• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revolusi Mental Dimulai dari Keluarga Up

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Revolusi Mental Dimulai dari Keluarga Up"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Revolusi Mental Dimulai dari Keluarga: Upaya Menyembuhkan Diri (Healing) dari Internalized Racism

Oleh Anastasia Satriyo, S.Psi

Tulisan ini berangkat dari pengalaman pribadi penulis yang memerlihatkan bagaimana stereotype itu disosialisasikan lewat social learning sehingga sejak kecil menjadi bagian diri individu dan dapat terinternalisasi dan menjadi salah satu value yang dibawanya ke masa dewasa.

Suatu hari saat jam istirahat di kelas 3 SD, saya berbincang dengan tiga orang teman di pinggir lapangan olahraga. Entah apa topik obrolan awal kami, tapi kemudian perbincangan berlanjut dengan teman saya berkata seperti ini, “Kata mama aku, nanti kalau udah besar aku nikah aku bolehnya nikah sama yang Cina aja.” Lalu saya bertanya, “Kenapa hanya boleh sama orang Cina aja? Kan orang di dunia ini beraneka ragam?” Ia menjawab, “Nggak tau. Pokoknya kata mama aku gitu, aku kalau udah besar nanti menikah harus menikah dengan orang Cina.”

Saat di bangku SMP sepulang sekolah, saya melihat pertengkaran dua Ibu yang ternyata dipicu karena dua anak laki-laki mereka berkelahi di sekolah saat jam pelajaran. Kedua Ibu tersebut saling beradu mulut karena tidak terima anaknya dipukul oleh anak yang lain. Mereka beradu mulut dengan penuh emosi, mengeluarkan amarah tanpa berusaha mencari solusi dari permasalahan lalu di detik-detik akhir adu mulut mereka kehabisan kata-kata. Di saat kehabisan kata-kata ini, mereka saling melontarkan kalimat umpatan yang membawa identitas etnis mereka masing-masing. “Dasar orang Batak!”, kata ibu yang satu. “Dasar orang Cina!”, balas ibu yang satunya lagi. Lalu keduanya saling bertatap-tatapan dengan garang sambil memeluk anak masing-masing. Setelah itu keduanya pulang ke arah yang berlawanan tanpa penyelesaian masalah. Saya yang menyaksikan peristiwa ini hanya bisa menatap nanar dan tercenung. Peristiwa yang saat itu tidak bisa saya pahami dan jelaskan dengan kata-kata namun terpatri dalam ingatan dan batin.

Lalu di tahun ini, ketika bangsa kita sedang riuh dengan pesta demokrasi pemilihan Presidan dan Kepala Daerah isu rasisme mencuat dalam kehidupan politik, masyarakat dan mengisi ruang-ruang media. Perbincangan mengenai siapa calon pemimpin yang kompeten sering dikaitkan dengan identitas suku calon pemimpin. Tak jarang isu rasisme dipakai oleh kelompok organisasi masyarakat tertentu untuk menjatuhkan dan menunjukkan penolakan terhadap calon pemimpin daerah tertentu. Mengapa isu rasisme ini begitu seksi sebagai bola panas yang dapat memengaruhi opini publik terhadap calon pemimpin?

▸ Baca selengkapnya: pelayanan dimulai dari keluarga

(2)

pertanyaan, “Kakak orang apa?” Saya mencoba memperjelas, “Maksudnya orang apa gimana?”. “Iya, maksudnya suku apa gitu kak?” Saya jawab, “Saya orang Indonesia”. Jawaban saya ini tampaknya tidak memuaskan mereka. Mereka bertanya lagi, “Iya, kak orang Indonesia tapi sukunya apa?”. Saya terperangah. Dalam kurun waktu 10 tahun saya bisa mendapat pertanyaan yang sama dari sekelompok anak-anak yang mempertanyakan identitas kesukuan. Pertama saya mendapat pertanyaan seperti ini dari teman-teman sekolah saya. Sepuluh tahun kemudian, saya ditanya seperti ini oleh anak-anak yang seusia teman-teman sekolah saya dahulu. Sama-sama bertanya hal yang sama, “Sukunya apa” lalu merasa menemukan kelegaan dan kenyamanan ketika saya menjawab suku yang sama dengan mereka. Di ruang kelas Bina Iman, saya menjawab, “Ayah saya Jawa, Ibu saya Keturunan Tionghoa.” Lalu seorang anak berceletuk dari arah belakang, “Sama dong aku orang Jawa juga.” Wajah-wajah anak yang lain terlihat diam dan sedikit bingung. Lalu saya menjawab kembali, “Teman-teman saya ada yang orang Batak, orang Manado, orang Padang, orang Ambon dan orang Flores”. Lalu wajah anak-anak lain yang sukunya mungkin terwakili menunjukkan raut wajah sumringah.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tersendiri dalam diri saya, mengapa isu suku menjadi begitu penting untuk masyarakat Indonesia. Secara spesifik mengenai identitas kesukuan (cultural identity), rasisme dan prasangka (prejudice) antar suku. Topik ini merupakan hal yang penting untuk bangsa Indonesia yang terdiri dari suku yang beraneka ragam. Kehidupan di kota-kota besar mempertemukan orang dari berbagai suku serta agama untuk hidup bertetangga di lingkungan rumah, berteman di lingkungan sekolah dan di lingkungan kerja atau sekedar berpapasan di jalan.

Sejak tahun 1930an, rasisme telah menjadi topik yang diperbincangkan dalam Psikologi Sosial (Augostinos, 2013). Rasisme dipandang sebagai isu yang kompleks dan memerlukan berbagai perspektif untuk memahami rasisme yang terentang dari tataran internalisasi individu hingga memengaruhi struktur dan keputusan politik sampai sikap antar kelompok. Oleh karena itu, pemahaman dan penelitian mengenai isu rasisme, prasangka antar kelompok dan identitas kesukuan dalam hidup bersama yang penuh keanekaragaman perlu menjadi salah satu perhatian jika ingin menciptakan Revolusi Mental dalam hidup bermasyarakat di Negara Indonesia.

(3)

opini dan perasaan menyukai (favorable) atau tidak menyukai (favorable) mengenai seseorang atau suatu kelompok yang dibentuk tanpa pengetahuan, alasan dan pemikiran tertentu.

Rasisme muncul dalam bentu individualized racism dan institutional racism. Racism muncul secara overt maupun covert. Rasisme yang muncul secara overt dilakukan oleh individu yang menyebabkan kematian, cedera dan luka serta kerusakan bangunan tempat tinggal atau sarana publik lainnya. Rasisme yang muncul secara covert, tidak terlihat secara terbuka dan muncul dalam masyarakat melalui lembaga maupun kekuatan yang dihormati di masyarakat.

Di Indonesia rasisme yang muncul secara individual dan overt terjadi dalam bentrokan antar etnis di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat antara etnis Bali dan etnis Sumbawa (“Bentrokan antar-etnis, 2013). Setahun sebelumnya juga terjadi bentrokan antar warga dari etnis Bali dan Lampung di Lampung Selatan (“Tawuran Antarwarga, 2012) dan bentrokan antara kelompok Betawi dan warga Ambon di Depok (“FBR dan Warga Ambon”, 2012) . Peristiwa bentrokan antar etnis yang paling lama dan memakan korban paling besar adalah kerusuhan Sampit di tahun 2001 antara warga etnis Madura dengan Dayak yang masih memengaruhi kehidupan bermasrakat hingga sekarang. Sepuluh tahun setelah kerusuhan Sampit, warga Dayak masih menolak kehadiran pendatang dari Madura yang ingin tinggal di dekat mereka (“Warga Cempaka”, 2010).

Rasisme yang muncul secara covert terlihat dalam ajang pencarian bakat yang marak disiarkan di televisi. Calon penyanyi yang berbakat meminta dukungan dari masyarakat yang berlatar belakang suku atau asal daerah yang sama dengan dirinya. Padahal jika ingin menghasilkan penyanyi atau pekerja seni yang memang kompeten dan berbakat seharusnya bakat si penyanyi itu sendiri yang digunakan untuk menggalang dukungan. Bukan semata karena asal daerah atau suku yang sama. Lalu pada tahun 2014 ini muncul pernyataan sikap dari Forum Betawi Rempuk (FBR) dan Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan unjuk rasa menolak Ahok menjadi gubernur dengan alasan karena Ahok beretnis Tionghoa.

(4)

socio-cognitive developmental theory yang menjelaskan perkembangan anak dalam memahami prasangka. Perkembangan anak memahami prasangka sejalan dengan perkembangan kemampuan kognitifnya berdasarkan tahap perkembangan Piaget (Briscoe, 2003). Orangtua dan keluarga menjadi agen sosialisasi pertama bagi anak dalam mensosialisasikan pemahaman mengenai prasangka pada anak. Proses sosialisasi merupakan pembelajaran seumur hidup tentang bagaimana menjadi anggota dari kelompok sosial mulai dari kelompok sosial terkecil, yaitu keluarga hingga lingkungan masyarakat, warga suatu negara sampai menjadi bagian dari warga dunia. Sosialisasi dipelajari melalui interaksi antar manusia (Sage Publication, 2012). Melalui social world model dapat dilihat berbagai lapisan dalam interaksi sosial yang terjadi sepanjang kehidupan manusia. Sejalan dengan pengalaman interaksi.

Gambar Social World and Level of Analysis dari Chapter 4 “Socialization” Sage Publication (2012)

(5)

lain merespon diri kita. Perkembangan dari self membantu individu untuk berinteraksi dengan orang lain dan belajar bagaimana berfungsi di tiap tahap dari social world.

Terkait dengan sosialisasi dari prasangka (prejudice) yang dilakukan di tingkat mikro, pada akhirnya akan memunculkan internalized racism yang dapat mengarah pada self-degradation dan self-alienation. Internalized racism menurut Lipsky (2007) adalah “personal conscious or subconscious acceptance of the dominant society’s racist views, stereotypes and biases of one’s ethnic group. It gives rise to patterns of thinking, feeling and behaving that result in discriminating, minimizing, criticizing, finding fault, invalidating, and hating oneself while simultaneously valuing the dominant culture.”

Ketika interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga dapat membentuk pemaknaan baru terhadap identitas diri yang tak hanya menekankan pada identitas kesukuan yang berujung pada superioritas suku sendiri (etnosentrisme) dan memandang rendah pada suku yang lain. Lupa bahwa berbagai kelompok suku yang beragam di Indonesia memiliki benang merah ideologis yang menyatukan sebagai bangsa dan warga negara Indonesia. Ilmu Psikologi dapat berperan dalam membantu setiap individu yang menjadi agen sosialisasi di dalam berbagai tingkatan social world dan level of analysis untuk membantu terciptanya Revolusi Mental dalam diri individu maupun kelompok.

Di tataran individu, ilmu psikologi membantu proses healing pada individu sehingga mampu menerima pengalaman masa lalu untuk mengkonstruksi gambaran diri yang positif di masa sekarang. Kepercayaan diri yang dimiliki oleh individu membuatnya mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri tanpa perlu mendegadrasi orang lain apalagi menstereotipe orang lain hanya berdasarkan identitas suku dan kelompok yang belum tentu benar. Ilmu psikologi juga dapat membantu orangtua dalam pengasuhan kepada anak sehingga dapat memfasilitasi pertumbuhkembangan identitas diri (self identity) yang sehat pada anak sehingga di kemudian hari dapat tumbuh menjadi manusia dewasa yang tidak menilai individu hanya berdasarkan suku dan ras semata, memiliki mekanisme pengelolaan emosi yang sehat dan mampu mengatasi konflik lewat dialog bukan dengan kekerasan. Orangtua sebagai individu pun juga dapat memulai proses healing dari dirinya sendiri. Sebab secara sadar maupun tidak sadar, believe, persepsi dan cara orangtua memandang diri, orang lain, dunia dan sekitarnya (world view) tertransmisi melalui proses sosialisasi dan interaksi sehari-hari dengan anak.

(6)

hanya menilai manusia dari suku, ras atau agama dibutuhkan sehingga dapat menciptkan individu-individu di dalam masyarakat Indonesia yang dapat menghargai keunikan dan keberagaman, yang dapat menghargai ke-Bhinneka-an.

Menurut saya pribadi, keberhasilan dari Revolusi Mental di Indonesia salah satunya adalah terjadinya healing dari internalized racism dan mulai mendefinisikan diri (self) diri sendiri maupun menilai orang lain berlandaskan pada penghargaan terhadap martabat, keunikan dan keberagaman manusia yang memiliki potensi, kompetensi dan kualifikasi diri yang unik sebagai individu. Revolusi Mental terjadi ketika seorang anak menceritakan atau memperkenalkan teman kepada orangtuanya di rumah, pertanyaan pertama yang diberikan oleh orangtua bukan lagi “Teman kamu sukunya apa?” tapi bagaimana temannya tersebut berteman dengan anaknya, bagaimana ia bersikap dan memperlakukan orang lain, bagaimana sehari-hari perilakunya di kelas. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat anak semakin mengenal individu temannya sebagai pribadi dan diri yang unik. Dari pengalaman sehari-hari yang menilai orang dari potensi dan kompetensi diri bukan karena sukunya semata, anak akan belajar dan tersosialisasi hingga dewasa nantinya untuk dapat memilih Kepala Daerah atau pemimpin di berbagai sektor bukan hanya karena stereotipe terhadap suku tertentu. Anak juga mampu menghargai teman dan orang-orang di lingkungan sekitarnya yang beragam dengan perasaan aman bukan tanpa prasangka. Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai suatu hal yang mengancam tetapi sebagai realita hidup yang dialami sehari-hari sebagai konsekuensi hidup di negara Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Sangir-Talaud sampai Pulau Alor.

Proses sosialisasi di dalam keluarga menjadi krusial dalam menciptakan Revolusi Mental pada diri individu maupun di tingkat masyarakat. Keluarga dimulai dari orangtua yang mensosialisasikan dan mentransmisikan nilai-nilai dan harapan masyarakat kepada anak. Orangtua dimulai dari pasangan individu dewasa yang berkomitmen untuk membentuk keluarga dan terlibat dalam prokreasi untuk melahirkan generasi dan kehidupan yang lebih baik untuk generasi berikutnya. Maka revolusi mental dimulai dari individu dewasa yang memiliki kesadaran dan penghargaan terhadap keberagaman yang hidup di dalam keluarga maupun masyarakat secara simultan. Saya bermimpi suatu hari Indonesia beserta elemen masyarakat, kelompok, keluarga dan individu di dalamnya berada pada kondisi di mana kita menghargai dan menerima keberagaman sebagai realita.

(7)

memahami fenomena yang terjadi di sekitarnya sekaligus menyadari pula reaksi psikis dan batinnya sendiri. Anak belajar menyaring sosialisasi nilai-nilai (values) yang ia peroleh dari lingkungan sekitarnya dengan values yang ia miliki sendiri.

Di sekolah-sekolah, kegiatan Live In dan Bakti Sosial menjadi kesempatan bagi anak-anak sebagai peserta didik untuk mengalami interaksi dan melihat kehidupan dari kelompok orang yang berbeda dari yang ia temui sehari-hari. Berdasarkan penjelasan dari teori kontak sosial, semakin sering terjadi kontak sosial dengan kelompok yang berbeda semakin besar kemungkinan terjadinya perubahan dalam persepsi terhadap suatu kelompok yang pada akhirnya mengurangi stereotyping dan racism.

Di lingkungan masyarakat, telah ada kelompok masyarakat bernama Sabang Merauke yang menggagas suatu program pertukaran pelajar antardaerah di Indonesia dengan tujuan membuka cakrawala anak-anak Indonesia untuk menanamkan nilai ke-bhinneka-an sehinga mereka dapat memahami, menghargai, serta menerima keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia (“Sabang Merauke”, 2015).

Kegiatan ini dilakukan selama waktu libur sekolah yang mengajak anak-anak dari berbagai daerah untuk tinggal di daerah lain selama dua minggu. Selama masa pertukaran ini, anak-anak akan tinggal bersama keluarga angkat yang memiliki nilai-nilai yang luhur dan pencapaian penghidupan yang baik sehingga bisa menjadi panutan dalam hidup anak. Setelah melakukan program selama dua minggu, anak-anak difasilitasi untuk memaknai pengalaman yang telah dialami pasca program. Proses debriefing seperti ini membantu anak-anak memahami dan memaknai pengalaman barunya sehingga dapat merekonstruksi sekaligus menginternalisasi nilai-nilai keberagaman dalam dirinya. Komunitas Sabang Merauke sendiri berangkat dari kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia memiliki keragaman etnis, budaya, agama serta bahasa yang memiliki potensi besar untuk menjadi bangsa yang besar namun menghadapi tantangan. Salah satunya, bahwa keberagaman di Indonesia masih menjadi hal yang tabu untuk didiskusikan. Berbagai konflik yang berkaitan dengan kesukuan dan keagamaan masih dianggap sebagai topik yang sensitif untuk dibicarakan secara terbuka dalam suasana yang terbuka dan kondusif.

(8)

Revolusi Mental di Indonesia yang poros utama perubahannya dimulai dari keluarga. Sungguh ironis melihat masyarakat Indonesia yang hakikat dan kenyataannya merupakan bangsa dengan masyarakat yang penuh keberagaman namun paradigma yang ditumbuhkan dan disosialisasikan adalah paradigma kesukuan yang bersifat etnosentrisme maupun primordialis. Kita adalah bangsa majemuk kelautan yang menggunakan paradigma continent seakan-akan kita ini sama dalam cara hidup, berkegiatan dan mencari nafkah, demikian Anies Baswedan pernah berujar dalam salah satu pidatonya. Justru karena kita berbeda-beda maka keberagaman seharusnya menjadi landasan dalam bagaimana kita mempersepsikan diri, orang lain, dan dunia di sekitar kita (world view) yang pada akhirnya memengaruhi keputusan-keputusan hidup sehari-hari dan cara kita berperilaku serta berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita.

Referensi:

Augostinos, M. (2013).“Psychological perspective on racism” diakses dari

http://www.psychology.org.au/Content.aspx?ID=5271# tanggal 15 Desember 2014.

Autry, S. (2010). Racial socialization and racial identity construction of African American children regarding racial issues and prejudice (Disertasi). California Lutheran

University. Diakses dari

http://search.proquest.com/docview/822780199/489ED723AC8C48A1PQ/1?accountid =17242

Bobo, L., & Fox, C. (2003). Race, racism, and discrimination: Bridging problems, methods, and theory in Social Psychological Research. Social Psychology Quarterly. 66, 319-332.

Briscoe, A. (2003). The Interrelationships among parental racial identity, racial socialization, and children’s prejudice and tolerance (Disertasi). University of California. Diakses dari

http://search.proquest.com/docview/305211846/FAB4ABA075D64EEEPQ/14?accoun tid=17242 tanggal 15 Desember 2014.

Sage Publication (2012). Socialization: Becoming human and humane diakses dari http://www.sagepub.com/upm-data/45619_4.pdf tanggal 15 Desember 2014.

Lipzky, S. (2007). Internalized racism. Diakses dari

(9)

Hatta, R. (22 Januari 2013).”Bentrokan antar etnis terjadi di Sumbawa”. Liputan 6. Diakses dari http://news.liputan6.com/read/494122/bentrok-antar-etnis-terjadi-di-sumbawa tanggal 15 Desember 2014.

Harjono, Y. (28 Oktober 2012). “Tawuran antarwarga kembali pecah di Lamsel”. Kompas.com. Diakses dari

http://regional.kompas.com/read/2012/10/28/12522399/Tawuran.Antarwarga.Kembali. Pecah.di.Lamsel tanggal 15 Desember 2014.

Rahman,K. (17 Juli 2010). “Warga Cempaka Kalimantan Selatan tolak pendatang dari

Madura”. Tempo.co. Diakses dari

http://www.tempo.co/read/news/2010/07/17/179264187/Warga-Cempaka-Kalimantan-Selatan-Tolak-Pendatang-dari-Madura tanggal 15 Desember 2014.

Tentang Kami (2 Februari 2015). Diakses dari www.sabangmerauke.org.

Gambar

Gambar Social World and Level of Analysis dari Chapter 4 “Socialization” Sage Publication (2012)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan komponen-komponen yang berpengaruh dalam penghitungan biaya yang sama seperti terlihat pada Tabel 1 ditambah dengan komponen size (SLOC) dari perangkat lunak

Tutup semua program yang terbuka, lalu coba lagi tugas tadi, atau restart komputer Anda (klik tombol Start (Mulai) Windows Vista, klik tombol Panah yang ada di samping tombol

Meskipun KUHP dan undang-undang pidana di luar KUHP telah mendominasi dan secara formal merupakan hukum po- sitif yang berlaku dalam menyelesaikan segala perkara

Adapun implikasi dalam penelitian ini yaitu dengan penggunaan Bahan Ajar Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT)

Berdasarkan hasil analisis tentang pengaruh kompetensi sumber daya manusia, pemanfaatan teknologi informasi, dan penerapan sistem akuntansi keuangan daerah terhadap

berdasarkan desain instruksional Gagne pada blok Alimentari dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis peserta didik?.7.

Agar siswa mempunyai kompetensi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, maka prinsip yang harus dimiliki dalam proses pembelajaran diantaranya.. mengembangkan

Misalnya, penampilan tanda dari objek gambar terpilih, kemudahan pro- ses suatu objek, pembentukan objek 3D dari 2D (Extrude), mengubah suatu objek gambar melalui objek gambar