• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI

E-COMMERCE TERHADAP KEJAHATAN CARDING

Magister Teknik Elektro

Regulasi dan Hukum ICT

Dosen: DR. IR. Iwan Krisnadi. Mba

Oleh:

Muhammad Syadzili Khafifi

(2)

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE TERHADAP KEJAHATAN CARDING

Muhammad Syadzili Khafifi

55416110025

Fakultas Teknik Elektro

Universitas Mercu Buana

Jl. Menteng Raya No.29 - Jakarta Pusat

e-mail : syadzili0410@gmail.com

ABSTRAK

Seiring dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis ikut berkembang dengan

munculnya model transaksi bisnis dengan teknologi tinggi. Kondisi ini di satu pihak membawa keuntungan terutama

karena efisiensi, transformasi global dalam bidang ekonomi khususnya mengenai perkembangan perdagangan yang

dilakukan dengan menggunakan teknologi elektronik sebagai salah satu cara bertransaksi (berdagang) yang sering

disebut dengan transaksi e-commerce. E-commerce merupakan bentuk perdagangan yang mempunyai karakteristik

tersendiri yaitu perdagangan yang melintasi batas negara, tidak bertemunya penjual dan pembeli, media yang

dipergunakan internet.Kondisi tersebut di satu sisi sangat menguntungkan konsumen, karena mempunyai banyak

pilihan untuk mendapatkan barang dan jasa tetapi di sisi lain pelanggaran akan hak – hak konsumen sangat riskan

terjadi karena karakteristik e-commerce yang khas. Maka dari itu sangat diperlukan perlindungan hukum terhadap

konsumen dalam transaksi e-commerce.

Perlindungan hukum terhadap konsumen diatur dengan Undang - undang No 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.Undang - undang ini diharapkan dapat menjamin kepastian hukum terhadap konsumen

dalam bertransaksi e-commerce.

Perkembangan teknologi dan internet tidak selamanya menghasilkan hal-hal yang positif. Hal negatif yang

merupakan efek sampingnya antara lain adalah kejahatan carding (pencurian kartu kredit) yang merupakan salah

satu jenis kejahatan di dunia cybercrime. Hilangnya batas ruang dan waktu di dunia maya mengubah banyak hal.

Seorang carder dapat masuk ke sebuah server tanpa izin (unauthorized access). Tujuannya mungkin untuk

mendapatkan barang tanpa membayar atau untuk mendapatkan dana yang tidak sah dari akun kartu kredit yang

didapat.

Permasalahan yang muncul adalah penerapan yurisdiksi ekstrateritorial yang tidak dapat dipergunakan secara

meluas dengan paksaan atau kehendak dari Indonesia. Penelitian ini merupakan legal research yang menggunakan

pendekatan konseptual (conceptual approach) serta pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang akan

menelaah asas-asas hukum internasional yang terdapat di dalam Convention on Cybercrime dan Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan metode yang digunakan, maka

diketahui kejahatan carding merupakan kejahatan transnasional dan untuk mencegahnya diperlukan penerapan

yurisdiksi ekstrateritorial yang didampingi dengan perjanjian internasional yaitu Convention on Cybercrime dan

menambah beberapa pasal di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik sesuai dengan ketentuan konvensi tersebut.

(3)

PENDAHULUAN

Seiring dan sejalan dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis juga ikut berkembang. Muncul sebuah model transaksi bisnis yang sangat inovatif yang mengikuti kemajuan teknologi tinggi di bidang media komunikasi dan informasi. Kemajuan internet dan teknologi informasi menjadikan negara-negara di seluruh dunia seolah tanpa batas (borderless). Semuanya terhubung dalam satu kesatuan sistem. Akibatnya, untuk mengakses suatu alamat di negara lain, seseorang hanya perlu mengetikkan alamat URL (Uniform Resource Locator) yang dituju. Kemudian masukkan user account

dan password, kita akan mendapatkan fasilitas- fasilitas yang disediakan oleh situs tersebut. Selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif untuk melakukan perbuatan kriminal. Dalam menanggapi fenomena tersebut, dalam dunia hukum kemudian lahirlah apa yang dikenal dengan hukum siber atau cyber law.

Dalam bidang perdagangan, adanya teknologi internet atau cybernet memungkinkan transaksi bisnis tidak hanya dilakukan secara langsung (face to face, direct selling), melainkan dapat menggunakan teknologi ini. Media internet sendiri mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Efisiensi merupakan salah satu keuntungan dalam transaksi melalui media internet karena penghematan waktu, baik karena tidak perlunya penjual dan pembeli bertemu secara langsung, tidak adanya kendala transportasi dan juga sistem pembayaran (payment) yang mudah.

Aktivitas atau transaksi perdagangan melalui media internet ini dikenal dengan istilah electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu perdagangan antar pelaku usaha (business to business e-commerce) dan perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen (business to consumer e-commerce). Segmen business to business e-commerce memang lebih mendominasi pasar saat ini karena nilai transaksinya yang tinggi, namun level business to consumer e-commerce juga memiliki pangsa pasar tersendiri yang potensial.

Namun di samping beberapa keuntungan yang ditawarkan seperti yang telah disebutkan di atas, transaksi e-commerce juga menyodorkan beberapa permasalahan baik yang bersifat psikologis, hukum maupun ekonomis. Permasalahan yang bersifat psikologis misalnya adanya keraguan atas kebenaran data, informasi atau massage karena para pihak tidak pernah bertemu secara langsung. Oleh karena itu, masalah kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith) sangatlah penting dalam menjaga kelangsungan transaksi.

Untuk permasalahan hukum, masalah yang muncul biasanya mengenai legal certainty atau kepastian hukum. Permasalahan tersebut misalnya mengenai keabsahan transaksi bisnis dari aspek hukum perdata (misalnya apabila dilakukan oleh orang yang belum cakap/dewasa), masalah tanda tangan digital atau tanda tangan elektronik dan data massage. Selain itu permasalahan lain yang timbul misalnya berkenaan dengan jaminan keaslian (authenticity) data, kerahasiaan dokumen (privacy), kewajiban sehubungan dengan pajak (tax), perlindungan konsumen (protections of consumers), hukum yang ditunjuk jika terjadi pelanggaran perjanjian atau kontrak (breach of contract), masalah yurisdiksi hukum dan juga masalah hukum yang harus diterapkan (aplicable law) bila terjadi sengketa.

(4)

konsumen biasanya memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu (advanced payment), sementara ia tidak bisa melihat kebenaran serta kualitas barang yang dipesan dan tidak adanya jaminan kepastian bahwa barang yang dipesan akan dikirim sesuai pesanan. Lebih jauh lagi pembayaran melalui pengisian nomor kartu kredit di dalam suatu jaringan publik (open public network) seperti misalnya internet juga mengandung resiko yang tidak kecil, karena membuka peluang terjadinya kecurangan baik secara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan karena di dalam transaksi e-commerce, para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan/perniagaan hanya berhubungan melalui suatu jaringan publik (public network) yang terbuka. Koneksi ke dalam jaringan internet sebagai jaringan publik merupakan koneksi yang tidak aman, sehingga hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa transaksi e-commerce yang dilakukan dengan koneksi ke internet adalah bentuk transaksi beresiko tinggi yang dilakukan di media yang tidak aman. Namun demikian, kelemahan yang dimiliki oleh internet sebagai jaringan publik yang tidak aman ini telah dapat diminimalisasi dengan adanya penerapan teknologi penyandian informasi (crypthography) yaitu suatu proses sekuritisasi dengan melakukan proses enskripsi (dengan rumus algoritma) sehingga menjadi chipher/locked data yang hanya bisa dibaca/dibuka dengan melakukan proses reversal yaitu proses deskripsi sebelumnya. Selain itu kelemahan hakiki dari open network yang telah dikemukakan tersebut sebenarnya sudah dapat diantisipasi atau diminimalisasi dengan adanya sistem pengamanan digital signature yang juga menggunakan teknologi sandi crypthography.

Sekalipun kemajuan teknologi informasi memberikan banyak kemudahan bagi kehidupan manusia, tetapi kemajuan ini pun secara bersamaan menimbulkan berbagai permasalahan. Salah satu permasalahan yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya kejahatan-kejahatan yang sifatnya baru, khususnya yang menggunakan internet sebagai alat bantunya, yang lebih dikenal cybercrimes (kejahatan dunia maya). Mengabaikan perkembangan teknologi saat ini akan menimbulkan dampak negatif di masa depan, sehingga keterbukaan, sifat proaktif serta antisipatif merupakan alternatif yang dapat dipilih dalam menghadapi dinamika perkembangan teknologi. Hal ini disebabkan karena Indonesia dalam kenyataannya sudah menjadi bagian dari pasar e-commerce global. Akibat dari kejahatan dunia maya dapat lebih luas daripada tindak pidana konvensional, karena para pelaku tidak dibatasi oleh waktu dan geografis, oleh karena itu wilayah terjadinya tidak hanya secara lokal atau nasional tetapi juga transnasional dan internasional.

Kejahatan dunia maya yang akhir-akhir ini sering dilakukan adalah carding. Carding atau yang bisa disebut juga credit card fraud (penipuan kartu kredit) adalah Akuisisi dan / atau penggunaan kartu debit dan kartu kredit, atau rincian kartu, untuk keuntungan finansial. Kecurangan kartu mungkin melibatkan perolehan kartu yang sah dari lembaga keuangan dengan menggunakan dokumentasi pendukung palsu (application fraud), atau mencuri kartu kredit dan debit yang sah. Ini mungkin juga melibatkan phishing, pembuatan kartu palsu, hacking ke database perusahaan untuk mencuri data keuangan pelanggan, dan kartu Skimming.

(5)

dapat segera melapor kepada polisi untuk segera dilakukan olah TKP. Penyidik dapat dengan segera mengevakuasi TKP dan melakukan penyidikan dengan mengumpulkan barang-barang bukti dan petunjuk serta memanggil pihak laboratorium forensik untuk mencari sidik jari. Penyidik juga dapat mencari informasi dari saksi-saksi yang berada di sekitar TKP. Akan tetapi, tidak demikian halnya di dunia virtual atau cyberspace. Lokasi menjadi sulit ditentukan ketika dari negaranya, pelaku mencuri data warga negara asing. Penyidik juga mengalami kesulitan dalam mencari saksi yang melihat atau mendengar kejadian. Kesulitan lain timbul dalam hal mengumpulkan alat bukti. Pengumpulan alat bukti ini memerlukan biaya yang tidak sedikit karena harus menggunakan teknologi yang memadai dan dioperasikan oleh sumber daya manusia yang ahli.

Penanganan kejahatan transnasional mengharuskan dilakukan tidak oleh satu negara saja tapi melalui kerjasama antar negara. Kejahatan tidak lagi berhenti lagi di perbatasan. Namun dalam perjalanannya, kerjasama yang dijalin antar negara terkadang menemui kesulitan karenan terkait dengan kedaulatan sebuah negara, perbedaan budaya, bahasa serta perbedaan dalam sistem hukum.

Indonesia sendiri telah memiliki Undang-undang khusus untuk menangani kasus kejahatan dunia maya, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang tersebut secara materi muatan telah dapat menjawab persoalan kepastian hukum menyangkut tindak pidana carding, hacking maupun cracking disertai dengan sanksi pidana atas tindakan-tindakan tersebut.

Dari uraian latar belakang di atas maka penulis mengangkat tema tentang “ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE TERHADAP

KEJAHATAN CARDING”.

PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam karya ilimiah ini adalah adalah sebagai berikut :

1. Apa sajakah permasalahan hukum yang dihadapi dalam transaksi e-commerce .

2. Bagaimanakah pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.

3. Mengapa carding termasuk pada kejahatan transnasional dikaji dari perspektif hukum internasional. 4. Prinsip hukum internasional apa yang dapat mencegah kejahatan carding sebagai kejahatan

transnasional.

(6)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan legal research dengan menggunakan pendekatan konseptual

(Conceptual Approach) dan pendekatan perundang-undangan (Statue Approach). Dengan pendekatan konseptual peneliti akan menelaah asas-asas hukum internasional yang terdapat di dalam Convention on Cybercrime yang berguna untuk mencegah kejahatan carding. Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pencegahan kejahatan

carding yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan

Convention on Cybercrime yaitu konvensi yang dibuat oleh Council of Europe dan terbuka bagi seluruh negara di dunia. Khusus untuk perlindungan konsumen dalam tataran internasional telah diterima The United Nation Guidelines for Consumer Protection yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 dengan memberikan penekanan terhadap pemahaman umum dan luas mengenai konsumen serta perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil untuk mencegah praktek perdagangan yang merugikan konsumen, persaingan yang tidak sehat serta perbuatan-perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research), yang sepenuhnya menggunakan bahan-bahan hukum (primer maupun sekunder) serta tulisan- tulisan dalam berntuk jurnal maupun artikel dalam media internet, sebagai kajian dalam menjelaskan rumusan masalah dalam penelitian ini

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan sebagai bahan analisis untuk penelitian ini didasarkan pada isinya yang memuat ketentuan hukum mengenai tindak pidana cybercrime baik yang mengatur hukum pidana formilnya maupun hukum pidana materiilnya yang meliputi:

a. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen b. Convention on Cybercrime, Budapest 23 November 2001 c. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1996 tentang Telekomunikasi e. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik

f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Bahan hukum sekunder ini adalah bahan untuk penelitian yang relevan untuk mendukung dan memperjelas bahan hukum primer diatas, yang meliputi :

a. Pendapat para ahli hukum internasional mengenai prinsip-prinsip hukum internasional yang digunakan untuk mencegah kejahatan dunia maya

b. Pendapat para ahli hukum internasional mengenai kerjasama internasional dalam pencegahan kejahatan transnasional

c. Buku-buku yang membahas kejahatan dunia maya d. Buku-buku hukum internasional.

(7)

PEMBAHASAN

Permasalahan Hukum (Kontrak) dalam Transaksi E-Commerce

1. otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet; 2. saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ; 3. obyek transaksi yang diperjualbelikan;

4. mekanisme peralihan hak;

5. hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain;

6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tanan digital sebagai alat bukti. 7. mekanisme penyelesaian sengketa;

8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.

Permasalahan Mendasar dalam E-Commerce

Permasalahan-permasalahan yang mendasar dalam e-commerce adalah sebagai berikut : 1. Permasalahan yang bersifat substantif

a). Keaslian data message dan digital signature.

Keabsahan data message ini menadi persoalan yang sangat vital dalam e- commerce, karena data message inilah yang ijadikan dasar utama terbentuknya suatu kontrak, baik itu dalam hubungannya dengan kesepakatan ketentuan-ketentuan dan persyaratan kontrak ataupun dengan substansi kesepakatan itu sendiri.

b). Keabsahan (Validity).

Keabsahan suatu kontrak tergantung pada pemenuhan syarat-syarat kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak terlah terpenuhi, yang terutama adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara para pihak, maka kontrak dinyatakan terjadi. Dalam e-commerce ini, terjadinya kesepakatan sanagat erat hubungannya dengan penerimaan atas absah dan otentiknya data message yang memuat kesepakatan itu.

c.). Kerahasiaan (Privacy)

Kerahasiaan ini meliputi data dan atau informasi dan juga perlindungan terhadap data dan informasi tersebut dari akses yang tidak sah dan berwenang.

d). Keamanan (Security)

Masalah keamanan merupakan masalah penting karena keberadaannya menciptakan rasa nyaman bagi para pengguna (user) dan pelaku bisnis untuk tetap menggunakan media elektronik sebagai kepentingan bisnisnya.

e). Ketersediaan (availability).

Permasalahan lain yang harus diperhatikan juga adalah keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik yang harus ada setiap kali dibutuhkan.

2. Permasalahan yang bersifat prosedural

(8)

memiliki jurisdiksi sebagai berikut :

a. Jurisdiksi dengan prinsip teritorial yaitu setiap negara mempunyai jurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan diwilayahnya, terhadap setiap orang dan setiap benda yang berada dalam wilayahnya.

b. Jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan atau kebangsaan

c. Jurisdiksi berdasarkan perlingdungan kepentingan penting negara. Berdasarkan prinsip ini, suatu negara dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap warga negara lain yang melakukan kejahatan di luar negeri yang bisa mengancam kepentingan keamanan, kemerdekaan dan integritasnya. d. Yurisdiksi Universal, yaitu bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak

kejahatan tertentu apabila

3. Perlindungan Hukum Konsumen dalam Transaksi E-Commerce

kejahatan tersebut mengancam atau memiliki karakter membahayakan rakyat internasional tanpa melihat siapa pelaku, warga negara mana dan tempat kejadiannya dimana.

Salah satu kelebihan atau keuntungan dalam e-commerce adalah informasi yang beragam dan mendetail yang dapat diperoleh konsumen dibandingkan dengan perdagangan konvensional tanpa harus bersusah payah pergi ke banyak tempat. Melalui internet misalnya konsumen dapat memperoleh aneka informasi barang dan jasa dari berbagai situs yang beriklan dalam berbagai variasi merek lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan fasilitas pelayanan track and trace yang memungkinkan konsumen melacak tahap pengiriman barang yang dipesannya.

Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien.

Namun demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan. Metode transaksi elektronik yang tidak mempertemukan pelaku usaha dan konsumen secara langsung serta tidak dapatnya konsumen melihat secara langsung barang yang dipesan berpotensi menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen. Salah satu contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau ketidakamanan transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan metode pembayaran merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen. Masalah ini penting sekali diperhatikan karena terbukti mulai bermunculan kasus-kasus dalam e-commerce yang berkaitan dengan keamanan transaksi, mulai dari pembajakan kartu kredit, stock exchange fraud, banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi (hacking) perusakan web site sampai dengan pencurian data. Beragam kasus yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan transaksi terutama faktor keamanan dalam

e-commerce ini tentu sangat merugikan konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-commerce

sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen penggunanya. Pengabaian terhadap hal tersebut akan mengakibatkan pergeseran terhadap falsafah efisiensi yang terkandung dalam transaksi e-commerce menuju ke arah ketidakpastian yang nantinya akan menghambat upaya pengembangan pranata

e-commerce.

(9)

e-commerce. Walaupun tiak secara khusus disebutkan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, namun mengingat permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan yang umumnya dihadapi oleh konsumen serta pemecahannya baik secara substansial maupun secara prosedural, maka solusi yang telah diungkapkan di atas dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen.

Untuk jaminan keamanan, public key infrastructure saat ini dioperasikan oleh banyak lembaga (dalam tataran internasional, seperti Amerika Serikat misalnya) baik untuk menunjang digital signature dan

encryption (pengacakan). Salah satu cara untuk mengimplementasikan public key infrastructure adalah dengan melakukan sertifikasi antardomain (interdomain certification) atau dengan kata lain penerbitan sertifikat oleh dan antar suatu Certification Authority. Umumnya sertifikasi antar domain ini mencerminkan pengakuan secara hukum lintas domain dari semua komponen penting public key infrastructure, termasuk certification authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung. Jadi untuk menjamin keaslian suatu dokumen dan memastikan tanda tangan digital memang milik seseorang yang berhak lembaga Certification Authority inilah yang menjamin keasliannya. Hal ini tentunya sangat penting, mengingat ketidak aslian dari certification authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung secara potensial akan merugikan konsumen.

Secara Nasional, pranata untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun UU perlindungan Konsumen ini secara khusus belum mengantisipasi perkembangan teknologi informasi di dalam pengaturannya. Dalam tataran internasional, telah dibuat kesepakatan-kesepakatan internasional yang secara khusus dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.

Di bawah ini akan diuraikan mengenai pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.

1. Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Internasional

Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi di mana semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain bisa masuk Indonesia termasuk dengan menggunakan electronic commerce. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization atau persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO). Namun masuknya barang dan jasa impor tersebut bukannya tanpa masalah, di mana salah satu permasalahan yang timbul adalah masalah perlindungan konsumen. Demikian pula dalam hal pengaturan hukum mengenai hal ini.

2. Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Nasional

Walaupun Indonesia sudah meratifikasi pengesahan tentang pembentukan WTO, namun sampai saat ini perangkat yang dibutuhkan untuk itu belum cukup memadai. Setelah meratifikasi Pengesahan pembentukan WTO tersebut memang terlihat ada kemajuan yang cukup berarti dalam hal dibuatnya legislasi sebagai pendukung serta perangkat menuju era perdagangan bebas.

(10)

nasional usaha untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen memang dinyatakan dengan diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam salah satu butir konsiderannya dinyatakan bahwa usaha perlindungan terhadap konsumen dilakukan karena adanya ekspansi dunia usaha yang mengglobal. Disebutkan dalam konsideran menimbang butir 3 bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.

Selanjutnya dalam Penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa fenomena globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen, namun di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan konsumen ini adalah untuk 1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; serta 6). meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen30.

Perlu pula ditegaskan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

(11)

Beberapa hak konsumen yang diatur dalam UU perlindungan konsumen adalah : 1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur; 4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya; 5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Namun selain haknya sebagaimana disebut di atas, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban, dalam hal ini supaya konsumen tidak mendapatkan kerugian karena ketidak hati-hatiannya sendiri. Kewajiban tersebut diantaranya adalah : 1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Selain hak dan kewajiban konsumen seperti tersebut di atas, Pelaku Usaha memiliki pula beberapa hak dan kewajiban sebagai pemenuhan hak terhadap konsumen tersebut. Selain memiliki hak dan kewajiban ada beberapa pelarangan terhadap Pelaku Usaha yang apabila dilanggar, dapat mengakibatkan Pelaku Usaha terkena sanksi baik sanksi administratif, sanksi pidna maupun ganti kerugian secara perdata. Secara singkat pelarangan tersebut adalah :

1. memproduksi serta memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak sesuai dengan standar; tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,dan jumlah serta tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa; tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang.

2. menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : suatu barang telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; tidak mengandung cacat tersembunyi. 3. memproduksi iklan yang mengelabui konsumen; memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak

tepat.

(12)

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Untuk transaksi e-commerce, masalah posting iklan yang dilakukan oleh vendor di Internet misalnya harus dicermati dengan sungguh-sungguh oleh konsumen baik mengenai penawaran, promosi, serta iklan suatu barang dan/atau jasa. Demikian pula mengenai iklan yang mengelabui konsumen seperti misalnya memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat. Hal ini disebabkan karena tidak dapatnya konsumen melihat langsung produk barang atau jasa yang ditawarkan. UU Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mengantisipasi hal tersebut. Tapi untuk transaski e-commerce, perlindungan ini tidak dapat serta merta diberlakukan karena karakteristiknya yang khas tersebut.

Dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, dapat dilihat pula bahwa UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain memberikan sanksi administratif terhadap pelaku usaha bila melakukan perbuatan-perbuatan tertentu sebagaimana diatur dalam UU, juga melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan sebagaimana diatur dalam UU Perlidungan Konsumen tersebut. Ketentuan pidana yang dapat diberikan adalah pidana penjara dan juga denda sampai dengan jumlah maksimal sebesar Rp. 2.000.000.000,-(dua milyar Rupiah).

Semua pengaturan yang telah disebutkan di atas sungguh tepat untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Namun karena undang-undang ini bertujuan untuk melindungi konsumen dalam skala nasional, maka perlindungan konsumen dalam bertransaksi secara elektronik sesungguhnya belum terakomodasi dalam ketentuan-ketentuan ini.

Selain pengaturan dalam UU Perlindungan Konsumen, sebenarnya dalam tataran tertentu untuk melindungi konsumen dapat pula digunakan hukum pidana dalam hal ini KUHP. Sungguhpun demikian, sehubungan dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita sebagaimana disitasi oleh Yusif Shofie, mengemukakan bahwa bentuk tindak pidana dalam era perdagangan bebas tidak cukup dapat diantisipasi

dengan ketentuan mengenai tindak pidana ‘perbuatan curang’ sebagaimana diatur dalam Pasal 378 sampai

395 KUHP, tetapi seharusnya diatur dalam ketentuan baru yang lebih komprehensif. Selanjutnya mengenai hal ini Romli Artmasasmita mengemukakan bahwa :

“sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya merupakan salah satu upaya untuk memperkuat harmonisasi hubungan antara para pihak yang terlibat, bukan sarana hukum yang dapat memperbaiki hubungan para pihak yang telah terganggu. Penggunaan dan harapan yang terlalu berlebihan pada kekuatan sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya akan mempertaruhkan masa depan dunia usaha ke dalam jurang kehancuran, dan tidak memperkuat segenap segmen kehidupan dunia bisnis dan perdagangan.”

Sebenarnya masih ada satu lagi pranata hukum yang dapat melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce yakni dengan asuransi. Namun sudah sangat jelas bahwa dengan penggunaan asuransi, maka beban biaya yang harus diberikan oleh konsumen dalam membeli atau menggunakan suatu produk menjadi lebih besar karena biaya pembayaran premi, karena umumnya konsumenlah yang akan terkena beban untuk membayar premi tersebut. Namun demikian, pranata ini dapat dijadikan salah satu upaya untuk pemberian perlindungan terhadap konsumen.

(13)

elektronik (e-commerce), maka urgensi untuk membuat legislasi yang mengatur mengenai hal ini sudah sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena peraturan perundangan yang ada terutama undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen belum mengakomodasi kebutuhan tersebut. Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui teknologi elektronik tidak tercover

dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw

termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin.

4. Cyberlaw Dalam E-Commerce

Hak dan kewajiban tidak ada artinya jika tidak dilindungi oleh hukum yang dapat menindak mereka yang mengingkarinya. Sebuah dokumen untuk dapat diajukan ke depan pengadilan harus mengikuti tiga aturan utama:

1. The rule of authentification; 2. Hearsay rule; dan

3. The Best Evidence rule.

Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis aturan ini di dalam sistem e-commerce. Masalah autentifikasi misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan unsur-unsur origin dan accuracy of storage jika email ingin dijadikan sebagai barang bukti (sistem email telah diaudit secara teknis untuk membuktikan bahwa hanya orang tertentu yang dapat memiliki email dengan alamat tertentu, dan tidak ada orang lain yang dapat mengubah isi email ataupun mengirimkannya selain yang bersangkutan). Dalam melakukan kegiatan e-commerce, tentu saja memiliki payung hukum, terutama di negara Indonesia. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya, namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan dalam melakukan kegiatan cyber tersebut. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang berperan dalam e-commerce adalah sebagai berikut :

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya, namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan dalam melakukan kegiatan cyber tersebut.

Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang berperan dalam e-commerce adalah sebagai berikut :

1. Pasal 2

Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

2. Pasal 9

Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

(14)

(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.

(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Pasal 18

(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.

(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.

(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional

5. Pasal 20

(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.

(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.

6. Pasal 21

(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.

(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:

a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;

b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau

c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.

(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.

(15)

7. Pasal 22

(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

8. Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

9. Pasal 46

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

5. Carding Termasuk Pada Kejahatan Transnasional Dikaji Dari Perspektif Hukum

Internasional

(16)

Cara yang kedua adalah memanfaatkan teknologi internet. Salah satunya adalah phising, teknik ini digunakan oleh para carder untuk memperoleh data-data kartu kredit dengan mengarahkan korban untuk masuk ke sebuah situs website jebakan yang telah dibuat menyerupai website asli, seperti

www.klikbca.com. Biasanya para carder melakukan phising dengan mengirimkan sebuah email kepada para korban.

Setelah mendapatkan nomor kartu kredit beserta data-datanya, carder membelanjakannya di pedagang (merchant) online yang diinginkan. Barang yang dibeli akan dikirimkan ke alamat teman carder yang ada di luar negeri seperti Australia atau Singapura, hal ini dilakukan karena banyak merchant yang tidak berkenan mengirimkan barang ke alamat Indonesia. Setelah itu barang akan dikirimkan oleh teman

carder ke alamat Indonesia.

Dari modus operandi tersebut dapat dilihat bahwa carder yang memanfaatkan teknologi internet dapat menjangkau para nasabah pemegang kartu kredit yang berada di luar negara dimana carder berada dan dapat membelanjakan kartu kredit tersebut di toko manapun yang menyediakan pembelian secara online. Hal tersebut dapat dilakukan karena sifat dari teknologi internet yang tanpa batas (borderless). Menurut pasal 3 ayat 2 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan transnasional apabila:

1. It is committed in more than one State;

2. It is committed in one State but a substansial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another State;

3. It is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one State; or

4. It is committed in one State but has substansial effects in another State. Kejahatan carding dapat dikategorikan dalam kejahatan transnasional karena:

1. Pencurian data-data kartu kredit nasabah oleh para carder bisa dilakukan di beberapa negara. 2. Persiapan, perencanaan pengarahan dan pengawasan oleh pelaku kejahatan carding dilakukan

di satu negara tetapi target kejahatan tersebut berada di luar negara dimana carder berada. 3. Para carder bisa mendapatkan data-data kartu kredit dibantu oleh teman mereka di luar

negeri yang bekerja di gerai ritel seperti restoran atau toko yang melayani pembayaran melalui kartu kredit. Mereka juga bisa mendapatkan data tersebut melalui forum-forum carding dengan memanfaatkan teknologi internet.

4. Kejahatan carding memiliki target yang berada di lebih dari satu Negara

6. Prinsip hukum internasional yang dapat mencegah kejahatan carding sebagai kejahatan

transnasional

(17)

kejahatan transnasional, sehingga pencegahannya harus melibatkan atau bekerja sama dengan negara lain dengan mengadakan perjanjian internasional.

Cybercrime ini telah masuk dalam daftar jenis kejahatan yang sifatnya transnasional berdasarkan United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime (Palermo convention) November 2000. Adanya unsur-unsur internasional dari kejahatan carding tentunya akan menimbulkan masalah tersendiri, khususnya berkenaan dengan masalah yurisdiksi. Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Yuriskdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara dan prinsip tidak ikut campur tangan. Yurisdiksi juga merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum.Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional, setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas orang dan benda ada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat melampui kedaulatannya (act of sovereignty) di dalam wialyah negara lain, kecuali dengan persetujuan negara itu sendiri.

Yurisdiksi merupakan prinsip dasar dari kedaulatan negara yang dibuat berdasarkan kepentingan dari negara tersebut. Beberapa negara telah menggunakan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial dalam hukum nasionalnya. Prinsip ekstrateritorial ini digunakan ketika dampak yang ditimbulkan dari suatu tindak pelanggaran berakibat kepada banyak pihak. Kondisi lain yang dapat menimbulkan penggunaan prinsip ekstrateritorial adalah ketika wilayah tempat terjadinya tindak pelanggaran tersebut tidak mengaturnya namun tetap merugikan pihak lain akibat tindak pelanggaran tersebut.

Pemberlakuan prinsip ekstrateritorial secara materiilnya tergambar atau dapat kita lihat di dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada pasal 2, yakni bahwa pengaturan teknologi informasi yang diterapkan oleh suatu negara berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatannya baik yang berada di wilayah negara tersebut maupun di luar negara apabila perbuatan tersebut memiliki akibat diIndonesia.

Butuhnya pengaturan yurisdiksi ekstrateritorial dikarenakan kejahatan carding dapat merugikan kepentingan orang atau negara walaupun perbuatan (locus delicti) dilakukan di wilayah negara lain. Oleh karena itu, peraturan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi tersebut harus dapat mencakup perbuatan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia tetapi merugikan kepentingan orang atau negara dalam wilayah Indonesia.

Berdasarkan pengertian dari pasal 2 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya penggunaan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang mencakup lebih dari satu wilayah teritorial suatu negara terkait penggunaan teknologi informasi dapat diterapkan selama perbuatan yang dilakukan oleh warga negara ataupun negara lain menimbulkan akibat hukum serta memberikan dampak kerugian bagi Indonesia.

(18)

dibutuhkan adanya pengakuan peratifikasian yang dilakukan oleh suatu negara. Seperti contohnya di Indonesia, pemberlakuan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial yang tercantum dalam pasal 2 tersebut tidak mengikat dan menjadi aturan hukum umum bagi negara lain selama pemberlakuan Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tersebut hanya bagi negara Indonesia (tidak adanya peratifikasian yang dilakukan oleh negara lain).

Carding merupakan kejahatan transnasional, sehingga yurisdiksi yang berlaku adalah yurisdiksi ekstrateritorial untuk menetapkan, menerapkan dan memaksakan ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh suatu negara. Dalam hal penanggulangan kejahatan transnasional, dikenal asas aut dedere aut judicare, yang berarti “Setiap Negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk bekerjasama dengan negara lain di dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional.” Asas tersebut tercantum di dalam

Convention on Cybercrime pada pasal 24 paragraf 3.

Menurut Mohd. Burhan Tsani, “Perjanjian internasional memiliki beberapa fungsi, Yaitu: a. Untuk mendapatkan pengakuan umum anggota masyarakat bangsa-bangsa,

b. Sarana utama yang praktis bagi transaksi dan komunikasi antar anggota masyarakat negara,

c. Berfungsi sebagai sumber hukum internasional,

d. Sarana pengembang kerjasama internasional secara damai.”

Berdasarkan fungsi keempat dari perjanjian internasional yaitu sarana pengembang kerjasama internasional secara damai yang merupakan sarana wajib untuk mencegah terjadinya kejahatan transnasional, maka Indonesia perlu bergabung dalam Convention on Cybercrime.

7. Rumusan norma hukum yang dapat mencegah kejahatan carding

diharmonisasikan ke dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008

Mengingat karakteristik cybercrime yang bersifat borderless dan menggunakan teknologi tinggi sebagai media, maka kebijakan kriminalisasi di bidang teknologi harus memerhatikan perkembangan upaya penanggulangan cybercrime baik regional maupun internasional dalam rangka harmonisasi dan uniformitas perngaturan cybercrime. Oleh karena itu, perlu dikaji beberapa rumusan norma yang terdapat dalam European Conventionon Cybercrime, konvensi tersebut merupakan salah satu instrumen hukum internasional yang perlu dikaji dan dijadikan patokan dalam penyusunan suatu norma hukum positif untuk mencegah carding di Indonesia.

Untuk melakukan upaya pencegahan kejahatan carding perlu adanya penguatan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008. Penguatan hukum tersebut dimaksudkan untuk mengefektifkan fungsi pencegahan (preventif), sehingga kejahatan tersebut tidak lagi timbul.

Berdasarkan tabel di atas, terdapat beberapa norma dari Convention on Cybercrime yang telah diadopsi ke dalam UU ITE, yaitu mengenai Illegal access, Illegal Interception, Data Interference, System Interference, Misuse of Device, Computer Related Forgery, Offences Related to Child Pornography.

