel-artikel dengan judul
yang mengancam. Sangat disayangkan, seperti media massanya, para pembuat kebijakan Amerika
Serikat juga kerap kali sangat picik: memandang dunia Islam dan gerakan-gerakannya sebagai
mono-litik dan semata-mata dalam istilah ‘ekstremisme’ dan ‘terorisme’. Inilah mainstream pandangan
masyarakat Barat, khususnya kaum intelektualnya, terhadap Islam. Keluar dan jalur ini sangat
berba-haya: seperti sikap terhadap komunisme dalam era McCarthy, tidak menolak ‘fundamentalisme
3 D. Pipes. “Fundamentalist Muslims’, Foreign Affairs, Summer 1986, pp. 939-59 – dikutip dalam J.L. Esposito, Ancaman
Islam: Mitos atau Realitas, EdisiRevisi (Bandung : Mizan, 1996), p. 14.
lam’ dipandang sebagai sama saja dengan memihak atau bersimpati pada musuh. Seorang pengamat
politik luar negeri AS bahkan mengatakan, “Bagi sebagian orang Amerika, yang mencari musuh baru
guna menguji coba kekuasaan setelah runtuhnya komunisme, Islam adalah pilihannya.”5
Isu ‘Terorisme Islam’ dan Kegusaran AS
TANPA diduga, ‘buah pahit’ menyusul peristiwa pemboman dua Kedutaan Besar AS di Nairobi,
Kenya dan Dar es Salaam, Tanzania pada tanggal 7 Agustus 1998 jatuh pada dua negara yang selama
ini dituding Amerika sebagai sarang teroris: Afghanistan dan Sudan. Merasa tidak terima atas
kema-tian 12 warganya (dari sekitar 220 orang yang tewas di lokasi-lokasi pemboman di kedua negara),
Presiden Bill Clinton pada Kamis, 21 Agustus 1998 pukul 22.00 di Afghanistan dan pukul 19.30 di
Sudan (Jumat 02.00 WIB) melakukan serangan militer dengan meluncurkan 79 rudal Tomahawk. Di
Afghanistan, rudal Tomahawk menghajar enam sasaran yang disebut-sebut sebagai tempat pelatihan
teroris yang terkait dengan Usama ibn Ladin, seorang miliarder asal Saudi. Di Sudan sasaran rudal
adalah pabrik obat Al Shifa Pharmaceutical Industries yang disebut-sebut sebagai pusat
pengemban-gan senjata kimia penghasil gas syaraf VX. Korban seranpengemban-gan rudal ini cukup dahsyat: 31 orang tewas
(24 di Afghanistan dan 7 di Al Shifa) serta 330 lainnya dikabarkan hilang.
Dalam pandangan Clinton, tindakan AS itu bukannya tanpa dasar. Dalam pidato pengantar
berjudul U.S. National Security Strategy of Engagement and Enlargement 1994, Clinton menyatakan hahwa
“Melindungi keamanan nasional (warga negara, teritori, dan pandangan hidup) AS adalah tugas
ter-penting dan konstitusional dari pemerintahan kami.” Menurut Clinton lebih lanjut, “Bahaya yang kita
hadapi saat ini jauh lebih beragam. Konflik etnis sedang meluas dan beberapa ‘negara bangsat’ (rouge
states) menjadi ancaman serius bagi stabilitas regional di berbagai penjuru bumi.” Pada subbab
Com-bating Terrorism dari pidato itu, Clinton memaparkan secara ringkas pandangan otoritas keamanan
Amerika Serikat tentang terorisme: selama kelompok-kelompok teroris tetap menjadikan warga
ne-gara dan kepentingan-kepentingan AS sebagai sasaran mereka, maka AS tetap menbutuhkan satu
unit khusus untuk menghantam kelompok-kelompok tersebut. Dengan tegas disebutkannya pula
bahwa AS akan menyerang para teroris itu, menghantam basis-basis luar negeri mereka maupun
aset-aset yang dibiayai oleh negara-negara tertentu. Pada tataran jargon, kebijakan ‘anti-terorisme’ AS
5
tampaknya tidak menimbulkan persoalan yang berarti. Namun demikian, dalam realitasnya kebijakan
ini membawa banyak implikasi negatif. Bahkan tak jarang AS menggunakan politik ‘model Rambo’
untuk melampiaskan dendam dan melestarikan kepentingannya atas nama ‘anti-terorisme’ dan
‘per-damaian’. Clinton tampaknya cukup pandai belajar dari para pendahulunya. Pada tanggal 14 April
1986, dengan alasan memburu ‘teroris’, Ronald Reagan memerintahkan pemboman terhadap dua
kota di Libya, Tripoli dan Benghazi. Tindakan ini dilakukan setelah sebelumnya AS dan sekutunya
bertubi-tubi menuding pemimpin Libya Muammar Qadhafi sebagai pihak di belakang peristiwa
pe-nyerangan kantor penerbangan Israel El Al di bandara Fiumicino, Roma dan Schwechat, Wina.
Pre-siden Mesir Husni Mubarak bahkan ikut menuduh Qadhafi terlibat dalam pembajakan pesawat
Egypt Air di Malta yang menewaskan 57 penumpangnya. Petualangan gaya ‘Rambo’ kembali
dilan-jutkan oleh George Bush dengan “pemboman habis-habisan” terhadap Baghdad pada tahun 1991
dan 1993.6
Banyak pihak menganggap bahwa serangan AS terhadap sasaran-sasaran di Afghanistan dan
Sudan adalah jelas-jelas pelanggaran kedaulatan internasonal. Bahkan sebenarnya pemboman itu
bu-kan saja merupabu-kan suatu serangan militer, tetapi juga sebuah teror dari negara adidaya terhadap
ne-gara yang secara militer lebih lemah. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Clinton pada hakikatnya
tidak mengandung substansi yang baru. Selama ini pola kebijakan luar negeri AS hampir senantiasa
mencari kambing hitam sebagai pembenar tindakan yang dilakukan guna semata-mata meningkatkan
popularitas politik di dalam negeri. Dalam kasus Afghanistan dan Sudan, ada sementara pihak yang
menduga bahwa pemboman itu merupakan upaya licik Clinton untuk mengalihkan perhatian publik
dari skandal memalukannya dengan mantan pegawai magang di Gedung Putih, Monica Lewinsky.
Dalam kaitan ‘politik pengalihan’ itu, selama sekitar tiga dekade belakangan ini publik AS dijejali
dengan pemikiran dan sikap stereotip bahwa Islam adalah agama yang mendukung terorisme dan
setiap aksi teror baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional selalu dilakukan oleh kaum
Muslimin. Sikap stereotip dan prasangka yang bias ini telah menjadi stigma di benak mayoritas rakyat
Amerika serta dimanfaatkan dengan baik oleh para presiden mereka untuk meningkatkan kredibilitas
6 AS tampaknya ‘benci tapi rindu’ dengan Saddam Hussein. Di tengah-tengah embargo ekonomi yang telah
dalam negeri mereka.7 Dalam kasus ‘perseteruan abadi’ antara Saddam Hussein dengan Bush dan
Clinton, misalnya, seorang pengamat menilai bahwa Saddam adalah aset politik untuk
memproyeksi-kan citra kenegarawanan presiden AS. Timur Tengah dijadimemproyeksi-kan sebagai “teater [bagi] presiden AS
membuat pertunjukan machismo, pamer kekuatan untuk menaikkan rating dalam pemilu, dan lahan
test kedigdayaan militer AS.”8
Meskipun Clinton di depan Sidang Majelis Umum PBB awal Oktober 1998 mengemukakan
argumen bahwa serangan itu adalah untuk menghancurkan sarang ‘terorisme fanatik’ dan bukan
di-tujukan untuk memusuhi Islam9, namun berbagai demonstrasi anti-Amerika dan pernyataan sikap
yang beragam (dari sekedar prihatin sampai pada mengutuk keras tindakan AS) segera bermunculan
di banyak negara. Argumen Clinton tampaknya tidak cukup kuat untuk menahan demo-demo itu,
apatah lagi untuk mematahkan sinyalemen bahwa apa yang dilakukannya seperti membenarkan tesis
Samuel F. Huntington: bahwa setelah runtuhnya komunisme, Islam akan tampil sebagai musuh
utama Barat, dan mengancam Barat secara politis, peradaban, dan demografis. Bersama dengan The
Roots of Muslim Rage-nya Bernard Lewis, tesis The Clash of Civilizations milik Huntington dianggap oleh banyak pengamat sebagai dua rujukan utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap dunia
Islam di dekade 90-an.
Dilema Politik Luar Negeri AS terhadap Islam
ADALAH sebuah kenyataan yang menggembirakan bahwa di Amerika Serikat saat ini Islam
me-rupakan agama dengan jumlah pemeluk terbesar kedua. Diestimasikan 8 juta muslim (42%
Afro-Afrika, 1,6% kulit putih, dan sisanya dari bangsa lain) beribadah di sekitar 1200 masjid di seluruh
Amerika. Orang-orang Islam ini pun memiliki berbagai macam organisasi, seperti American Muslim
Council, Islamic Society of North America, atau Muslim Public Affairs Council yang bertujuan meningkatkan
posisi dan peran masyarakat Muslim dalam kehidupan keseharian rakyat Amerika.10 Badan-badan ini
juga berhasil dalam ‘menggolkan’ beberapa kebijakan penting menyangkut Islam dan pemeluknya di
AS.11 Namun demikian, pelabelan terhadap Islam dan pemeluknya sebagai “kaum ortodoks, kuno,
7 ‘AS dan Tcrorisme’, Media Dakwah, September 1998, pp. 42-3.
8 S. Alhadar, ‘Saudi, AS, dan Embargo terhadap Irak’, Republika,2 Februari 1995.
9 Ini adalah contoh dan propaganda New Speak sebagaimana ditunjukkan oleh Noam Chomsky dalam Menguak Tabir
Terorisme Internasional (Bandung, Mizan, 1991).
10 ‘Aspirasi Muslim dalam Pemilu’, Media Dakwah, Desember 1996, p 26.
11 Sebagai misal, Clinton mau mengucapkan Selamat Idul Fithri pada tahun 1418H atau beberapa sekolah mengijinkan
berha-terbelakang, penganut free sex, ekstrimis, teroris, fanatik, fundamentalis, pembunuh keji” dan lain-lain
sifat buruk tetap tidak bisa dihilangkan dari benak sebagian besar rakyat Amerika, terlebih lagi para
pembuat kebijakannya. Meminjam pendapat Esposito, sikap sebagian rakyat dan pemimpin AS
ter-hadap Islam masih terkait dengan trauma Perang Salib. Kecurigaan yang berlebihan dan tidak
berala-san ini turut pula diperparah oleh intensifnya lobi Zionis melalui berbagai media, yang oleh Prof.
Edmon Greyf dari American University di Washington, D.C. disebut sebagai “aktor utama perusak
citra Islam di mata Barat.”12
Di samping pelabelan stereotip yang tidak benar itu, mereka yang tidak sependapat dengan
kebijakan-kebijakan AS “menggempur” negara-negara muslim ‘radikal’ juga mempermasalahkan
si-kap munafik, ambivalensi, dan standar ganda (al mutalawwin) Amerika.13 Pemerintah AS sering
ber-pandangan dilematis dalam melihat permasalahan politik internasional yang menyangkut
kepentin-gannya, antara pragmatis dan idealis. Amerika Serikat terus saja berkaok-kaok tentang perlunya
ja-minan perlindungan hak asasi manusia dan mengecam keras pelanggarannya di berbagai negara,
tetapi diskriminasi rasial di dalam negerinya sendiri (terhadap kaum kulit hitam atau orang-orang
In-dian misalnya) masih terus berlangsung. Seandainya di suatu tempat ada pelanggaran nyata terhadap
HAM namun Amerika tidak mempunyai kepentingan langsung di sana, maka AS akan bungkam dan
menutup mata seolah-olah tidak mengetahui apa-apa (kasus perang di kawasan Balkan 1992-1995
membuktikan hal ini). Di satu pihak AS selalu menggembar-gemborkan doktrin demokrasi sebagai
rumusan universal yang agung, yang perlu dimasyarakatkan di seluruh penjuru dunia; namun di pihak
lain AS sering bertindak kurang ajar dengan menginjak-injak kedaulatan negara lain yang menjadi
ajang kepentingan politiknya dengan dalih ‘menerapkan keadilan’. Sehubungan dengan
masalah-masalah di negara-negara dan masyarakat Islam yang menentangnya, hampir selalu AS menerapkan
kata kunci ini: mengutuk dan, kalau perlu, intervensi. Dalam konteks ini, Abdul Q. Zallum dalam Al
Hamlat ‘l-Amrikiyyah li qadha’i ‘ala ‘l-Islam mengatakan bahwa serangan AS terhadap Islam didukung
oleh lima basis utama: posisi dan pengaruh hegemonik yang kuat, kepemirnpinan di blok kapitalis,
legitimasi internasional melalui PBB, media massa, dan penguasa boneka di negara-negara Islam.14
dapan dengan kuatnya pengaruh lobi Yahudi, khususnya AIPAC (The American-Israeli Public Affairs Committee) – yang dise-but oleh Sandra Mackey dalam Passion and Politics: The Turbulent World of Arabs (1994) sebagai “The most powerful lobby in Washington.” Untuk keterangan lebih lanjut baca E. Supriyanto, ‘Membeli Kebijakan Luar Negeri AS’, Republika, 23 JuIi 1997 dan R. Sihbudi, ‘AS, Arab, dan Israel’, Republika, 24 Mei 1995.
12Ishlah, 64/IV, 1996, pp. 22-4.
13A. Yunianto, ‘Yang Penting Amrik, Broer …!’, Ishlah, 44/III, 1995, p. 37.
14 Melihat kecenderungan Barat yang memandang Islam sebagai ancaman, banyak pemerintah Muslim rnenggunakan
Bagi negara-negara muslim di Timur Tengah, ketidakkonsistenan politik luar negeri AS di kawasan
ini ditambah satu variabel lagi: negara Zionis Israel. Di kawasan rawan konflik ini
kelompok-kelompok Islam fundamentalis selalu menjadi target serangan AS; negara-negara yang ditengarai
mempunyai senjata nuklir dicap sebagai “bom Islam”, tetapi anehnya AS selalu mendukung Israel,
sang biang teroris!15
Adakah Jalan Keluar?
SEBAGAI penutup makalah singkat ini, berikut penulis sarikan argumen-argumen Esposito tentang
kemungkinan membentuk persepsi dan babak baru dalam hubungan antara Islam dan politik luar
negeri Amerika.16
Dalam memahami dan menanggapi peristiwa-peristiwa yang berlangsung dewasa ini di dunia
Islam, AS ditantang untuk menyusun paradigma baru yang positif. Ada dua alternatif untuk itu. Cara
yang mudah adalah memandang Islam sebagai ancaman yang mengglobal, yang monolitis, serta
musuh historis yang keyakinan dan agendanya sangat bertentangan dengan Barat. Pandangan dan
sikap seperti ini akan mengantarkan AS kepada kesimpulan mengenai keharusannya untuk
mendu-kung rezim-rezim sekuler (tak peduli betapa menindasnya rezim itu), dan menghindar dari segala
re-siko membiarkan naiknya pemerintahan yang berorientasikan Islam. Sementara itu, cara yang lebih
sulit adalah tinggalkan stereotip sederhana, citra, serta solusi “main tembak” seenaknya seperti
se-lama ini.
Tantangan yang dihadapi AS dewasa ini adalah keharusan dan kesanggupan untuk
meng-apresiasi keragaman aktor-aktor Islam dan gerakan-gerakannya; untuk mengetahui dengan pasti
ala-san yang menyebabkan terjadinya konfrontasi dan konflik; dan menanggapi situasi dan peristiwa
serta bantuan keuangan Barat. Lihat Esposito, op.cit.,p. 194 dan M. Hatta, ‘Mengungkap Kembali Hegemoni AS terha-dap Dunia Islam’, Al Muslimun,No. 334/XXVIII, Januari 1998, pp. 109-10.
15 Banvak kalangan yang bertanya mengapa Amerika hampir selalu mendukung dan membantu Israel, khususnya dalam
persenjataan militer dan bantuan teknis ekonorni. Bantuan ekonomi terbesar AS (jumlahnya kira-kira sama dengan 0,9% pendapatan pemerintah federal) setiap tahunnya diperuntukkan bagi Israel. Setidaknya ada empat alasan yang saling ber-saing untuk menjelaskan kenyataan ini. Keempat alasan itu adalah (1) Rasio Popular-Sentimen: mayoritas rakyat AS merasakan adanya persamaan dengan rakyat Israel, (2) Rasio Nuklir: apabila AS berperang dengan Rusia, Israel akan ber-peran sebagai garda depan pelindung NATO di Laut Mediterania, (3) Rasio Altruisme: pemerintah dan rakyat AS mem-punyai “hutang keuangan” kepada Israel menyangkut penderitaan kaum Yahudi di tangan Adolf Hitler semasa Perang Dunia II, dan (4) Rasio Dunia yang Aman bagi Rakyat Amerika: Israel akan melindungi warga negara dan investasi AS dari ‘terorisme’ dan ‘pengkhianatan’ Arab. Padahal, seperti dikatakan oleh Paul Findley dalam buku They Dare to Speak (1987), jika saja AS mau bersikap tegas, maka “No Israeli government can survive more than 30 days if it defies the order of the US president because the US is the main benefector and lifeline of Israel.” Lihat ‘Spekulasi Bantuan Amerika ke Israel’, Media Dakwah, Juni 1997, pp. 22-3.
tentu dengan tanggapan yang berdasarkan pengetahuan dan nalar, bukannya dengan reaksi
berdasar-kan prasangka semu belaka. Tentu saja, komentar yang sama harus juga dialamatberdasar-kan kepada
pendekatan yang ditempuh sementara pihak di dunia Islam ketika berhubungan dengan Barat.
Se-lama ini telah terbukti bahwa pencampurbauran antara kebodohan, penyederhanaan lewat
stereotip-stereotip, sejarah dan pengalaman, dan juga chauvinisme religio-kultural telah terlalu sering
membuta-kan kaum Muslim dan orang-orang Barat. Bila ini berlangsung terus, maka pada ujungnya yang
ter-buruk kedua belah pihak akan terperosok dalam proses “penyetanan satu sama lain” serta menafikan
segala bentuk kerja sama dan kehendak mewujudkan peaceful coexistence.
Kepentingan stabilitas, keamanan nasional, serta kredibilitas AS dapat terpengaruh pada
dekade-dekade mendatang oleh dua hal utama: (1) kemampuan penguasa Muslim untuk menanggapi
keinginan perubahan dari warganya demi partisipasi politik yang lebih besar, dan (2) kemampuan
para pembuat kebijakan AS untuk menggunakan perspektif komparatif yang menyadari dan
meres-pon beragam bentuk Islam politik dengan berbagai cara. Dukungan AS terhadap rezim penindas
hanya akan memperkuat dan meningkatkan sikap anti-Barat dan anti-Amerika, yang didasarkan pada
pandangan bahwa Amerika itu anti-Islam, selalu mendukung Israel, dan pihak yang paling
bertang-gung jawab terhadap penyakit politik, ekonomi, dan sosiokultural yang diderita kaum Muslim.
Ke-pentingan AS akan terjaga dengan baik melalui kerja sama yang selektif dan positif dengan
negara-negara Muslim, dipadu dengan kebijakan publik yang konsisten berkenaan dengan hak warga negara-negara
untuk menentukan masa depan mereka sendiri secara demokratis. Amerika Serikat haruslah mau
memperlihatkan, melalui kata dan tindakan, kepercayaannya bahwa hak menentukan nasib sendiri
dan pemerintah representatif meliputi pula negara atau masyarakat yang berorientasi Islam – jika itu
mencerminkan kehendak rakyat dan tidak mengancam langsung kepentingan AS. Ringkasnya,
kebi-jakan AS harus dibuat dalam konteks di mana perbedaan ideologi antara Barat dan Islam disadari,
diakui, dan sedapat mungkin diterima, atau paling tidak ditoleransi.
Wa Allahu a‘lam bi’l-shawwab..