TEORI POSKOLONIAL DALAM KAJIAN SASTRA
FRANKOFON
TANIA INTAN, S.S., M.Pd
A. Pendahuluan
Pada prinsipnya, sebuah teori memiliki fungsi untuk mengubah dan membangun suatu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Menurut Vredenbreght (dalam Kutha Ratna, 2009 : 4), teori harus dibangun dan dibentuk ke dalam suatu kerangka ilmiah yang koheren.
Karya sastra sebagai hasil imajinasi dan kreativitas, tentu memerlukan pemahaman yang sama sekali berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain. Pada tahap tertentu, kajian terhadap karya sastra dapat benar-benar bersifat individual, subyektif, dan kontemplatif, sama seperti yang dialami pengarang saat melakukan proses penciptaan.
Dalam upaya memahami karya sastra, teori poskolonial dapat diterapkan terutama terhadap teks-teks dari khazanah sastra bangsa yang pernah mengalami kekuasaan imperial, sejak awal periode kolonisasi hingga masa kini. Dengan demikian, sejumlah tulisan yang lahir di wilayah yang dinamakan negara-negara Frankofon pun, dapat menjadi obyek kajian yang menarik, karena di sana dapat ditemukan beragam permasalahan, seperti krisis identitas, perbudakan, pengasingan, hegemoni, dan berbagai bentuk invasi kultural lainnya. Tulisan ini, untuk sementara, ditujukan untuk meletakkan pondasi kesepahaman mengenai definisi teori poskolonial beserta konsep-konsep kunci yang menyertainya, serta representasi dari beberapa tokoh dengan buah pikirannya. Lebih lanjut, teori ini dimaksudkan untuk diaplikasikan pada beberapa karya sastra Frankofon, yaitu karya berbahasa Perancis yang ditulis bukan oleh orang Perancis.
B. Mendefinisikan Teori Poskolonial
Yang dimaksud dengan teori poskolonial (Kutha Ratna : 206) adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra dan sebagainya, yang terjadi khususnya di negara bekas koloni Eropa modern. Pada umumnya gejala-gejala kultural tersebut terkandung dalam berbagai teks studi mengenai dunia Timur, yang ditulis oleh para orientalis, yang disebut sebagai teks-teks oriental. Meskipun demikian, sebagai akibat dominasi intelektualitas Barat, banyak juga karya yang melukiskan ketidakseimbangan hubungan Barat-Timur, yang ditulis oleh kaum terpelajar pribumi yang telah terkonstruksi oleh pemikiran Barat.
Dalam kaitannya dengan posmodernisme, peneliti poskolonial harus mempertimbangkan kekhasan, dalam kaitannya dengan bangsa dan wilayah masing-masing yang menjadi obyek kajiannya. Oleh karenanya, teori poskolonial dikatakan bersifat multidisiplin sekaligus studi kultural.
Dikaitkan dengan teori-teori posmodernisme yang lain, studi poskolonial dianggap relatif baru muncul. Oleh karena itu, agak sulit untuk menentukan secara pasti, waktu teori ini lahir. Namun demikian, menurut Ashcroft (2003 : xxii-xxiii), teori ini lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya, yaitu sekitar tahun 1960. Negara-negara yang dimaksud bukan hanya meliputi wilayah Afrika hitam, Australia, Bangladesh, Karibia, India, Malta, Malaysia dan Indonesia. Sastra Amerika justru dikategorikan sebagai prototipe poskolonial, sebab sejak abad ke-18, konsep sastra wilayah jajahan ini telah dipisahkan dari penjajahnya, yaitu bangsa Inggris.
C. Konsep-konsep Kunci dalam Teori Poskolonial
1. Koloni
Populasi yang menempati wilayah tertentu untuk mengolah dan mengambil keuntungan dari tanah tersebut. (http://www.toupie.org/Dictionnaire/Colonialisme.htm)
2. Kolonialisasi
Pengambilalihan wilayah, perampasan sumber daya material, eksploitasi buruh, dan campur tangan dalam struktur-struktur politis dan kultural wilayah atau bangsa lain. (Loomba;2003;7)
3. Kolonialisme
Suatu doktrin politik yang menjustifikasi eksploitasi sebuah koloni, wilayah, maupun sebuah negara, oleh negara lain. (http://www.toupie.org/Dictionnaire/Colonialisme.htm)
4. Neokolonialisme
5. Pascakolonialisme / Poskolonialisme
Sikap dan gerakan resisten terhadap otoritarianisme kolonialisme militer maupun politik serta rejim-rejim wacana yang terus menerus dibangun oleh penguasa kolonial.
6. Antikolonialisme
Aliran atau sikap politik yang menentang prinsip dan eksistensi sistem kolonisasi. (http://fr.wikipedia.org/wiki/Anticolonialisme)
7. Nasionalisme
Menurut Frantz Fanon, nasionalisme adalah reaksi dari tekanan-tekanan sosial dan politis yang beraneka macam (Kutha Ratna : 179)
8. Wacana kolonial
Keseluruhan bidang yang dimanfaatkan pemikiran kolonial dengan bahasa sebagai medianya. Domain ini berakar dalam praktik, lembaga dan tindakan manusia. (Loomba;2003;51)
9. Imperial
Berasal dari bahasa latin imperare, yang berarti memerintah. 10. Imperialisme
Menurut Oxford English Dictionary, pada awalnya, imperialisme berarti pemerintahan seorang kaisar yang semena-mena. Dalam perkembangannya, istilah ini dimaknai secara berbeda. Menurut Lenis dan Kautsky (Loomba,2003: 6), imperialisme adalah tahap tertentu dalam perkembangan kapitalisme (ibid ,7). Kemajuan ekonomi Eropa mengakibatkan melimpahnya modal, tapi karena SDM yang tersedia hanya sedikit, Eropa harus mencari tempat lain untuk mengembangkan modalnya dan membangun industri dengan SDM yang murah. Mereka pun harus menundukkan negara-negara non-industrial. Sistem global inilah yang disebut imperialisme.
11. Ras
Penanda warna yang dibentuk oleh persepsi-persepsi adanya perbedaan religius, etnik, linguistik, nasional. Klasifikasi rasial sering merupakan delusi dan mitos.(Loomba:2003: 158-159)
12. Kelas / Kasta
Konsep hierarkis sosial,ekonomis dan religius yang membawa konotasi-konotasi kemurnian / dan kekotoran. (Loomba:2003:160) 13. Feminisme
Gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh pihak yang dominan. (Kutha Ratna:2009: 184)
Penjajah-terjajah, hitam-putih, Barat-Timur, beradab-biadab, center-peripheri, dominasi-subaltern, hibriditas-kreolisasi, subjek-objek, pria-wanita
Gaya pemikiran khas Strukturalisme Barat yang harus dihilangkan dalam paradigma pendidikan Timur (Said:2001:209)
15. Subaltern (Liyan)
Kelas sosial yang rendah, terdholimi. Semua orang yang tidak diklasifikasikan sebagai elit. (Loomba, 2003:256)
Mereka yang sama sekali terpotong dari perbaikan nasib, mereka yang tidak memiliki daya tawar dan kesempatan untuk memperbaiki nasib mereka yang marginal. (Gayatri Spivak)
16. Elit
Semua orang-orang dominan, asing maupun pribumi. 17. Self-Other / Moi-Autre
Cara memandang diri sendiri dan orang lain. Hubungan antarbudaya ini dapat bersifat lineal (sederajat) atau hierarkis (inferior/ superior).
18. Stereotip
Cara menerapkan karakteristik atau tipe tertentu pada suatu kelompok, baik pada aspek fisik, mental maupun tingkah laku. Cara ini menjauh dari kenyataan, karena ada proses mengurangi, merusak, dan mengubah di dalamnya (Preiswerk R, Ethnocentrisme et histoire, Paris, Ed. Anthropos, 1975).
19. Prinsip Universel – Singulier
Titik tolak dalam memandang dan memahami kultur lain. (Louis Porcher:1986) Konsep ini menganggap bahwa pada setiap kebudayaan itu ada persamaan (universalitas) di samping perbedaan-perbedaannya (singularitas/ keunikan).
20. Eurosentrisme/ Occidentalisme
Pemahaman bahwa bangsa Eropa memiliki keunggulan tak terbantahkan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, terutama Afrika dan Asia.
21. Orientalisme
Gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur (the Orient) dan Barat (the Occident). (Said : 2001: 3)
22. Etnosentrisme
Berre M.B :1992). Berasal dari hubungan hierarkis (suatu kelompok etnis memandang etnis lain berada pada posisi inferior).
23. Hibriditas
Hasil persinggungan kultur yang membuahkan bentuk baru. Manusia-manusia inlander/pribumi/kulit hitam, namun memitoskan barat. Macaulay memberikan contoh kongkrit, ”sebuah kelas orang-orang, yang darah dan warnanya India, tetapi selera, opini, moral, dan inteleknya Inggris.” (Loomba, 2003:224)
24. Kreol / Créole
Satu bentuk bahasa tertentu yang dihasilkan dari percampuran dua bahasa. Kreolisasi menekankan bahasa sebagai sebuah praktik kultural dan penciptaan bentuk-bentuk ekspresi baru yang penting bagi bahasa itu sendiri. (Gandhi, 2001:viii)
25. Bilingualisme
Gejala penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau suatu masyarakat (Harimurti, 1982:112)
D. Sejumlah Tokoh Teori Poskolonial dan Buah Pikirannya 1. Frantz Fanon
Dalam bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks (1967), Fanon mengembangkan analisis yang cermat mengenai dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi. Ia pun menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial terjajah-penjajah, wacana oriental telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang dahsyat.
Fanon mengartikan kolonialisme sebagai penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni. Orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan sebagai manusia, tapi lebih sebagai benda.
2. Aimé Césaire
Ia adalah seorang penyair, dramawan, dan pemimpin politik, yang dikenal sebagai pelopor gerakan Négritude, yaitu kelompok penulis berkulit hitam yang menggunakan bahasa Perancis, dengan tujuan memuliakan budaya dan identitas tradisional bangsa Afrika. Tulisannya dipengaruhi oleh aliran surrealisme, yaitu gerakan artistik Perancis yang menekankan peran serta pikiran bawah sadar dalam proses kreatif.
dalam kegiatan sastra dan politik. Selama bertahun-tahun, Césaire menjabat sebagai walikota Fort-de-France dan wakil di Majelis Nasional Perancis.
Puisinya “Cahier au retour d’un pays natal” (1939) menjadi karya klasik dari sastra Négritude, yang mengeksplorasi budaya hitam sebagai entitas independen. Dalam puisi ini pula, dia dengan berani mencela Perancis sebagai penindas adat dan budaya lokal.
3. Gayatri Chakravorty Spivak
Lahir di Kalkuta India tahun 1942. Ia menuntut agar kajian poskolonial tidak dilihat dari sudut pandang negara penjajah (kolonial), melainkan dari sudut pandang negara terjajah (kelompok tertindas, subaltern). Penolakan Gayatri terhadap label poskolonial yang berlaku selama ini, dilakukannya dengan terus memperbaiki penerapan teori tersebut. Ia melibatkan disiplin ilmu sejarah (historiografi) yang empirik, khususnya informasi biografis, untuk menguatkan argumentasinya.
Dalam kajiannya terhadap karya-karya klasik dalam kesusastraan Inggris, Gayatri terang-terangan menantang ideologi kolonialisme Inggris yang sudah begitu kiat mengakar. Mengacu pada pengalaman hidupnya di India, Gayatri menentang kebijakan kolonial Inggris dalam mendidik masyarakat kelas menengah dan elit India. Tokoh ini menghidupkan kembali suara mereka yang termarjinalkan dan dibungkam oleh narasi-narasi yang kolonialis, yang semakin menderita justru di masa kemerdekaan negara itu. Kelompok subaltern menurut Gayatri terdiri dari : warga jajahan, perempuan, kelompok suku minoritas, petani.
4. Homi K. Bhabha
Ia dilahirkan di Mumbay, India, tahun 1949. Ia adalah orang Parsi, suatu kelompok etnik minoritas dengan populasi hanya sekitar 160.000 orang di seluruh dunia. Nenek moyang suku bangsa ini adalah para pengikut Zoroastrianisme yang melarikan diri dari Persia untuk menghindari penindasan oleh orang-orang muslim. Tulisan Bhabha tentang poskolonialisme banyak dipengaruhi oleh teori Dekonstruksi Jacques Derrida, psikoanalis Jacques Lacan, dan pemikiran-pemikiran Edward Said.
Bhabha mengungkapkan bahwa proses penarasian bangsa dalam kondisi kolonial maupun poskolonial selalu berada dalam kondisi yang hibrid dan ambivalen, artinya saling bergantung satu sama lain, hubungan mereka tidak selalu dalam situasi oposisi biner yang ekstrim. Tegangan-tegangan selalu terjadi antara identitas kolonial dan identitas pribumi, karena suatu bangsa tersusun dari berbagai jenis masyarakat dan budaya yang berkembang, berinteraksi, dan berubah.
dari mimikri adalah subyek yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan dengan penjajah, tetapi tetap saja tidak akan serupa. Tujuan proses ini adalah sebagai upaya penjajah untuk menanamkan kekuasaan kolonial dan memudahkan pengawasan.
5. Edward Said
Ia adalah seorang kritikus sastra terkemuka dan pembela HAM yang lantang. Dilahirkan di Palestina tahun 1935, namun kemudian ia mengungsi ke Mesir, dan menjadi imigran di Amerika. Hidup di tengah meluapnya semangat kebencian rasis di AS, bahkan orang-orang konservatif sayap kanan sempat membakar kantornya, Said pun belajar menghadapi oposisi dan menulis suasana ketidakadilan yang berlangsung di sekitarnya.
Orientalisme adalah tulisan tesis akademis yang ditulis Said pada tahun 1978. Ia menyingkap sejumlah isu penting mengenai imperialisme, keterbelakangan, dan kebudayaan. Tulisan ini memberikan sumbangan penting bagi terciptanya perdebatan kontemporer tentang orientalisme, analisis wacana, politik pembangkangan, dan teori poskolonial. Ia beranggapan bahwa budaya Eropa memperoleh kekuatan dan identitasnya dengan cara menyandarkan diri kepada dunia Timur sebagai pelindung, bahkan ‘diri’ yang tersembunyi. Timur adalah suatu ide yang mempunyai sejarah dan tradisi berpikir, perlambang dan perbendaharaan bahasa yang telah memberikan padanya realita dan kehadiran bagi Barat (Said :6).
Orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasar pada perbedaan epistemologis yang dibuat di antara Timur (the Orient) dan Barat (the Occident).
E. Sejarah Sastra Frankofon
Kesusastraan Frankofon lahir setelah berakhirnya Perang Dunia II, yang membangkitkan kesadaran dan semangat berbangsa dari negara-negara yang baru merdeka. Sejumlah penulis Afrika Utara, termasuk di dalamnya dari Tunisia, Aljazair, dan Maroko, mengungkapkan perasaannya justru dalam bahasa Perancis, untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai bekas bangsa terjajah. Apabila kebanyakan karya tersebut ditulis dalam bentuk prosa, tentu saja karena genre ini memudahkan bagi para penulis, untuk menyampaikan kesaksian mereka mengenai penderitaan, penyiksaan, ketidakadilan, keterasingan, perasaan rendah diri, dan tentu saja semangat perlawanan mereka terhadap bangsa penjajah. Bentuk puisi dan esai juga banyak digunakan, misalnya oleh Tahar Ben Jelloun, penulis Maroko yang mengungkapkan sudut pandangnya terhadap imigrasi dan rasisme yang meraja lela, lalu ada Albert Memmi yang berbicara tentang neokolonialisme dan hubungan antarkomunitas pascakemerdekaan.
1973, Tahar Djaout dan Youcef Sebti pada tahun 1993 di tanah Aljazair. Dalam hal ini, terbukti bahwa neokolonialisme terjadi dan dilakukan oleh bangsa sendiri.
Para penulis ini dapat diklasifikasikan berdasarkan periodisasi keaktifannya dalam tiga generasi, yaitu :
a. Generasi Pelopor, yang menandai karya-karya klasik mereka, yang mengungkapkan lahirnya nasionalisme dan identitas bangsa pribumi. Yang termasuk dalam generasi ini adalah : Albert Memmi (Tunisia), Mouloud Feraoun, Mouloud Mammeri, Mohammed Dib, Malek Haddad, dan Kateb Yacine (Aljazair), sedangkan dari Maroko adalah Ahmed Sefrioui dan Driss Chraibi. b. Dengan mengusung tema yang serupa dengan generasi
pertama, kelompok kedua lahir sekitar tahun 1970. Yang membedakan adalah tingkat kekerasan verbal yang meningkat tajam dan adanya upaya pencarian bentuk-bentuk tulisan orisinal lokal. Para penulis yang tergolong dalam generasi kedua adalah Assia Djebar, Mourad Bourboune, Nabile Fares dan Rachid Boujedra (Aljazair), Abdelkebir Khatibi, Mohammed Khair-Eddine, Abdellatif Laabi dan Tahar Ben Jelloun (Maroko).
c. Generasi ketiga didominasi para penulis roman, dengan bentuk penulisan tradisional, namun tidak terlepas dari realitas nyata kehidupan sosial-politik modern. Dalam kelompok ini dapat dicatat peran Abdelwahab Meddeb (Tunisia). Di Aljazair, yang menonjol adalah kehadiran Rachid Mimouni, Rabah Belamri, Boualem Sansal, Maïssa Bey, Tahar Djaout dan Yasmina Khadra, sedangkan di Maroko, Abdelhak Serhane dan Fouad Laroui.
F. PENUTUP
Munculnya teori baru didasarkan atas pertimbangan bahwa teori terdahulu tidak mampu atau tidak sesuai untuk menganalisis gejala yang baru. Teori poskolonial bisa digunakan dalam kajian sastra, di satu pihak untuk menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan, sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja. Di sisi lain, teori ini dapat membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah, peran bahasa, sastra, dan budaya pada umumnya dapat memainkan peranan, sebab di dalam ketiga aspek tersebut terkandung wacana yang diindoktrinasikan oleh pihak kolonialis.
DAFTAR PUSTAKA
- Ashcroft, Bill, Griffiths & Tiffin, Menelanjangi Kuasa Bahasa : Teori dan Praktik Sastra Poskolonial, CV Qalam, Yogyakarta, 2003, terj. The Empire Writes Back : Theory and Practice in Post-colonial Literatures, 1989
- Kutha Ratna, Nyoman, Teori,Metode dan Teknik Penelitian Sastra, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009
- Loomba, Ania, Kolonialisme / Pascakolonialisme, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2003, terj. Colonialisme / Postcolonialism, 2000 - Morton, S. Gayatri Spivak, Etika, Subaltern dan Kritik
Penalaran Poskolonial, Pararaton, Yogyakarta, 2008
- Said, Edward W. , Orientalisme, Penerbit Pustaka, Bandung, 2001, terj. Orientalism, 1979