(19)

Computer Related Fraud : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebabkan kerugian kepada seseorang dengan cara :

a. Memasukkan, mengubah, menghapus atau menahan data komputer;

b. Mengganggu fungsi sistem komputer dengan niat tidak jujur dan menipu untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.”

Attempt and Aiding or Abetting : “Setiap orang dengan secara sadar menolong atau membantu pelanggaran yang ditetapkan dalam pasal 27-37”

International Co-operation, Kerjasama internasional dibutuhkan untuk proses penyidikan yang tidak berada di satu yurusdiksi negara saja, namun terdapat di beberapa negara. Di dalam CoC terdapat beberapa ketentuan mengenai kerjasam internasional yang dapat mempermudah proses penyidikan, yaitu :

1. Pasal 24 Extradition

Konvensi ini membuka penerapan prinsip yurisdiksi seluas-luasnya sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus cybercrime secara optimal. Pengaturan pada pasal ini berarti bahwa masing-masing pihak harus melakukan tindakan-tindakan lainnya sebagaimana diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas setiap pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan pasal 2 sampai 11 dari konvensi ini apabila pelanggaran tersebut dilakukan :

a. Di wilayahnya; atau

b. Di atas kapal yang berbendera pihak tersebut;

c. Di atas kapal yang terdaftar menurut hukum pihak tersebut

d. Oleh salah satu warga negaranya apabila pelanggaran tersebut dikenakan hukuman berdasarkan hukum pidana dimana hal tersebut dilakukan atau apabila pelanggaran tersebut dilakukan di luar yurisdiksi wilayah negara manapun

Masing-masing pihak berhak untuk tidak menggunakan atau menggunakan hanya dalam kasus-kasus atau keadaan-keadaan khusus aturan yurisdiksi yang ditetapkan dalam ayat 1.b sampai 1.d dari pasal ini atau dari setiap bagiannya.

Masing-masing pihak dapat melakukan tindakan-tindakan sebagaimana diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dimaksudkan dalam pasal

24 ayat 1, dalam kasus dimana pelanggar yang diduga berada di wilayahnya dan pihaknya tidak mengekstradisi orang tersebut kepada pihak lainnya semata-mata berdasarkan kebangsaannya, setelah permohonan ekstradisi.

Konvensi ini tidak mengecualikan setiap yurisdiksi pidana yang dilaksanakan oleh salah satu pihak sesuai dengan undang-undang dalam negaranya.

(20)

Para negara anggota harus saling memberikan bantuan semaksimal mungkin untuk penyidikan-penyidikan atau penuntutan, menerapkan undang-undang dan tindak-tindakan lain yang diperlukan untuk pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang disebutkan dalam pasal

27-35. Ketentuan tentang mutual assistance, termohon diperbolehkan untuk memberikan bantuan hanya jika ada kriminalitas ganda.

3. Pasal 26 Spontaneous information

Negara anggota berhak dalam batas dari undang-undang dan tanpa permintaan sebelumnya, meneruskan informasi yang didapat melalui kerangka penyidikannya sendiri kepada pihak lain dan pihak penyedia informasi dapat meminta agar kerahasiaan informasi tersebut dijaga atau hanya bisa digunakan atas persyaratan tertentu.

Dalam hal ini setiap negara anggota harus saling bekerjasama untuk mengumpulkan dan menginformasikan bukti elektronik yang didapat kepada negara yang sedang melakukan penyelidikan. Negara juga harus bekerjasama dengan sektor privat yaitu penyedia layanan komunikasi untuk mengumpulkan bukti elektronik.

4. Pasal 27-28 Procedures pertaining to mutual assistance requests in the absence of applicable international agreements

Pasal ini mengatur tentang permintaan bantuan tanpa perjanjian internasional dengan menunjuk satu otoritas sentral atau otoritas-otoritas yang bertanggung jawab untuk mengirim dan menjawab permintaan-permintaan bantuan, mengeksekusi, memberitahukan kepada otoritas yang kompeten untuk melakukan eksekusi.

5. Pasal 29-30 Mutual assistance regarding provisional measures

Pasal ini mengatur ketentuan-ketentuan khusus tentang pemeliharaan data yang tersimpan dalam komputer yang berlokasi di dalam wilayah pihak negara lain.

6. Pasal 31-35 Mutual assistance regarding investigative powers

(21)

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Secara umum berbagai masalah hukum yang berhubungan dengan substansi hukum maupun prosedur hukum dalam transaksi e-commerce memang sudah dapat terakomodasi dengan pengaturan-pengaturan hukum yang ada, terutama dengan aturan-aturan dalam KUH Perdata. Namun karena karakteristiknya yang berbeda dengan transaksi konvensional, apakah analogi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai transaksi bisnis pada umumnya dapat diterima dalam transaksi e-commerce. Demikian pula dengan validitas tanda tangan digital (digital signatures). Bila hal demikian tidak dapat diterima, tentunya dibutuhkan aturan main baru untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dalam rangka melindungi para pihak dalam transaksi e-commerce.

2. Secara khusus pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen sudah terakomodasi di Indonesia dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun untuk perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce belum terakomodasi dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Hal ini terutama disebabkan karena karakteristik dari transaksi e-commerce yang khusus, terutama transaski yang bersifat transnasional yang melewati batas-batas hukum yang berlaku secara nasional.

3. Kejahatan carding memiliki unsur-unsur yang sesuai dengan pasal 3 United Nations Convention against Transnational Organized Crime. Pertama, dilakukan di lebih dari satu negara. Kedua, dilakukan di suatu negara tetapi hal penting dari persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain. Ketiga, dilakukan di suatu negara tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisir (organized criminal) dimana kejahatan dilakukan di lebih satu negara. Keempat, dilakukan di suatu negara tetapi memiliki akibat di negara lain.

a. Dilakukan di lebih dari satu negara,

Pencurian data-data kartu kredit nasabah oleh para carder bisa dilakukan di beberapa negara. b. Dilakukan di suatu negara tetapi hal penting dari persiapan, perencanaan, pengarahan,

dan perngawasan dilakukan di negara lain,

Persiapan, perencanaan pengarahan dan pengawasan oleh pelaku kejahatan carding dilakukan di satu negara tetapi target kejahatan tersebut berada di luar negara dimana carder berada.

c. Dilakukan di suatu negara tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisir (organized criminal) dimana kejahatan dilakukan di lebih satu negara,

(22)

d. Dilakukan di suatu negara tetapi memiliki akibat di negara lain

Kejahatan carding dapat menjangkau korban-korban yang berada di lebih dari satu negara.

1. Untuk melakukan upaya pencegahan kejahatan carding perlu adanya regulasi melalui suatu model norma-norma hukum internasional berupa adopsi prinsip-prinsip regulasi cybercrime yang bersifat global.

Dampak dari kejahatan carding yang melewati batas-batas yurisdiksi beberapa negara mengakibatkan masing-masing negara yang menjadi korban memiliki hak untuk menerapkan yurisdiksinya terhadap pelaku.

Maka prinsip hukum yang dapat mencegah kejahatan carding adalah prinsip ekstrateritorial serta didampingi dengan prinsip kerjasama internasional yang ada di dalam ketentuam-ketentuan Convention on Cybercrime.

2. Dalam perumusan norma hukum yang dapat mencegah kejahatan carding bisa mengacu pada ketentuan-ketentuan di dalam Convention On Cybercrime. Sebelumnya Indonesia harus meratifikasi terlebih dahulu konvensi tersebut agar terjalin kerjasama yang menjadi tujuan konvensi.

Indonesia perlu menambahkan menyesuaikan beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan yang diatur dalam konvensi serta perlu adanya peraturan perlaksana dari Undang-undang tersebut.

B. Saran

1. secara umum demi memberikan perlindungan kepada para pihak dalam transaksi e-commerce serta secara khusus memberikan perlidungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk di dalamnya ketentuan mengenai validitas kontrak yang dilakukan secara elektronik sehingga ketentuan tentang transaksi e-commerce dapat tertampung. Dengan pengaturan tersebut, hak-hak konsumen sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat lebih terjamin. 2. Selain itu, untuk konsumen supaya bertindak lebih cermat dan berhati-hati dalam bertransaksi secara

(23)

3. Dalam upaya pencegahan cybercrime khususnya kejahatan carding diperlukan adanya norma hukum positif yang dapat menjangkau secara global. Indonesia memiliki beberapa alternatif strategi yang lebih efektif untuk mencegah kejahatan carding. Pertama, menyusun norma-norma hukum positif yang dapat menjangkau kejahatan teknologi informasi yang bersifat transnasional.

4. membuat regulasi melalui suatu model norma-norma hukum internasional berupa adopsi prinsip-prinsip regulasi cybercrime yang bersifat global.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Wahid dan Moh. Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung, 2005.

2. Andi Hamzah, Aspek-Aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta: Sinar Grafika,1992. 3. Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrime, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT.

Tatanusa, 2012.

4. Mansur, Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, 2005.

5. Muhamad Amirulloh, Ida Padmanegara dan Aggraeni, Tyas Dian, Kajian EU Convention On Cybercrime Dikaitkan Dengan Upaya Regulasi Tindak Pidana Teknogi Informasi, Laporan Akhir Penulisan Karya Ilmiah, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

6. Vera Carolina, Penerapan Prinsip Yurisdiksi Ekstrateritorial Dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Serta Pelaksanaannya Di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Bandung, Universitas Padjadjaran.

7. Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan sistem dan Transaksi Elektronik, 2012.

8. Harland, David, The Consumer in the Globalized Information Society : the Impact of the International Organizations, dalam Thomas Wihelmsson, Salla Tuominen and Heli Tuomola,

Consumer Law in the Information Society, The Hague Netherlands : Kluwer Law International, 2001

9. Khairandy, Ridwan, Nandang Sutrisno, Jawahir Thontowi, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999.

10. Nasution, Az., Konsumen dan Hukum, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

11. Sanusi, M. Arsyad, E-Commerce : Hukum dan Solusinya, Bandung : PT. Mizan Grafika Sarana, 2001.

12. Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994.

(25)

14. Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Cetakan Kedua, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.

15. Steger, Manfred B., Globalisme : Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta : Lafadl Pusataka, 2005. Diterjemahkan oleh Heru Prasetia dari Globalism, the New Market Ideology, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., USA, 2002

16. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek, Edisi Revisi : Cetakan ke-29, Jakarta : Pradnya Paramita, 1999

17. Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Edisi Revisi, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005.

18. UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, diadopsi oleh the United Nations Commission on International Trade Law, Resolution 51/162 of December 16, 1996

19. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini, komputer dapat berfungsi sebagai media pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman visual kepada siswa dalam berinteraksi dengan objek-objek matematika.. Hal

Pada pengertian lain hampir senada dengan pengertian diatas, bahwa ilmu asbab al-wurud adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan

Permukaan dalam silinder dilengkapi dengan penggerak bahan yang berfungsi untuk mengaduk bahan.Udara panas mengalir searah dan dapat pula berlawanan arah

"elaksanaan strategi pembelajaran scaffolding dilakukan dengan membagi siswa kedalam tiga kelompok berdasarkan ZPD (zone of proximal development) yang dilihat dari hasil

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis proyek berbantuan ICT efektif dalam meningkatan kemampuan komunikasi

Sambasunda”. Skripsi untuk mencapai derajat Sarjana S-1 pada Program Studi Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung. Maria Gunarti, Ria. “Proses Kreatif

Sedangkan organisasi proyek merupakan suatu sistem yang melibatkan banyak pihak yang bekerja sama dalam melaksanakan serangkaian kegiatan.Oleh karena itu unsur-unsur yang

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian tindakan kelas dengan judul: