• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teoretik

1. Teori Poskolonial

Kata kolonialisme, menurut Oxford English Dictionary (OED) via Loomba (2003) berasal dari kata Latin/Romawi ‘colonia’ yang berarti ‘tanah pertanian’ atau ‘pemukiman’, dan mengacu kepada orang-orang Romawi yang bermukim di negeri-negeri lain tetapi masih mempertahankan kewarganegaraan mereka. Sebagaimana deskripsi OED via Loomba (2003: 1) sebagai berikut.

Sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru... sekumpulan orang yang bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk seperti itu, terdiri dari para pemukim asli dan para keturunan mereka dan pengganti-penggantinya, selama hubungan dengan negara asal masih dipertahankan.

Menurut Ratna (2008: 20) kolonialisme yang secara etimologis tidak mengandung arti penjajahan, melainkan hanya semacam wilayah atau perkampungan, mempunyai konotasi negatif sesudah terjadinya interaksi yang tidak seimbang antara pendatang baru dengan penduduk lama. Loomba (2003: 2) menjelaskan bahwa dalam pembentukan pemukiman baru terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah antara penduduk lama dengan pendatang baru yang terkadang ditandai dengan usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada di sana dengan melibatkan

(2)

praktik-praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhan massal, perbudakan, dan pemberontakan-pemberontakan. Proses pembentukan pemukiman baru sebagaimana dijabarkan oleh Loomba tersebut menjadikan kolonialisme bisa didefinisikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain.

Dalam bahasa Indonesia, postcolonial umumnya disebut dengan pascakolonial atau poskolonial, Ratna (2008: 77-78) secara khusus membedakan antara pascakolonial dengan poskolonial. Dalam pendapatnya tersebut, Ratna menjelaskan bahwa pascakolonial berkaitan dengan era, zaman, dan periode yang memiliki batasan pasti yakni masa pascakolonial. Sedangkan poskolonial merupakan sebuah teori, sebuah tradisi intelektual dengan batasan-batasan yang bersifat relatif.

Secara lebih jelas lagi, Ashcroft (2003: xxii) menjabarkan penggunaan istilah poskolonial adalah untuk mencakup seluruh kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari sejarah awal kolonisasi hingga kurun waktu sekarang. Hal ini disebabkan oleh adanya kontinuitas ‘penjajahan’ yang terus berlangsung sejak dimulainya agresi imperial bangsa Eropa hingga sekarang ini. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa poskolonial tidak hanya dibatasi pada fenomena yang terjadi pada masa pascakolonial saja, tetapi juga meliputi masa kolonial.

Konsep dasar poskolonialisme tidak bisa dilepaskan dari pemahaman ulang tentang orientalisme yang didedah oleh Edward Said dalam karyanya

(3)

Oreintalisme yang pertama kali terbit pada tahun 1978. Said (1985: 3)

mengungkapkan orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara ‘Timur’ (the orient) dan (hampir selalu) ‘Barat’ (the Occodent). Orientalisme dianalisis sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur, berhubungan dengannya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan tentangnya, memberwenangkan pandangan-pandangan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman dan memerintahnya. Pendeknya, orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur (Said, 1985: 4).

Tesis utama Said dalam Orientalisme menurut Ratna (2008: 84) adalah hubungan antara pengetahuan dengan kekuasaan sebagaimana diintroduksi oleh Foucault melalui The Archeology of Knowledge dan Discipline and Punish. Dalam hal ini Ratna (2008:84) menganggap bahwa timur diproduksi sebagai pengetahuan yang tidak semata-mata ilmu melainkan kolonialisme itu sendiri, di dalamnya terdapat misi politis, landasan ideologi dan kepentingan-kepentingan kolonial.

Dari pemikiran Said di atas, terdapat dua hal penting yang mendasari poskolonial. Pertama, oposisi biner Barat-Timur, penjajah-terjajah sebagai pusat perhatian. Kedua, sifat anggitan (constructedness) dari dikotomi antara Barat dengan Timur, di mana konsep identitas dibangun oleh imajinasi, teks, narasi, didukung oleh lembaga, tradisi, dan praksis atas kepentingan-kepentingan tertentu. Pembalikan oposisi biner oleh Said tersebut pada akhirnya mengandung

(4)

idealisasi terhadap wacana poskolonial yakni, bahwa sifat wacana poskolonial adalah resistensi, penggugatan, atau penolakan terhadap penindasan (Budianta, 2008: 17 & 23).

Sebagai sebuah teori, Makaryk (via Faruk, 2007: 14) mendefinisikan poskolonial sebagai kumpulan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan seperti sastra, politik, dan sejarah dari negara-negara bekas koloni-koloni Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan belah dunia sisanya. Hampir sama dengan Makaryk, Ratna (2008: 90) menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan poskolonialisme adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern.

Dalam kajian sastra, poskolonial merupakan pendekatan kritis dalam memahami efek kolonialisme yang ada dalam teks-teks maupun sastra (Day & Foulcher, 2008: 2). Di dalam pendekatan tersebut dibicarakan bagaimana teks-teks sastra mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antar ras, antar bangsa, dan antar budaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal zaman imperialisme Eropa (Day & Foulcher, 2008: 3). Kajian poskolonial, khususnya dalam kritik sastra poskolonial, seringkali terfokus pada cara-cara bagaimana sastra meneliti masalah identitas dengan menggunakan pengertian ‘hibriditas’ sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang kemudian akan menghasilkan pembentuk-bentukan

(5)

budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri (Day & Foultcher, 2008: 12).

2. Representasi Identitas

Identitas mengenai diri merupakan konsepsi yang diyakini seseorang tentang dirinya, sementara harapan atau pandangan orang lain terhadap diri seseorang akan membentuk identitas sosial (Barker, 2009: 173). Meskipun terdapat dua pemisahan tersebut sebagai pribadi yang utuh seseorang harus memiliki seluruh aspek sosial dan kultural, sehingga identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi kultural (Barker, 2009: 174). Dari pemikiran Barker di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa identitas seseorang secara meliputi pandangan diri terhadap diri sendiri dan bagaimana orang lain memandang diri tersebut, bersifat personal sekaligus sosial.

Membicarakan identitas yang muncul dalam negoisasi dengan wacana kolonial berarti membicarakan identitas poskolonial. Dalam negoisasi tersebut identitas poskolonial melakukan penguakan dan resistensi terhadap kepalsuan yang dibubuhkan kepadanya sekaligus menghadirkan ke-liyan-an (otherness) dirinya (Sinaga, 2004: 8-9). Culture and Imperialism (1993) karya Edward Said menyebutkan bahwa konstruksi mengenai “diri” sebagai self dalam perbedaannya dengan “liyan” atau the other amat dikonstruksikan oleh imperialisme kultur mengenai citra, teks tulisan-tulisan sastra yang merefleksikan “liyan” sebagai

(6)

biadab lawan dari beradab, bodoh sebagai lawan cerdas, murni asli berbudaya sebagai lawan dari campuran atau tidak asli atau hibrida (Sutrisno, 2004: 28).

Bhabha (via Loomba, 2003 :230) berpendapat bahwa penjajah dan terjajah tidak idependen satu sama lain, keduanya justru bersifat relasional. Identitas-identitas kolonial itu, baik dari sisi penjajah maupun terjajah, tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah. Pendapat Bhabha tersebut mematahkan klaim kaum nasionalis maupun kolonialis tentang diri yang tunggal, sekaligus memberi peringatan agar tidak menafsirkan perbedaan kultural dalam kerangka yang reduktif dan absolut.

Said (1985: 7) menunjukkan bahwa budaya Eropa memperoleh kekuatan dan identitasnya dengan cara menyandarkan diri kepada dunia Timur. Identifikasi dunia Timur oleh Barat merupakan bagian upaya Barat untuk mengidentifikasi dirinya sendiri. Identifikasi pribumi sebagai “rendah” oleh Barat, berarti juga bahwa Barat mengidentifikasi dirinya sebagai “tinggi”. Perbedaan antara Barat dan Timur tersebut dalam teori Barker (2009: 174&176) merupakan upaya pengidentifikasian diri dan hal tersebut akan menjadi identitas jika mampu dilanggengkan narasinya. Pelanggengan narasi tentang diri dalam hal ini dapat berarti kolonialisme.

Identitas diungkapkan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali diri sendiri dan orang lain (Barker, 2009: 174). Representasi secara sederhana dapat diartikan sebagai perwakilan yang memiliki sifat pragmatis, strategis, bahkan politis. Menurut Hutcheon (via Ratna, 2008: 123) semua bentuk

(7)

representasi,baik literal, visual, oral, maupun kultural pada umunya, baik budaya tinggi maupun budaya massa, didasarkan atas pesan ideologis tertentu sehingga tidak lepas dari masalah sosial politis sehingga representasi tidak melukiskan suatu dunia sebagaimana adanya, melainkan membangunnya. Secara lebih lanjut Barker (2009: 140) menjelaskan bahwa representasi bukanlah mimesis, bukan penjiplakan atas kenyataan yang sesungguhnya, representasi adalah ekspresi estestis, sebuah rekonstruksi dari situasi yang sebenarnya.

Bhabha (1994: 66) menegaskan bahwa problem identitas dalam teks poskolonial selalu kembali dalam pertanyaan tentang ruang representasi di mana bayang-bayang orang yang hilang, yang tidak tampak, stereotipe Oriental dipertentangkan dengan yang berbeda, yakni ‘yang lain’. Dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer lain, yang secara keseluruhan disimpulkan dalam ide pokok, seperti: pesan, tema, dan pandangan dunia (Ratna, 2008: 125).

3. Hibriditas

Pengertian hibriditas dalam versi kolonial menurut Foultcher (1999: 15) adalah pencangkokan identitas tertentu berdasarkan kemurnian kultural dalam rangka memantabkan status kekuasaan kolonial. Foulcher secara lebih lanjut menerangkan bahwa pencangkokan identias tersebut dilakukan melalui “kelompok perantara”. Adapun “kelompok perantara” yang dimaksud oleh Foulcher adalah kelompok pribumi yang mendapatkan pendidikan etis dan oleh

(8)

kolonial Belanda diajari untuk meniru lewat pendidikan tersebut. Dalam pandangan kolonial, “kelompok perantara” akan mengidentifikasikan dirinya dengan budaya penjajah dan merasa menjadi wakil budaya Barat di hadapan pribumi lainnya. Mereka yang sebenarnya terjajah dijadikan seolah-olah penjajah di hadapan pribumi lain, sementara bagi penjajag peniruan “kelompok perantara” akan terhambat oleh sifat kodrati yang membedakan Barat dan non-Barat (Foulcher, 1999: 16).

Bhabha (via Sutrisno, 2004: 28) mengembangkan hibriditas dalam wacana antara asli dan campuran dengan konteks kekuasaan politik kultural penjajah di mana ia merumuskan sebagai berikut.

“Hybridity is the sign of productivity of colonial power, its shifting forces and fixities: it is the name for strategic reversal of the process of domination through disavowal (that is, the production of discriminatory identities that secure the ‘pure’ and original identity of authority). Hibridity is the revolution of the assumption of colonial identity throgh the repetition of discriminatory identity effects.”

Jadi, hibriditas merupakan produk konstruksi kolonial yang mau membagi strata identitas murni penjajah dengan ketinggian kultur yang didiskriminasikan.

Dalam praktiknya, individu kolonial tak jarang mengambil gagasan Barat untuk menentang kolonial, bahkan apa yang hibridakan oleh kolonial kepada masyarakat terjajah disejajarkan dengan gagasan kaum pribumi (Loomba, 2003: 224-225). Pertentang tersebut muncul sebagai momen kesadaran atas terjadinya penindasan kultural, yaitu ketika kekuatan kolonial menjajah untuk mengkonsolidasi kontrol politis dan ekonomis, atau ketika pemukim atau penjajah

(9)

menguasai orang-orang pribumi dan memaksa mereka untuk berasimilasi ke dalam pola-pola masyarakat yang baru (Ashcroft, 2003: 183).

Menurut pendapat Supriyono (2004: 141), Bhabha kembali kepada teori Fanon untuk mengemukakan bahwa keambangan (liminitas) dan hibriditas adalah atribut-atribut yang diperlukan dari kondisi kolonial. Liminitas menjadi “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung: ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan, suatu wilayah di mana terdapat proses gerak pertukaran status yang berbeda-beda dan berlangsung terus-menerus.

Bagi Fanon (via Supriyono, 2004: 141), trauma kejiwaan muncul ketika subjek kolonial menyadari bahwa dia tidak akan memperoleh sifat putih sebagaimana ia dididik untuk memperolehnya, atau melepaskan kehitaman yang dia telah dididik untuk meremehkannya. Maka Bhabha melihat bahwa gambaran Fanon tentang kulit hitam/topeng-topeng putih itu melahirkan jarak yang meresahkan dalam posisi bukan diri kolonialis atau si lain yang terjajah. Kesenjangan tersebut merupakan tanda gagalnya wacana kolonial dan merupakan tempat bagi perlawanan. Dalam hal ini, perlawanan tidak lantas berarti suatu tindakan oposisional dengan tujuan politis, melainkan efek dari suatu ambivalensi yang dihasilkan di dalam aturan-aturan pengakuan atas wacana-wacana yang dominan selagi mereka mengartikulasikan tanda-tanda perbedaan kultural (Loomba, 2003: 228-229).

(10)

Dari pemikiran Bhabha di atas dapat disimpulkan bahwa hibriditas merupakan alat antikolonial. Dalam konteks poskolonial, hibriditas menjadi strategi untuk melakukan resistensi terhadap budaya dominan. Peniruan terhadap budaya dominan menjadi strategi untuk merongrong hegemoni kolonial.

B. Penelitian Yang Relevan

Novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata pernah diteliti dalam penelitian sebagai berikut.

1. Novianti, mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Novianti menggunakan novel Gadis Tangsi untuk diteliti dan diajukan sebagai skripsi dengan judul “Kuasa Perempuan Jawa dalam Gadis Tangsi Karya Suparto Brata Dengan Pendekatan Kritik Sastra Feminis”. Adapun titik berat analisis penelitian ini terletak pada tokoh untuk mengamati kondisi masyarakat dalam menempatkan perempuan dan aspek kebahasaan di mana ada stereotip gender yang merugikan perempuan.

2. Haryani, mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2007 dan diajukan sebagai skripsi dengan judul “Relasi Gender dalam Gadis Tangsi Karya Suparto Brata”. Penelitian ini menggunakan teori feminisme untuk menemukan dan mendeskripsikan relasi gender yang ada dalam Gadis

(11)

Tangsi. Adapun titik berat analisis pada penelitian Haryani terletak

pada bias gender yang terjadi pada masyarakat Jawa.

Kedua penelitian tersebut belum membahas tentang representasi identitas dan hibriditas dalam novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata. Maka, dapat disimpulkan bahwa penelitian secara terperinci tentang representasi identitas dan hibriditas dalam novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata khususnya dengan menggunakan kajian poskolonial masih belum dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Serangkaian percobaan dilakukan dalam penelitian ini meliputi: (1) rekayasa pembuatan suplemen protein berupa kompleks ubi kayu-urea (selanjutnya disebut CASREA) yang

Bagi perusahaan asuransi atau surety di- perlukan analisis yang lebih cermat dari perusahaan surety dalam menilai kemam- puan principal yang akan menerima jaminan

5elaskan apa "ang dimaks!d dengan keberagaman dalam bidang sosial b!da"a ekonomi dan gender dalam bingkai #hineka $!nggal Ika dan berikan contoh dalam

Berapapun hukuman penjara yang akan dijatuhkan kepada Hendi Lesmana sebagai pelaku yang melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pencurian terhadap korban Hanny Wahab dan

Menurut Djaya (2008b) cara lelehan lebih banyak dipakai pada saat ini, campuran bahan-bahan mentah untuk peleburan glass serabut dimasukkan ke dalam

listrik yang terjangkau oleh masyarakat luas. Usaha penyediaan pasokan listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun industri inilah yang memicu adanya

Bahkan pada ceruk pasar tertentu, konsumen mencari komoditas yang berasal dari masyarakat sekitar hutan agar dapat membantu masyarakat tetap berdaya melanjutkan kehidupannya

Tim Kerja Zona Integritas Pengadilan Agama Wangi Wangi Penilaian Kepuasan terhadap layanan Meningkatnya Indeks Kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik